Thursday, July 24, 2008

Playboy VS Gentleman

-

Reno si Playboy


COWOK itu terlihat sangat terburu-buru. Begitu dia memarkirkan motornya di pelataran parkir di depan restoran itu, dia berlari dengan sekuat tenaga menuju pintu masuk. Selangkah sebelum dia sampai di pintu masuk, dia berhenti sejenak. Dia sadar, keringat bercucuran di wajahnya. Dia pun mengeluarkan saputangan dari saku celana jeans belelnya dan membersihkan wajahnya. Kemudian dia pun merapikan rambut—yang pendek, tebal, hitam, dan berdiri kaku—kebanggaannya itu, yang sesaat tadi masih acak-acakan. Setelah itu baru ia melangkah masuk ke dalam dengan santai.

Dalam beberapa langkah saja, matanya sudah menemukan sosok yang dicari-carinya. Seorang cewek berambut hitam lurus, memakai atasan berwarna pink dan celana jeans, Sinta namanya. Cewek itu duduk membelakangi dia, kedua tangannya terlipat di dada, sesekali dia melihat jam tangan mungilnya, kelihatan tidak sabar. Cowok itu berjalan ke belakang cewek itu dengan pelan-pelan. Lalu dengan gerakan tiba-tiba dia merangkul leher cewek itu.

Cewek itu memekik kaget. Begitu sadar itu cowoknya dia pun berkata, “Reno, ngagetin aja.. kamu dari mana saja jam segini baru nongol?” Tanya cewek itu kemudian, lebih terdengar seperti bentakan. Reno malah cengar-cengir mendengarnya.

“Sorry banget! Tadi ban motorku tiba-tiba saja bocor, persis pas aku nyampe di pertengahan jalan mau ke sini. Jadinya aku nungguin ban motorku ditambal. Sumpah, Sin!”

“Kenapa nggak nelpon?”

“Sorry, HP-ku low batt.” Reno menunjukkan HP-nya yang sengaja dinonaktifkan. “Nggak ada Wartel lagi, di dekat situ!”

Sinta mencoba mencari rona-rona kebohongan di wajah Reno sementara pacarnya itu berjalan kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan dia. “Kayaknya nggak mungkin sampai telat dua jam deh! Paling-paling nambal ban itu kan cuma setengah jam! Hayoo, kamu bohong kan? Iya kan?” Tuduhnya kemudian, membuat Reno gelagapan.

“Sin, kamu nggak ngerti sih,” jawab Reno. “Di tempat ban motorku bocor nggak ada tukang tambal ban. Jadinya aku berjalan menuntun motorku lumayan jauh...”

“Oke, paling-paling kamu berjalan sekitar lima belas menit. Tukang tambal ban kan hampir ada di setiap jalan. Terus kamu mau bilang apa lagi? Kok, bisa telat dua jam?”

Kali ini, Reno benar-benar kebingungan. “Uh.. ah... begini lho... oh iya.. aku belum cerita ya? Ternyata lubang di ban motorku itu lebih dari satu, ada empat kalau nggak salah. Jadinya lama banget! Begitulah.. masa kamu nggak percaya sih?”

Sinta tidak menjawab. Matanya terus melotot memerhatikan Reno yang kini semakin gugup dan grogi. Bener-bener nih cewek, pikir Reno kesal. Kalau sudah menginterogasi seperti ini, susah banget untuk bikin dia percaya sama bualan gue. Di antara ketiga pacarnya, Sinta memang yang paling tangguh! Nggak gampang untuk membohongi dia. Jadi waktu tadi Reno kelamaan di rumah Dini—pacarnya yang kedua—dia kalut banget. Dia lupa punya janji dengan Sinta sementara dia asyik pacaran dengan Dini. Dari rumah Dini, Reno langsung minggat ke tempat pertemuan ini setelah memberi alasan kepada Dini bahwa kakeknya sakit—padahal sudah meninggal sepuluh tahun lalu—sampai akhirnya dia dibolehkan pulang. Tak lupa, dalam perjalanan menuju ke sini Reno mengarang-ngarang alasan tadi. Repot juga ya?

Akhirnya senyum Sinta kembali nampak, meski perlahan tapi pasti. “Oke, kali ini aku maafin.. tapi kalau lain kali telat lagi, apalagi seperti hari ini, sampai telat dua jam! Dua jam, Reno! Lihat, sudah berapa gelas minuman yang sudah aku habiskan!” Reno memerhatikan tiga gelas kosong di meja lalu tertawa pelan. “Kok, malah ngetawain! Awas kamu ya!”
“Sorry, sayang... aku geli aja, kamu minum segitu banyak, apa perut kamu nggak kembung?” Tanya Reno sambil menahan tawa. Sinta sudah hampir memukul Reno yang terus ketawa, tapi seorang pelayan tiba-tiba datang dan menyerahkan buku menu kepada mereka berdua. Mereka berdua mulai sibuk memilih makanan dan minuman.

Dari arah pintu masuk tiga orang cewek melangkah riang menuju meja kosong yang paling dekat dengan pintu. Ketiganya saling berceloteh dengan heboh sambil berjalan. Reno yang duduk menghadap ke arah sana menurunkan buku menu dari wajahnya, merasa terganggu dengan suara berisik ketiga cewek tadi.

“Berisik, sekali sih mereka...” katanya berbisik. Perhatiannya mulai tertuju kepada ketiga cewek yang kini sudah mulai duduk itu. Letak meja mereka tidak begitu jauh dengan meja Reno dan Sinta, jadi Reno dapat melihat jelas bagaimana tampang cewek-cewek heboh itu.

Sejenak dia memekik tertahan, karena dia mengenali salah satu dari mereka. Cewek berambut panjang dan pirang, berpenampilan paling keren diantara mereka bertiga, cewek itu pacar Reno yang baru! Cewek itu pacar Reno yang ketiga, Chaca! Mereka baru jadian beberapa minggu sih, jadinya Reno belum begitu sering mengajaknya kencan. Dia bener-bener nggak tahu kalau ternyata Chaca suka makan di sini juga. Tahu begitu, dia nggak bakal janjian dengan Sinta di sini karena resikonya terlalu besar.

Begitu duduk Chaca tiba-tiba melayangkan pandangannya ke seluruh meja. Sepertinya dia mencari-cari sesuatu. Barulah saat itu Reno sadar, mungkin Chaca melihat motor Reno di pelataran parkir. Dia pasti mencari-cari Reno!

Dengan panik Reno cepat-cepat menutupi wajahnya dengan buku menu. Gawat! Gawat! Gawat banget! Pikir Reno. Kalau gue ketahuan bisa gawat!

“Mau pesan apa mas?” Tiba-tiba si pelayan bertanya mengagetkan Reno.
“Eh.. Gawat, Mas!” Karena terkaget Reno jadi sedikit latah. Si pelayan rada-rada bingung mendengar kalimat itu. Dia melirik buku menu yang dipegangnya, ditelitinya secara rinci. Baru kemudian dia menggeleng keras.

“Di sini nggak ada makanan yang namanya ‘Gawat’, Mas! Coba pesan yang lain saja, ada tumis bekicot ala Australia, atau semur kepompong dari Amazon..” kata pelayan itu polos.

Melihat gelagat Reno, Sinta jadi terheran-heran. “Kamu kenapa Ren?”

“Nggak.. nggak kenapa-kenapa.. kok..”

“Terus.. apanya yang gawat?”

“Oh... gue kebelet! Udah nggak tahan nih! Pesenin apa aja deh! Gue ke toilet dulu, ya?” Dengan setengah berlari Reno cepat-cepat bangkit berjalan menuju toilet. Sambil matanya tetap waspada, kalau-kalau dia terlihat oleh Chaca.

DI TOILET, Reno berjalan mondar-mandir kebingungan. Dia tidak bisa pergi dari tempat ini karena Chaca dan teman-temannya nongkrong pas deket pintu masuk! Lagian, masa dia harus ninggalin Sinta begitu saja? Terus, gimana kalau ketahuan? Gimana kalau Chaca melihat gue bareng cewek lain? Bisa gawat! Dia paling anti ketahuan selingkuh.

Reno memutuskan untuk kabur. Urusan Sinta ngambek, gampang, dia bisa bikin sejuta alasan heboh. Tapi bagaimana caranya? Lewat mana? Mungkinkah ada pintu belakang? Pasti!

Reno keluar dari toilet cowok dan celingukan kesana-kemari, kali aja Chaca ada di toilet cewek di sebelah, Reno tahu bener ceweknya yang satu itu rajin ke toilet—nggak pipis lah, nggak dandan kalau make up luntur—jadi dia memutuskan untuk hati-hati.

Reno menyusuri lorong di sebelah toilet, ternyata lorong itu berakhir di dapur. Syukurlah, pekik Reno dalam hati saat dia melihat pintu keluar di ujung ruangan dapur yang lagi rame banget itu.

Baru saja dia melangkah masuk, tiba-tiba ada yang menghadang. “Maaf mas, authorized personel only!” seru salah satu koki yang sok berbahasa inggris yang artinya nggak boleh masuk.

Reno mencoba ngibul, “maaf Mas, saya mau numpang pulang lewat pintu belakang. Barusan di toilet saya dapat telepon darurat! Saya harus cepat pulang!”
“Lewat pintu depan saja, Mas!”

“Lewat sini lebih deket, Mas!” Reno mencoba memaksa masuk tapi koki itu merentangkan kedua tangannya menghadang.

“Nggak bisa mas! Mau saya panggilin satpam?”

“Tolong dong Mas, saya buru-buru!”

“Nggak bisa. Kamu pasti mata-mata dari restoran lain kan? Mau mencuri resep rahasia kami!” Koki itu menuduh. Bikin reno tambah keki.

“Geer banget sih mas!” Reno mendelik. Tiba-tiba ia dapat ide. “Mas! Itu masakannya gosong!” ia berteriak sambil menunjuk panci di sebelahnya. Kontan si koki menoleh, Reno tidak membuang kesempatan, dengan sigap dia melewati koki itu dan ngibrit menuju pintu keluar sambil acap kali menabrak beberapa koki yang lagi sibuk hingga beberapa panci tumpah. Tapi Reno nggak peduli, dia harus segera keluar.

Begitu keluar, Reno melihat di belakangnya beberapa koki yang kesal keluar mengejarnya sambil mengacungkan pisau dapur yang gede banget, persis kayak di film mafia Mandarin! Reno berlari sekuat tenaga menyusuri pelataran parkir.

Satpam yang melihat kejadian itu ikut-ikutan mengejar Reno. Reno semakin panik, begitu dia nyampe di depan motornya dia segera menaikinya dan kabur dari situ. Orang-orang yang mengejarnya berteriak kesal.

Gue nggak bakal makan di sini lagi deh, pikir Reno sambil menancap gas kuat-kuat.

“KEJADIAN tadi bener-bener bikin gue jantungan, Ga!” Kata Reno pada Angga. Saat ini dia sedang asyik selonjoran kaki di teras depan rumah sahabatnya itu. Wajahnya masih menampakkan ketegangan dan kelelahan yang amat sangat. Angga cuma menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Reno.

Reno sudah jauh berubah, pikir Angga. Mereka sudah jadi teman sejak mereka kecil. Dulu tempat tinggal mereka berdekatan. Tapi sekarang mereka tidak tinggal berdekatan, Reno pindah rumah sekitar empat kilometer jauhnya dari rumah Angga semenjak mereka masuk SMU. Tapi meskipun begitu mereka tetap sering bertemu karena sekolah mereka sama, sekelas malah. Sejak SD Reno dan Angga selalu kompak, kemana-mana mereka selalu bersama-sama. Saling menjaga satu sama lain. Tetapi semenjak Reno masuk SMU dia agak berubah. Angga tidak pernah sependapat dengan Reno kalau mengenai masalah cewek. Bertolak belakang sekali dengan Reno yang sering gonta-ganti pacar dan selingkuh, Angga sangat menghargai perempuan.

“Selain gue hampir kepergok sama Chaca, lo tahu kan, pacar gue yang paling baru? Gue juga dikejar-kejar sama koki-koki yang pegang pisau gede! Tegang banget deh.” Reno melanjutkan ocehannya bikin Angga semakin geleng-geleng kepala. Selama ini Reno selalu menceritakan semua kisahnya mengenai cewek-ceweknya pada Angga, tapi dia nggak sadar kalau tiap kali dia cerita, dia bikin Angga kesal. “Gue nggak mau ketahuan selingkuh, bisa turun reputasi gue...”

“Gue kan udah bilang,” Angga berbicara dengan tenang. Dia juga duduk santai di sebelah Reno. “Lo jangan main-mainin cewek, kasihan kan? Suatu saat lo pasti kena batunya.”

“Lo nyumpahin gue, Ga?”

“Nggak, maksud gue, mendingan lo mulai serius deh sama cewek, kita kan udah kelas tiga, sebentar lagi kita masuk kuliah. Mendingan lo cari satu cewek yang bener-bener lo suka, dan lo bikin hubungan yang baik.”

“Dasar, sok tua!” Ledek Reno sambil melengos. “Akhir-akhir ini lo sering banget ceramahin gue. Heran deh. Lo mau jadi ustad?”

“Bukan begitu, gue kan sahabat lo sejak kecil, jadi wajar dong kalau gue ngingetin lo?”

“Iya deh kakak,” Reno mencibir. “Tapi kalau menurut gue, sebenarnya yang harusnya diingetin itu elo, Ga. Lo sadar nggak sih kalau sebentar lagi masa-sama SMU udah mau lewat, mendingan lo cepetan nyari cewek lagi. Masa selama SMU lo cuma pacaran sekali. Suatu saat lo pasti nyesel, Ga.”
Angga lagi-lagi geleng-geleng kepala. Hal ini sering terjadi. Di saat Angga mencoba menasehati Reno, Reno malah balik menasehati dia. “Nggak bakalan sempat, Ren. Lo tahu sendiri kalau gue nggak bener-bener suka gue nggak bakal pacaran.”

“Lo payah, sih. Masa Pedekate aja sampai berbulan-bulan. Terus kalau mau nembak, nunggu ceweknya ngerespon dulu. Udah nggak jaman! Sekarang jamannya: siapa cepat dia dapat. Sekali lirik, kalau cewek balik ngelirik berarti dia suka. Langsung tembak! Pasti mau!”

Reno mengamati sahabatnya itu. Angga mempunyai postur tubuh yang mirip dengan Reno, tingginya pun sama, 170 cm. Kadang mereka sering dianggap kakak-adik karena katanya ada kemiripan di wajah mereka. Yang paling membedakan mereka yaitu rambut. Beda dengan Reno yang membuat rambutnya berdiri kaku, Angga selalu menyisir rambutnya dengan rapi.

Setelah mengamati kawannya itu Reno kembali bicara. “Lo juga kan nggak jelek-jelek amat, cakep malah, meski cakepan gue sedikit.” Katanya. “Pasti banyak cewek di sekolah yang suka sama lo. Makanya jangan buang-buang waktu.”

Angga menjawab sambil ketawa kecil, “terserah elo, deh.”

“Nah, gini aja, gimana kalau nanti malam kita ke kelab malam tempat gue biasa nongkrong? Kebetulan gue nggak ada janji sama ketiga cewek gue! Gue ajarin deh cara nyari cewek. Di sana pasti banyak cewek cantik. Lo bisa kan?”

“Nggak! Nggak! Gue nggak biasa...”

“Kapan terbiasanya kalau nggak dicoba! Ayolah, gue yang bayar tiket masuk.”

Angga terdiam sejenak.

Reno tidak menunggu jawaban Angga. Dia langsung berdiri dan menunggangi motornya. “Nanti malam jam sebelas gue jemput! Gue pulang dulu.” Setelah melambaikan tangannya dia pergi meninggalkan asap motor yang mengepul ke muka Angga.

“Sialan, tuh anak. Gue kan udah bilang nggak bisa.” Gerutu Angga karena nggak sempat menolak ajakan Reno.


1st Chapter by Teguh Kameswara - Ciamis

Read More ......

Bolamania

-

ANDI bisa dibilang seorang maniak bola sejati. Dia hapal nama pemain-pemain sepak bola baik lokal maupun luar negeri. Dia paling tahu segala macam informasi terbaru dunia sepak bola. Soalnya dia rela berkorban apa saja, misalnya dia rela masuk sekolah kesiangan gara-gara nonton bola sampai larut malam, dia rela ngabisin duit jajannya hanya untuk beli majalah-majalah sepak bola, dan lain-lain. Bahkan dia juga rela ngorbanin semua urusan pribadinya termasuk pacarnya, Andi sering sekali mengecewakan pacarnya gara-gara nggak jadi kencan gara-gara urusan bola, pacarnya sering bete sama dia karena yang mereka bicarakan selalu nggak pernah jauh dari bola.

Mira mempunyai masalah yang mirip. Cewek yang juga maniak bola ini juga sering mendapat komplain dari pacarnya karena dia terlalu tomboi lah, nggak pernah dandan lah, bahkan sampai nyuruh Mira berhenti dari tim bola di sekolahnya, padahal itu cita-citanya sejak kecil.

Singkatnya kedua maniak bola ini kurang bahagia dalam urusan cinta. Andi ingin sekali mempunyai cewek yang selalu bisa ngertiin dia. Begitu juga Mira, dia ingin ada cowok yang nggak pernah komplain dan nggak pernah maksa dia untuk berhenti main bola.

Bagaimana ya kira-kira kalau kedua maniak bola ini dipertemukan?
Bagaimana ya jadinya kalau mereka berdua pacaran?
Mau tahu? Baca aja novel ini sampai abis, oke!

TeK@



PAK! Tunggu pak! Jangan ditutup dulu!” Teriak Andi. Kakinya hampir saja tersandung kerikil yang diinjaknya. Tangannya mengibas-ngibas kesetanan ke arah pak Udin, satpam yang sedang menutup gerbang sekolah. Pak Udin mendelik ke arah Andi dengan tak sabar, tapi dia tidak jadi menutup gerbang. Setelah Andi masuk, baru dia menutupnya dengan keras.

“Kamu lagi! Kamu lagi! Andi Diandra Kurniawan Senjaya! Kamu telat sepuluh menit!” bentak satpam itu kesal setelah melihat jam tangannya.

“Busyet dah! Bapak sampai inget nama panjang saya?” tanya Andi sambil tertawa kecil. Wajahnya basah oleh keringat, sambil menghela napas dia nggak henti-hentinya mengibaskan tangannya ke wajah. “Saya terkenal juga ya, hehe...”

“Tentu saja bapak inget kamu! Wong hampir tiap hari bapak nulisin nama kamu di daftar anak yang kesiangan! Kenapa lagi kali ini? Apa alasan kamu kesiangan, hah?”

“Seperti biasa Pak, tadi malam saya nonton bola! Inter Milan lawan Palermo, Pak! Tapi saya nggak nonton sampai selesai, Pak. Saya ketiduran. Bapak nonton nggak? Hasilnya berapa-berapa, Pak?” tanya Andi penuh semangat. Pak udin cuma menggeleng-geleng.

“Lagi-lagi alasannya nonton bola! Kreatif dong dikit kalau bikin alasan!”

“Emang itu alasannya kok. Saya kan orangnya jujur Pak!”

Pak Udin lagi-lagi mendelik kesal. Dia menudingkan pentungan itemnya ke arah tanah. Andi langsung mengerti maksudnya. “Dua puluh kali!” bentaknya tegas.

“Yaahh... Pak, saya kan udah langganan, masa masih harus push up juga?” ujar Andi.
“Setidaknya kasih diskon kek! Lima puluh persen gitu! Jadi sepuluh kali! Iya pak? Ya?”

“Nggak bisa! Ayo cepat dua puluh kali!”

Andi tahu kalau pak Udin memang nggak bisa diajak kompromi. Ngerayu dia cuma buang-buang tenaga doang. Mau nggak mau Andi pun memulai hukumannya. “Satu.. dua... tiga... “
Selagi Andi masih push up, pak Udin masuk ke pos, terlihat dia menuliskan sesuatu di sebuah buku besar, itulah buku daftar anak kesiangan yang dia maksud tadi. Melihat pak Udin lengah, Andi pun memanipulasi hitungannya, “sepuluh.. lima belas.. tujuh belas..”

“Dua puluh! Udah selesai Pak!” Andi berdiri lalu berjalan hendak pergi masuk ke kelas. “Saya masuk ke kelas dulu Pak, terimakasih hukumannya...” katanya santai.

Pak Udin berlari keluar dari pos dan menghentikannya. “Mau kemana kamu?”

“Masuk ke kelas, Pak!”
“Sekarang ada peraturan baru. Anak yang kesiangan nggak boleh masuk dulu pada jam pertama, soalnya mengganggu konsentrasi murid yang lain katanya. Kembali ke sini kamu!”

Andi terperangah kaget, “jadi saya harus nunggu di sini sampai jam kedua?” tanyanya.

“Iya benar! Ayo masuk ke pos!”

“Tapi Pak! Sekarang pelajaran Bu Enny yang cantik itu, sayang banget kalau nggak masuk.”

Pak Udin menggeleng-geleng kesal. “Ya sudah! Masuk sana! Padahal di pos satpam ada TV lho... kamu kan bisa nonton siaran ulang pertandingan bola tadi malem. Ya sudah kalau nggak mau!” pak satpam yang sudah tahu sifat Andi, masuk kembali ke posnya sambil tersenyum jail.

Mendengar kata-kata pak Udin, Andi langsung jadi berubah pikiran. Dia kan tadi malam nggak nonton pertandingan itu sampai selesai. Kalau demi nonton pertandingan tim favoritnya Inter Milan sih, dia rela nggak masuk pelajaran Bu Enny, bahkan dia rela bolos sekolah sekalipun!

“Iya deh Pak! Saya masuk jam kedua!” ujar Andi malu-malu sambil masuk ke pos satpam itu dan langsung duduk manis di kursi panjang yang menghadap televisi. Benar saja, di televisi memang sedang berlangsung siaran ulang pertandingan tadi malam. Bahkan pertandingan itu sudah masuk babak kedua yang kemarin nggak ditonton Andi. Jelas dia excited banget! Pak Udin cuma tersenyum-senyum geli melihat tingkah laku anak itu.

“Kalau begini sih, saya kesiangan tiap hari deh, Pak!” ujar Andi senang, disusul sebuah jitakan keras dari pak Udin...
---
“GUE BENER-bener nggak percaya!!!” teriak Andi kepada kedua temannya, Ryan dan Seno. Waktu itu jam istirahat dan ketiga sahabat itu sedang nongkrong di kantin seperti biasanya.

Ryan dan Seno tahu banget sifat Andi. Kalau dia sewot seperti ini pasti terjadi sesuatu pada tim kesayangannya Inter Milan. Soalnya suasana hatinya tergantung banget dari tim kesayangannya itu. Kalau Inter Milan menang, wajah Andi bakal terlihat cerah seharian, dia jadi ramah kepada semua orang. Sedangkan kalau wajahnya kusut, dan sewot kayak gini pasti Inter Milan kalah main, kalau nggak hasil pertandingannya seri...

“Inter kalah ya...?” Ryan memberanikan diri bertanya.

“Kalah telak! 2-0 lagi! Bener-bener nggak bisa dipercaya!”

“Palermo kan memang lawan yang cukup berat, jadi menurutku sih wajar saja...” Ujar Seno sambil membetulkan letak kacamata bulatnya yang dari tadi melorot.

“Iya sih... tapi yang bikin gue kesel tuh, mereka kalah pas saat-saat terakhir! Bayangin aja, waktu tinggal lima belas menit langsung kebobolan dua angka! Wah pelatihnya, si Roberto Mancini pasti lagi error nih! Ngarahin pemainnya pasti ngaco nih!” Kata Andi makin sewot aja.
“Udah... lo yang sabar aja ya...” Ryan yang terkenal kalem mencoba menenangkan. Seno cuma senyum-senyum aja melihatnya. Lagian aneh, gara-gara tim kesayangannya kalah aja, Andi sudah seperti kehilangan semangat hidup seperti itu.

“Oke, kita ngomongin yang lain aja,” Seno berkata. “Oh iya, tadi pagi lo dicariin sama Dinda, cewek lo! Kasihan dia, kayaknya ada perlu banget sama lo. Menurut gue, daripada lo ngurusin bola terus, mendingan lo lebih perhatian deh sama cewek lo...”

“Dinda... ah gue lagi males! Kalau lo liat dia kasih tahu ya? Gue mau ngumpet!” Kata Andi sambil nengok kiri dan kanan.

Kedua sahabatnya cuma bengong. Satu lagi keanehan si Andi. Padahal dia mempunyai cewek yang superperfect banget! Dinda bisa dibilang cewek paling cantik di SMU Trimandala ini. Wajahnya yang ada campuran Inggris dari ibunya itu nggak ngebosenin meski dilihat tiap hari. Badannya juga seksi banget, soalnya dia juga seorang model. Pokoknya sempurna banget! Dia sudah jadian dengan Andi sekitar tiga bulan, dan selama itu Andi nggak pernah begitu memerhatikan ceweknya, bahkan bisa dibilang Andi selalu cuek sama dia. Aneh banget!

“Gue heran sama lo, Di...” kata Seno. “Cewek secakep itu kok lo cuekin begitu aja sih?”

“Nyuekin gimana?” tanya Andi polos. “Sekarang gue cuma lagi bete aja gara-gara Inter kalah. Nanti kalau udah nggak bete juga, gue pasti nemuin dia kok...”

“Menurut pengamatan kita, bukan kali ini aja lo nyuekin dia. Hampir tiap hari lo nyuekin dia di sekolah. Sebenernya, di luar kalian sering jalan bareng nggak sih?” Ryan ikut nimbrung.

“Nggak sering-sering amat sih...” jawab Andi. “Si Dinda emang sering sih ngajakin gue, tapi guenya yang sering nggak bisa gara-gara ada pertandingan bola di TV...” akunya polos.

Seno menggeleng lemas. “Tuh kan, elo memang kurang merhatiin dia! Kasihan tau! Lo jangan terlalu mementingkan urusan bola dong! Jangan-jangan menurut lo, urusan bola emang lebih penting ya daripada pacaran?”

Andi terdiam sejenak memikirkan pertanyaan temannya itu.

“Tentu saja... urusan bola lebih penting!” jawab Andi kemudian dengan lantang.
Membuat kedua temannya itu terbengong-bengong tak percaya...
---
BOSAN diomelin oleh kedua temannya, Andi pun memutuskan untuk menghabiskan jam istirahat di perpustakaan. Dia sedang asyik di depan komputer. Dia ingin mengunjungi forum penggemar Inter Milan di internet. Kalau Inter kalah, forum ini pasti penuh dengan pesan-pesan bernada kecewa dari member-membernya yang fanatik banget. Andi juga ingin ikutan meluapkan rasa kecewanya.

Benar saja, saat ini forum itu sedang penuh dengan pengunjung, kebanyakan dari mereka melampiaskan kekecewaannya dengan nada-nada menggerutu. Andi memahami perasaan mereka. Dia juga merasakan kekesalan yang sama, dia kecewa akan kekalahan tim Inter. Andi juga ikut menulis pesan, isinya tetap menyalahkan Roberto Mancini atas kekalahan hari ini.
Sedang asyik-asyiknya nulis tiba-tiba seorang cewek merangkulnya dari belakang. Andi tak begitu kaget lagi, yang biasa melakukan hal ini tidak lain hanya Dinda, pacarnya. Dipeluk seperti itu Andi tidak merespon sedikit pun, dia terus sibuk mengetik.

“Di, aku nyariin kamu kemana-mana lho, eh taunya ketemu di sini...” bisik Dinda manja.

Andi mendelik kesal, “jangan pura-pura deh... pasti kamu dikasih tahu Seno dan Ryan kan?” Andi tahu benar kelakuan kedua temannya yang selalu sok ngebantuin Dinda.

“Kok kamu gitu sih? Kamu nggak mau ketemu sama aku ya?” Dinda melepaskan pelukannya dengan gusar. Dinda memang tahu Andi sedang di perpustakaan dari Seno dan Ryan, tapi dia nggak nyangka cowoknya bakal seketus ini. Dinda merasa kesal.

“Bukannya begitu... aku cuma lagi bete aja, takutnya kalau ketemu kamu, nanti kamu jadi ketularan bete...” kata Andi datar. Matanya masih menatap layar monitor.

“Kamu nggak ingat ini hari apa?” tanya Dinda tiba-tiba.

“Ini hari sabtu kan? Aku masih ingat kok!” kata Andi makin ketus.

“Maksudku tanggal ini? Tanggal ini hari apa coba? Masa sih kamu lupa?”

Andi tertegun sejenak. Dia mencoba mengingat, tapi dia tidak ingat apapun. “Aku nggak tahu... hari ini hari apa sih?” Sekarang Andi menatap ke arah Dinda, penasaran.

Tapi Dinda malah terisak-isak. Wajahnya memerah seketika, menampakkan raut muka yang sedih. Andi jadi gelagapan dibuatnya. Dia heran kenapa Dinda tiba-tiba menangis.

“Dinda... ada apa sih?” tanyanya kebingungan.

“Kamu jahat... kamu lupa ya kalau hari ini aku ulang tahun...?”

Andi seperti tersambar petir. Kaget bercampur malu. Dia benar-benar lupa kalau hari ini ceweknya itu ulang tahun. Pantas saja Dinda mencarinya kemana-mana, mungkin pacarnya itu hanya ingin sekedar dapat ucapan selamat dan kado ulang tahun darinya. Andi jadi merasa bersalah, boro-boro membeli kado, tanggal ulang tahunnya saja dia lupa!

“Astaga... aku baru ingat, sayang... maafin aku ya!” Andi memegang tangan kanan Dinda dengan kedua tangannya, sambil memandang dengan penuh sesal. “Aku janji! Nanti sore aku bakal ke rumah kamu! Aku akan membawa kado istimewa buat kamu!” rayunya.

“Nggak usah!” jerit Dinda.

“Lho kenapa? Kamu jangan marah dong... aku nggak bener-bener lupa! Aku cuma terlalu sibuk aja akhir-akhir ini. Plisss... jangan marah dong sayang!”
“Sibuk apaan? Sibuk ngurusin bola!?” jerit Dinda lagi.

Andi terdiam. Kalau diibaratkan main catur, Andi baru saja kena skak mat!

“Sebenernya aku nggak marah kok...” ujar Dinda selanjutnya. “Maksudku tadi, kamu nggak usah ke rumahku nanti sore, kamu ke rumahku malamnya saja, jam delapan. Aku ngadain pesta kecil-kecilan, khusus keluarga aja, cuma ada ortu sama saudara-saudaraku aja. Kamu harus datang lho! Kakak-kakakku yang kuliah di luar kota bakalan datang! Aku mau ngenalin kamu sama mereka! Pokoknya kamu harus datang!” tegasnya.

Andi menghela nafas lega. “Oh gitu... jadi kamu dari tadi nyariin aku buat ngundang aku ke pesta kamu itu ya? Oke deh, aku pasti datang!” kata Andi yakin.

“Bagus deh kalau gitu,” Dinda berseru senang. Raut mukanya kembali ceria. Dinda itu tipe cewek yang suasana hatinya gampang berubah, dia senang lalu tiba-tiba sedih, dia sedih lalu tiba-tiba senang, pokoknya kayak anak kecil gitu deh, manja!

Beberapa saat kemudian terdengar suara bel masuk. Dinda pun pamit untuk kembali ke kelasnya. “Awas ya kalau nggak datang!” katanya mengingatkan, sambil berjalan keluar. Andi cuma mengacungkan jempolnya tanda dia akan menepati janjinya.

Pandangan Andi kembali ke layar komputer. Baru saja dia akan melakukan log out dan mematikan komputer karena dia juga sudah harus masuk kelas, tapi dia tiba-tiba teringat rutinitasnya yang seperti biasa dia lakukan sebelum keluar dari forum.

Biasanya dia selalu memeriksa halaman jadwal pertandingan yang terbaru sebelum log out dari forum. Jadwal di situs itu lengkap sekali, mencantumkan semua jadwal pertandingan yang ditayangkan seluruh TV swasta di Indonesia yang di-update setiap hari. Jadi Andi nggak pernah lupa mengaksesnya setiap kali dia masuk situs ini.

Andi pun mulai membuka link ke halaman jadwal itu. Di situ tertera semua jadwal pertandingan hari ini dari semua liga. Andi membuka jadwal untuk liga italia. Cuma ada dua pertandingan hari ini, pertama yang tadi siaran ulangnya dia tonton, Inter Milan lawan Palermo jam satu pagi dan ulangannya jam enam. Dan yang kedua AC Milan melawan AS Roma jam delapan malam. “Wah ini sih pertandingan penting!” kata Andi kegirangan. Pertandingan itu dirasanya penting karena hasil dari kedua tim ini akan mempengaruhi posisi Inter di klasemen sementara. AS Roma merupakan salah satu saingan terberat Inter Milan. Jadi Andi bertekad untuk menontonnya malam ini.

Tapi tiba-tiba dia sadar bahwa malam ini dia harus pergi ke pesta ulang tahunnya Dinda! Kegirangannya barusan berubah menjadi kebingungan. Dan lagi pertandingan ini nggak ada siaran ulangnya pula. Padahal ini pertandingan penting.

Lagi-lagi dia harus memilih, antara pergi ke pesta Dinda atau nonton pertandingan bola...


1st Chapter by Teguh Kameswara - Ciamis

Read More ......

3 Memoar of Sunset

-

COWOK PANTAI

Sudah sebulan berlalu, tapi pandangan Pingkan tidak lepas dari sosok laki-laki yang selalu berdiri di ujung pantai. Dia agak segan untuk bisa menegur langsung, padahal dia akui kalau dia benar-benar penasaran abis. Dan yang buat dia heran, cowok itu selalu duduk di atas batu besar, kira-kira 3 meter dari pantai.

Saat itu matahari sudah tenggelam atau sunset dengan istilah western-nya. Burung-burung sudah tidak berani terbang lagi, dan ombak sudah mulai mengeluarkan suara yang lumayan serem.

Cowok itu masih seperti kemarin dengan kemeja putih dan celana jeans biru yang sudah belel. Duduk melantai sambil memandang lepas ke arah laut. Kadang dia melempar sesuatu yang menurut Pingkan adalah batu lalu duduk lagi. Pandangannya kosong.

Begitulah hasil pengamatan Pingkan, gadis yang selalu menggunakan teropong untuk melihat dari jauh. Padahal teropong itu hadiah ulang tahun mamanya 15 tahun yang lalu, sekarang dia sudah berumur 17 tahun.
Cowok itu duduk mulai sunset sampai sekitar 2 jam dan kemudian pulang. Pingkan pun terpaksa bertahan duduk di kursi bambu sekitar arah jam 10 dari tempat dia duduk. Tempat duduk paling strategis untuk mengintai dan paling cocok bila tak ingin dilihat orang lain.

Cowok itu tidak pernah tahu ulah Pingkan, kalau dia tahu pasti Pingkan dituduh sok detektif. Seperti sore itu, Pingkan duduk lagi di kursi bambu dan membaca komik Shincan untuk sekedar mengisi waktu.

Orang yang diintainya belum datang, suasana pantai, sepi hanya terdengar suara ombak, burung, dan daun kelapa. Oh, kalau saja kelapa ini bisa ngomong, pasti cowok itu tahu ada yang liatin terus. Tapi aku beruntung kelapa nggak bisa ngomong, Pingkan bergumam iseng dalam hati.

Pas lagi asik ketawa sendiri baca komik, sentuhan di punggung Pingkan terasa. Dia berbalik tapi tidak ada siapa-siapa. Dia cuek aja, baginya, kelucuan komik lebih menarik dari sentuhan itu. Tapi sentuhan itu terasa lagi. Bulu kakinya merinding (mungkin bulu roma sudah biasa), kali ini dia buka suara,

“Sentuh lagi dapat payung, lho!”

Tetap sepi nggak ada wujud atau sosok. Kalau sekarang bulu kuduk sampai bulu mata Pingkan pun ikut merinding. Apalagi pantai itu sudah gelap gulita.

Pingkan lalu memutuskan untuk pulang saja, dia berjalan sambil terus menoleh ke belakang, pas dekat gerbang pantai dia berlari sekencang mungkin. Sampai di rumah napasnya udah seperti lokomotif (satu-satu maksudnya). Dia ketemu ama Lady, sobatnya, di teras rumah.

“Kenapa, sih? Abis dikejar anjing, ya?”

“Canda kamu… huh… huh… huh… aku ketakutan, tadi di pantai aku dicolek ama seseorang, pas aku berbalik nggak ada siapa-siapa. Gimana nggak merinding?”

“Siapa sih yang kamu temuin di pantai, kok kayaknya serius bener. Gebetan baru atau mencoba cari inspirasi nulis puisi, atau juga mungkin lagi sunbathing?”

Pingkan bernapas dengan susah payah lalu meraih penggaris segitiga milik Lady untuk jadi kipas. Anginnya lumayan buat gadis berambut panjang itu merem melek. Sementara itu Lady dari tadi hanya manggut-manggut.
Pingkan mencoba untuk mengatur napas lalu mengambil posisi duduk di samping Lady, dia mulai menatap Lady dengan pandangan, ‘Aku masih capek tau nggak, sih?’ tapi Lady menjawab dengan tatapannya juga, ‘Kamu kalau lagi ngos-ngosan gitu mirip sapi perah tau nggak?

Mereka sama-sama tersenyum dan tidak mengerti jalan tatapan masing-masing. Pingkan mulai bersuara dan Lady hanya berharap dia tidak akan memulai dengan ucapan, ‘Pada suatu hari’.

“Aku mulai perhatiin dia dari sebulan yang lalu pas aku lagi menghabiskan waktu di pantai, dan dia muncul bak satria baja hitam,” (tiba-tiba.red).

“T’rus kamu tahu dia ngapain ke pantai?”

“Nggak tahu, justru itu aku mau cari tahu. Kenapa dia selalu ada di tempat itu dan kenapa harus di tempat tinggi seperti batu itu?”

“Dia ada bawa sesuatu nggak?” mobil, motor, atau credit card, seperti yang diidamkan Lady, yang wajib dibawa oleh setiap cowok keren. Hoorte (dasar perempuan; India Language).

“Dia selalu ke pantai dengan gaya cuek tapi tetap kelihatan menarik.”

“Emang tampangnya gimana, sih?” Lady mulai gelisah, menunjukkan kalau dia sudah sangat penasaran.

“Agak samar sih, aku cuma bisa lihat kalau dia selalu mengenakan kemeja dengan jeans biru. Tampangnya tidak jelas,” jawab Pingkan.

“Jangan-jangan dia mau bunuh diri?!” tanya Lady setelah selesai mendengar cerita Pingkan.

“Kalo mau bunuh diri kenapa nggak dari bulan lalu?!” Pingkan balik bertanya setengah sewot.

“Oh…h… jadi kamu udah perhatiin dia dari sebulan lalu?”Pingkan lesu seketika, nggak nyangka Lady yang mendengar cerita begitu serius, ngertiinnya baru tadi. Lady sudah Pentium satu setengah.
---
Besoknya, pulang dari sekolah, Pingkan singgah di toko mainan anak-anak, mau beli sesuatu untuk anak tetangga yang bernama Jingga, umurnya masih 5 tahun, tapi pinter banget. Dia sering nanya macam-macam,

“Tante, kalo gajah termasuk binatang apa?” Heran, Pingkan masih 17 tahun udah dipanggil ‘Tante’ ama Jingga.

“Binatang langka!” jawab Pingkan optimis.

“Terus kalo singa?”

“Binatang langka juga!” Pingkan mulai lemas.

“Kalo komodo?”

“Ya binatang langka juga dong, Sayang!” dia berharap anak itu tidak akan nanya lagi.

“Jadi kalo binatang yang dilindungi itu apa aja?”

Pingkan lemes abis, dia kalah pintar.

Pingkan masih mencari kado tatkala dia melihat jam di dinding toko. Dia buru-buru membayar setelah dia mendapatkan boneka lucu Teddy Bear kesukaan Jingga.

Kali ini dia harus bertemu dengan cowok itu, dia sudah berencana akan memberanikan diri untuk berkenalan. Dia harus berusaha, dia harus bisa, dan dia harus… harus… harus cegat taksi ke arah pantai.

Sampai di gerbang pantai, dia mulai senyum karena sosok cowok itu udah duduk di batu besar seperti kemarin-kemarin. Pingkan mengendap-endap ke arah kursi bambu.
Tiba-tiba…, Bum…mmm!!! Ada kelapa jatuh tepat 15cm di depan Pingkan. Dia kaget sekali. Untung nggak pas di kepalaku, kalo nggak bisa geger, batinnya. Pingkan masih sempat bilang untung, begitulah orang Indonesia kebanyakan untung.

Belum selesai kesialan hari ini, pas mau duduk, kursi bambu patah dan Pingkan jatuh dengan gemilang (dengan bokong mendarat mulus di tanah). Dia bangkit lagi, tapi sebentar lagi terdengar jeritan,

“Auw..ww…ww…!” ternyata ujung kaki Pingkan dijepit kepiting kecil. Dia dongkol abis.

Cowok itu masih duduk dan tidak menghiraukan kejadian sial yang menimpa Pingkan, dia terus menatap ke laut lepas. Padahal suara Pingkan cukup kuat, tapi tidak berpengaruh. Jangan-jangan dia tuli?

Pingkan berjalan ke arah cowok itu, kira-kira 3m di belakangnya, dia berhenti. Pingkan ragu apakah dia akan terus atau tidak. Lututnya bergoyang-goyang menandakan ketidakstabilan hatinya. Tiba-tiba ada suara,

“Ayo yang berdiri di belakang, mau ngapain?” Pingkan nyaris pingsan begitu mendengar suara cowok itu. Tapi dari mana dia tahu ada Pingkan di belakang?

Pingkan mendekat lalu memandang wajah cowok itu dan hampir shock. Ternyata pria itu sangat tampan, tatapannya tajam tapi bersahabat, rahangnya kokoh, hidungnya mancung. Rambutnya panjang sebahu (gondrong, bo!).

“Jangan terlalu lama ngeliatin, ayo duduk sini,” pria itu ngajak Pingkan mendekat lagi. Jantung Pingkan berdegup kencang. Wajahnya mulai merah merona.

“Makasih,” ujarnya, “Aku Pingkan, nama kamu siapa?”

“Aku Anju!” balasnya sambil menjabat tangan Pingkan. Serasa kesetrum arus 5000 watt.

“Baru selesai makan cokelat, ya?” Anju bertanya. Pingkan heran padahal dia tidak makan cokelat.

“Kenapa?”

“Tuh, masih ada sisa di pipi!” ujar Anju. Pingkan buru-buru mengelap wajahnya dengan tisu yang ada di tangannya. Pas udah bersih dia lihat tisunya, ternyata bukan cokelat melainkan noda lumpur! Pasti pas jatuh di kursi bambu tadi. Pingkan malu sekali.

Mereka terus mengobrol sampai larut malam. Ternyata Anju tidak seperti yang Pingkan bayangkan. Anju memang sering ke pantai, karena dia lahir di pulau kecil dan besar di pinggir laut. Dan bukan mau bunuh diri seperti yang Lady pikirkan.

Dan janji-janji berikutnya pun mereka tetap bertemu di panai itu. Mereka kadang makan malam di pantai dan menurut Pingkan, really wonderful.

Anju yang aslinya berasal dari Samosir Island (pulau di tengah-tengah danau Toba di Sumatra Utara), orangnya kocak sekali dan menurut pengakuannya dia adalah titisan Dewa Humor. Pingkan bahkan sampai menyerah bila diajak cerita lucu.

“Kamu pintar berenang, dong!”

“Anak Samosir nggak ada yang nggak bisa berenang, bahkan baru lahir aja dimandiin di Danau Toba,” ujar Anju.

“Hah? Terus langsung bisa berenang?!” tanya Pingkan dengan polosnya.

“Iya, 3 menit. Setelah itu koit…!!” seru Anju, “Gimana, sih? Emang bayi apa bisa langsung berenang?”

“Ada…! Bayi kecebong!”

“Di Samosir nggak ada kecebong, adanya Bojak.”

“Bojak apaan?”

“Itulah yang meluppat-luppat itu!”
“Oh, itu mah kodok, euy!”

“Nah, terus yang asem manis?”

“Itu rujak,” jawab Pingkan sabar.

“Kalo yang narik pake sepeda?”

“Itu becak!!!” Pingkan mulai gemas.

“Terus, kalo abis hujan?”

“Becek!”

“Oh….,” mulut Anju menyerupai huruf ‘O’. Tapi seneng juga ngelihat Pingkan bisa nyambung.
---
Tiga bulan berlalu sejak perkenalan itu, dan Anju masih sering bersama dengan Pingkan di pantai atau di tempat lain. Mereka bahkan sering di pantai sampai larut malam dan Pingkan sangat menikmatinya.

Baginya, kenal dengan Anju adalah hal yang baru yang belum pernah dirasakannya sampai sesenang ini. Pingkan bahkan lupa ama teman-temannya termasuk Lady. Seperti malam itu dia menemukan gadis itu sedang tidur di kamarnya.

Pingkan kumat jahilnya, dia membangunkan Lady dengan cara membunyikan ponselnya. Jelas aja Lady langsung bangun.

“Mana, mana? Aku di mana, ya?” Lady masih kurang sadar sementara Pingkan sudah memegang perutnya menahan tawa.

“Dari mana sih kamu? Aku cari di sekolah katanya udah pulang, pas ke rumah, eh belum pulang,” Lady mulai sadar.

“Aku baru dari pantai, ketemu seseorang.”

“Siapa?”

“Anju!” seru Pingkan, “Yang kuceritain waktu dulu yang kamu kira mau bunuh diri,” Pingkan mencoba menjelaskan lagi ke Lady.

“Anju, cowok yang mana?”

“Ya, ampun! Ituloh yang aku bilang di telepon waktu kamu nanya aku dari mana,” jawab Pingkan.

“Yang mana? Oh, cowok yang sering kamu temuin di pantai?”

Kali ini Pingkan emosi beneran. Pentium 1nya Lady macet lagi, download-nya susah.

Keesokkan harinya, Pingkan terlihat senang sekali. Di toilet yang berukuran 2 x 3 itu masih bisa loncat sana loncat sini. Temannya pada heran, nggak jarang mereka mendengar suara nyanyian fals Pingkan yang kenyataannya sangat bising. Lagunya sering berubah dan liriknya pun sering salah tapi ia tetep PD bernyanyi.

Rupanya Pingkan sedang senang. Nggak heran kalau dia menganggu ketenangan sekolah Cahaya Ilmu. Office boy yang kebetulan lewat dicegat oleh Pingkan,

“Anju ngajak dinner!” seru Pingkan. Pak Edy bingung, soalnya dia tidak kenal Anju.

Dinner itu apaan?” Pak Edy ternyata Pentium 1,5 juga.

Di ekskul basket yang isinya kaum Adam, Pingkan bisa bangga lantaran dia merasa bahwa dialah makhluk tercantik saat ini, dan Monica sang manager rangkap sekretaris berada di urutan kedua. Maklum, Monica bisa dibilang sebagai manager basket, dan dia bendaharanya.
Bagi sang guru, Pak Arsya, dua orang murid ceweknya ini sanggup membuat dunia indah. Bila yang satu siap lembur temenin dia nyari segala jenis pertandingan, yang satunya selalu menghilangkan stres dengan ide-ide konyolnya.

Di tengah-tengah para cowok yang asik gedebak-gedebuk sama bolanya, tiba-tiba handphone Pingkan berbunyi. Gadis itu menyilangkan kakinya sambil bersandar di kursi, kemudian baru menjawab panggilannya.

“Halo?”

“Yang ini siapa?”

“Bukannya aku yang harus nanya duluan?” Pingkan bertanya sambil protes.

“Oh iya, ya. Aku Anju. Udah pulang belum?”

“Belum. Ini lagi nungguin anak-anak selesai main basket terus aku mesti malak mereka dulu biar bayar uang kas,” ujar Pingkan, “Tapi kalau mau lebih cepat bisa aja.”

Pingkan memang diajak makan malam sama Anju. Kemarin malam Anju berjanji akan menjemput dia di rumah jam 7 malam.

Ya, setelah mendengar kabar itu, nggak tanggung-tanggung persiapan Pingkan, dari creambath sampai beli sepatu baru.
---
Jam 6 Pingkan udah stand by di teras nungguin Anju. Penampilannya sangat anggun dengan gaun putih berpita, sepatu berpita, tas berpita, dan rambut juga diikat pita. Dari jauh pas kayak kado ulang tahun tapi setelah lihat dari dekat malah mirip vas bunga.

Anju datang tepat jam 7 dan sangat rapi malam ini. Rambutnya diikat ke belakang, pake kemeja putih dan celana biru yang licin sekali. Sepertinya nyetrikanya di papan penggilesan tebu.

Wajah Pingkan bersinar bak lampu neon tatkala Anju tak sengaja menyentuh tangannya setelah mereka memilih duduk di meja paling pojok restauran itu.

Suasananya begitu romantis, tapi Pingkan grogi abis. Anju menatap wajah ayu Pingkan, dan Pingkan meraih gelas air untuk menghilangkan groginya. Dia teguk abis airnya, seperti ada yang aneh.

Dia langsung pingsan waktu dia melihat gelas di genggamannya, ternyata bukan gelas air melainkan pot bunga. Jadi yang diminumnya tadi adalah air pot bunga itu. Anju panik seketika. Hahahaha….

Suasana romantis berganti menjadi heboh. Para pelayan buru-buru datang membantu Anju mengangkat Pingkan untuk dibaringkan di atas sofa di ujung restauran. Salah seorang pelayan itu masih sempat ngomong,

“Padahal air itu sudah 3 minggu nggak pernah diganti,” Anju shock mendengarnya.

Tapi rupanya Pingkan cepat sadar, apalagi dia tidak ingin melewatkan momen spesial bersama Anju, dan lagi menunya enak-enak (dasar doyan makan).

Mereka tetap melanjutkan makan malam. Pas asik makan malam, Anju membuka pembicaraan.
“Ping-ping, aku mau bicara penting!”

“Oke, aku dengerin. Tapi jangan panggil aku Ping-ping, dong,” gerutu Pingkan.

“Kalau aku panggil Kan-kan ntar dikira orang namamu Ikan.”

“Iya, tapi kalo Ping-ping orang kira namaku kuping.”

“Duh sewotnya…., aku cuman mau bilang kalo minggu depan mungkin aku mau pergi ke Malaysia dan mungkin tidak akan kembali lagi ke sini sampai 1 tahun. Kamu tetep pacar aku dan kita tidak akan pernah putus. Aku ke sana buat kuliah.”
Pingkan terkejut sekali mendengarnya. Dia nggak nyangka kalau Anju akan meninggalkan dia secepat itu. Dia terdiam dan mulai menangis. Dia menghentikan makannya.

“Kenapa secepat itu?” Pingkan mencoba menyembunyikan suasana hatinya.

“Maaf, tapi aku ke sana untuk melanjutkan cita-cita aku,” ujar Anju lembut. Cowok itu meraih tangan Pingkan kemudian mengecupnya sekilas. Dia bisa merasakan kesedihan Pingkan. Gadis itu hanya diam saja, Anju jadi tidak enak hati.

“Kok makannya udahan? Nggak enak, ya?” Anju mencoba mencairkan suasana.

“Nggak, cuma kepedesan aja!” ujar Pingkan sambil terus menghapus air matanya.

Sampai pada saat Anju mengantar Pingkan pulang, dia masih diam saja. Di tengah perjalanan tiba-tiba Pingkan mengajak Anju ke pantai. Anju mau aja, dia membelokkan motornya ke pantai.
Tiba di pantai, suasana agak berbeda dari suasana waktu mereka sering ke pantai.

Di pantai yang gelap gulita itu mereka jalan berdua menuju batu besar, tempat mereka menghabiskan waktu bersama.

“Liat nggak kapal itu?” Anju menunjuk ke arah laut.

“Nggak ada, tuh. Gelap semua!”

“Masa sih nggak liat? Itu lho yang ada sinarnya!”

“Itu bukan sinar, itu cahaya!”

Anju memandang gemas Pingkan, kemudian merengkuhnya dalam pelukkannya. Emosi Pingkan yang sedang tak stabil mulai tergoyah. Air matanya menetes, tangannya memeluk erat-erat tubuh Anju.

“Aku akan kembali dan akan menjemput kamu. Aku akan menghubungi kamu terus dan aku berjanji akan setia. Ingatlah, Ping! Tak ada yang bisa merubah keputusanku, dan aku akan tetap memilih kamu,” Anju menenangkan Pingkan.

“Tapi lama, setahun…”

“Tidak akan lama kalau kamu sabar menungguku.”

“Ntar temen aku ke pantai siapa?”

“Untuk sementara ya sendiri dulu,” ujar Anju.

“Nggak mau, ah! Takut!”

“Takut dicolek, ya?” tanya Anju iseng.

‘Oh, jadi yang colek waktu itu kamu?! Awas, ya!!”

Tapi sebelum Pingkan sempat meninju Anju, cowok itu udah lari duluan. Aksi kejar-kejaran di pantai pun berlangsung. Setelah kejar-kejaran mereka terduduk lemas, dan kita tidak tahu lagi mereka melakukan apa (harap membayangkan saja, dan jangan jauh-jauh ngebayanginnya).
---
“Hah… udah jam 8?” Pingkan terbangun oleh dering alarm yang keluar dari jam weker Peter, adiknya. Dia menyambar handuk, kemudian lari sekuat tenaga ke kamar mandi.

Dia kelupaan kalau dia harus mengantar Anju ke airport dan pesawat akan berangkat tepat jam 9 pagi. Saking semangatnya, Pingkan sudah 6 kali jatuh terpeleset di kamar mandi. Dua kali tertimpa ember dan mati air yang buat Pingkan harus mengambil handuk walalu pun masih ada sabun di kepala.

Keluar dari kamar mandi, kepalanya sudah diselimuti handuk tebal seperti ikan Facial Foam di televisi. Pingkan duduk di depan meja riaasnya. Mengamati tubuh yang dibalut haduk tipis, lalu melangkah menuju lemari segede kapal tanker. Dia mencari pakaian model PW (Posisi Wuenak) yang membuat mata lelaki mana pun tidak akan berkedip. Rambut yang digerai begitu saja tanpa sisiran dan wajah tanpa make-up membuat kecantikan Pingkan makin terbias.
Setelah menemukan sandal jepit berpitanya, dia mulai berlari keluar rumah dan mencegat taksi yang kebetulan lewat dengan gaya Cowboy melempar tali lasso. Sang Zorro alias supir taksi itu pun tertangkap dan rem pun diinjak dengan tiba-tiba.

Pingkan membuka pintu depan agar bisa melihat wajah supir taksi. Wajah yang dilihatnya lumayan ramah dan Pingkan tidak punya waktu untuk menunggu taksi yang lain, yang supirnya mungkin bisa lebih keren.

“Bandara! Tapi bisa ngebut, kan?! Aku udah buru-buru, nih!!” Pingkan nggak sabaran dan langsung memilih duduk di jok belakang.

“Bandara? Oke deh, Non. Tapi pake seat belt-nya dulu,” kata sang sopir sambil memelintir kumis yang mirip saringan kopi tersebut.

Pingkan meraih seat belt dengan susah payah. Taksi yang ditumpanginya melaju dengan kecepatan bak mobil di film Too Fast Too Furious. Pingkan berusaha tegar duduk di belakang dan keadaannya sangat memprihatinkan.
Sering juga kepala Pingkan harus terbentur ke pintu mobil atau keluar tanpa sengaja menembus kaca mobil itu.

Dalam waktu kurang dari 5 menit Pingkan sampai di airport dengan rambut berantakan, wajah biru legam dan lutut bergetar. Tak disangka juga Pingkan mampu berlari ke arah Depature Station.

Dia mencari sosok Anju di antara banyak kepala yang berdesakkan di tempat itu. Seperti orang kebingungan dia mulai bertanya ke satpam terdekat,

“Pak! Pesawat ke Malaysia udah berangkat belum?”

“Malaysia? Ini terminal domestik. Yang internasional di sana, tuh!” ujar sang Satpam sambil menunjuk ke arah kanan terus dan belok lagi ke kiri.

Pingkan sempat menerima 2 keping uang receh yang diterimanya dengan ucapan sedih sang satpam (dikirain pengemis). Dia menuju ke arah station yang ditempuh dengan 5 menit berlari, 30 menit jalan bebek, dan 1 jam jalan penyu (hehe). Di tengah jalan dicegat sama anak-anak usia 10 tahun, lalu anak itu berkata,
“Mbak, Lisa A. Riyanto, yah?”

“BUKAN!”

“Kok mirip, ya?”

“Mirip sama siapa? Ama Lisa? Ah, yang bener?”

“Nggak. Mirip ama cewek yang sama sekali nggak Lisa.”

Pingkan berlari menjauhi makhluk kecil itu. Dengan napas satu-satu, dia menemukan sosok Anju di antara troli-troli. Pandangannya yang agak kabur membuat Pingkan sulit membedakan Anju dengan troli tersebut.

Rambut ikal berantakan dikibasnya ke belakang. Gadis itu mendapati Anju yang sedang sibuk menarik satu troli di depannya. Anju tercengang melihat Pingkan di hadapannya. Antara believe it or not, dia mengusap kelopak matanya, dan spontan dia teriak,

Oh my God…., my Barbie! Kenapa kucel seperti ini? What happened, Babe?”

“Aku kelupaan kalau hari ini kamu berangkat. Aku bangun kesiangan. Taksi pun dibawa supir bekas pemadam kebakaran. Gimana nggak berantakkan?!”

Pingkan mulai menangis, she need shoulder to cry on. Bukan karena penampilannya, tapi karena 30 menit lagi dia akan berpisah dengan Anju.

Anju membelai rambut Pingkan yang hampir seperti rambut Bob Marley, dihapusnya airmatanya dan dibenamkan di pelukkan yang hangat (kebetulan pakai sweater).
Namun yang paling sedih lagi, yaitu ketika tiga orang terlentang setelah menabrak barang bagasi Anju yang belum sempat dimasukkan ke troli.

“Brukk…kk…”

They are landing on the floor….

Satu orang pasrah, satu orang ngedumel, dan yang lain hanyut dalam kemesraan mereka.

PERHATIAN, PERHATIAN…
KEPADA SELURUH PENUMPANG DENGAN FLIGHT NUMBER 723 MASKAPAI PENERBANGAN MALAYSIA AIRLINES JURUSAN KUALA LUMPUR AGAR SEGERA CHECK IN.

Cause I’m leaving on the jet plane
I don’t know when I’ll be back again
Oh babe I hate to go

Setrum 5000 watt tatkala Anju melayangkan kecupan ke hidung Pingkan (sengaja nggak turun dikit) biar Pingkan senewen.

Mereka berpisah di gate 1. Pingkan membalas lambaian tangan Anju dengan air mata bak sungai Gangga. Gadis itu berjalan lemas bahkan sangat lemas apalagi setelah di gate luar dia membaca pamflet, ‘TIDAK MELAYANI SUMBANGAN’ dan dipasang sebelum Pingkan lewat.
---
ALONE WITHOUT ANJU…
Pingkan berubah total, sekarang dia lebih sering mendekam di kamar dan mendengar lagu dengan suara yang membelah genderang telinga, seperti saat itu.

Selamat jalan sayang
Rindukanlah diriku
Bisikkanlah namaku
Sebelum dirimu tidur


Bantalnya basah karena air mata Pingkan yang terus membanjir.
.

1st Chapter by Johanna Melissa - Batam

Read More ......