Thursday, August 14, 2008

Bias Cassiopeia

1

Pilihan Itu Tidak Ada

Bias duduk terpaku menatap video yang diputar di hadapannya, Bias menikmati setiap nada - nada yang terdengar dari alunan suara piano yang dimainkan seseorang di video itu, tak terasa matanya mulai terpejam seiring dengan alunan musiknya. KLIK! televisi di hadapan Bias dimatikan, Bias membuka matanya menyadari ia tak lagi mendengar nada - nada itu. Randi!

“Berkemaslah.” ujar Randi dengan nada datar.

“Kenapa lo matiin?!” tanya Bias dengan sorot mata keangkuhan yang memang tidak pernah disembunyikannya.

“Lo belum berkemas kan? Berkemas dulu sana.” jawab Randi sembari mengambil tempat duduk tepat di sebelah Bias. Bias mendesah.

“Gue udah bilang gue nggak mau pindah, kehidupan gue ya ada di sini, bukan di sana!” seru Bias. Randi menatap Bias meremehkan.

“Di sini pun lo nggak punya kehidupan, kalau pun lo pindah ke sana sekarang, itu nggak akan berdampak apa - apa buat lo. Paham?”

Bias diam menatap Randi dengan sorot mata kemarahan, entah datang dari mana kebencian itu berada.

“Kita nggak punya pilihan, Yas.” Randi mengangkat bahu suaranya terdengar bergetar, “Lo mau pindah atau nggak, lo bersikeras untuk nggak pindah atau nggak….” Randi menatap Bias dengan yakin, “Kita tetep nggak punya pilihan.”

Bias bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati televisi dan mengambil sesuatu di sana, saat ia berjalan di depan Randi langkahnya terhenti.

“Gue tau, ini bukanlah saatnya untuk menolak kenyataan yang udah ada, tapi…” Bias terdiam, “Apa gue boleh bawa satu - satunya kehidupan gue yang ada di sini ke sana?” tanya Bias sambil menunjukkan kaset video music yang tadi ditontonnya kepada Randi.


Randi mengangkat bahu lagi, “Kenapa itu harus ditinggal?” Randi tersenyum dan berdiri, “Bawa aja kalau itu yang lo mau,” Randi mengusap lembut kepala Bias sambil berjalan pergi.

* * *

Gadis itu berjalan dengan langkah yang cepat, rambut panjang yang sengaja diurainya bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti arah angin. Erika, nama gadis itu, sesekali menatap jam tangannya dan untuk kesekian kalinya ia merasa lehernya tercekat hampir tak bisa bernapas karena ia menyadari kalau sekali saja ia lengah, ia akan ketinggalan pesawat. Ia benar - benar telat!

Langkahnya terhenti, kepalanya menoleh ke belakang mata sipitnya menatap dua orang yang dari tadi berusaha mati - matian mengikuti langkahnya, berjalan hampir berlari.

“Jam berapa pesawatnya berangkat?” tanya Randi dengan napas terengah, “Kenapa kau begitu terburu - buru?”

Erika mengangkat bahu, “Sebentar lagi. Kalian yakin tidak ada yang ketinggalan?” tanya Erika. Randi dan Bias saling menatap, lalu menatap ke arah Erika dan menggeleng, “Bagus. Ayo cepat!”

Randi menatap tempat duduk pesawat yang tidak pernah diduganya, setiap tempat duduk disediakan untuk dua orang, itu berarti salah satu dari mereka harus duduk terpisah. Randi menghela napas.

Ada apa? lo juga nggak mau pindah kan?” tanya Bias yakin. Randi menggeleng.

“Bukan. Lo lihat tempat duduknya, itu berarti salah satu dari kita harus ada yang duduk terpisah.” jawab Randi. tatapan Bias menerawang.

“Ini!” Erika memberikan sebuah tiket kepada Randi, tepat sesaat Bias menemukan ide agar ia dan Randi duduk bersama sementara Erika duduk terpisah, tapi belum sempat ia mengatakan itu, “Kau duduk dengan penumpang lain, biarkan Bias bersamaku.” lanjut Erika. Randi mengangguk dan mulai mencari tempat duduknya.

Bias menatap Erika dengan tak percaya, Erika menatap Bias dengan tatapan menantang.

“Kau sengaja ya? Ingin mempermainkanku?!” tanya Bias, angkuh. Erika mengerlipkan sebelah matanya.

“Kau ingin duduk di mana?” tanya Erika, ceria, mengabaikan pertanyaan Bias. Bias mendengus kesal.

“Aku ingin duduk di ruang kendali pesawat ini apa bisa?” tantang Bias. Erika tersenyum.

“Nanti ya, saat kau menjadi pilot.”

* * *

Perjalanan panjang yang mengesalkan. Bias duduk diam sambil sesekali menatap ke luar jendela, hanya ada awan! batin Bias. Bias menatap wajah Erika yang tertidur lelap di sebelahnya, makhluk dari mana gadis ini? Dia pikir dia siapa membawaku ke negara lain di luar Indonesia?

Bias kembali menatap ke arah jendela, hampa, seperti apa yang dirasakan hatinya sekarang ini. Randi benar, mereka memang tidak memiliki pilihan atau tepatnya memang harus tidak punya pilihan. Ia baru sadar kenapa sang ayah saat ia masih kecil selalu memaksanya belajar bahasa korea dan terampil dalam bahasa itu, dan menerapkan sistem home schooling1 untuk pendidikannya.

Baru ia sadari itu semua dikarenakan sang ayah tidak ingin kehidupannya bergantung di Jakarta, jika Bias memiliki banyak teman dan sahabat di Indonesia pastilah akan sulit jika nantinya ia pindah ke Korea atau lebih tepatnya harus pindah.

Bias menatap ke arah Erika lagi. Kemarahan itu masih ada, tapi entah kenapa dengan sikap acuh dan ceria dari Erika, membuatnya selalu berhasil tidak menunjukkan kemarahannya pada gadis itu atau dapat dibilang Erika selalu sukses menyamai kedudukannya dengan Bias.

Erika Ziandini, menjadi satu - satunya orang yang Bias anggap memiliki bahasa rahasia dengannya, gadis itu tidak lancar bahasa Indonesia, maka dari itu ketika bersamanya ia dapat dengan leluasa memakai bahasa yang sedari kecil telah ia pelajari, bahasa Korea.

Bias menarik napasnya panjang dan berat, nama belakang yang sama dengan sang ayah, Erika Ziandini, Randi Ziandini, Bias Ziandini. Sudah dapat dipastikan bahwa mereka adalah tiga bersaudara. Ya…. memang benar, tiga saudara kandung memiliki ayah yang sama dan ibu yang berbeda!

“Ah aku tidak mau!” pekik Erika masih dengan mata yang tertutup, Bias terkejut dan memalingkan wajahnya dari arah Erika. “Ah… lagi - lagi menggangguku tidur saja!” seru Erika masih tetap menutup matanya dan kembali tertidur lelap. Bias kembali mengamati gadis itu, dan menyunggingkan senyuman ke arah Erika tipis dan cuma sesaat.

* * *

Bias terjaga, sadar ia sudah lama terlelap dalam perjalanan panjangnya, menatap ke sekeliling dan merasa hampir tak bisa bernapas ketika dengan tiba - tiba didapatkannya Erika menatap wajahnya begitu dekat.

“Kau bodoh ya?” kesal Bias. Erika tertawa kecil.

“Kita masih di dalam pesawat, sampai Incheon2 kira - kira tiga puluh menit lagi, jadi kalau misalnya kau keluar pesawat sekarang mungkin kau akan jatuh dan terdampar di suatu pulau.” Erika tertawa kecil.

“Memangnya aku bertanya?” jawab Bias tak peduli.

“Hei, aku hanya sekedar memberitahu.” Erika mendegus kesal.

Bias terdiam, begitu pula Erika. Mereka sibuk dengan pikiran masing - masing.

“Ingat, mungkin ini terlalu memaksa, tapi ku mohon jika sudah sampai di Seoul nanti, jangan gunakan bahasa Indonesia meskipun dengan Randi, aku juga sudah mengatakan ini pada Randi, dan ia setuju.” Erika membuka suara. Bias menatap Erika, heran.

“Kenapa?”

“Kenapa? Aku sama sekali tidak mengerti bahasamu, kau tahu?! Ok, mungkin aku mengerti sedikit, tapi aku tidak mau kalian berteka - teki untuk kata- kata yang tidak aku mengerti! Arasso3?”

Bias tersenyum licik, “Kau takut aku dan Randi membicarakan dirimu di belakang, bukan begitu?” selidik Bias. Erika membuang muka.

“Aku tahu kalian tidak akan mungkin melakukan itu, membicarakan orang lain di belakang dan memakai kelemahan mereka. Aku hanya ingin, kalian beradaptasi dengan lingkungan yang ada di sana. Itu saja.” jawab Erika, yakin. Bias menatap Erika, inilah alasan kenapa Erika selalu bisa menyamakan kedudukannya dengan Bias.



1st Chapter by Dita Oktamaya

No comments: