Reno si Playboy
COWOK itu terlihat sangat terburu-buru. Begitu dia memarkirkan motornya di pelataran parkir di depan restoran itu, dia berlari dengan sekuat tenaga menuju pintu masuk. Selangkah sebelum dia sampai di pintu masuk, dia berhenti sejenak. Dia sadar, keringat bercucuran di wajahnya. Dia pun mengeluarkan saputangan dari saku celana jeans belelnya dan membersihkan wajahnya. Kemudian dia pun merapikan rambut—yang pendek, tebal, hitam, dan berdiri kaku—kebanggaannya itu, yang sesaat tadi masih acak-acakan. Setelah itu baru ia melangkah masuk ke dalam dengan santai.
Dalam beberapa langkah saja, matanya sudah menemukan sosok yang dicari-carinya. Seorang cewek berambut hitam lurus, memakai atasan berwarna pink dan celana jeans, Sinta namanya. Cewek itu duduk membelakangi dia, kedua tangannya terlipat di dada, sesekali dia melihat jam tangan mungilnya, kelihatan tidak sabar. Cowok itu berjalan ke belakang cewek itu dengan pelan-pelan. Lalu dengan gerakan tiba-tiba dia merangkul leher cewek itu.
Cewek itu memekik kaget. Begitu sadar itu cowoknya dia pun berkata, “Reno, ngagetin aja.. kamu dari mana saja jam segini baru nongol?” Tanya cewek itu kemudian, lebih terdengar seperti bentakan. Reno malah cengar-cengir mendengarnya.
“Sorry banget! Tadi ban motorku tiba-tiba saja bocor, persis pas aku nyampe di pertengahan jalan mau ke sini. Jadinya aku nungguin ban motorku ditambal. Sumpah, Sin!”
“Kenapa nggak nelpon?”
“Sorry, HP-ku low batt.” Reno menunjukkan HP-nya yang sengaja dinonaktifkan. “Nggak ada Wartel lagi, di dekat situ!”
Sinta mencoba mencari rona-rona kebohongan di wajah Reno sementara pacarnya itu berjalan kemudian duduk di kursi yang berhadapan dengan dia. “Kayaknya nggak mungkin sampai telat dua jam deh! Paling-paling nambal ban itu kan cuma setengah jam! Hayoo, kamu bohong kan? Iya kan?” Tuduhnya kemudian, membuat Reno gelagapan.
“Sin, kamu nggak ngerti sih,” jawab Reno. “Di tempat ban motorku bocor nggak ada tukang tambal ban. Jadinya aku berjalan menuntun motorku lumayan jauh...”
“Oke, paling-paling kamu berjalan sekitar lima belas menit. Tukang tambal ban kan hampir ada di setiap jalan. Terus kamu mau bilang apa lagi? Kok, bisa telat dua jam?”
Kali ini, Reno benar-benar kebingungan. “Uh.. ah... begini lho... oh iya.. aku belum cerita ya? Ternyata lubang di ban motorku itu lebih dari satu, ada empat kalau nggak salah. Jadinya lama banget! Begitulah.. masa kamu nggak percaya sih?”
Sinta tidak menjawab. Matanya terus melotot memerhatikan Reno yang kini semakin gugup dan grogi. Bener-bener nih cewek, pikir Reno kesal. Kalau sudah menginterogasi seperti ini, susah banget untuk bikin dia percaya sama bualan gue. Di antara ketiga pacarnya, Sinta memang yang paling tangguh! Nggak gampang untuk membohongi dia. Jadi waktu tadi Reno kelamaan di rumah Dini—pacarnya yang kedua—dia kalut banget. Dia lupa punya janji dengan Sinta sementara dia asyik pacaran dengan Dini. Dari rumah Dini, Reno langsung minggat ke tempat pertemuan ini setelah memberi alasan kepada Dini bahwa kakeknya sakit—padahal sudah meninggal sepuluh tahun lalu—sampai akhirnya dia dibolehkan pulang. Tak lupa, dalam perjalanan menuju ke sini Reno mengarang-ngarang alasan tadi. Repot juga ya?
Akhirnya senyum Sinta kembali nampak, meski perlahan tapi pasti. “Oke, kali ini aku maafin.. tapi kalau lain kali telat lagi, apalagi seperti hari ini, sampai telat dua jam! Dua jam, Reno! Lihat, sudah berapa gelas minuman yang sudah aku habiskan!” Reno memerhatikan tiga gelas kosong di meja lalu tertawa pelan. “Kok, malah ngetawain! Awas kamu ya!”
“Sorry, sayang... aku geli aja, kamu minum segitu banyak, apa perut kamu nggak kembung?” Tanya Reno sambil menahan tawa. Sinta sudah hampir memukul Reno yang terus ketawa, tapi seorang pelayan tiba-tiba datang dan menyerahkan buku menu kepada mereka berdua. Mereka berdua mulai sibuk memilih makanan dan minuman.
Dari arah pintu masuk tiga orang cewek melangkah riang menuju meja kosong yang paling dekat dengan pintu. Ketiganya saling berceloteh dengan heboh sambil berjalan. Reno yang duduk menghadap ke arah sana menurunkan buku menu dari wajahnya, merasa terganggu dengan suara berisik ketiga cewek tadi.
“Berisik, sekali sih mereka...” katanya berbisik. Perhatiannya mulai tertuju kepada ketiga cewek yang kini sudah mulai duduk itu. Letak meja mereka tidak begitu jauh dengan meja Reno dan Sinta, jadi Reno dapat melihat jelas bagaimana tampang cewek-cewek heboh itu.
Sejenak dia memekik tertahan, karena dia mengenali salah satu dari mereka. Cewek berambut panjang dan pirang, berpenampilan paling keren diantara mereka bertiga, cewek itu pacar Reno yang baru! Cewek itu pacar Reno yang ketiga, Chaca! Mereka baru jadian beberapa minggu sih, jadinya Reno belum begitu sering mengajaknya kencan. Dia bener-bener nggak tahu kalau ternyata Chaca suka makan di sini juga. Tahu begitu, dia nggak bakal janjian dengan Sinta di sini karena resikonya terlalu besar.
Begitu duduk Chaca tiba-tiba melayangkan pandangannya ke seluruh meja. Sepertinya dia mencari-cari sesuatu. Barulah saat itu Reno sadar, mungkin Chaca melihat motor Reno di pelataran parkir. Dia pasti mencari-cari Reno!
Dengan panik Reno cepat-cepat menutupi wajahnya dengan buku menu. Gawat! Gawat! Gawat banget! Pikir Reno. Kalau gue ketahuan bisa gawat!
“Mau pesan apa mas?” Tiba-tiba si pelayan bertanya mengagetkan Reno.
“Eh.. Gawat, Mas!” Karena terkaget Reno jadi sedikit latah. Si pelayan rada-rada bingung mendengar kalimat itu. Dia melirik buku menu yang dipegangnya, ditelitinya secara rinci. Baru kemudian dia menggeleng keras.
“Di sini nggak ada makanan yang namanya ‘Gawat’, Mas! Coba pesan yang lain saja, ada tumis bekicot ala Australia, atau semur kepompong dari Amazon..” kata pelayan itu polos.
Melihat gelagat Reno, Sinta jadi terheran-heran. “Kamu kenapa Ren?”
“Nggak.. nggak kenapa-kenapa.. kok..”
“Terus.. apanya yang gawat?”
“Oh... gue kebelet! Udah nggak tahan nih! Pesenin apa aja deh! Gue ke toilet dulu, ya?” Dengan setengah berlari Reno cepat-cepat bangkit berjalan menuju toilet. Sambil matanya tetap waspada, kalau-kalau dia terlihat oleh Chaca.
DI TOILET, Reno berjalan mondar-mandir kebingungan. Dia tidak bisa pergi dari tempat ini karena Chaca dan teman-temannya nongkrong pas deket pintu masuk! Lagian, masa dia harus ninggalin Sinta begitu saja? Terus, gimana kalau ketahuan? Gimana kalau Chaca melihat gue bareng cewek lain? Bisa gawat! Dia paling anti ketahuan selingkuh.
Reno memutuskan untuk kabur. Urusan Sinta ngambek, gampang, dia bisa bikin sejuta alasan heboh. Tapi bagaimana caranya? Lewat mana? Mungkinkah ada pintu belakang? Pasti!
Reno keluar dari toilet cowok dan celingukan kesana-kemari, kali aja Chaca ada di toilet cewek di sebelah, Reno tahu bener ceweknya yang satu itu rajin ke toilet—nggak pipis lah, nggak dandan kalau make up luntur—jadi dia memutuskan untuk hati-hati.
Reno menyusuri lorong di sebelah toilet, ternyata lorong itu berakhir di dapur. Syukurlah, pekik Reno dalam hati saat dia melihat pintu keluar di ujung ruangan dapur yang lagi rame banget itu.
Baru saja dia melangkah masuk, tiba-tiba ada yang menghadang. “Maaf mas, authorized personel only!” seru salah satu koki yang sok berbahasa inggris yang artinya nggak boleh masuk.
Reno mencoba ngibul, “maaf Mas, saya mau numpang pulang lewat pintu belakang. Barusan di toilet saya dapat telepon darurat! Saya harus cepat pulang!”
“Lewat pintu depan saja, Mas!”
“Lewat sini lebih deket, Mas!” Reno mencoba memaksa masuk tapi koki itu merentangkan kedua tangannya menghadang.
“Nggak bisa mas! Mau saya panggilin satpam?”
“Tolong dong Mas, saya buru-buru!”
“Nggak bisa. Kamu pasti mata-mata dari restoran lain kan? Mau mencuri resep rahasia kami!” Koki itu menuduh. Bikin reno tambah keki.
“Geer banget sih mas!” Reno mendelik. Tiba-tiba ia dapat ide. “Mas! Itu masakannya gosong!” ia berteriak sambil menunjuk panci di sebelahnya. Kontan si koki menoleh, Reno tidak membuang kesempatan, dengan sigap dia melewati koki itu dan ngibrit menuju pintu keluar sambil acap kali menabrak beberapa koki yang lagi sibuk hingga beberapa panci tumpah. Tapi Reno nggak peduli, dia harus segera keluar.
Begitu keluar, Reno melihat di belakangnya beberapa koki yang kesal keluar mengejarnya sambil mengacungkan pisau dapur yang gede banget, persis kayak di film mafia Mandarin! Reno berlari sekuat tenaga menyusuri pelataran parkir.
Satpam yang melihat kejadian itu ikut-ikutan mengejar Reno. Reno semakin panik, begitu dia nyampe di depan motornya dia segera menaikinya dan kabur dari situ. Orang-orang yang mengejarnya berteriak kesal.
Gue nggak bakal makan di sini lagi deh, pikir Reno sambil menancap gas kuat-kuat.
“KEJADIAN tadi bener-bener bikin gue jantungan, Ga!” Kata Reno pada Angga. Saat ini dia sedang asyik selonjoran kaki di teras depan rumah sahabatnya itu. Wajahnya masih menampakkan ketegangan dan kelelahan yang amat sangat. Angga cuma menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Reno.
Reno sudah jauh berubah, pikir Angga. Mereka sudah jadi teman sejak mereka kecil. Dulu tempat tinggal mereka berdekatan. Tapi sekarang mereka tidak tinggal berdekatan, Reno pindah rumah sekitar empat kilometer jauhnya dari rumah Angga semenjak mereka masuk SMU. Tapi meskipun begitu mereka tetap sering bertemu karena sekolah mereka sama, sekelas malah. Sejak SD Reno dan Angga selalu kompak, kemana-mana mereka selalu bersama-sama. Saling menjaga satu sama lain. Tetapi semenjak Reno masuk SMU dia agak berubah. Angga tidak pernah sependapat dengan Reno kalau mengenai masalah cewek. Bertolak belakang sekali dengan Reno yang sering gonta-ganti pacar dan selingkuh, Angga sangat menghargai perempuan.
“Selain gue hampir kepergok sama Chaca, lo tahu kan, pacar gue yang paling baru? Gue juga dikejar-kejar sama koki-koki yang pegang pisau gede! Tegang banget deh.” Reno melanjutkan ocehannya bikin Angga semakin geleng-geleng kepala. Selama ini Reno selalu menceritakan semua kisahnya mengenai cewek-ceweknya pada Angga, tapi dia nggak sadar kalau tiap kali dia cerita, dia bikin Angga kesal. “Gue nggak mau ketahuan selingkuh, bisa turun reputasi gue...”
“Gue kan udah bilang,” Angga berbicara dengan tenang. Dia juga duduk santai di sebelah Reno. “Lo jangan main-mainin cewek, kasihan kan? Suatu saat lo pasti kena batunya.”
“Lo nyumpahin gue, Ga?”
“Nggak, maksud gue, mendingan lo mulai serius deh sama cewek, kita kan udah kelas tiga, sebentar lagi kita masuk kuliah. Mendingan lo cari satu cewek yang bener-bener lo suka, dan lo bikin hubungan yang baik.”
“Dasar, sok tua!” Ledek Reno sambil melengos. “Akhir-akhir ini lo sering banget ceramahin gue. Heran deh. Lo mau jadi ustad?”
“Bukan begitu, gue kan sahabat lo sejak kecil, jadi wajar dong kalau gue ngingetin lo?”
“Iya deh kakak,” Reno mencibir. “Tapi kalau menurut gue, sebenarnya yang harusnya diingetin itu elo, Ga. Lo sadar nggak sih kalau sebentar lagi masa-sama SMU udah mau lewat, mendingan lo cepetan nyari cewek lagi. Masa selama SMU lo cuma pacaran sekali. Suatu saat lo pasti nyesel, Ga.”
Angga lagi-lagi geleng-geleng kepala. Hal ini sering terjadi. Di saat Angga mencoba menasehati Reno, Reno malah balik menasehati dia. “Nggak bakalan sempat, Ren. Lo tahu sendiri kalau gue nggak bener-bener suka gue nggak bakal pacaran.”
“Lo payah, sih. Masa Pedekate aja sampai berbulan-bulan. Terus kalau mau nembak, nunggu ceweknya ngerespon dulu. Udah nggak jaman! Sekarang jamannya: siapa cepat dia dapat. Sekali lirik, kalau cewek balik ngelirik berarti dia suka. Langsung tembak! Pasti mau!”
Reno mengamati sahabatnya itu. Angga mempunyai postur tubuh yang mirip dengan Reno, tingginya pun sama, 170 cm. Kadang mereka sering dianggap kakak-adik karena katanya ada kemiripan di wajah mereka. Yang paling membedakan mereka yaitu rambut. Beda dengan Reno yang membuat rambutnya berdiri kaku, Angga selalu menyisir rambutnya dengan rapi.
Setelah mengamati kawannya itu Reno kembali bicara. “Lo juga kan nggak jelek-jelek amat, cakep malah, meski cakepan gue sedikit.” Katanya. “Pasti banyak cewek di sekolah yang suka sama lo. Makanya jangan buang-buang waktu.”
Angga menjawab sambil ketawa kecil, “terserah elo, deh.”
“Nah, gini aja, gimana kalau nanti malam kita ke kelab malam tempat gue biasa nongkrong? Kebetulan gue nggak ada janji sama ketiga cewek gue! Gue ajarin deh cara nyari cewek. Di sana pasti banyak cewek cantik. Lo bisa kan?”
“Nggak! Nggak! Gue nggak biasa...”
“Kapan terbiasanya kalau nggak dicoba! Ayolah, gue yang bayar tiket masuk.”
Angga terdiam sejenak.
Reno tidak menunggu jawaban Angga. Dia langsung berdiri dan menunggangi motornya. “Nanti malam jam sebelas gue jemput! Gue pulang dulu.” Setelah melambaikan tangannya dia pergi meninggalkan asap motor yang mengepul ke muka Angga.
“Sialan, tuh anak. Gue kan udah bilang nggak bisa.” Gerutu Angga karena nggak sempat menolak ajakan Reno.
1st Chapter by Teguh Kameswara - Ciamis
No comments:
Post a Comment