-
UNO
MADRID, 25 DESEMBER 1914.
Pelantaran Plaza Mayor penuh dengan kerumunan orang, mulai dari Para Bangsawan Spanyol hingga para kaum atas dari luar Spanyol. Di depan mereka, dua orang kakak beradik tersenyum sambil membungkukkan badannya, menghormat. Andreas Sèrègovia, Sang Kakak yang memegang.gitarnya yang dibuat oleh Antonio Torres Jurado, sementara adiknya Selena Cèleste memegang biola Stardivarius yang bersinar terkena cahaya lampu.
Pelantaran yang semula tenang dan hanya terdengar dentingan gitar dan gesekan biola yang membawakan lagu terakhir, ‘Jesu, Joy of Man’s Desiring’, kini ramai dengan tepukan penonton. Tanpa bermaksud sombong, pemandangan seperti ini sudah biasa diterima dua saudara ini. Masih muda, berbakat, berwajah menarik, tentulah sudah lebih dari cukup bagi mereka untuk membuat orang sebanyak itu bertepuk tangan, bahkan Raja Spanyol pada saat itu, ikut bertepuk tangan dan mengatakan ‘bravo’. Raja Alfonso XIII memang dianggap sebagai ‘promotor’ Pariwisata Spanyol, sehingga tentu saja hubungannya dengan banyak pemusik terkenal seperti Andreas bisa dekat, apalagi umur mereka tidak berbeda jauh, hanya selisih tiga tahun. Andreas lahir tahun 1889, sementara Yang Mulia Raja Alfonso lahir tahun 1886.
Banyak yang mengkhawatirkan Natal kali ini akan sepi, sehubungan dengan hancurnya ekonomi Spanyol dan hilangnya negara jajahan yang mengancam harga diri Spanyol, dan tentu saja Perang Dunia I. Untunglah Natal tidak semencekam itu. Natal kali ini bisa dilewati dengan tenang seperti hari – hari yang lalu tanpa Perang Dunia, semenjak adanya Christmas Truce (1) untuk pertama kalinya. Pada tahun 1914, Jerman dan Inggris lah yang melaksanakan Christmas Truce ini. Selain itu, orang – orang Spanyol adalah orang – orang yang penuh keceriaan, apalagi dalam suasana Natal seperti ini, tidak boleh ada yang bersedih. Keluarkan anggur, berpestalah, dan bergembiralah!
Tidak ada yang begitu memedulikan politik saat ini. Musik yang indah, makanan yang enak dan anggur nomor satu, membuat mereka lupa akan masalah politik seperti itu meski hanya sementara.
“Bagaimana dengan kehidupan barumu di Paris?” tanya Andreas ketika kedua saudara itu sudah bisa turun dari panggung untuk mencicipi makanan yang tersedia.
“Mengerikan, tapi juga menyenangkan. Sepertinya segalanya berlawanan. Di satu sisi, penduduknya sangat menghargai keindahan, kecantikan, dan mode tentu. Apalagi teaternya. Kalau bukan karena hal itu, aku akan membenci Perancis. Tapi di sisi lain, pemerintahnya, les armées (2)–nya, mereka seperti haus darah, dan menginginkan perang terus menerus. Aku sudah enam bulan meninggalkan Perancis. Masih untung kalau rumahku masih berdiri tegak.”
“Lalu bagaimana dengan suamimu?”
“Entahlah. Aku merasa bersalah meninggalkannya di Paris sendiri. Tapi menurut beberapa kerabatku di Paris semuanya baik – baik saja.”
Meninggalnya orang tua mereka berdua, membuat hubungan Andreas dan Selena menjadi semakin tak terpisahkan. Usia mereka terpaut enam tahun, dan Selena memiliki dua orang kakak lagi yang semuanya meninggal pada usia muda. Keakraban mereka berdua kadang bisa membuat banyak orang iri. Banyak orang yang tidak menyangka kalau mereka berdua kakak beradik. Mereka berdua sudah bisa memakluminya, dan menyadari kalau mereka berdua tidak begitu mirip. Andreas dengan tubuhnya yang jangkung dan kurus, berkulit terang, dan berambut cokelat, sangat berbeda dengan Selena yang bertubuh montok, berkulit cokelat gelap, dan berambut hitam. Hanya rambut ikal mereka berdua saja yang dapat meyakinkan orang – orang kalau mereka berdua bersaudara. Ketidak miripan ini ternyata membawa bencana tidak terlupakan bagi keluarga Sèrègovia.
“Andreas, sepertinya Yang Mulia akan kemari.” Selena membisiki Andreas yang sedang menikmati ikan bakarnya, ketika ia melihat sosok Yang Mulia Alfonso XIII mendekati mereka. Dengan terburu – buru Andreas menyelesaikan makannya dan membersihkan mulutnya.
“Su Majestad (3).” Kedua adik kakak itu memberikan bungkukan dengan penuh hormat pada Sang Raja, yang membalasnya dengan anggukan kecil, dan membuat gerakan naik dengan tangannya sebagai isyarat agar mereka berdua mengangkat wajahnya.
“Fantastico, Señor y Senorita Sèrègovia (4) .”
“Gracias, Su Majestad (5).” Mereka berdua kembali membungkuk.
Setelah memberi salam, Selena meminta izin untuk meninggalkan Andreas dan Raja berdua saja dengan alasan ia harus ke kamar kecil. Mereka berdua sibuk mendiskusikan mengenai perjalanan Sang Raja ke beberapa provinsi di Spanyol seperti Barcelona, Granada, dan Salamanca. Mereka juga membicarakan mengenai musik, Flamenco, anggur kebanggaan masyarakat Spanyol, Anggur merah Rioja yang manis, hingga ikan yang tadi dimakan Andreas pun terbahas. Andreas, yang tidak hanya karena dikarunia kemampuan berbicara dan pengetahuan yang luar biasa, topik yang dibicarakan pun merupakan topik kesukaannya, mengenai musik dan Flamenco, termasuk mengenai gitaris – gitaris terkenal Spanyol, seperti Andrès Sègovia dan Francesco Tarrega. Pablo Picasso yang baru – baru itu melukis dengan gaya kubisme pun terbahas habis. Luar biasa memang, dua orang pria berbicara banyak seperti itu tanpa kekakuan sedikitpun.
Tepat ketika Sang Raja meninggalkan Andreas, Selena kembali dari kamar kecil.
“Lama sekali. Kau melewatkan bagian dari pembicaraan kami yang menarik sekali. Kami membahas opera.”
“Tentu saja lama.” Selena berusaha mengacuhkan Andreas yang berusaha membuatnya menyesal karena tidak sempat ikut membahas mengenai opera, drama dan teater yang merupakan kesukaannya. “Aku menemukan beberapa hal menarik di sini.” Andreas dapat melihat bahwa adiknya begitu antusias ingin cepat – cepat menyampaikan ‘hal menariknya’ itu hingga membuatnya tidak tega untuk menyelanya.
“Escuchar (6) ,” katanya dengan antusias. “kau lihat gadis – gadis yang bediri di dekat patung kuda itu? Ya betul di sana. Aku baru tahu kalau mereka sejak tadi memandangmu.”
“Memandangku? Itu hal biasa. Mereka kemari memang untuk melihat kita.” Dengan susah payah, Selena menahan tawa mendengar perkatan kakaknya yang menurutnya kelewat polos.
“Mi hermano (7), mereka kemari memang untuk melihat kita berdua. Mereka memandangmu dengan cara lain Andreasku.”
Andreas akhirnya tertawa pelan menyadari kebodohannya. Memang benar, tidak hanya bakatnya, ketampanan Andreas juga menggoda para wanita. Kelembutannya dan senyumannya terutama, terus menjadi pembicaraan banyak wanita. Mengherankan jadinya, diumurnya yang sudah dua puluh lima tahun dan akan menginjak dua puluh enam sebentar lagi, dikelilingi banyak wanita cantik, namun belum juga menikah. Jangankan menikah, memiliki kekasih pun Andreas belum sempat memikirkannya. Sibuk, selalu menjadi kambing hitam kesendiriannya. Padahal Selena tahu, itu bukanlah alasan utamanya, dan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan sibuk.
“Kau tidak tertarik dengan salah satu dari mereka?” tanya Selena menggoda kakaknya itu.
“Tidak terima kasih. Mungkin kapan – kapan saja.” Lagi – lagi ia menolaknya, batin Selena kesal.
“Yang kedua, lebih fantastico dari berita itu. Kau tahu siapa lagi yang hadir di sini?” Andreas makin bingung, mengapa adik kecilnya yang selalu menjaga image–nya sebagai wanita konservatif ini tiba – tiba menjadi biang gosip. Selain itu, ada sekitar ribuan orang di sekitaran Plaza Mayor, dan sebagian besar tidak ia kenal.
“Adikku sayang, kau tahu kan aku tidak main rahasia – rahasiaan?” Andreas mulai lelah bermain rahasia – rahasiaan seperti itu, dan mulai tidak sabar.
“Tentu saja. Hugo Sánchez ada di sini, Andreas.”
Ketika Selena menyebut nama itu, pikiran Andreas langsung melayang pada sosok Hugo yang bertubuh tinggi besar itu. Sosok dari musuh abadinya. Memang sulit membayangkan seseorang selembut Andreas yang penuh kasih sayang mempunyai musuh. Tapi, memang begitulah mereka berdua. Andreas dan Hugo sudah bertemu semenjak mereka bersekolah, dan persaingan mereka sudah dimulai sejak sekolah. Dan memang, dendam masa muda adalah dendam yang paling sulit dihapus.
“Sial. Mau apa dia di sini.”
“Aku tidak tahu,” kini Selena menyesal karena ia gegabah memberitahu kakaknya. “tolong jangan cari gara – gara, Andreas. Demi Tuhan.”
“Tenang adik kecilku. Aku tahu siapa yang akan mencari gara – gara. Sekarang berpura – puralah kau tidak tahu apa – apa.” Andreas menjawab santai.
Sulit bagi Selena untuk berpura – pura santai, terlebih ketika ia menyadari Hugo menghampiri mereka. Tingginya dua puluh senti lebih tinggi dari Andreas dan badannya jauh lebih tegap dan kuat. Ia tidak jelek, tampan malah. Hanya saja ketampanannya adalah ketampanan para orang – orang licik yang tidak setia, dan yang akhirnya memaksa Andreas untuk segera menikahkan adiknya dengan seorang Perancis demi melindunginya dari ‘ular’ itu. Mudah saja bagi Andreas untuk melihat adik satu – satunya yang cantik dan montok itu juga masuk daftar incaran bisanya. Dengan menikahkan Selena itu pulalah, Andreas menabuh genderang perang baru. Diambilkannya Selena segelas anggur agar ia dapat berpura – pura tenang, sementara Andreas menjalankan sandiwaranya dengan baik meski matanya tetap awas. Ini dia saatnya.
“Oh, lo siento, Señor.” Tepat ketika Hugo mendekati Selena, Andreas menyenggol tangannya hingga anggur yang dipegangnya tumpah semua. Sengaja tentu saja. Ia merasa bersyukur sekali melihat Hugo memakai baju putih sutera India kebanggaannya. Hancur sudah sutera India kebanggaannya itu. Senang sekali sepertinya Andreas, apalagi ketika ia melihat orang – orang di sekitar mereka melihatnya.
“Kau.” Terasa sekali oleh Andreas pandangan Hugo langsung menujunya seperti anak panah yang telah dibidik dengan baik. Namun, sampai saat ini kedua – duanya masih tetap berlaga bersikap anggun.
“Bukan hari yang baik nampaknya, Señor. Baju mahal ya? Sayang sekali. Lain kali Anda harus berhati – hati Señor.” Benar – benar tanpa dosa sekali ketika Andreas mengatakan hal itu! Selena yang tidak ada hubungan apa – apa dengan hal ini pun memucat melihat kakaknya yang sedang menggoda Hugo.
“Oh tentu Señor, tentu,” Hugo membalasnya dengan tidak kalah mempesonanya. “Ini baju mahal, tapi, bukan satu – satunya. Maaf Señor, Anda tidak perlu menggantinya. Saya takut Anda harus berhutang demi membayar baju ini.” Giliran Andreas yang wajahnya merah. Sementara itu, Selena dengan susah payah menahan tawanya. Merasa harga dirinya terancam, Andreas mengeluarkan kemampuannya dalam bersilat lidah yang terkenal sekaligus tersembunyi.
“Lo sientio Señor (8) , saya memang tidak berniat mengganti pakaian Anda. Saya justru bersyukur Anda tidak meminta saya untuk menggantinya. Anda tahu kenapa? Baju seperti Anda itu ada di dasar lemari saya, menumpuk seperti kain serbet yang tidak berguna.”
Kena kau, bisik Andreas dalam hati. Sementara itu, orang – orang di sekitar mereka mulai tertawa mendengar perkataan Andreas.
“Oh Anda tahu, Señor, lagu yang Anda bawakan tadi, lagu ciptaan Anda, kan? Yang sebelum lagu ciptaan Bach itu? Oh benarkah? Lagu murahan diperdengarkan di depan raja? Jangan permainkan raja, Señor. Untung anda bermain dengan adik Anda. Tanpa adik Anda yang cantik ini, tidak akan ada yang mau mendengarkan Anda.”
Mendengar namanya mulai dibawa – bawa, Selena merapatkan tubuhnya pada kakaknya. Tidak benar bahwa keindahan lagu – lagu kakaknya itu karena permainannya. Ia hanyalah tambahan semata, bukan pemain utama. Daya tarik terbesar lagu itu tetaplah pada permainan dan pesona kakaknya, selain lagu itu sendiri.
“Oh demi Tuhan, Señor,” nada bicara Andreas menyatakan bahwa pembicaraan ini akan segera berakhir. Mau tidak mau. “Anda bisa lihat sendiri, siapa dan dari kalangan apa mereka berasal? Setengah dari Keluarga kerajaan dan pejabat kerajaan ada di sini.” Andreas membuat gerakan menunjuk ringan seolah menujukkan siapa saja yang ada di Plaza Mayor malam itu. Semakin banyak orang yang memperhatikan mereka, semakin merapat Selena pada kakaknya, sementara Andreas dan Hugo semakin menebalkan mukanya dan semakin mantap untuk menyerang satu sama lain.
“Kecuali Anda tidak berasal dari kalangan mereka, Señor, saya akan mengerti betapa Anda tidak mengerti dari mana asal keindahan musik itu sebenarnya. Maklum kalau Anda mengira adik saya yang merupakan sumber keindahan musik ini, karena hanya itu yang Anda mengerti. Hanya kecantikan dari luar.” Andreas berhenti sebentar. Untuk kata – kata yang dibuat kurang dari lima menit yang lalu, baginya ini cukup memuaskan. Terutama setelah melihat lawannya yang mulai tidak berkutik. Tidak sulit mengalahkan seseorang yang bertubuh seperti tentara ini, asal memiliki lidah yang tajam. “Anda seharusnya sebagai orang Spanyol malu, karena Anda tidak dapat menghargai apa yang merupakan ciri khas bangsa Anda. Ketika Anda menghina saya, berarti Anda telah menghina gitar dengan ketidak pahaman Anda. Anda juga telah menghina Sang Raja beserta semua orang di sini, karena secara tidak langsung, Anda menganggap mereka tidak mengerti.” Bukan hanya Selena ataupun Hugo yang terkejut, tapi juga semua yang berada di situ. Kata – kata Andreas tajam, dan mengalir begitu deras seperti air bah.
“Kau akan menerima balasannya atas yang telah kau katakan, Andreas Sèrègovia.” Tanpa memandang Andreas lagi, Hugo membalikkan badan dan meninggalkan Andreas dan Selena, dan mungkin juga meninggalkan Plaza Mayor. Semua orang menatap kagum pada kata – kata Andreas, meskipun tidak semua mengerti alasan mengapa ia berkata – kata seperti itu.
“Nyawamu tinggal sebentar lagi Andreas.” Selena mengatakannya sambil memandang kakaknya dengan ngeri. Setelah tinggal bersama dengannya selama sembilan belas tahun, baru kali ini Selena mendengar kata – kata penuh kebencian keluar dari mulut kakaknya. Tapi Selena dapat menangkap, tidak hanya kebencian yang terkandung dalam kata – kata kakaknya, tapi juga kebenaran. Baik kakaknya maupun lagu – lagunya, sudah dianggap sebagai aset negara yang berharga. Tidak banyak pemusik yang bisa mendapat tempat tinggi seperti itu, apalagi di zaman susah seperti ini.
“Aku tahu adikku. Dan aku tidak peduli.”
“Aku tidak suka caramu Andreas. Tapi aku akui kau pemberani.” Komentar Selena, setelah mereka sampai di rumah Keluarga Sèrègovia, sebuah rumah bergaya Georgian yang amat simetris, dengan atap berbentuk limas segi empat sempurna dengan cerobong asap di kedua sisinya, dan bangunan yang berbentuk balok. Selena melepas mantel bulu kelincinya ketika mereka memasuki rumah. Andreas tersenyum ketika melihat cara Selena melepas mantelnya dengan begitu hati – hati dan anggun, dan bagaimana mantelnya itu meluncur dari kulitnya yang kecokelatan. Pendidikan ibunya dan Maria, pengasuh mereka berdua, ternyata berhasil membuat Selena menjadi seorang wanita yang berkelas. Ditambah lagi, kini ia tinggal di Paris, yang meskipun sedang dilanda perang, masih terus menampakkan keindahannya dalam soal mode. Di dalam mantelnya, Selena menggunakan gaun sutra putih yang dirancang khusus agar memperlihatkan setiap lekukan tubuhnya yang kini sudah jarang ada lagi. Wanita – wanita sekarang ini terlalu kurus, berbeda dengan Selena yang tubuhnya berisi, namun tidak gemuk. Melihatnya, seperti melihat lukisan dan pahatan Zaman Renaissance, apalagi sebelum ia memotong rambut hitamnya yang tebal dan berombak. Setelah ia tinggal di Paris, ia memotong rambutnya hingga di atas bahu. Potongan rambut seperti ini membuat Selena terlihat makin mewah dan berkelas. Segala kelebihannya itu membuat Andreas begitu berat untuk melepaskan adiknya ini, satu – satunya keluarga yang ia punya.
Belum sempat Andreas menutup pintu rumahnya, ia sudah mendengar suara teriakan nyaring Selena yang dianggap Andreas takkan pernah diperdengarkannya lagi semenjak umurnya 14 tahun. Ketika ia melihat, adiknya sedang memeluk seorang pria yang jangkung, tampan, dan pirang. Frèderick Cèleste, suami adiknya. Mereka sudah tidak bertemu selama enam bulan dan terpisahkan oleh Perang Dunia. Andreas mencoba maklum, kalau adiknya seheboh itu menyambut suaminya. Tapi tetap saja hatinya merasa tidak enak ketika melihat adiknya berciuman.
Terima kasih Tuhan, Selena menyadari hal itu. Ia langsung menarik Frèderick untuk mendekati Andreas. Mereka bersalaman dengan kaku dan amat ‘lelaki’.
“Buenos…noches, Señor. Cómo está usted? (9)“ Frèderick berusaha mencairkan suasana. Bahasa Spanyolnya menurut Andreas sudah agak lumayan, dibanding pertama kali ia bertemu dengan Andreas. Terkadang ia mencampur adukkan antara Bahasa Spanyol dan Italia, antara menyebutkan ‘señor’ dan ‘signor’. Dengan logat Perancisnya, maka kata ‘signor’ akan terdengar seperti ‘signo’ dalam Bahasa Spanyol, yang berarti ‘tanda’. Kemudian, setelah ia berhasil membedakan ‘e’ dan ‘i’, ternyata Frèderick masih sering kehilangan huruf ‘r’dan melafalkannya sebagai ‘seno’ bukan ‘senyo’*. Kata ‘seno’ berarti ‘dada’ dalam bahasa Spanyol. Terkadang Andreas bingung, Perancis, Spanyol, dan Italia, berasal dari satu rumpun, rumpun Latin. Tetapi mengapa tetap sulit ketika ia harus berbicara dalam dua bahasa lainnya, ataupun mengapa Frèderick kesulitan menyebutkan kata – kata dalam Bahasa Spanyol. Seharusnya, semuanya mudah bila mereka berasal dari satu rumpun.
“Bien, Monsieur. Ça va Bien? (10)” Andreas puas sekali ketika mendengar ternyata ia lancar mengucapkan kata – kata sederhana dalam Bahasa Perancis. Ia mengucapkan kata ‘bien’ dengan cara ‘byang*’ bukan ‘bien’ dalam Bahasa Spanyol. Ia memang pernah mempelajari Bahasa Perancis semasa sekolah, namun jarang sekali dipraktekan. Bahasa Perancis yang diajarkan di sekolahnya pun merupakan Bahasa Perancis dengan aksen selatan, yang banyak melafalkan ‘a’ menjadi ‘e’ selayaknya orang Spanyol. Dengan ajaran dari sekolahnya itu, seharusnya Andreas melafalkan kata ‘bien’ menjadi ‘byeng*’, bukan ‘byang*’ Berkat adiknyalah, Andreas mulai menghilangkan logat selatannya.
“Monsieur, Selena, mungkin sebaiknya aku meninggalkan kalian berdua. Selena, Frèderick bisa memakai kamar di sebelah kamarmu. Ya, kalau kalian memang butuh kamar terpisah.” Andreas memang terkadang lupa, Frèderick adalah suami Selena, tapi terkadang juga, ia sengaja melupakannya.
“Tidak, tunggu di sini dulu, Señor. Mungkin ini hari terakhir Selena di sini. Saya mohon tunggu sebentar.” Andreas membalikkan tubuhnya dan kembali mendekati mereka. Ia tidak menyangka, Frèderick punya nyali untuk tiba – tiba berada di rumahnya dan membawa pergi adiknya begitu saja. Ia sudah tidak bertemu adiknya selama tiga tahun, dan kini, tanpa pikir panjang, suaminya datang tanpa ia ketahui dan akan membawanya kembali ke Paris tanpa membicarakannya begitu saja. Selena dapat membaca ketidaksenangan kakaknya dengan segera.
“Andreas, aku dan Frèderick sudah merencanakan ini sebelumnya. Aku akan langsung pulang kalau Frèderick kemari. Aku, sudah terlalu lama meninggalkan rumah. Maafkan aku tidak memberi tahu sejak dulu.”
“Oh, baiklah kalau begitu. Maaf kalau mengganggu rencana kalian. Kapan kalian akan pulang kalau begitu?” Selena memandang suaminya sebentar, yang kemudian menjawabnya dengan sebuah anggukan.
“Besok kalau kau tak keberatan.”
“Oh tidak. Tentu saja. Jam berapa kalian akan berangkat?”
“Kereta menuju ke Paris akan berangkat pada pukul sepuluh. Tapi kami harus ada di stasiun sejam sebelumnya.” Kini, Frèderick lah yang menjawab pertanyaan itu, dengan hati – hati dan waspada tentunya. Salah – salah, Andreas mencelanya dan menganggap keretanya terlalu awal.
“Aku antar kalian. Sekarang, izinkan aku untuk beristirahat dulu. Kalian, terutama kau, Monsieur, beristirahatlah. Perjalanan kalian pasti panjang.” Andreas langsung saja menaiki tangga tanpa menghiraukan mereka lagi. Ia tidak marah sebenarnya. Hanya kecewa. Rasa sayangnya pada Selena melebihi rasa sayangnya sebagai seorang kakak. Selena memang masih perawan ketika ia menikah, tetapi dari kakaknya lah ia mendapatkan ciuman pertamanya. Pada hari ulang tahun ke tujuh belasnya, dua bulan sebelum pernikahannya.
“Kau yakin kakakmu tidak marah padaku kan?” tanya Frèderick ketika Andreas menghilang dari pandangan mereka.
“Oh tentu saja tidak.” Selena menjawab dengan tenang. “Andreas memang begitu. Ia memang mudah kecewa. Tapi ia baik, kok.” Sembari mengatakan hal itu, Selena membayangkan kata – kata yang dilemparkan Andreas pada Hugo tadi. Frèderick beruntung, ia tidak kena semprot. Dulu salah seorang kerabat ayahnya pernah berkelakar, suatu saat, kalau Andreas harus ikut perang, ia tidak butuh pedang atau senapan untuk menyerang. Kata – katanya lebih cepat dari peluru, dan lebih tajam dari belati. Selena baru berumur sepuluh tahun sementara Andreas enam belas. Selena tidak dapat mengingat apa yang dibicarakan Andreas hingga ia dipuji seperti itu. Kalau tidak salah mengenai Perang Russo – Japan yang terjadi pada masa itu.
Keesokan harinya, tepat pada pukul sembilan pagi, Selena dan Frèderick sudah berada di stasiun didampingi Andreas dan tukang kebun merangkap asisten pribadinya, Juan. Selena memeluk kakaknya dengan hangat. Dan mengucapkan beberapa kata – kata perpisahan, sementara dengan Frèderick, seperti biasa mereka hanya bersalaman saja.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang sepuluh menit di keesokan paginya, dan kereta sudah siap berangkat. Dengan dibantu Juan, Frèderick memasukkan barang – barangnya, sementara Selena memeluk Andreas lagi. Kalau bukan karena diperingatkan oleh suaminya, Selena mungkin tidak jadi naik kereta. Tepat pukul sepuluh, peluit kereta berbunyi. Perlahan – lahan mulai bergerak, dan akhirnya cepat, seolah tidak sabar untuk segera sampai di Gare d’Auterlitz di Paris. Andreas berpikir, setelah ini, akan sulit baginya untuk menemui Selena. Bagi Andreas, Frèderick adalah pria yang amat beruntung dapat memiliki adiknya. Wanita yang kini mungkin sudah langka sekali. Mungkin benar, adiknya itu berpikiran kuno dan konservatif. Tapi karena hal – hal itulah, Selena menarik perhatian.
Andreas membalikkan dirinya dan melangkah keluar, menuju mobil Fordnya yang berhasil ia dapatkan dari hasil menabungnya selama bertahun – tahun. Sebagai gitaris profesional, ia mendapat bayaran yang cukup besar, namun biaya untuk memelihara rumahnya rupanya lebih besar lagi, sementara uang dari hasil peternakan dan pertanian di tanah ayahnya sudah lama tidak ia pikirkan. Ia suka sekali mengendarai mobil ini mengingat bagaimana kerasnya ia berjuang untuk mendapatkannya hingga rela menyebrangi lautan dan samudera, tapi berhubung pikirannya sedang kacau, ia menyuruh Juan menyetir. Benar saja, Andreas tertidur sepanjang perjalan. Ia memang tidak tidur semalaman. Dalam mimpinya, ia kembali ke masa lalu, masa kanak – kanak mereka. Natal tahun 1900. Mereka berdua mengadakan sebuah permainan, dengan pemenang diperbolehkan membuat pengharapan. Selena beruntung mendapat giliran pertama untuk membuat pengharapan. Ia berharap ‘bila salah satu dari mereka menemui Tuhan suatu saat, ia ingin melihat Tuhan menampakkan wajah mereka pada yang masih hidup dalam keadaan bahagia. Agar mereka yang ditinggalkan bahagia.’
-------------------------------------------------------
[2] Tentara.
[3] Yang Mulia.
[4] Fantastis, Tuan dan Nona Sèrègovia.
[5] Terima kasih Yang Mulia.
[6] Dengarkan.
[7] Kakakku.
[8] Maafkan saya, Tuan.
[9] Selamat malam, Tuan. Apa kabar?
[10] Baik, Tuan. Apa kabar? (Perancis)
1st Chapter oleh Zahrina Yustisia Noorputeri