Sunday, August 24, 2008

Panggil Aku Cassanova

-

Panggil Aku Cassanova



18 Agustus 2007

Panggil aku Cassanova. Terlahir dengan penuh cinta. Dan kini, aku menuliskan hidupku untuk menertawakan diriku sendiri. Ya, sebut saja aku cassanova – pangeran cinta – yang dijuluki Master of The Art of Seduction. Voltaire, Goethe, dan Mozart adalah dewaku, kupuja di dalam alam pikirku.

Panggil aku Cassanova. Dan jangan samakan aku dengan narcissus yang pantas ditertawakan karena kebodohannya terlalu sempit memandang cinta. Ya, narcissus yang malang yang terlalu mencintai dirinya sendiri dan tak sempat memperhatikan Echo yang mencintainya. Dan jelas pula, aku tak mau tersiksa seperti Sisyphus, seorang raja yang rela menerima ‘cinta’ oleh sebuah batu yang terus dipanggulnya ke atas sebuah bukit yang nyatanya hanya untuk melihat batu itu kembali menggelinding – memohon untuk kembali dipanggulnya.

Panggil aku Cassanova. Sang Maestro Cinta. Bagiku, cinta adalah logika, tak perlu menautkan rasa di dalamnya. Nikmati saja selagi bisa. Buat apa mencinta jika hanya menyiksa? Buat apa cinta jika semua akan sirna? Aku hanya mencintai cinta yang wujud dalam nyata. Terucap ‘Tidak’ bagi cinta yang mengatasnamakan kuasa, apalagi yang mengatasnamakan Tuhan dan agama.

25 Agustus 2007

Telah satu minggu berlalu sejak terlahirnya cinta dalam wujudku – cassanova. Meski sayapku belum tumbuh – tiada – dan ku tak bisa terbang ke angkasa, sebuah hati telah patah. Hati yang terlalu naïf memandang cinta. Dan aku – cassanova – yang telah menjeratnya dalam sandiwara cintaku, sedikit merasa geli kala ia mencoba berbicara tentang cinta. Ia yang tak pernah mengungkap cinta meski dirinya merasakannya. Sampai akhirnya aku bosan dengan sandiwaraku, dan meninggalkannya. Tak acuh meski air mata mengalir membentuk sungai dari muara bathinnya.

Namun jua tak kusangkali bahwa adanya air mata dari nuraniku saat mendengar isakannya. ‘Aku’ juga terisak, tapi aku yang bukan aku – bukan cassanova. Dan kemudian logikaku kembali berbicara untuk usir isak itu. Hah, bukankah begitulah wanita? Cuma mainan semata? Barang yang ditaksir dengan ‘harga’. Dan harga yang bisa kuberikan adalah kata. Kataku yang sebenarnya racun – membunuh, tapi tersamarkan seperti madu yang manis. Kataku pun sebenarnya bak ekstasi yang memabukkan, tetapi kuindahkan seperti obat yang menyehatkan. Begitulah cinta yang terwujud dari diriku. Sedikit meminjam istilah Nietsche; “agama adalah candu”, dan kuimplikasikan dalam cinta; “cinta adalah candu”. Ya, candu bagi mereka yang terjebak dalam scenario cintaku.

27 Agustus 2007

Tak lama berselang, kembali kuterima sebuah pengakuan cinta. Tertulis dengan tinta airmata hasrat kerinduan – padaku tentunya. Kubaca dan aku tersenyum. Tapi bukan sebuah senyum mengiyakan, hanya sinisme tak berdasar; ungkapan ejekan penuh kemenangan.

Untukmu, Cassanova ...,

Pendar cahaya cinta melingkupimu; indah nan mempesona. Pesonamu adalah wujud dari mutiara surga yang teranugerahkan dengan manis di bibirmu. Engkau adalah pencitraan tiada dua. Wajah wujudmu seindah dan sedamai tatkala aku memandang niagara dengan pelanginya.

Kala itu, sekali saat kau berbicara padaku, sungguh ingin rasaku agar kau membagi mutiara yang kau miliki di bibirmu itu kepadaku---di bibirku. Dan kesyahduan pandanganmu membuatku terlena, seakan tiba-tiba tubuhku kau angkat ke langit tertinggi dimana dewa-dewi sedang bernyanyi, dan aku mendapatkan kehormatan untuk mendengarkannya. Dan tatkala kau ulurkan tanganmu kepadaku, tanpa ragu aku menyambutnya. Sungguh tak pernah kusentuh kelembutan seperti yang engkau miliki---kecuali padamu tentunya.

Harus bagaimana kata kurenda untuk sekedar memuji dan memujamu. Tak cukup hanya sutra kata yang terucap dari bibirku---harus lebih indah dari itu. Wahai Cassanova yang kupuja, berikan aku satu pinta; pinta yang kuucap dari lubukku yang terdalam. Ya, kurela menjadi budak pesuruhmu asalkan aku bisa selalu berada di sampingmu. Apapun itu, akan ikhlas kulakukan demi cinta yang terus menggelora di hatiku – menggelepar tak tentu.

Ah entah, pantaskah aku mengharapkan semua itu? Mengharapkan segala yang ada padamu? Jikapun tidak, maka bisakah aku mendapatkan secuil cinta darimu? Atau haruskah aku diam-diam mencuri cinta dari aura yang kau pancarkan? Yang setidaknya memberiku kedamaian saat memandangmu?

Hah, wanita memang sungguh lucu adanya. Sebentar- sebentar cinta. Lalu airmata. Mereka pikir kami – kaum pria – bisa dengan begitu mudahnya luluh tertunduk dan lantas bersujud padanya. Tentu tidak. Jelas tak bisa terbiarkan airmata-airmata palsu itu membodohi kerajaan logika para pria. Cih, kuludahi kata-kata tak bermakna itu. Dan terbuang begitu saja – menyampah bersama debu-debu jalanan.


September 2007

Cinta tak asing bagiku. Cinta adalah senyum yang pernah menghiasi peluhku. Cinta adalah getar yang beresonansi di hatiku. Tapi itu dulu. Kini cinta telah berubah. Tak sama. Cinta adalah airmata getir yang bermuara dari pelupuk mataku. Cinta adalah gelegar amarah yang melahirkan benci karena dikhianati.

Aku tersenyum. Sinis. Menertawakan diriku sendiri. Mempercayai cinta adalah kebodohan – keluguan yang tak termaafkan. Baru saja kulenyapkan sebuah harapan cinta. Lucu bagiku. Tapi sakit baginya – mungkin.

“Kita putus saja ya Nggi”, kataku seakan penuh penyesalan. Padahal tidak. Hanya kamuflase yang terbias aroma kemunafikan. Kebohongan untuk sedikit mendramatisir kejenuhan.

“Kenapa Di?”, tanyanya pilu penuh pengharapan agar aku menarik kembali kata-kataku. Terdengar isak – mengharukan. Tapi aku tetap tak tergoyahkan. Lantas menutupinya dengan kepura-puraan; juga mencoba isakku terdengar di telinganya.

“Entahlah, rasanya kita tidak cocok. Ada banyak bagian yang ‘miss’ antara kita berdua. Dan semua itu seakan membentangkan jarak antara kita. Aku cinta. Tapi aku tak bisa menikmatinya. Lebih baik kita berteman saja dulu. Tidak menutup kemungkinan kita kembali dipersatukan nantinya. Bukankah kita tak pernah tau apa yang akan terjadi nanti? Untuk sekarang, ya, kita berteman saja.” Aku berlagak polos - tak mau jadi terdakwa pembunuh sebongkah hati. Padahal aku telah selingkuh. Menemukan cinta yang lain yang kuanggap lebih bermakna untukku. Ya, begitulah kodratnya. Cinta hanya sebentuk permainan. Tak perlu menautkan rasa di dalamnya. Cukup gunakan logika.

“Di …, aku masih mencintaimu, masih membutuhkanmu …, sangat. Jangan tinggalkan aku Di.” Isak tangisnya semakin menjadi. Sedikit mengiris pilu di sebagian hati. Dan mengingatkanku sejenak akan sebuah kenangan. Pahit. Kala cinta untuk pertama kalinya meninggalkanku. Meninggalkan sebuah penyesalan yang begitu dalam. Merobek hati. Mengoyak luka.

“Di, aku mau menikah. Lupakan saja aku.” Katanya lugu seakan tanpa dosa. Saat kutanya kenapa, ia malah berkata ini sudah takdirnya. Tak bisa dilawan. Tapi nyata yang ada hanyalah materi, karena laki-laki itu lebih segalanya dariku; kemapanannya. Ia meninggalkanku yang menangis airmata darah tanpa sekalipun menoleh lagi padaku. Aku melihat sosoknya – menjauh- meninggalkanku. Dan aku sekarat. Luluh lantak.

Aku berteriak ;“Elie …, elie …, lama sabakhtani? Tuhanku kenapa engkau tinggalkanku?”

Wajahku memucat. Mataku memerah. Hatiku menghitam. Dan tiba-tiba tak ada lagi airmata. Karena ia telah mongering di muaranya. Lalu aku tersenyum seakan menemukan sebuah makna baru. Seperti iblis. Diciptakan sebagai antithesis. Itulah yang kurasa. Pembalasan akan dendamku adalah jawabnya. Terucap ikrar; aku akan membuat berapapun wanita merasakan sakit yang kurasakan lalu mati terbunuh.

------------------------------


Yang kuhitung dari detik adalah detak, bukan retak. Yang kueja dari masa adalah asa, bukan lara. Entah, dimana jawab akan tanya yang selalu kucari dari setiap kejadian yang berlalu di hadapanku.

Aku kembali menghembuskan nafasku -nafas cinta- untuk kesekian kalinya. Tuhan memang menciptakan cinta yang begitu berlimpah bagi makhlukNya. Dan aku tak bisa mengakomidirnya. cintaku melimpah. Meluap. Tumpah. Terserak, dan tak bisa kupungut satu persatu. Jadi jangan salahkan aku kalau ada yang tanpa sengaja menemukan cinta yang telah terhamburkan. Kemudian mendekatiku. Lalu mati terbunuh.

Aku -cassanova- tak pernah berburu keluar dari sarangku. Aku hanya menunggu mereka mendekat dan mengetuk pintuku. terang saja kubukakakn pintu lalu kututup rapat-rapat hingga tak bisa keluar dari jiwaku. Sampai aku bosan, dan aku sendiri yang mengusirnya keluar dari wilayahku.

Aku menatap sebongkah cermin – memantulkan wajahku. Sebenarnya apa yang istimewa dariku? Kuperhatikan pekat lekuk di wajahku. Biasa. Tak istimewa. Aku tak seperti Yusuf yang terkenal dengan ketampanannya. Tak seperti Musa yang menggelegar karena kegagahannya. Ataupun seperti Daud yang berani menantang Goliath dengan pedang kecilnya. Ya, aku hanya laki-laki biasa. Punya asa. Punya hati yang satu yang tentunya kuharap akan kupersembahkan untuk seseorang yang kucintai.

Kutatap lebih erat kedua bola mataku. Mata itu mata sayu. Dan seakan berkata 'cermin tak pernah berdusta'. Ya, cermin memang tak bisa berdusta. Sayu ini ada karena luka. Luka yang tercipta dalam di hatiku. Menganga. Penuh dendam kebencian. Dan tak tersembuhkan.

Tiba-tiba mataku berairmata. Tak tertahan. Mengambang dalam lintasan-lintasan masa lalu. Aku kupu-kupu surga yang telah terusir darinya. Sayapku patah. Dan aku terjatuh di rimba bunga. Sungguh indah dan melenakan. Sebenarnya inginku kembali ke surga itu, tapi apa daya. Bagaimana mungkin aku bisa sementara aku telah tidak bersayap?

Hah, sungguh, aku ingin berkisah dalam bisu tanpa kata. Aku ingin bernyanyi dalam nada tanpa melodi. Aku ingin bercinta dalam kasih tanpa perih. Bisakah? Adakah yang bersedia mengajarkannya padaku? Katakan!!!


1st Chapter by Pringadi Abdi Surya

Read More ......

Thursday, August 21, 2008

Dusta: Permainan Kedua

-

IT’S ME : RARA!


Jakarta, Februari 2004, 06:00 WIB

Bangunan tingkat tiga dengan disain modern minimalis bernuansa coklat muda dan cream itu berdiri dengan indahnya di antara bangunan-bangunan lain yang berjajar teratur di sepanjang jalan di kawasan Fatmawati. Warna tembok yang berbeda ditambah dengan tulisan besar “Chocolate Architecture & Design Consultant” berwarna coklat tua di tembok bagian atas dan neon box – yang dapat terlihat oleh siapapun yang melintas dari jarak beberapa meter – membuat bangunan tersebut begitu mencolok.

Semua yang terlihat pada bangunan itu sama sekali tidak mencerminkan bahwa pemiliknya adalah seorang wanita muda yang enerjik.

Bagi Rara, “Chocolate Architecture & Design Consultant” adalah sebuah anugerah besar dalam hidupnya. Kedua orang tuanya yang merintis karier sebagai seorang pengusaha mempunyai pandangan bahwa menjadi seorang entrepreneur adalah suatu hal yang baik, disamping bisa mengembangkan diri sendiri juga dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi mereka yang membutuhkannya. Karena itulah begitu Rara – anak tunggal mereka – berhasil meraih gelar Sarjana Disainnya pada usianya yang ke-21 tahun, kedua orang tuanya sepakat memberikan pinjaman modal kepada Rara untuk mendirikan sebuah perusahaan konsultan disain. Pada saat perusahaannya berjalan 6 bulan, Rara bertemu dengan seorang arsitek wanita di sebuah seminar yang akhirnya sampai sekarang menjadi partner kerjanya.

Rania Rahmanita Putri – Rara – seorang pengusaha sukses di usianya yang baru menginjak 23 tahun. Dilahirkan sebagai seorang anak tunggal dari keluarga kaya dengan berbagai fasilitas mewah yang dapat dinikmatinya sama sekali tidak membuat Rara menjadi anak manja yang melulu bergantung pada orang tuanya. Karier cemerlangnya sebagai seorang disainer interior sama sekali tidak membuat semangat belajarnya surut, saat ini ia sedang melanjutkan kuliahnya di Program Pasca Sarjana Universitas Tridharma. Dengan kecantikan khas Jawa, tubuh tinggi proporsional dan sexy, warna kulit agak kecoklatan, dandanan modis dan stylish, plus rambut hitam wave sepinggangnya, selalu berhasil membuat pria-pria di sekitarnya rela meluangkan waktu untuk melihatnya dan membuat kaumnya melirik iri dan sinis. Rara adalah sosok langka, dengan perpaduan fisik yang sempurna dan kualitas otak di atas rata-rata. Sifat Rara yang open minded dan supel menjadikannya mudah diterima di lin

gkungan baru. Segala kelebihan yang dimilikinya tidak pernah membuatnya menjadi sombong. In the other way, she is PERFECT!

Pagi ini Rara sudah terlihat berdiri di depan kantornya. Kemeja putih lengan panjang yang digulung sampai di atas sikunya dan skinny jeans biru tua membuatnya terlihat fresh. Stiletto dan tas putih besar yang menggantung di pundaknya sangat serasi dengan warna bajunya. Rara sengaja datang sepagi ini untuk menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk sore ini juga, karena malamnya ia punya janji untuk bertemu dengan teman-teman S2-nya. Rara menyapukan pandangannya ke bangunan

kecil di bagian depan kantornya, mencoba menemukan Pak Pardi, satpam kantor yang memegang kunci.

Kemana sih pak Pardi? Kalo gini caranya, percuma aja gue dateng pagi-pagi buta, gak bisa masuk juga!

Rara melongok ke dalam pos satpam, tapi tetap nggak berhasil menemukan Pak Pardi. Rara mengambil ponsel dari dalam tasnya dan menekan sederetan nomor.

“Pagi, pak Pardi. Bapak dimana? Bisa tolong bukakan saya pintu? Saya sudah di depan kantor, pak.”, kata Rara panjang lebar saat terdengar sapaan di seberang.

“Selamat pagi, mbak Rara. Saya sedang ke depan beli sarapan. Baik, mbak..saya segera kesana.” Rara memang tidak pernah mengijinkan para pegawainya memanggilnya dengan sebutan ibu, menurutnya panggilan itu terkesan tua.


Rara berdiri di pinggir jendela ruang kerjanya sambil memegang segelas hot cappuccino hasil racikannya. Ia asyik memandangi jalanan di bawahnya yang penuh dengan kendaraan dan pejalan kaki. Rara menikmati hembusan angin pagi hari yang masuk melalui jendela-jendela kecil yang masih dia biarkan terbuka dan membiarkan rambut wave sepinggangnya yang basah, mengering sendiri karena hembusan angin.

Merasa belum puas menikmati pemandangan di bawah, Rara duduk di tembok rendah di pinggir jendela – yang memang dirancang khusus sebagai tempat duduk – ketika terdengar suara “you’ve got mail” dari speaker laptopnya. Dengan berat hati ia beranjak dari duduknya, menyeret langkahnya ke meja kerja, dan membuka e-mail yang baru masuk.

From : Andi

To : MM Tridharma

arma@yahoogroups.com>

Cc : Rara ; Ervan

; Ina ; Anti

Subject : kumpul-kumpul..

Guys,

Ntar malem jd ketemuan ya?! HA

RUS jadi!! Kan udah lama banget gak nongkrong bareng. Ktemu di tempat biasa jam 6an ya!! Pd dateng ya, guys.. C U there..bye..

Regards,

-Andhy-

Rara tersenyum senang. Gue pasti ikutan, lah..gak bakalan gue lewatin gitu aja kesempatan ketemu anak-anak! Rara langsung meletakkan gelas kopinya di atas tatakan gelas dari karet berbentuk kincir angin – oleh-oleh dari sahabatnya waktu ke Belanda. Dengan antusiasme penuh ia menekan tombol reply dan dengan cepat menulis balasannya.

j0252349

Panas dan teriknya sinar matahari Jakarta yang menembus masuk melalui kaca-kaca besar yang vertical blind-nya dibiarkan terbuka, sama sekali tidak mengganggu aktivitas pemiliknya. Rara tetap sibuk dengan kegiatannya di ruang kerja pribadinya yang terletak di lantai tiga. Dia terlihat asyik menatap layar monitor komputer sambil sesekali matanya mengamati gambar blue print maket dua dimensi sebuah hotel berbintang dari kertas besar yang terbentang di sampingnya.

Ruangan besar berdinding coklat muda dengan lantai marmer warna cream, serta furniture dengan dominasi warna coklat tua, cream, dan hitam yang tertata pas dan rapih terlihat sangat elegan, cozy, homey, dan berkelas – benar-benar mencerminkan siapa dan dari kelas mana pemiliknya. Rara sangat menyukai arsitektur dan penataan interior – yang dikerjakannya sendiri – ruangan kerjanya. Ruangan besar itu dilengkapi satu set meja dan sofa untuk menerima tamu yang berada di samping kanan pintu kaca, di seberangnya terdapat sebuah meja kerja berbentuk huruf “L” lengkap dengan kursi putar besar dan nyaman yang diletakkan membelakangi jendela berukuran besar. Di samping sofa tamu terdapat meja, beberapa kursi, dan white board yang berfungsi sebagai tempat rapat mini. Dua buah lemari besar terbuat dari kayu jati berwarna hitam dengan pintu geser dari kaca yang berisi koleksi buku, dokumen-dokumen, dan gulungan-gulungan kertas gambar diletakkan berjajar memanjang memenuhi sisi kiri pintu masuk. Sepertiga dari sisi kanan ruangan disekat dengan tembok menjadi dua bagian. Meja komputer dan meja kaca besar – yang berfungsi sebagai meja gambar – diletakkan di bagian depan tembok penyekat yang berukuran lebih kecil. Sedangkan ruangan lebih besar di belakang tembok penyekat digunakan sebagai semacam private room yang dilengkapi dengan sofa bed warna coklat tua, kulkas kecil, TV 29 inch, stereo set, meja kecil yang di atasnya terdapat coffee maker, dispenser kecil, toples-toples kecil dari kayu, dan perlengkapan makan-minum seadanya.

Rara beranjak dari tempatnya dan berjalan ke arah jendela, menatap jalanan di bawahnya sejenak, kemudian menarik tali penutup vertical blind. Pada saat yang bersamaan, pintu ruang kerjanya dibuka pelan tanpa menimbulkan suara. Seorang wanita melongokkan kepalanya. “Mau makan siang bareng nggak, Ra?”

Rara menoleh cepat, kaget mendengar suara di belakangnya. “Mbak Revi..!! Apa kabar, mbak? Kapan dateng? Kok nggak bilang-bilang kalo mau pulang hari ini?” Rara berlari memeluknya. “Aku kangen, mbak.”

Ayu Revita – Revi – seorang wanita berusia sekitar 30 tahun yang masih menikmati hidup melajang. Tubuh mungil dengan kulit putih bersih dan wajah cantik membuatnya menarik. Revi adalah seorang arsitek sukses yang kini bekerja sebagai partner Rara. Revi memiliki pribadi yang baik dan sifat periang yang membuat orang disekitarnya merasa nyaman. Revi bisa jadi tempat curhat dan seorang pendengar yang baik. Bahkan Rara sudah menganggap Revi sebagai kakaknya. Dengan semua yang dimilikinya sekarang, kadang Rara heran : kenapa sampai sekarang mbak Revi masih belum memutuskan untuk berumah tangga?

“Satu-satu ya, adik manis. Kabar aku baik, baik banget malah! Aku sengaja nggak kasih tau siapapun kalo pulang hari ini..biar surprise!! Aku bener-bener baru landing 2 jam yang lalu dan langsung kesini.” Ia melepaskan pelukannya dan berjalan ke sofa tamu.

Rara ikut duduk di sampingnya. “Kok cepet banget, sih mbak baliknya? Kan estimasinya bulan depan mbak baru balik Jakarta.”

“Iya, tapi ternyata partner kerja kita kerjanya bagus banget, Ra. Dia sigap banget. Tepat waktu banget, deh..malah bahkan seringan lebih cepet dari due date. Pokoknya semua kebutuhan kita buat kerjaan udah disiapin dengan baik. Makanya jadi cepet selesainya juga.” Revi mengeluarkan kotak rokok dari kantong jaket jeans-nya. “Aku ngerokok, ya Ra?”, ia bertanya sambil mengambil sebatang rokok dari kotak rokok kulit warna hitam yang dipegangnya.

“OK! Tolong nyalain exhause-nya sekalian, mbak.” Rara menunjuk tombol putih di samping pintu. “Gimana Jogja, mbak? Still wonderful?” Rara mendekatkan asbak ke Revi.

“Yup! Jogja emang nggak pernah ada matinya, Ra. Tinggal 2 bulan disana kayaknya masih belum puas! Aku nyobain banyak hal, kenalan sama banyak orang baru, pokoknya nggak ada satu hal pun tentang Jogja yang aku lewatin.” Revi menjentikkan abu rokoknya dengan jari-jari mungilnya. “Kerjaan disini gimana?”

So far so good, mbak.” Rara membesarkan matanya, menandakan ketertarikannya akan topik yang diceritakan Revi. “Terus..terus? Emangnya kerjaannya nggak padat, ya mbak? Kok sempet ngapa-ngapain, sih?” Rara beranjak ke mejanya dan mengambil kotak rokok di dalam tasnya. “Ngobrol di situ aja, yuk mbak!” Rara menunjuk pinggiran jendela dengan dagunya.

Revi duduk di atas sofa bed yang masih terlipat. “Saking pengennya aku ngebuktiin kata-kata kamu tentang keindahan Jogja, aku sampe nggak peduli sama capeknya badanku. Jadi tiap malem abis kerja aku langsung keliling Jogja.” Revi tertawa kecil. “Ternyata Jogja emang keren, Ra. Kekeluargaan masih kental banget disana. Pokoknya aku betah, deh kalo suruh tinggal disana.”

“Aku nggak bohong kan, mbak?!” Rara mengedipkan matanya sambil tersenyum ke arah Revi. “Nggak sempet kesasar kan, mbak pas jalan-jalan disana? Mbak Revi kan…”

“Ngeledek aja terus, Ra!” Belum selesai Rara berkata, Revi sudah memotong kalimatnya sambil menoyor pelan kepala Rara. “Aku kan nggak sendirian jalan-jalannya. Ada yang nemenin kok! Jadi nggak bakalan nyasar!” Kualitas otak Revi emang sangat diragukan kalo menyangkut masalah jalanan. Di Jakarta, tempat tinggalnya sejak lahir aja dia masih suka nyasar dan nggak tau jalan, walaupun cuma buat ke tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi. Sampai-sampai dulu Rara sempet bilang ke dia – jangan-jangan kalo ke kantor bakalan nyasar juga, mbak?! – yang langsung disambut Revi dengan sambitan pulpen. Makanya Revi selalu mengandalkan supir pribadinya dan supir taksi untuk membuatnya sukses sampai di tempat tujuannya.

Rara tertawa ngakak.

“Sekarang aku jadi tau kenapa kamu segitu semangatnya kalo cerita tentang Jogja!” Revi beranjak ke kulkas kecil di samping sofa bed dan mengambil apel. “Aku bagi apelnya, Ra. Laper banget! Tadi nggak sempet sarapan.”

“Ambil aja, mbak. Kalo nggak salah disitu masih ada donat juga. Emangnya di pesawat nggak dikasih makan, mbak?”

“Dapet sandwich, sih tadi. Tapi pas aku buka bungkusannya, tanganku kesenggol penumpang di sebelahku, sandwich-ku langsung terjun bebas ke lantai. Pas aku mau ngomel, ternyata yang duduk di sebelahku kakek-kakek. Udah gitu dia ngeliat aku sambil ketakutan gitu, terus langsung minta maaf, aku jadi nggak tega. Sampe pucet gitu mukanya, mungkin gara-gara liat tampang aku yang udah nyolot banget!” Revi tertawa mengingat kejadian di pesawat tadi pagi.

“Ooooo…” Rara berkata sampai bibirnya mengerucut.

Keduanya terdiam. Revi menjulurkan kepalanya ke jendela. Rara tersenyum sekilas sambil matanya menerawang menatap langit-langit ruang kerjanya. Jogjakarta, kota kelahirannya yang ditinggalkannya sejak ia berumur 1 tahun. Karena kekagumannya akan segala hal di Jogja, begitu ia dianggap dewasa dan mendapatkan ijin untuk traveling sendiri oleh orang tuanya, Rara selalu rutin mengunjungi Jogja setiap tahun. Di Jogja Rara berhasil menghabiskan masa SMU-nya. Dan di tempat itu pula Rara pertama kali mengenal kata cinta yang berakhir dengan sakit hati. Namun kepahitan yang dialaminya tidak pernah berhasil membuatnya membenci Jogja.

“Mau kopi, mbak? Aku lagi nyoba bikin cappuccino sendiri.”

Mbak Revi mengangguk singkat. “Cangkir kecil aja, Ra. Aku kan belum sarapan, takut maag-ku kumat.”

Rara beranjak dari duduknya, meracik 2 cangkir kopi, dan memberikan cangkir di tangan kanannya ke Revi. Rara menunggu Revi meneguk kopi buatannya dan mencoba membaca ekspresi muka Revi setelah meminum kopi buatannya. “Enak nggak, mbak?”

“Yaaahh..hampir mirip sama yang dijual di coffee shop terkenal. Dikomersilin aja, Ra. Kan lumayan tuh, bisa buat nambah-nambah income. Kan katanya kamu lagi pengen ngeluasin usaha. Pasti prospeknya bagus, deh Ra. Kamu kan tau sendiri kalo sekarang ini orang-orang banyak banget yang doyan nongkrong di coffee shop.” Revi mulai ngelantur dengan idenya. “Aku ikutan sharing modal juga, deh Ra.”

“Ya nggak segitunya juga, sih mbak. Aku emang lagi pengen ngeluasin usahaku, tapi masa aku diversifikasi usahanya timpang banget?!? Mbak Revi ada-ada aja, deh!”

“Lho? Kenapa nggak?!? Itu kan peluang, Ra. Namanya juga pengusaha, penciumannya kan tajem kalo udah menyangkut sesuatu yang menguntungkan. Yang penting kan bidang usaha yang mau digeluti itu dia sukain dan memberikan output yang menjanjikan.”

Rara menggeleng-gelengkan kepalanya. Heran dengan cara berpikir Revi yang menurutnya ajaib. “Masa iya dari konsultan interior beralih ke penjual kopi?!? Lagian siapa yang mau ngurusin kantor ini, mbak?”

“Emangnya kenapa, kan nggak ada salahnya juga! Lagian Chocolate kan juga udah bisa dilepas, Ra. Kita udah punya orang-orang handal yang bisa nanganin kerjaan disini kalo misalnya kita harus terjun ke usaha yang baru. Kenapa harus dipusingin, sih?” Revi membuang apel yang sudah selesai dimakannya ke tempat sampah di pojok ruangan. “Lagian kamu mikir apaan lagi, sih? Untuk ukuran umur kamu sekarang, kamu tuh udah termasuk sukses! Kamu udah bisa pake tabungan kamu dari hasil kerja sekarang buat melebarkan sayap kamu. Kalo ermang masih kurang juga, kamu kan bisa minta tolong sama orang tua kamu. Mumpung masih muda, Ra! Jangan sampe nantinya jadi sebuah penyesalan, kayak aku gini. Dulu aku telat banget memulai semua ini, aku terlalu berharap banyak dari cowok itu sampe-sampe aku begitu bergantung sama dia. Umurku udah lebih tua 7 tahun dari kamu, tapi masih belum bisa ngapa-ngapain, masih kerja sama orang pula!” Nada penyesalan dan kemarahan terselip pada perkataannya. Pandangannya menerawang ke langit-langit ruangan Rara.

“Jangan ngomong gitu, dong mbak. Masalah cowok sialan itu nggak usah diungkit lagi ya, mbak. Aku nggak mau mbak Revi jadi sedih lagi!” Rara meletakkan rokok yang sedang dihisapnya di asbak dan menggeser duduknya, berusaha menenangkan Revi yang mulai sentimental. “Sekarang kan mbak Revi udah jadi seorang arsitek profesional. Semuanya jadi kayak gini kan juga bukan murni kesalahan mbak.”

Revi tersenyum kecut. “Hidup emang nggak segampang yang kita bayangin ya,?!”

Rara melirik jam dinding besar yang menggantung di dinding tepat di atas kepalanya, pukul 11:05. “Mau makan dimana, mbak? Jangan jauh-jauh ya..hari ini aku nggak bawa mobil, mbak.”

“Terserah kamu, aku ngikut aja. Kamu yang tentuin tempatnya, ntar aku yang traktir kamu, deh. Itung-itung tanda terima kasih dari aku karena udah dikasih kesempatan nikmatin Jogja.”

“Kok makasih sama aku, mbak? Itu kan emang udah bagiannya mbak Revi karena emang pas banget kita dapet job disana.” Rara mematikan rokoknya di dasar asbak. “Kita makan di Pizza Hut aja, mbak. Kan bisa jalan kaki.” Rara tersenyum polos. “Mbak Revi capek, ya?”

“Nggak. Kalo jalan cuma jarak tiga gedung aja sih aku masih kuat. Ya udah, jalan sekarang, yuk..biar kita bisa ngobrol lama. Many things that I want to hear from you.

Rara memandang Revi dengan mimik bingung hingga menimbulkan kerutan kecil di keningnya. Revi hanya tersenyum penuh arti tanpa memberikan jawaban atas kebingungan Rara. Rara pun beranjak dari tempatnya, memasukkan kotak rokok ke kantong celananya, mengambil dompet serta HP-nya, dan mengikuti mbak Revi yang sudah berjalan keluar ruangan.


Pizza Hut siang itu tidak begitu ramai, mungkin karena belum waktunya istirahat makan siang. Mereka memilih meja di pinggir jendela bagian samping. Rara melemparkan pandangan kosongnya ke jalanan ramai di depannya, seolah-olah hanya ada dirinya di meja itu. Tempat ini selalu ngingetin gue sama tuh cowok sialan! Kalo bukan karena gue nggak bawa mobil dan mbak Revi nggak baru sampe dari luar kota, gue nggak akan mau makan disini! Cuma bikin gue keinget masa lalu, bikin mood gue jelek! Beberapa bulan yang lalu, tempat ini masih menjadi tempat favorit Rara untuk makan siang dengan mantan pacarnya. Rara tetap memandang kosong obyek di depannya. Bahkan ketika pelayan menanyakan pesanannya, Rara sama sekali tidak menggubrisnya. Ia baru mendengar pertanyaan si pelayan setelah Revi menyentuh pergelangan tangannya. Rara menyebutkan pesanannya tanpa melihat daftar menu yang terbentang di hadapnnya. Selesai menyebutkan pesanannya, Rara kembali menatap kosong dan tidak memperdulikan si pelayan yang membacakan ulang pesanan mereka. Revi hanya bisa menatapnya dengan pandangan heran.

Is there something wrong, Ra?”, tanya Revi sambil melambaikan tangannya di depan muka Rara.

Rara mengalihkan pandangannya kaget dan menatap Revi dengan tanda tanya di wajahnya. “Kenapa, mbak? Tadi ngomong sama aku, ya?”

“Kamu kenapa kok tau-tau bengong gitu? Lagi ada masalah? Atau mungkin ada yang mau kamu certain sama aku, Ra?” Mbak Revi sudah hafal banget kebiasaan Rara. Rara memang bukan tipe cewek yang terbuka, ia lebih suka memendam dan menyelesaikan masalahnya sendiri daripada menceritakannya ke orang lain atau bahkan meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya. Tapi seiring waktu perkenalannya dengan Dirga, Rara mulai bisa membuka dirinya untuk menceritakan masalahnya kepada orang lain. Rara hanya mau terbuka dengan orang yang benar-benar dekat dengannya dan sudah sangat dipercaya, itupun harus ditanya duluan.

“Aku nggak apa-apa, kok mbak.”

“Yakin kamu lagi nggak ada masalah?” Mbak Revi menatap Rara lama. “Aku tau banget kebiasaan kamu kalo lagi ada masalah..ngelamun, sekalipun di sekitar kamu lagi rame banget! Ceritain aja, Ra..aku dengerin, deh.”

Nothing to say to you, mbak. I’m okay. Really!” Rara mencoba meyakinkan Revi.

“Nggak baik, lho Ra punya masalah dipendem sendiri. Aku nggak keberatan buat dengerin cerita kamu, Ra.” Revi berkata sambil membakar rokoknya.

Rara tersenyum kecut sambil melambaikan tangannya ke arah pelayan yang berdiri di dekat pintu masuk. “Ada yang bisa saya bantu, mbak?”, tanya pelayan tersebut sopan.

“Boleh minta asbak, mas?” Pelayan itu langsung berjalan ke meja counter dan kembali dengan membawa sebuah asbak kecil berwarna putih. Pelayan itu langsung pergi setelah Rara mengucapkan terima kasih.

Rara mengalihkan pandangannya ke Revi. “Emangnya muka aku keliatan lagi ada masalah ya, mbak?”, ujarnya sambil tersenyum.

Revi tersenyum penuh makna. “Aku kenal kamu udah lama, Ra. Aku nganggep kamu udah kayak adikku sendiri, jadi aku hafal banget kebiasaan dan raut muka kamu kalo kamu lagi punya masalah.”

Dua orang pelayan datang membawa pesanan mereka. Rara menggeser barang-barang yang berserakan di atas meja. Pelayan meletakkan pesanan, menanyakan apakah ada pesanan yang belum datang, dan meninggalkan meja mereka setelah yakin bahwa pelanggannya telah dilayani dengan baik. Mereka makan dalam diam, Rara sebisa mungkin berusaha memenikmati makanan di hadapannya.

Rara mengambil sebatang rokok putih dan menyelipkan di bibir mungilnya yang saat itu diberi sentuhan lip liquid The Body Shop warna pink glossy. “Mbak, sorry, ya kalo tadi aku sempet nyuekin. Hehehehe…nggak maksud, kok mbak. Cuma pas banget aja pengen bengong.”

Revi melempar pandangannya ke luar kaca, memandangi langit yang mulai gelap. Mendung sukses membuat langit Jakarta yang sudah hitam karena polusi udara menjadi semakin hitam. Mbak Revi terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya ia menarik nafas berat dan menghembuskannya perlahan. “Aku minta maaf, Ra kalo beberapa bulan yang lalu aku nggak ada buat kamu, nggak sempet dengerin cerita kamu.” Revi melanjutkan dengan suara yang semakin kecil, seolah berkata kepada dirinya sendiri, “Aku emang nggak bisa jadi kakak yang baik, ya Ra?! Aku nggak pantes kamu anggep sebagai kakak!”

Rara tercenung mendengar perkataan Revi. Ia semakin dalam menghisap rokoknya. Berbagai macam kejadian 4 bulan terakhir yang setengah mati berusaha dilupakanya berlompatan di ingatannya. Ia setengah mati berusaha mengenyahkan semua ingatannya tentang semua yang terjadi padanya.

“Harusnya aku bisa ngeluangin sedikit waktuku buat kamu. Aku malah concern penuh ngurusin persiapanku ke Jogja.” Revi mengambil kotak rokoknya, mengambilnya sebatang dan membiarkannya utuh tanpa dibakar.

Rara mematikan rokoknya yang sudah hampir habis di dasar asbak dan membakar rokok baru. Ia sama sekali tidak menanggapi kata-kata Revi.

Melihat Rara hanya diam, Revi melanjutkan, “kamu bener-bener nggak mau cerita sama aku? Kamu marah, ya Ra?”

Rara tetap diam seribu bahasa.

“Aku udah denger sedikit dari Dirga. Dia sempet SMS aku pas hari ketiga aku di Jogja, dia ngasih tau aku tentang keadaan kamu. Aku bener-bener minta maaf banget, ya Ra?!” Revi melirik HP-nya sekilas. “Tapi aku tetep berharap buat denger langsung ceritanya dari kamu. Siapa tau dengan cerita ke aku bisa bikin beban kamu berkurang.”

Rara menggigit bibir bawahnya, berusaha keras menahan tangisnya. Air mata terlihat mengambang di sudut matanya. Ia menarik nafas dalam, sebelum akhirnya mengeluarkan suara. “Aku nggak marah, kok mbak. Mbak Revi nggak salah..cuma emang waktu itu aku aja yang nggak berusaha menghubungi mbak buat cerita, aku nggak mau ganggu mbak Revi.”

Perasaan bersalah menyerang Revi saat mendengar kalimat terakhir Rara. Revi diam, menunggu Rara melanjutkan ucapannya.

“Aku tau kalo waktu itu mbak Revi lagi sibuk banget nyiapin ini-itu buat persiapan di Jogja. Aku juga nggak berusaha buat cerita ke Dirga, cuma karena aku nggak ada kabarnya sampe beberapa minggu akhirnya Dirga dateng ke rumahku tanpa ngasih aku dulu. Jadinya mau nggak mau aku akhirnya cerita sama dia.” Rara tersenyum, berusaha menutupi kesedihannya.

He is a good friend ever! Dia bener-bener tau kapan kamu butuh dia tanpa harus kamu kasih tau dulu. Nggak kayak aku..I’m a jerk!

“Nggak gitu juga, kok mbak. Dirga jadi curiga juga karena biasanya kan aku doyan banget ngerepotin Dirga. Dikit-dikit aku telpon atau SMS dia dan minta tolong ini-itu sama dia, makanya begitu beberapa hari dia nggak ngerasa ada yang gangguin..dia langsung ngerasa aneh. Mungkin yang bikin dia makin curiga karena waktu itu aku juga nggak mau bales SMS dan terima telpon dari siapapun, kecuali yang berhubungan sama kerjaan, mbak. Termasuk dari Dirga juga, mbak! So..you are not a jerk! You still my best older-sister!

Revi tersenyum senang mendengar pujian Rara. “Ceritain semuanya ke aku, ya Ra..jangan ada yang kamu pendem sendiri, sakitnya nggak akan pernah hilang. Kalo pun bisa hilang, pasti waktunya bakalan lebih lama.”

Rara diam. Mencoba meresapi setiap kata-kata bijak yang meluncur dari bibir Devi. Ia nggak yakin dia siap untuk membuka kembali ingatannya tentang kejadian beberapa bulan lalu itu. Rara menyandarkan punggungnya di senderan kursi, mencoba meyakinkan dirinya bahwa dia kuat untuk menceritakan semuanya kepada Revi. Mbak Revi bener, kalo gue pendem sendiri masalah ini, pasti bakalan lebih lama lupanya. Buktinya tadi aja gue masih tetep nangis pas inget semuanya, padahal kejadiannya udah lumayan lama! Rara membakar rokoknya lagi dan mulai menceritakan semua yang dialaminya.


1st Chapter by Tata

Read More ......

Leuser

-

PROLOG

Nanggroe Aceh Darussalam

Rabu, 14 Mei 2003

Fajar. Segaris warna emas menyingsing di horizon timur langit Aceh. Satu pesawat angkut militer C-130 Hercules melayang di angkasa hitam. Kabinnya lengang. Seregu tentara langit berseragam kamuflase hijau loreng, topi baja, ransel punggung dan parasut duduk bersisian. Tak ada suara, semua tenggelam dalam kebisuan. Tegang dan kaku. Hanya bising mesin menggerakkan dua pasang baling-baling.

Melintasi bentangan Krueng[1] Alas yang meliuk bagai siluet ular raksasa, pesawat secara bertahap mengurangi ketinggian. Turun ke batas terbawah gerombolan awan yang legam.

Angin keras seketika menerpa masuk saat pintu kabin perlahan terbuka. Menampakkan tumpukan dedaunan hutan menghitam jauh di bawah sana. Setelah pintu terbuka sempurna, dering bel terdengar nyaring dan kering, disusul nyala lampu merah di kabin utama. Komandan pasukan berpangkat letnan satu yang duduk di dekat pintu, berdiri memberi perintah.

“Periksa perlengkapan!”

“Siap!” regu tentara itu berdiri serentak. Membentuk satu barisan menghadap ambang pintu pesawat. Sigap melakukan prosedur pemeriksaan peralatan yang dicantelkan di sekujur tubuh.

“Bersiap exit!”

“Siap!”

Lampu merah berubah hijau, kode dari pilot bahwa pesawat sudah mencapai ketinggian yang tepat di DZ[2]. Satu persatu mereka meloncat keluar. Siluetnya terlihat bagai noktah-noktah kecil samar di kanvas langit yang hampir terang.

Payung-payung parasut mengembang sempurna bagai cendawan, melayang perlahan mendekati permukaan. Turun dengan lembut di sela-sela pepohonan, terpencar agak berjarak-jarak.

Setelah melayang lembut di udara dingin, kedua belas tentara itu menyentuh tanah yang masih dicumbu embun. Bergerak sigap melipat parasut. Menyembunyikannya di antara rerimbunan belukar. Masing-masing menyandang senapan dan bergerak cepat mencari posisi satu sama lain.

Setelah semua berkumpul di satu titik, sang letnan memberi aba-aba untuk segera meretas hutan pedalaman Aceh.


SATU

Aceh Tenggara,

Sabtu, 12 April 2003

Dua Land Rover Defender hijau gelap meluncur beriring. Melintasi telaga fatamorgana yang memantul di atas aspal. Di jip terdepan botanis usia dua puluh enam tahun itu menyandarkan tubuh mungilnya di jok depan yang lumayan empuk. Matanya yang bulat hitam menatap lepas keluar jendela. Memandang pepohonan yang berbaris tegap di sisi jalan diselingi rumah-rumah sederhana yang berjarak-jarak. Hamparan kebun dan ladang semakin sering terlihat dengan aktifitas sekelompok penduduk. Semua terlewat begitu saja, bagaikan sekumpulan foto beku yang ditampilkan frame demi frame.

Perempuan berkulit kecoklatan itu merasakan kungkungan momentum sepi, bisu, dan hampa. Latar belakang pegunungan dan langit biru terang tak mengusiknya dari terawang yang senyap. Selama delapan jam perjalanan melintasi ruas jalan Medan – Kutacane baginya terasa begitu lambat. Ada dua hal paradoks yang kini menghujam gumpalan organ lunak merah muda samar seberat 1,4 kg yang terlindung di balik tempurung kepalanya. Gairah dan kekhawatiran!

Suasana sekeliling tak lagi menarik baginya. Pikirannya jauh menelusur pada rencana ekpedisi kali ini. Hal ini baginya sangat penting. Ia telah menjadi duta Indonesia untuk melakukan ekspedisi ilmiah bersama perwakilan tiga negara Eropa. Lebih dari itu, ia telah bersumpah pada dirinya sendiri untuk menuntaskan hutang janji dua tahun yang lalu. Hasrat itu begitu menggoda, melebihi apa pun yang pernah dicapainya dalam perjalanan karirnya. Baginya ini adalah tugas yang senadi dengan denyut hidupnya.

Kesunyian dan kenyamanan di dalam jip berpendingin udara itu terjaga sempurna. Supir tetap berkonsentrasi pada kemudi. Menjaga akselerasi kendaraan 4X4 itu tetap stabil agar tak mengusik ketenangan ketiga penumpangnya. Walau pun perempuan di sampingnya sesekali mengajak berbincang untuk menepis kebisuan, lelaki ber-zebo wol coklat itu hanya menjawab singkat. Sekadar berbasa-basi demi kesopanan. Ia lebih memilih diam jika tidak ditanya.

“SIALAN!” Supir mendadak menginjak rem dalam-dalam. Suara ban berdecit menggigit aspal. Mobil berguncang hebat dan berhenti seketika.

Frinie kaget luar biasa. “Ada apa?!”

“Monyet sialan itu muncul tiba-tiba!”

Seekor lutung berbulu kelabu terkejut. Berdiri diam di tengah aspal. Menatap mobil sekejap. Lalu dengan gerakan cepat segera menghilang ke rerimbunan hutan.

Suami istri Christoffel Van Heurn dan Cornella Schaik yang sejak tadi terlelap di deretan bangku tengah, terbangun oleh kejutan tak menyenangkan itu.

What’s up?” Christoffel mengangsurkan tubuhnya ke depan. Kesal karena kenyamanannya terganggu.

I’m sorry, sir! A monkey trespassing the road!” Supir kembali menghidupkan mesin.

God bless that monkey!” Cornella menguap acuh dan melanjutkan tidurnya.

But, I don’t see anything!” Christoffel, walau masih mengantuk, dengan penasaran menyapu pandangan ke luar jendela. Namun ia tak melihat apa-apa kecuali jajaran pepohonan dan ruas jalan beraspal. Setelah mobil kembali berjalan ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Memejamkan mata dan mencoba menyambung tidurnya.

Christoffel Van Heurn adalah lelaki usia tiga puluh empat tahun dengan rambut coklat menyala, wajah merah, dan kumis tipis di atas bibirnya. Posturnya yang tinggi berisi tampak atletis dengan bahu yang bidang. Ia lebih mirip atlet renang ketimbang seorang ahli zoologi hutan hujan tropis. Sementara istrinya, Cornella Schaik, perempuan usia dua puluh empat tahun bertubuh sintal, kaki jenjang, mata biru menawan, dan rambut blonde itu duduk merapat. Meringkuk manja di sampingnya.

Frinie Limbong kembali dalam kesendirian. Memutar balik semua rencana awal yang telah tersusun rapi di kepalanya. Tak sabar untuk segera mencecahkan kaki lagi di tempat ia pernah menggantung semua harapan. Betapa lewat pergulatan panjang dengan waktu, ia telah berhasil meyakinkan komunitas peneliti. Proposal ekspedisi pembuatan film dokumenter yang digagasnya terjawab. Tekad, keyakinan dan semangatnya yang selalu berkobar bagai suluh berhasil menarik perhatian beberapa ahli zoologi, ekologi, botani, dan cinematografi alam liar. Melibatkan tim gabungan di bawah bendera Uni Eropa – Indonesia. Enam spesialis yang terdaftar atas nama Adolf Walther Koch, suami istri Christoffel Van Heurn dan Cornella Schaik, dan Sir John Mc Nabb serta Johannes Barita Tobing itu sudah terjadwal untuk melakukan kegiatan selama delapan bulan di kawasan ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Ekspedisi itu diyakini akan membuka khasanah baru pada studi tentang hutan hujan tropis Indonesia.

Ketika gairah Frinie semakin terbakar liar, percikan kekhawatiran menyeruak seketika. Situasi konflik Aceh yang semakin kusut –entah mengapa- tiba-tiba merasuk angannya. Pasca pengepungan rawa-rawa Desa Cot Trieng[3], Aceh di mata Frinie semakin mencekam. Rasa khawatir itu menghantuinya sejak beberapa jam yang lalu. Di perbatasan propinsi, Frinie melihat pergerakan militer yang tidak biasa. Kendaraan taktis terparkir tak jauh dari pos perbatasan. Pemeriksaan pun lebih ketat dari lazimnya. Wajah-wajah lelah tentara dan polisi bersenjata yang terlihat kaku dengan sorot mata penuh curiga menularkan ketegangan di batinnya.

Sebelumnya, dalam tujuh tahun terakhir sejak Frinie beberapa kali bolak-balik ke Aceh untuk kepentingan studi, ia tak pernah melihat konsentrasi militer seperti itu di perbatasan. Media massa pada bulan-bulan terakhir ini pun gencar menyiarkan perkembangan gencatan senjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia yang terancam gagal. Frinie takut seandainya konflik bersenjata semakin meruncing, proyek kali ini bisa jadi berantakan. Setidaknya usaha keras selama tujuh tahun terakhir untuk mengungkap misteri niche[4] flora di hutan Leuser akan tertunda untuk waktu yang lama.



[1] Krueng (bahasa Aceh) = sungai.

[2] Dropping Zone – istilah untuk menyatakan titik penerjunan pasukan lintas udara.

[3] Pada pertengahan November 2002, pasukan gabungan TNI dalam jumlah 9 SSK (Satuan Setingkat Kompi) melakukan pengepungan terhadap markas GAM di kawasan rawa-rawa Desa Cot Trieng, Kecamatan Muara Dua, Aceh Utara, untuk memperlemah kantong perlawanan separatis di wilayah Aceh Utara.

[4] Niche atau biasa disebut “relung”, adalah suatu tempat dalam ekosistem yang dihuni oleh spesies tertentu di dalam habitatnya dengan kombinasi faktor-faktor pendukungnya seperti pasokan air, cahaya, suhu, dan pangan.

Fajar. Segaris warna emas menyingsing di horizon timur langit Aceh. Satu pesawat angkut militer C-130 Hercules melayang di angkasa hitam. Kabinnya lengang. Seregu tentara langit berseragam kamuflase hijau loreng, topi baja, ransel punggung dan parasut duduk bersisian. Tak ada suara, semua tenggelam dalam kebisuan. Tegang dan kaku. Hanya bising mesin menggerakkan dua pasang baling-baling.

Melintasi bentangan Krueng[1] Alas yang meliuk bagai siluet ular raksasa, pesawat secara bertahap mengurangi ketinggian. Turun ke batas terbawah gerombolan awan yang legam.

Angin keras seketika menerpa masuk saat pintu kabin perlahan terbuka. Menampakkan tumpukan dedaunan hutan menghitam jauh di bawah sana. Setelah pintu terbuka sempurna, dering bel terdengar nyaring dan kering, disusul nyala lampu merah di kabin utama. Komandan pasukan berpangkat letnan satu yang duduk di dekat pintu, berdiri memberi perintah.

“Periksa perlengkapan!”

“Siap!” regu tentara itu berdiri serentak. Membentuk satu barisan menghadap ambang pintu pesawat. Sigap melakukan prosedur pemeriksaan peralatan yang dicantelkan di sekujur tubuh.

“Bersiap exit!”

“Siap!”

Lampu merah berubah hijau, kode dari pilot bahwa pesawat sudah mencapai ketinggian yang tepat di DZ[2]. Satu persatu mereka meloncat keluar. Siluetnya terlihat bagai noktah-noktah kecil samar di kanvas langit yang hampir terang.

Payung-payung parasut mengembang sempurna bagai cendawan, melayang perlahan mendekati permukaan. Turun dengan lembut di sela-sela pepohonan, terpencar agak berjarak-jarak.

Setelah melayang lembut di udara dingin, kedua belas tentara itu menyentuh tanah yang masih dicumbu embun. Bergerak sigap melipat parasut. Menyembunyikannya di antara rerimbunan belukar. Masing-masing menyandang senapan dan bergerak cepat mencari posisi satu sama lain.

Setelah semua berkumpul di satu titik, sang letnan memberi aba-aba untuk segera meretas hutan pedalaman Aceh.


SATU

Aceh Tenggara,

Sabtu, 12 April 2003

Dua Land Rover Defender hijau gelap meluncur beriring. Melintasi telaga fatamorgana yang memantul di atas aspal. Di jip terdepan botanis usia dua puluh enam tahun itu menyandarkan tubuh mungilnya di jok depan yang lumayan empuk. Matanya yang bulat hitam menatap lepas keluar jendela. Memandang pepohonan yang berbaris tegap di sisi jalan diselingi rumah-rumah sederhana yang berjarak-jarak. Hamparan kebun dan ladang semakin sering terlihat dengan aktifitas sekelompok penduduk. Semua terlewat begitu saja, bagaikan sekumpulan foto beku yang ditampilkan frame demi frame.

Perempuan berkulit kecoklatan itu merasakan kungkungan momentum sepi, bisu, dan hampa. Latar belakang pegunungan dan langit biru terang tak mengusiknya dari terawang yang senyap. Selama delapan jam perjalanan melintasi ruas jalan Medan – Kutacane baginya terasa begitu lambat. Ada dua hal paradoks yang kini menghujam gumpalan organ lunak merah muda samar seberat 1,4 kg yang terlindung di balik tempurung kepalanya. Gairah dan kekhawatiran!

Suasana sekeliling tak lagi menarik baginya. Pikirannya jauh menelusur pada rencana ekpedisi kali ini. Hal ini baginya sangat penting. Ia telah menjadi duta Indonesia untuk melakukan ekspedisi ilmiah bersama perwakilan tiga negara Eropa. Lebih dari itu, ia telah bersumpah pada dirinya sendiri untuk menuntaskan hutang janji dua tahun yang lalu. Hasrat itu begitu menggoda, melebihi apa pun yang pernah dicapainya dalam perjalanan karirnya. Baginya ini adalah tugas yang senadi dengan denyut hidupnya.

Kesunyian dan kenyamanan di dalam jip berpendingin udara itu terjaga sempurna. Supir tetap berkonsentrasi pada kemudi. Menjaga akselerasi kendaraan 4X4 itu tetap stabil agar tak mengusik ketenangan ketiga penumpangnya. Walau pun perempuan di sampingnya sesekali mengajak berbincang untuk menepis kebisuan, lelaki ber-zebo wol coklat itu hanya menjawab singkat. Sekadar berbasa-basi demi kesopanan. Ia lebih memilih diam jika tidak ditanya.

“SIALAN!” Supir mendadak menginjak rem dalam-dalam. Suara ban berdecit menggigit aspal. Mobil berguncang hebat dan berhenti seketika.

Frinie kaget luar biasa. “Ada apa?!”

“Monyet sialan itu muncul tiba-tiba!”

Seekor lutung berbulu kelabu terkejut. Berdiri diam di tengah aspal. Menatap mobil sekejap. Lalu dengan gerakan cepat segera menghilang ke rerimbunan hutan.

Suami istri Christoffel Van Heurn dan Cornella Schaik yang sejak tadi terlelap di deretan bangku tengah, terbangun oleh kejutan tak menyenangkan itu.

What’s up?” Christoffel mengangsurkan tubuhnya ke depan. Kesal karena kenyamanannya terganggu.

I’m sorry, sir! A monkey trespassing the road!” Supir kembali menghidupkan mesin.

God bless that monkey!” Cornella menguap acuh dan melanjutkan tidurnya.

But, I don’t see anything!” Christoffel, walau masih mengantuk, dengan penasaran menyapu pandangan ke luar jendela. Namun ia tak melihat apa-apa kecuali jajaran pepohonan dan ruas jalan beraspal. Setelah mobil kembali berjalan ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Memejamkan mata dan mencoba menyambung tidurnya.

Christoffel Van Heurn adalah lelaki usia tiga puluh empat tahun dengan rambut coklat menyala, wajah merah, dan kumis tipis di atas bibirnya. Posturnya yang tinggi berisi tampak atletis dengan bahu yang bidang. Ia lebih mirip atlet renang ketimbang seorang ahli zoologi hutan hujan tropis. Sementara istrinya, Cornella Schaik, perempuan usia dua puluh empat tahun bertubuh sintal, kaki jenjang, mata biru menawan, dan rambut blonde itu duduk merapat. Meringkuk manja di sampingnya.

Frinie Limbong kembali dalam kesendirian. Memutar balik semua rencana awal yang telah tersusun rapi di kepalanya. Tak sabar untuk segera mencecahkan kaki lagi di tempat ia pernah menggantung semua harapan. Betapa lewat pergulatan panjang dengan waktu, ia telah berhasil meyakinkan komunitas peneliti. Proposal ekspedisi pembuatan film dokumenter yang digagasnya terjawab. Tekad, keyakinan dan semangatnya yang selalu berkobar bagai suluh berhasil menarik perhatian beberapa ahli zoologi, ekologi, botani, dan cinematografi alam liar. Melibatkan tim gabungan di bawah bendera Uni Eropa – Indonesia. Enam spesialis yang terdaftar atas nama Adolf Walther Koch, suami istri Christoffel Van Heurn dan Cornella Schaik, dan Sir John Mc Nabb serta Johannes Barita Tobing itu sudah terjadwal untuk melakukan kegiatan selama delapan bulan di kawasan ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Ekspedisi itu diyakini akan membuka khasanah baru pada studi tentang hutan hujan tropis Indonesia.

Ketika gairah Frinie semakin terbakar liar, percikan kekhawatiran menyeruak seketika. Situasi konflik Aceh yang semakin kusut –entah mengapa- tiba-tiba merasuk angannya. Pasca pengepungan rawa-rawa Desa Cot Trieng[3], Aceh di mata Frinie semakin mencekam. Rasa khawatir itu menghantuinya sejak beberapa jam yang lalu. Di perbatasan propinsi, Frinie melihat pergerakan militer yang tidak biasa. Kendaraan taktis terparkir tak jauh dari pos perbatasan. Pemeriksaan pun lebih ketat dari lazimnya. Wajah-wajah lelah tentara dan polisi bersenjata yang terlihat kaku dengan sorot mata penuh curiga menularkan ketegangan di batinnya.

Sebelumnya, dalam tujuh tahun terakhir sejak Frinie beberapa kali bolak-balik ke Aceh untuk kepentingan studi, ia tak pernah melihat konsentrasi militer seperti itu di perbatasan. Media massa pada bulan-bulan terakhir ini pun gencar menyiarkan perkembangan gencatan senjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia yang terancam gagal. Frinie takut seandainya konflik bersenjata semakin meruncing, proyek kali ini bisa jadi berantakan. Setidaknya usaha keras selama tujuh tahun terakhir untuk mengungkap misteri niche[4] flora di hutan Leuser akan tertunda untuk waktu yang lama.

1st Chapter by Evin H Bakara



[1] Krueng (bahasa Aceh) = sungai.

[2] Dropping Zone – istilah untuk menyatakan titik penerjunan pasukan lintas udara.

[3] Pada pertengahan November 2002, pasukan gabungan TNI dalam jumlah 9 SSK (Satuan Setingkat Kompi) melakukan pengepungan terhadap markas GAM di kawasan rawa-rawa Desa Cot Trieng, Kecamatan Muara Dua, Aceh Utara, untuk memperlemah kantong perlawanan separatis di wilayah Aceh Utara.

[4] Niche atau biasa disebut “relung”, adalah suatu tempat dalam ekosistem yang dihuni oleh spesies tertentu di dalam habitatnya dengan kombinasi faktor-faktor pendukungnya seperti pasokan air, cahaya, suhu, dan pangan.

Read More ......

Cinta Sunyi Dalam Diari Tania Tsurayya

-

ILANA AHMAD BERJaNJI DIHADAPAN KITAB SUCI

TENTANG SEGALA SISI DAN ISI HATINYA

TENTANG HIDUP YANG DIHARAPNYA DENGAN CINTANYA

SAMPAI AKHIRNYA DIA PERGI

BERJANJI DENGAN GADIS YANG TAK TERSENTUH ITU

DAN BERJANJI MENUNGGUNYA DI PINTU SURGA

DAN ILANA AHMAD MENUTUP MATA DALAM KEABADIAN


1. WARUNG KOPI

Separuh lebih kopi dalam gelas ini kunikmati lamat-lamat. Masih tersisa residu ampasnya, anak pondok bilang tinggal letek-nya. Diam-diam aku terjangkit virus ngelamun

sambil memandang butiran lembut letek yang tersisa di lepek. Tapi ini lebih dari sekedar ngelamun. Ini adalah penjelajahan intelektual. Pikirku melayang pada partikel-partikel tata surya yang terpecah akibat big bang. Berputar-putar mengelilingi intinya. Begitu juga dengan hidup ini. Kita semua sibuk mengelilingi apapun yang ada dihati dan keinginan kita, walau kadang kita tak tahu bahwa kita sedang dipermainkan atau lebih tepatnya dikendalikan oleh kekuatan yang sangat besar.

Warung kopi “ mbak muz”, begitu teman dan seluruh penjuru sekitar sini memberinya judul. Warungnya sederhana. Sesederhana pemiliknya. Mbak muz. Tapi dibalik kesederhanaanya tersimpan ribuan misteri dan ironi. Mungkin akan menjadi satu buah novel hanya untuk menceritakan jalan hidupnya!. Jajaran meja warungnya memanjang lurus. Di apit dua bangku panjang.diatas mejanya tertulis banyak nama-nama yang sengaja diukir dengan nikotin rokok. Seakan meja itu adalah bebatuan di puncak gunung tinggi yang ditorehkan diatasnya ratusan nama pendaki yang sudah menaklukanya. Begitu juga diwarung ini, mungkin seperti itu.

Disatu sudut jajaran nama-nama dari nikotin itu kutemukan temanku yang telah lampau: Dedy Nganjuk. Namanya terukir lamat-lamat. Mengingatkanku akan kisahnya yang terseok dan kabur. Seingatku sebelum dia boyong dari pondok dulu pernah menuliskan curahan isi hatinya dipintu lemarinya:

“ Kenapa hidup seperti ini, sapa dari pikirku sejenak.menghadapi segala permasalahan yang tak kunjung akhirnya. Mungkin ini semua adalah jalan yang harus ku tempuh dan ku lalui. Suatu masalah yang membuat ku terpesona,terperdaya oleh rayuannya.yang tak jelas

ujungnya.tapi di satu sisi aku sadar,bahwa apa yang ku rasa kini adalah semata-mata ujian darinya.begitulah kondisi ku saat ini, semoga aku dapat menjalaninya dengan penuh tanggung jawab.dan mempunyai tujuan yang jelas.tidak melantur begitu saja.hidup ku harus berubah.harus menjadi lebih baik.seperti apa yang di dawuhkan romo Yai dulu. Lhe seng ati-ati. Ojo lali nguwongne wong maksudnya adalah jika kita ingin di hargai orang lain kita harus menghargai dulu orang lain tersebut.dalam hal apapun kita harus seperti itu.

Temanku tercinta sudah saatnya hidup kita berubah.menuju puncak kesuksesan.untuk itu cobalah kita renungkan sejenak.bahwa apa yang sudah kita lakukan hari ini lebih baik dari hari kemarin.jangan seperti saya dulu yang senatiasa hidup tidak punya arah yang jelas.selalu sembrono dengan gemerlap dunia.akhirnya dapat mengganggu aktivitas utam kita.yang menjadi tujuan hidup kita….yaitu kehidupan yang abadi.untuk itu temanku mrilah kita senantiasa bersyukur dengan nikmat yang telah di berikan kepada kita.dengan seperti itu hidup kita akan senantiasa tentram,damai aman ,sentosa,tenang lahir batin.sukses ndunyo akhirat………….amien…. “.

Tulisan itulah hal terkahir yang kuingat tentangnya. Lebih dari itu ysmh kutahu dia ke warung kopi mbak muz hanya sekedar menikmatyi kopi. Dia bukan perokok. Adapaun tulisan nikotin dimeja kopi itu adalh hasil kerjka temanya yang dibayar. Dedi membelikan 2 batang rokok kretek dji sam soe pada temanya yang mau untuk mengukirkan namanya dimeja pake rokok. Dan waktu penulisan ini menghasbiskan waktu kurang lebih tiga bulan sebelum deia boyong, pergi menhilang dari pondok. Tapi anehnya dedi hanya mau namanya dituliskan temanya yang puasa senin kamis saja. Aneh sekali dedi kala itu dimata teman-teman. Padahal kalo dieja tulisan dimeja itu hanya bewrbunyi: Dedy Nganjuk pernah singgah disini.

Aku mengira dia mengalami dorongan impulsive negatif. Bahkan lebih dari itu. Cerita selanjutnya lihat saja dihalaman depan…



2. KENAPA HARUS MATI DULU UNTUK DAPATKAN CINTAMU

Sore ini betul-betul indah dalam baluran gerimis hujan. Sebetulnya ini bukanlah musim penghujan, tapi sudah beberapa bulan ini alam seakan tidak punya aturan dan jadwal. Semuanya berubah amburadul. Mungkin efek dari pemanasan global. Makanya dimana-mana orang pada ketakutan sendiri. Mereka berteriak akan bahaya global warming. Bumi kalau sudah tua maka dia akan mati. Kita sebagai manusia diatasnya malah lebih cepat untuk sekedar tumbang begitu saja. Bahkan manusia lebih cepat dari itu. Tiba-tiba saja. Dalam berbagai keadaan dan waktu.

Sore ini adalah milikku. Sore ini adalah kesempatan terakhirku dalam menggapai harapan yang indah. Sudah sekian lama kurencanakan segala hal hanya untuk sore ini. Sore ini semua harus kusampaikan sebelum semua berakhir sia-sia. Besok pagi aku harus pergi. Melanjutkan sisa jadwal dari perjalanan ilmiahku. Aku dapat beasiswa studi S2 program DEPAG di JOGJAKARTA. Besok aku harus berangkat meninggalkan pesantren ini. Dua hari yang lalu aku sudah pamitan pada teman-teman santri asrama. Kepada kiyai dan ustadzku juga. Jadi sekiranya ini hatiku memang plong untuk pergi. Tapi untuk satu hal aku merasa berat. Ini mungkin masalah sepele. Masalah cinta. Aduh, bahkan aku tidak pernah merasakan cinta. Sekalipun tidak dan memang aku selama ini lebih tertarik sama dunia buku dan kitab.

Tentang cinta dan hatiku yang begitu dalam kusimpan tak bisa kupertahankan juga. Beberapa bulan terakhir ini ada sesosok santriwati yang menghalau hatiku ke dalam pelataran cinta. Dia, dia adalah Tania Tsurayya. Santri muallimat kelas VI. Itu berarti kelas akhir pada program diniyah dipesantren ini. Jebolanya sudah dijamin hapal alfiyyah dan bisa cas cis cus musyawaroh bahsul masail dengan membuka-buka seabrek kitab kuning untuk mencari ibarot-ibarot. Hebat. Hebat sekali bagiku.

Cintaku bukan sekedar cinta biasa. Cintaku bukan seperti cinta anak muda umumnya. Cintaku ingin berakhir pada pernikahan yang kekal abadi dunia akhirat. Maka tidak sembarangan juga aku harus melabuhkan hatiku ini. Aku ingin menanyakan pada orang tua Tania Tsurayya. Sekedar perkenalan dan syukur-syukur melamarnya. Itu saja tidak lebih untuk sementara ini. Karena aku sadar bahwa dia juga belum lulus sedangkan aku sendiri baru mulai mendapat beasiswa S2.

Tania Tsurayya. Nama yang indah. Lebih dari sekedar nama, dia mengingatkanku akan maqolah yang berbunyi; Gapailah cita-citamu setinggi bintang Tsurayya. Indah bukan. Hanya sekedar mengingat namanya saja aku jadi semangat untuk meneruskan segala cita-citaku. Inilah wanita sesungguhnya kawan. Wanita yang tanpa hadirnya pun kita semangat dalam menjalankan kebaikan apapun. Adapun Tania. Pernahkah kau dengar lagunya Anang, suami dari Krisdayanti:

Tania dimana dirimu…,

indah nian pengharapan dan pencarian tentang Tania dalam lagu tersebut. Bukankah yang kita cari adalah sesuatu yang sangat kita harap dan rindukan. Hatiku mengharapkan Tania kawan.

Dia adalah gadis bulan dalam hatiku. Perangainya sangat santun. Kalau berjalan mata selalu menunduk ke tanah. Dia hidup dalam lorong jauh. Lorong pesantren khusus putri. Satu kilometer jaraknya dari asrama putra yang kutempati.

Jauh sebelum mengenal wajahnya aku sudah akrab sekali dengan nama Tania Tsurayya. Namanya kerab menghiasi jurnal-jurnal ilmiah tentang kepesantrenan. Dia adalah salah satu santriwati yang dianugerahi kecermelangan otak dan bidang tulis menulis. Karya puisinya sering disadur teman-teman untuk ditulis ulang di agenda atau sekedar disertakan dalam surat. Karyanya dalam mading menjadi sesuatu yang sangat mahal. Semahal karya Wiliam Shakespare dimata orang-orang gila. Yah, pecinta sastra dan puisi hanyalah sekumpulan orang-orang aneh dan mungkin lebih tepatnya lagi adalah orang gila bagiku.

Bahkan pada bulan bahasa yang tiap tahun hadir pada bulan Oktober November dalam pagelaran dunia tulis menulis salah satu karya Tania Tsurayya hilang dicuri orang. Judul dari puisinya adalah Bayang-Bayang. Tahukah kau kawan bahwa pencurinya baru kuketahui tiga bulan berikutnya. Dia adalah Badrun Ahmadi. Teman sekamarku yang ku bilang sekumpulan orang-orang aneh. Karena dia gemar sekali akan sastra dan puisi. Gila, benar-benar gila.

Sungguh alasan apa yang membuatku cinta padanya aku sendiri tak tahu. Aku remuk inderawi kalau harus menjawab mengapa aku jatuh cinta pada Tania Tsurayya.

Cinta adalah dorongan yang lebih kuat dari apapun. Cinta tidak kasatmata mata, tapi dapat mengubah anda dalam sekejap. Begitu tulis Barbara De Angelis, Phd. Dalam Chiken Soup for the soul. Searah jarum jam pemhaman cintaku terhadap Tania Tsurayya jug ademikian.

Dia memang cerdas kawan. Otaknya brilian sangat. Pada tingkat ke enam di muallimat dia sudah sangat hafal nadzom Alfiyyah karya ibnu malik, nadzom Juman, kitab Bulughul Marom dan Matan Fathul Mu’in.

Tapi ada satu kawan yang mungkin buatmu agak menjauh dan melupakan hasrat memilikinya. Allah SWt menganugerahi dia ketidakmampuan untuk mendengar dan gagap berbicara. Entah bahasa apa yang pantas mendefinisikannya. Aku akan sangat marah dalam diam kalau ada yang bilang Tania Tsurayya tuli. Tuna Rungu mungkin masih bisa dimaafkan.

Tapi itu tidak otomatis keanggunan dan kecantikannya jatuh kawan. Tidak .Sekali kali lagi tidak. Dia tetap cantik dan anggun. Dia sangat pintar. Ataukah ini Cuma pembelaanku akan perasaan jatuh cintaku saja padanya?. Sepertinya jawabannya tetap saja, tidak. Dia sangat cantik . dia bagai baidadari. Wajahnya yang putih bulat terlihat bagai purnama. Dia adalah bulan purnama kawan. Bulan purnama sealu dinanti-nanti oleh tiap orang. Purnama sangat pasti datangnya. Purnama sangat amanah. Maka tak heran kalau Emha Ainun Najib membuat pengajian Di desanya Menturo Sumobito setia[p tanggal bulan purnama. Karena datangnya sealu psati. Begitu juga dengan Tania Tsurayya bagiku. Dia adalah bulan purnamaku. Walaupu untuk alas an apa aku menunggu kadanga aku sedikit ragu.

Untuk memilikinya mungkin. Tapi bias kau bayangkan bagaimnan cemoohan kelurgaku nanti. Ilana Ahmad menikah denga seorang gadis Tuna Rungu. Bisakah kau bayangkan kawan?. Bisa. Bagiku sangat bisa. Bisa kalau bi idznillah.


3. Si Anak Sungai

Badrun Ahmadi adalah anak sungai. Begitu dia sering mencitrakan dirinya pada teman-teman. Dia adalah rekor terlama menyelam di jeding pondok. Hah, nyelam dijeding?, ya. Ada kebiasaan dipondok kalau pas mandi bareng, kadang bisa sampai tiga orang sekaligus untuk bersama-sama nyebur langsung ke jeding yang lumayan besar dan memanjang……….

Sungai Brantas adalah sebuah sungai di Jawa Timur. Sungai ini merupakan yang terpanjang kedua di pulau Jawa setelah Sungai Bengawan Solo. Sungai Brantas bermata air di Desa Sumber Brantas (Kota Batu), lalu mengalir ke Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto. Di Kabupaten Mojokerto sungai ini bercabang dua manjadi Kali Mas (ke arah Surabaya) dan Kali Porong (ke arah Porong, Kabupaten Sidoarjo).

Beberapa waduk berada di sepanjang aliran sungai ini maupun di anak-anak sungainya, diantaranya: Waduk Ir. Sutami(Karangkates) Waduk Selorejo Waduk Wlingi Waduk Lahor Semua waduk di atas dikelola oleh Perum Jasatirta. I

Dan badrun ahmadi bangga sekali akan sungai brantasnya. Dia bilang itu adalah senugainya. Kebetulan dia tingal didesa pinggiran sungai brantas tepanya didesa bedahlawak kawasan utara Jombang. Seluruh hidupnya selalu berkaitan dengan sugai brantas. Konon kakeknya adalah pawang buaya sungai brantas yang sangat handal dan disegani. Kalau ada orang tenggelam dan hilang disungai brantas. Kakeknyalah orang pertama yang dicari orang-orang untuk membantu mengetahui dimana gerangan orang yang tenggelam tadi. Ada dua sebab yang bias mengilangkan orang itu tadi; Buaya dan kalap. Tahukah kau teman apa itu kalap?, ngeri sekali ceritanya kawan.

Bapaknya juga bekerja sebagai juru atur aliran anak sungai brantas ke sungai-sungai kecil untuk selanjutnya dijadwalkan ke sawah-sawah yang akan digenangi. Badrun Ahmadi bangga sekali akan Bapaknya.

Sedang ibunya, tragis sekali ceritanya. Disuatu pagi kala Badrun kelas 5 SD habis sholat shubuh dan bermanja pada ibunya yang akan berangkat ke pasar di seberang sungai Brantas adalah pertemua terakhir Badrun dengan senyum ibunya. Pagi itu ibunya juga sudah berjanji akan membelikan oleh-oleh kesukaaan Badrun, onde-onde ceplok.

Perjalanan menuju pasar sebenarnya tidak terlalu jauh. Cuma harus menyeberangi sungai Brantas yang kala itu jembatan masih belum ada. Masyarakat hanya mnegandalkan perahu kayu untuk menyeberangi sngai Brantas. Sekali lintas dengan tarif Rp. 50,-. Pada jam-jam tertentu antrian untuk menyeberang sanagt padat sekali. Sampai seringkali urusan keselamatan tidak dipertimbangkan.

Sampai dating kabar dari kerumunan orang dipinggir tanggul sungai Brantas bahwa kapal kayu penyeberangan tenggelam karena kelebihan beban. Pagi itu didua sisi tanggul Brantas orang-orang menyemut berkumpul. Sebagian orang terloihat berenang tepat ditengah sungai brantas dimana kapal itu tdai tenggelam. Konon jumlah penumpangnya lima belas. Enam diantaranya selamat.sedangkan sembilan diantara hilang lenyap ditelan tenangnya aliran sungai Brantas.

Tragisnya kawan, diantara sembilan orang yang hilang itu tersebut nama dari ibu Badrun, Siti Jamilah.

Bahkan fiolosoi hidupnya juga di[penuhi akan keraifan sunagi brantas. Pernah terucap dari bibitrnya atatkiala dia dapat gilirang khitobah dipondok : hidup ini mengalir saja. Seperti sungai brantas. Pelan dan tenang tapi penuh kepastian. Bagaimanapun juga sungai brantas akan menuju muaranya, Laut. Begitu juga akan hidup ini. ….


4. Diary Tania Tsurayya

Kau adalah puisi. Kaulah alasan mengapa kuteruskan langkah yang sebetulnya mulai goyah. Perjalanan ini baru dimulai disaat kau malah pergi. Meninggalkanku bertepi direlung hati yang sepi. Telah ku tunggu dipenghujung musim yang selalu berganti lirih. Setiap helaan nafas yang ku ukir dikedalaman senyap dan bahagia. Dalam lorong yang sangat gelap dan sesak kau adalah cahaya dan pintu yang ku tuju satu-satunya.

Hidup ini menjadi daun yang layu. Bicaraku pelan-pelan semakin hampa. Yang kukecap, kubaca dan kulihat hanyalah ruang kosong. Lapangan terbang yang sunyi. Apapun yang kukeluarkan hanya angin. Hanya kilasan buih yang tiba-tiba pecah tatkala sengat matahari menjadi sangat.

Tanpamu aku hanyalah malam. Hanyalah kegelapan yang panjang. Aku takut akan pagi. Aku takut setiap jejak jalan dan waktu yang mengingatkanku padamu. Akankah aku selalu takut seperti ini pada bayanganku sendiri. Bayanganku yang tercipta dari keberadaanku. Hatiku sepi. Hatiku sebetulnya sederhana sekali. Hatiku hanya inginkan kau. tapi kau telah tiada. Hatiku hanya inginkan kau. Apakah ini rindu?. Mengapa aku harus terus menerus rindu pada orang yang mati?. Ini bukan percintaan. Kisahku denganmu bukanlah cinta. Ini adalah keabadian. Ini adalah gelombang besar yang ku tunggu tuk membawaku menepi di pantai. Kaulah pantaiku. Tapi kalau aku diterpa badai laut yang sangat biru karena kedalamannya. Maafkan aku jika tiba-tiba aku harus tenggelam dan akhirnya hilang. Apakah itu jalan satu-satunya untuk mengunjungimu? Apakah aku harus mati juga?.

Kutulis diary ini dengan hati yang sangat remuk redam. Mengkerut dan kering. Hatiku sendiri sebagai sebuah jasad organic ternyata punya respon tentangmu. Kutulis semua ini dengan linangan air mata. Aku hilang dan bingung sendiri untuk mleuapkan rindu ini pada siapa yang bisa menyampaikannya padamu. Aku hanya berdoa pada Tuhan. Semoga Dia sampaikan apa yang kurasakan padamu yang sudah ada disis-Nya. Rindu ini Tuhan padanya begitu besar. Gelap dan dalam. Sunyi dan kosong. Bulat dan pelan.

Dua tahun sudah ejak kepergianmu aku menyepi. Menyepi dikeramaian Jogjakarta. Tak tahan aku akan aroma Jombang yang menusuk-nusukku dengan kepiluan akanmu. Kenapa aku harus benci kotamu?. Kota diamana tertulis segala cerita menyedihkan dan entah hanya Allah SWT yang tahu sekaligus merencanakannya. Aku pasrah. Aku kalah dan akan terus bangkit.

Ya, aku pergi untuk meneruskan kuliah disini sambil mengejar cita untuk trahfidzul qur’an. Aku tidak ngekos. Aku pulang ke pesantren yang ada program tahfidz-nya.

Aku sudah semester empat difakultas syariah jurusan mau’amalah. Aku berjibaku debgan teori-teori ekonomi dan perbankan yang harus ku adu dengan teks-teks fiqh kitab kuning. Hari-hariku kucerihakan dan tenggelamkan diperpustakaan,. Karena hanya itu tempat yang paling nyaman untukku.



5. not now

Susunan bata yang masih basah berjejer rapi. Ini masih dalam kisaran jumlah delapan ribuan, untuk melaksanlkan proses pembakaran setidaknya msaih harus mencetak dua ribuan lagi. Bapak tua itu akhirnya mencetak lagi satu persatu adonan tanah liat basah itu dalam cetakan kayu.

Satu persatunya dihayati dengan keteguhan jiwa. Akhir bulan ini harus bias mendapatkan uang untuk anaknya membayar biaya ujian akhir sekolahnya. Dalam satuan batu bata yang masih basah itu terukir kekuatan untuk menyelesaikan segala upaya demi pendidikan aanknya.

“Untuk orang desa seperti aku ini, hanya ini yang bias kulakukan untuk sekolah anakku.” Begitu kira-kira yang pernah dia ucapkan padaku.

“ sawah untuk sementera istirahat dari garapan karena musim sudah berganti. Mencetak batu bata adalah salah satu solusi.”
…...................................................……………………….......................................…



6. Sang penulis dan Aisawa Desa.

Rindu ini senyap dalam desiran aliran sungai. Dingin dan menepi tapi tetap juga bertahan. Mengapa harus merasakannya kalau memang hatinya sudah beku. Menjauh dan ingin dijadikan debu. Fahmi tetap menatap kemerlap jalan dibelakangnya. Sementara bis malam perlahan-lahan meninggalkan kota ini. Kota terkutuk yang memata-matai setiap helaan nafasnya.

Aisawa menolak mentah-mentah pinangan yang diajukannya. Hanya dengan alas an ketidakjelasan pekerjaan dan kuliah yang tak kunjung usai. Apalagi fahmi sellau mendedikasikan hidupnya dalam dunia kepenulisan. Penulis tidak mempunyai arti dalam tatanman hidup perekonomian ini. Apalagi orang tua Aisawa di desa juga tidak mengenal status pekerjaan penulils. Di desa penulis tidak dikenal. Tidak dianggap sebagai pekerjaan. Penulis sama saja dengan pengangguran.

“ ai percaya padaku, suatu saat aku akan menulis novek fenomenal, novel indah penuh nmiali sastra yang akan jadi best seller di took-toko buku…” begitu ucap Fahmi. Tapi Aisawa hanya tersenyum kecut sekedar menyenanagkan ahtinya.

…………………………



7. MANTAN KEKASIH KEMBALI DATANG

Mantan kekasih kembali datang, dishubuh yang pekat dengan aroma kereta malam dari perjalanan jauh. Kenapa dia datang lagi dalam kesepian yang mendinginkan kota dimana aku telah susah payah berlabuh dan menghilangkan jejak. Dia datang membawa duka dalam raut wajahnya yang sunyi. Wajahnya yang ayu bagai awan mau hujan. Menggumpal dalam gurat kesedihan. Apakah gerangan yang membawanya kembali dalam peluk kekosongan yang seperti di katakanya dulu. Katanya aku adalah kekosongan yang tak bertepi. Lelaki misterius yang suka menyendiri. Penikmat rokok eceran pinggir jalan yang tak bisa dibanggakan. Tapi aku bangga dengan hidupku. Adapun dia kalau mau terima aku pada waktu apa adanya mungkin dia tidak menyesal kala sekarang dia kembali hadir dihadapku.

Dia menangis dalam tetesan air mata yang sedikit membeku. Meundukkan wajah seakan tentara yang melarikan diri karena kalah perang. Menghadap sang komandan minta maaf karena tidak bisa menyelamatakan seluruh pasukannya. Malukah dia kepadaku?. Aih aku tak tahu. Tetapi bagaimana sampai aku bisa disini menemuinya juga?. Itu tidak lebih dari sebuah empati tersendiri terhadap orang lain yang merasa terdholimi. Adapaun rasaku akan masa lalu telah lenyap ditelan udara waktu. Waktu telah membasuh segala debu perjalanan hidup ini. Tercerai berai dalam berbagai cerita baru. Mengalir bagai air sungai. Mengarak terus berjalan. Aku dulu tak harus sedih dan berdiam menjadi batu. Karena aku sadar hidupku sangat indah dan terlalu rugi kalau hanya menangis karena harus melupakanmu.

Mantan kekasih kembali dating dalam cepitan nafas yang terus menderu. Dia menginginkan sedikit celah hanya untuk sedikit membahasa kisah hidupny ayang pilu. Dia adlah melati pada zamannya. Adakah bunga yang abadi kewangiannya?. Maka dari itu dia sekarang dalam keadaan yang sudah layu. Ingin seklai aku bertanya kepadanya kenapa lelaki pujaannya bisa membuat hatinya kecewa.

Tapi diam adalah bijksanan. Kubiarkan dia terus bercerita. Mengurai setiap untai kata tentang kiosah hidup yang menyesakkan rongga jiwanya. Dia bercerita tentang segala hal dala kata-kata hujan yang sangat deras. Tidak ada titik dan koma. Aku sampai menderita mendengarnya. Tanpa memberi aku kesempatan untuk mencecap dan memahami lebih dalam apa kisah sebenarnya. Tapi air matanya yang juga deras memberitahu inti dari segala yang diucapnya. Oleh dia. Mantan kekasihku yang kembali dating pagi shubuh ini.

Lelaki yang sekarang memiliki ikatan denagnya ternyata tak seperti yang diharakan dulu. Memang manusia penuh keterbatasan. Tidak ada yang sempurna. Begitu ucaku pada dia. Tapi dia langsung menyalak lirih. Tapi masih lebih baik dengan engkau. Aih, kata-kata hamper saja membuatku terbawa kemanjaan masa lalu. Tapi akau pasti masih bisa bertahan untuk menjaga tidak banyak bicara. Tak ada yang sebaik dirimu. Aih, aku dipangggil dirimu. Dia terus menyebut kebaikan-kebaikanku. Satu persatu hingga bisa menjadi seribu. Eumpama kepingan batu mungkin dia sudah bisa membuat candi dari pujiannya itu untukuku.

Aku tidak butuh pujian yang sedemikian membuatku tambah terenyuh kenapa hidupnya terbawa pada garis hidup yang memilkukan ini. Kenapa harus lelaki seperti itu yang memilikinya. Dua jiwa yang seharusnya menyatu dam ikatan pernikahan, kenapa baru sekarang meradang dalam segala amuk keterbatasan masing-masing egonya sendiri. Bertahun sudah anda lalui ini dnegn suamia kenapa barus sekarang pecah dalam ringkasan gelombang prahara.begitu ucapku penuh nasehat pada dia. Aku bahkan tidak mau memberi kesempatan padanya untuk menikmati keakraban pembicaraan ini sampai denag hati-hati kupanggil dia, anda.

Dia duduk dibangku panjang stasiun koa ini. Kebetulan shubuh baru saja berlalu sehingga aroma pagi masih begitu segar dan murni. Aku ikut duduk disampingnya dengan mengambila jarak satu lambai tanga ini untuk mengindari hal-hal yang tidak didingkan. Dia terus saj bercerita sambil menundukkan wajahnya. Seakan menyesal kenpa harus melallaui waktunya selama ini tanpaku. Dia sendiri yang menjauh pada waktu dulu. Dalm kisaran desak untuk menikah karena orang Bapaknya adalah orang desa yang ingin cepat dipangggil kakek. Sedang aku dulu masih sibuk dengan judul skripsi dan buku-buku yang harus kupahami. Aku lebih memilih menyingkir minggir dari keinginnannya untuk melamarnya. Apaagi orang tuanya memandang ku sebagai lelaki yang tak jelasa masa depanya. Tapio aku hanya tersenyum kala itu. Cinta dia, mantan kekasihku itu memang tak mau diuji oleh kesabaran menunggu. Untik cinta yang dihasilkan hati yang tak begitu lulus uji aku tidak bisa begitu mengaguminya. Menurutku sama saja dia menginginkan semuanya ini serba instant. Sesuatu yang nstan kadang bsa membuat kita puas sejenka dengan keingian kita tapi kita tidak menyadari efek buruk sesudahnya.

Kuringkas waktu dengan nasehat terkhir agar dia kembali kepada suaminya sendiri. Mengarap ridla padanya agar semua kembali indah. Kusuruh dia saling menyadari bahw ahidup didunia ini hanya sebentar. Semua harus diniati ibadah pada Tuhan sang pengatur lelaku ini. Minta maaf pada suamimu. Cium kakinya. Agar bisa meuluuhkan setaip sifat sombong dan angkuhnya. Manusi a punya keterbatasan. Tidak ada yang sempurna. Adapun aku. Jangan jadikan aku cermin bagi cita-citamu. Aku adalah lelaki yang menikmatyi kesendirian ini. Menikmati keindahan dengan hati dan nuraniku sendiri. Sambil menunggu jodohku yang selalu kujampi-jampi lewat doa dan puisi. Adapan siapa jodohku akupun belaum tahu dan mendapatkannya. Aku janji kalau nanti kudapatkan jodohku akan ku beritahu kau.

Dalam setiap semilir angina dan rintik hujan p[asti ada kisah-kisah tersembunyi. Kembalillah kepada suamimu dan nikmati hidupmu dengan kebahagiaan-kebahagiaan. Kalau kau bisa bahagiadan indah dalam kesegaran melati dulu. Maka aku, lelaki penyendiri ini akan juga ikut bhagia. Begitulah nasehat terkhirku pada dia, manna kekasaihku yang kembali dating. Aku pergi dalam kedamaian hati. Sedangkan dia senyum merona dalam intipan cahaya matahari yang mulai menjamah pagi ini. Seakan dia telah menumpahkan beban hidupnya distasiun kota sepi ni. Kota dimana kunikmati kesendrian ini. Aku pamitan pergi kepada dia. Satu jam lagi kereta akan lewat. Biarkan dia merenung dalam satu jam untuk selanjutny apulang kembali kekotanya. Diaman dia seudah menjalani kehidupan ini lebih dulu.

Sedangkan aku. Aku akan tetap terus berjalan menyususri pagi yang indah ini dnegan sebatang rokok kretek. Aku mampir kewarung kopi. Disitu aku merenung dengan tenang bahwa ternyata hidp penuh panca roba. Dan ternyata aku sendiri layak untuk dirindukan wanita.


1st Chapter by Wahyudi Fajar Firmansyah

Read More ......