Thursday, August 21, 2008

Dusta: Permainan Kedua

IT’S ME : RARA!


Jakarta, Februari 2004, 06:00 WIB

Bangunan tingkat tiga dengan disain modern minimalis bernuansa coklat muda dan cream itu berdiri dengan indahnya di antara bangunan-bangunan lain yang berjajar teratur di sepanjang jalan di kawasan Fatmawati. Warna tembok yang berbeda ditambah dengan tulisan besar “Chocolate Architecture & Design Consultant” berwarna coklat tua di tembok bagian atas dan neon box – yang dapat terlihat oleh siapapun yang melintas dari jarak beberapa meter – membuat bangunan tersebut begitu mencolok.

Semua yang terlihat pada bangunan itu sama sekali tidak mencerminkan bahwa pemiliknya adalah seorang wanita muda yang enerjik.

Bagi Rara, “Chocolate Architecture & Design Consultant” adalah sebuah anugerah besar dalam hidupnya. Kedua orang tuanya yang merintis karier sebagai seorang pengusaha mempunyai pandangan bahwa menjadi seorang entrepreneur adalah suatu hal yang baik, disamping bisa mengembangkan diri sendiri juga dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi mereka yang membutuhkannya. Karena itulah begitu Rara – anak tunggal mereka – berhasil meraih gelar Sarjana Disainnya pada usianya yang ke-21 tahun, kedua orang tuanya sepakat memberikan pinjaman modal kepada Rara untuk mendirikan sebuah perusahaan konsultan disain. Pada saat perusahaannya berjalan 6 bulan, Rara bertemu dengan seorang arsitek wanita di sebuah seminar yang akhirnya sampai sekarang menjadi partner kerjanya.

Rania Rahmanita Putri – Rara – seorang pengusaha sukses di usianya yang baru menginjak 23 tahun. Dilahirkan sebagai seorang anak tunggal dari keluarga kaya dengan berbagai fasilitas mewah yang dapat dinikmatinya sama sekali tidak membuat Rara menjadi anak manja yang melulu bergantung pada orang tuanya. Karier cemerlangnya sebagai seorang disainer interior sama sekali tidak membuat semangat belajarnya surut, saat ini ia sedang melanjutkan kuliahnya di Program Pasca Sarjana Universitas Tridharma. Dengan kecantikan khas Jawa, tubuh tinggi proporsional dan sexy, warna kulit agak kecoklatan, dandanan modis dan stylish, plus rambut hitam wave sepinggangnya, selalu berhasil membuat pria-pria di sekitarnya rela meluangkan waktu untuk melihatnya dan membuat kaumnya melirik iri dan sinis. Rara adalah sosok langka, dengan perpaduan fisik yang sempurna dan kualitas otak di atas rata-rata. Sifat Rara yang open minded dan supel menjadikannya mudah diterima di lin

gkungan baru. Segala kelebihan yang dimilikinya tidak pernah membuatnya menjadi sombong. In the other way, she is PERFECT!

Pagi ini Rara sudah terlihat berdiri di depan kantornya. Kemeja putih lengan panjang yang digulung sampai di atas sikunya dan skinny jeans biru tua membuatnya terlihat fresh. Stiletto dan tas putih besar yang menggantung di pundaknya sangat serasi dengan warna bajunya. Rara sengaja datang sepagi ini untuk menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk sore ini juga, karena malamnya ia punya janji untuk bertemu dengan teman-teman S2-nya. Rara menyapukan pandangannya ke bangunan

kecil di bagian depan kantornya, mencoba menemukan Pak Pardi, satpam kantor yang memegang kunci.

Kemana sih pak Pardi? Kalo gini caranya, percuma aja gue dateng pagi-pagi buta, gak bisa masuk juga!

Rara melongok ke dalam pos satpam, tapi tetap nggak berhasil menemukan Pak Pardi. Rara mengambil ponsel dari dalam tasnya dan menekan sederetan nomor.

“Pagi, pak Pardi. Bapak dimana? Bisa tolong bukakan saya pintu? Saya sudah di depan kantor, pak.”, kata Rara panjang lebar saat terdengar sapaan di seberang.

“Selamat pagi, mbak Rara. Saya sedang ke depan beli sarapan. Baik, mbak..saya segera kesana.” Rara memang tidak pernah mengijinkan para pegawainya memanggilnya dengan sebutan ibu, menurutnya panggilan itu terkesan tua.


Rara berdiri di pinggir jendela ruang kerjanya sambil memegang segelas hot cappuccino hasil racikannya. Ia asyik memandangi jalanan di bawahnya yang penuh dengan kendaraan dan pejalan kaki. Rara menikmati hembusan angin pagi hari yang masuk melalui jendela-jendela kecil yang masih dia biarkan terbuka dan membiarkan rambut wave sepinggangnya yang basah, mengering sendiri karena hembusan angin.

Merasa belum puas menikmati pemandangan di bawah, Rara duduk di tembok rendah di pinggir jendela – yang memang dirancang khusus sebagai tempat duduk – ketika terdengar suara “you’ve got mail” dari speaker laptopnya. Dengan berat hati ia beranjak dari duduknya, menyeret langkahnya ke meja kerja, dan membuka e-mail yang baru masuk.

From : Andi

To : MM Tridharma

arma@yahoogroups.com>

Cc : Rara ; Ervan

; Ina ; Anti

Subject : kumpul-kumpul..

Guys,

Ntar malem jd ketemuan ya?! HA

RUS jadi!! Kan udah lama banget gak nongkrong bareng. Ktemu di tempat biasa jam 6an ya!! Pd dateng ya, guys.. C U there..bye..

Regards,

-Andhy-

Rara tersenyum senang. Gue pasti ikutan, lah..gak bakalan gue lewatin gitu aja kesempatan ketemu anak-anak! Rara langsung meletakkan gelas kopinya di atas tatakan gelas dari karet berbentuk kincir angin – oleh-oleh dari sahabatnya waktu ke Belanda. Dengan antusiasme penuh ia menekan tombol reply dan dengan cepat menulis balasannya.

j0252349

Panas dan teriknya sinar matahari Jakarta yang menembus masuk melalui kaca-kaca besar yang vertical blind-nya dibiarkan terbuka, sama sekali tidak mengganggu aktivitas pemiliknya. Rara tetap sibuk dengan kegiatannya di ruang kerja pribadinya yang terletak di lantai tiga. Dia terlihat asyik menatap layar monitor komputer sambil sesekali matanya mengamati gambar blue print maket dua dimensi sebuah hotel berbintang dari kertas besar yang terbentang di sampingnya.

Ruangan besar berdinding coklat muda dengan lantai marmer warna cream, serta furniture dengan dominasi warna coklat tua, cream, dan hitam yang tertata pas dan rapih terlihat sangat elegan, cozy, homey, dan berkelas – benar-benar mencerminkan siapa dan dari kelas mana pemiliknya. Rara sangat menyukai arsitektur dan penataan interior – yang dikerjakannya sendiri – ruangan kerjanya. Ruangan besar itu dilengkapi satu set meja dan sofa untuk menerima tamu yang berada di samping kanan pintu kaca, di seberangnya terdapat sebuah meja kerja berbentuk huruf “L” lengkap dengan kursi putar besar dan nyaman yang diletakkan membelakangi jendela berukuran besar. Di samping sofa tamu terdapat meja, beberapa kursi, dan white board yang berfungsi sebagai tempat rapat mini. Dua buah lemari besar terbuat dari kayu jati berwarna hitam dengan pintu geser dari kaca yang berisi koleksi buku, dokumen-dokumen, dan gulungan-gulungan kertas gambar diletakkan berjajar memanjang memenuhi sisi kiri pintu masuk. Sepertiga dari sisi kanan ruangan disekat dengan tembok menjadi dua bagian. Meja komputer dan meja kaca besar – yang berfungsi sebagai meja gambar – diletakkan di bagian depan tembok penyekat yang berukuran lebih kecil. Sedangkan ruangan lebih besar di belakang tembok penyekat digunakan sebagai semacam private room yang dilengkapi dengan sofa bed warna coklat tua, kulkas kecil, TV 29 inch, stereo set, meja kecil yang di atasnya terdapat coffee maker, dispenser kecil, toples-toples kecil dari kayu, dan perlengkapan makan-minum seadanya.

Rara beranjak dari tempatnya dan berjalan ke arah jendela, menatap jalanan di bawahnya sejenak, kemudian menarik tali penutup vertical blind. Pada saat yang bersamaan, pintu ruang kerjanya dibuka pelan tanpa menimbulkan suara. Seorang wanita melongokkan kepalanya. “Mau makan siang bareng nggak, Ra?”

Rara menoleh cepat, kaget mendengar suara di belakangnya. “Mbak Revi..!! Apa kabar, mbak? Kapan dateng? Kok nggak bilang-bilang kalo mau pulang hari ini?” Rara berlari memeluknya. “Aku kangen, mbak.”

Ayu Revita – Revi – seorang wanita berusia sekitar 30 tahun yang masih menikmati hidup melajang. Tubuh mungil dengan kulit putih bersih dan wajah cantik membuatnya menarik. Revi adalah seorang arsitek sukses yang kini bekerja sebagai partner Rara. Revi memiliki pribadi yang baik dan sifat periang yang membuat orang disekitarnya merasa nyaman. Revi bisa jadi tempat curhat dan seorang pendengar yang baik. Bahkan Rara sudah menganggap Revi sebagai kakaknya. Dengan semua yang dimilikinya sekarang, kadang Rara heran : kenapa sampai sekarang mbak Revi masih belum memutuskan untuk berumah tangga?

“Satu-satu ya, adik manis. Kabar aku baik, baik banget malah! Aku sengaja nggak kasih tau siapapun kalo pulang hari ini..biar surprise!! Aku bener-bener baru landing 2 jam yang lalu dan langsung kesini.” Ia melepaskan pelukannya dan berjalan ke sofa tamu.

Rara ikut duduk di sampingnya. “Kok cepet banget, sih mbak baliknya? Kan estimasinya bulan depan mbak baru balik Jakarta.”

“Iya, tapi ternyata partner kerja kita kerjanya bagus banget, Ra. Dia sigap banget. Tepat waktu banget, deh..malah bahkan seringan lebih cepet dari due date. Pokoknya semua kebutuhan kita buat kerjaan udah disiapin dengan baik. Makanya jadi cepet selesainya juga.” Revi mengeluarkan kotak rokok dari kantong jaket jeans-nya. “Aku ngerokok, ya Ra?”, ia bertanya sambil mengambil sebatang rokok dari kotak rokok kulit warna hitam yang dipegangnya.

“OK! Tolong nyalain exhause-nya sekalian, mbak.” Rara menunjuk tombol putih di samping pintu. “Gimana Jogja, mbak? Still wonderful?” Rara mendekatkan asbak ke Revi.

“Yup! Jogja emang nggak pernah ada matinya, Ra. Tinggal 2 bulan disana kayaknya masih belum puas! Aku nyobain banyak hal, kenalan sama banyak orang baru, pokoknya nggak ada satu hal pun tentang Jogja yang aku lewatin.” Revi menjentikkan abu rokoknya dengan jari-jari mungilnya. “Kerjaan disini gimana?”

So far so good, mbak.” Rara membesarkan matanya, menandakan ketertarikannya akan topik yang diceritakan Revi. “Terus..terus? Emangnya kerjaannya nggak padat, ya mbak? Kok sempet ngapa-ngapain, sih?” Rara beranjak ke mejanya dan mengambil kotak rokok di dalam tasnya. “Ngobrol di situ aja, yuk mbak!” Rara menunjuk pinggiran jendela dengan dagunya.

Revi duduk di atas sofa bed yang masih terlipat. “Saking pengennya aku ngebuktiin kata-kata kamu tentang keindahan Jogja, aku sampe nggak peduli sama capeknya badanku. Jadi tiap malem abis kerja aku langsung keliling Jogja.” Revi tertawa kecil. “Ternyata Jogja emang keren, Ra. Kekeluargaan masih kental banget disana. Pokoknya aku betah, deh kalo suruh tinggal disana.”

“Aku nggak bohong kan, mbak?!” Rara mengedipkan matanya sambil tersenyum ke arah Revi. “Nggak sempet kesasar kan, mbak pas jalan-jalan disana? Mbak Revi kan…”

“Ngeledek aja terus, Ra!” Belum selesai Rara berkata, Revi sudah memotong kalimatnya sambil menoyor pelan kepala Rara. “Aku kan nggak sendirian jalan-jalannya. Ada yang nemenin kok! Jadi nggak bakalan nyasar!” Kualitas otak Revi emang sangat diragukan kalo menyangkut masalah jalanan. Di Jakarta, tempat tinggalnya sejak lahir aja dia masih suka nyasar dan nggak tau jalan, walaupun cuma buat ke tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi. Sampai-sampai dulu Rara sempet bilang ke dia – jangan-jangan kalo ke kantor bakalan nyasar juga, mbak?! – yang langsung disambut Revi dengan sambitan pulpen. Makanya Revi selalu mengandalkan supir pribadinya dan supir taksi untuk membuatnya sukses sampai di tempat tujuannya.

Rara tertawa ngakak.

“Sekarang aku jadi tau kenapa kamu segitu semangatnya kalo cerita tentang Jogja!” Revi beranjak ke kulkas kecil di samping sofa bed dan mengambil apel. “Aku bagi apelnya, Ra. Laper banget! Tadi nggak sempet sarapan.”

“Ambil aja, mbak. Kalo nggak salah disitu masih ada donat juga. Emangnya di pesawat nggak dikasih makan, mbak?”

“Dapet sandwich, sih tadi. Tapi pas aku buka bungkusannya, tanganku kesenggol penumpang di sebelahku, sandwich-ku langsung terjun bebas ke lantai. Pas aku mau ngomel, ternyata yang duduk di sebelahku kakek-kakek. Udah gitu dia ngeliat aku sambil ketakutan gitu, terus langsung minta maaf, aku jadi nggak tega. Sampe pucet gitu mukanya, mungkin gara-gara liat tampang aku yang udah nyolot banget!” Revi tertawa mengingat kejadian di pesawat tadi pagi.

“Ooooo…” Rara berkata sampai bibirnya mengerucut.

Keduanya terdiam. Revi menjulurkan kepalanya ke jendela. Rara tersenyum sekilas sambil matanya menerawang menatap langit-langit ruang kerjanya. Jogjakarta, kota kelahirannya yang ditinggalkannya sejak ia berumur 1 tahun. Karena kekagumannya akan segala hal di Jogja, begitu ia dianggap dewasa dan mendapatkan ijin untuk traveling sendiri oleh orang tuanya, Rara selalu rutin mengunjungi Jogja setiap tahun. Di Jogja Rara berhasil menghabiskan masa SMU-nya. Dan di tempat itu pula Rara pertama kali mengenal kata cinta yang berakhir dengan sakit hati. Namun kepahitan yang dialaminya tidak pernah berhasil membuatnya membenci Jogja.

“Mau kopi, mbak? Aku lagi nyoba bikin cappuccino sendiri.”

Mbak Revi mengangguk singkat. “Cangkir kecil aja, Ra. Aku kan belum sarapan, takut maag-ku kumat.”

Rara beranjak dari duduknya, meracik 2 cangkir kopi, dan memberikan cangkir di tangan kanannya ke Revi. Rara menunggu Revi meneguk kopi buatannya dan mencoba membaca ekspresi muka Revi setelah meminum kopi buatannya. “Enak nggak, mbak?”

“Yaaahh..hampir mirip sama yang dijual di coffee shop terkenal. Dikomersilin aja, Ra. Kan lumayan tuh, bisa buat nambah-nambah income. Kan katanya kamu lagi pengen ngeluasin usaha. Pasti prospeknya bagus, deh Ra. Kamu kan tau sendiri kalo sekarang ini orang-orang banyak banget yang doyan nongkrong di coffee shop.” Revi mulai ngelantur dengan idenya. “Aku ikutan sharing modal juga, deh Ra.”

“Ya nggak segitunya juga, sih mbak. Aku emang lagi pengen ngeluasin usahaku, tapi masa aku diversifikasi usahanya timpang banget?!? Mbak Revi ada-ada aja, deh!”

“Lho? Kenapa nggak?!? Itu kan peluang, Ra. Namanya juga pengusaha, penciumannya kan tajem kalo udah menyangkut sesuatu yang menguntungkan. Yang penting kan bidang usaha yang mau digeluti itu dia sukain dan memberikan output yang menjanjikan.”

Rara menggeleng-gelengkan kepalanya. Heran dengan cara berpikir Revi yang menurutnya ajaib. “Masa iya dari konsultan interior beralih ke penjual kopi?!? Lagian siapa yang mau ngurusin kantor ini, mbak?”

“Emangnya kenapa, kan nggak ada salahnya juga! Lagian Chocolate kan juga udah bisa dilepas, Ra. Kita udah punya orang-orang handal yang bisa nanganin kerjaan disini kalo misalnya kita harus terjun ke usaha yang baru. Kenapa harus dipusingin, sih?” Revi membuang apel yang sudah selesai dimakannya ke tempat sampah di pojok ruangan. “Lagian kamu mikir apaan lagi, sih? Untuk ukuran umur kamu sekarang, kamu tuh udah termasuk sukses! Kamu udah bisa pake tabungan kamu dari hasil kerja sekarang buat melebarkan sayap kamu. Kalo ermang masih kurang juga, kamu kan bisa minta tolong sama orang tua kamu. Mumpung masih muda, Ra! Jangan sampe nantinya jadi sebuah penyesalan, kayak aku gini. Dulu aku telat banget memulai semua ini, aku terlalu berharap banyak dari cowok itu sampe-sampe aku begitu bergantung sama dia. Umurku udah lebih tua 7 tahun dari kamu, tapi masih belum bisa ngapa-ngapain, masih kerja sama orang pula!” Nada penyesalan dan kemarahan terselip pada perkataannya. Pandangannya menerawang ke langit-langit ruangan Rara.

“Jangan ngomong gitu, dong mbak. Masalah cowok sialan itu nggak usah diungkit lagi ya, mbak. Aku nggak mau mbak Revi jadi sedih lagi!” Rara meletakkan rokok yang sedang dihisapnya di asbak dan menggeser duduknya, berusaha menenangkan Revi yang mulai sentimental. “Sekarang kan mbak Revi udah jadi seorang arsitek profesional. Semuanya jadi kayak gini kan juga bukan murni kesalahan mbak.”

Revi tersenyum kecut. “Hidup emang nggak segampang yang kita bayangin ya,?!”

Rara melirik jam dinding besar yang menggantung di dinding tepat di atas kepalanya, pukul 11:05. “Mau makan dimana, mbak? Jangan jauh-jauh ya..hari ini aku nggak bawa mobil, mbak.”

“Terserah kamu, aku ngikut aja. Kamu yang tentuin tempatnya, ntar aku yang traktir kamu, deh. Itung-itung tanda terima kasih dari aku karena udah dikasih kesempatan nikmatin Jogja.”

“Kok makasih sama aku, mbak? Itu kan emang udah bagiannya mbak Revi karena emang pas banget kita dapet job disana.” Rara mematikan rokoknya di dasar asbak. “Kita makan di Pizza Hut aja, mbak. Kan bisa jalan kaki.” Rara tersenyum polos. “Mbak Revi capek, ya?”

“Nggak. Kalo jalan cuma jarak tiga gedung aja sih aku masih kuat. Ya udah, jalan sekarang, yuk..biar kita bisa ngobrol lama. Many things that I want to hear from you.

Rara memandang Revi dengan mimik bingung hingga menimbulkan kerutan kecil di keningnya. Revi hanya tersenyum penuh arti tanpa memberikan jawaban atas kebingungan Rara. Rara pun beranjak dari tempatnya, memasukkan kotak rokok ke kantong celananya, mengambil dompet serta HP-nya, dan mengikuti mbak Revi yang sudah berjalan keluar ruangan.


Pizza Hut siang itu tidak begitu ramai, mungkin karena belum waktunya istirahat makan siang. Mereka memilih meja di pinggir jendela bagian samping. Rara melemparkan pandangan kosongnya ke jalanan ramai di depannya, seolah-olah hanya ada dirinya di meja itu. Tempat ini selalu ngingetin gue sama tuh cowok sialan! Kalo bukan karena gue nggak bawa mobil dan mbak Revi nggak baru sampe dari luar kota, gue nggak akan mau makan disini! Cuma bikin gue keinget masa lalu, bikin mood gue jelek! Beberapa bulan yang lalu, tempat ini masih menjadi tempat favorit Rara untuk makan siang dengan mantan pacarnya. Rara tetap memandang kosong obyek di depannya. Bahkan ketika pelayan menanyakan pesanannya, Rara sama sekali tidak menggubrisnya. Ia baru mendengar pertanyaan si pelayan setelah Revi menyentuh pergelangan tangannya. Rara menyebutkan pesanannya tanpa melihat daftar menu yang terbentang di hadapnnya. Selesai menyebutkan pesanannya, Rara kembali menatap kosong dan tidak memperdulikan si pelayan yang membacakan ulang pesanan mereka. Revi hanya bisa menatapnya dengan pandangan heran.

Is there something wrong, Ra?”, tanya Revi sambil melambaikan tangannya di depan muka Rara.

Rara mengalihkan pandangannya kaget dan menatap Revi dengan tanda tanya di wajahnya. “Kenapa, mbak? Tadi ngomong sama aku, ya?”

“Kamu kenapa kok tau-tau bengong gitu? Lagi ada masalah? Atau mungkin ada yang mau kamu certain sama aku, Ra?” Mbak Revi sudah hafal banget kebiasaan Rara. Rara memang bukan tipe cewek yang terbuka, ia lebih suka memendam dan menyelesaikan masalahnya sendiri daripada menceritakannya ke orang lain atau bahkan meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya. Tapi seiring waktu perkenalannya dengan Dirga, Rara mulai bisa membuka dirinya untuk menceritakan masalahnya kepada orang lain. Rara hanya mau terbuka dengan orang yang benar-benar dekat dengannya dan sudah sangat dipercaya, itupun harus ditanya duluan.

“Aku nggak apa-apa, kok mbak.”

“Yakin kamu lagi nggak ada masalah?” Mbak Revi menatap Rara lama. “Aku tau banget kebiasaan kamu kalo lagi ada masalah..ngelamun, sekalipun di sekitar kamu lagi rame banget! Ceritain aja, Ra..aku dengerin, deh.”

Nothing to say to you, mbak. I’m okay. Really!” Rara mencoba meyakinkan Revi.

“Nggak baik, lho Ra punya masalah dipendem sendiri. Aku nggak keberatan buat dengerin cerita kamu, Ra.” Revi berkata sambil membakar rokoknya.

Rara tersenyum kecut sambil melambaikan tangannya ke arah pelayan yang berdiri di dekat pintu masuk. “Ada yang bisa saya bantu, mbak?”, tanya pelayan tersebut sopan.

“Boleh minta asbak, mas?” Pelayan itu langsung berjalan ke meja counter dan kembali dengan membawa sebuah asbak kecil berwarna putih. Pelayan itu langsung pergi setelah Rara mengucapkan terima kasih.

Rara mengalihkan pandangannya ke Revi. “Emangnya muka aku keliatan lagi ada masalah ya, mbak?”, ujarnya sambil tersenyum.

Revi tersenyum penuh makna. “Aku kenal kamu udah lama, Ra. Aku nganggep kamu udah kayak adikku sendiri, jadi aku hafal banget kebiasaan dan raut muka kamu kalo kamu lagi punya masalah.”

Dua orang pelayan datang membawa pesanan mereka. Rara menggeser barang-barang yang berserakan di atas meja. Pelayan meletakkan pesanan, menanyakan apakah ada pesanan yang belum datang, dan meninggalkan meja mereka setelah yakin bahwa pelanggannya telah dilayani dengan baik. Mereka makan dalam diam, Rara sebisa mungkin berusaha memenikmati makanan di hadapannya.

Rara mengambil sebatang rokok putih dan menyelipkan di bibir mungilnya yang saat itu diberi sentuhan lip liquid The Body Shop warna pink glossy. “Mbak, sorry, ya kalo tadi aku sempet nyuekin. Hehehehe…nggak maksud, kok mbak. Cuma pas banget aja pengen bengong.”

Revi melempar pandangannya ke luar kaca, memandangi langit yang mulai gelap. Mendung sukses membuat langit Jakarta yang sudah hitam karena polusi udara menjadi semakin hitam. Mbak Revi terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya ia menarik nafas berat dan menghembuskannya perlahan. “Aku minta maaf, Ra kalo beberapa bulan yang lalu aku nggak ada buat kamu, nggak sempet dengerin cerita kamu.” Revi melanjutkan dengan suara yang semakin kecil, seolah berkata kepada dirinya sendiri, “Aku emang nggak bisa jadi kakak yang baik, ya Ra?! Aku nggak pantes kamu anggep sebagai kakak!”

Rara tercenung mendengar perkataan Revi. Ia semakin dalam menghisap rokoknya. Berbagai macam kejadian 4 bulan terakhir yang setengah mati berusaha dilupakanya berlompatan di ingatannya. Ia setengah mati berusaha mengenyahkan semua ingatannya tentang semua yang terjadi padanya.

“Harusnya aku bisa ngeluangin sedikit waktuku buat kamu. Aku malah concern penuh ngurusin persiapanku ke Jogja.” Revi mengambil kotak rokoknya, mengambilnya sebatang dan membiarkannya utuh tanpa dibakar.

Rara mematikan rokoknya yang sudah hampir habis di dasar asbak dan membakar rokok baru. Ia sama sekali tidak menanggapi kata-kata Revi.

Melihat Rara hanya diam, Revi melanjutkan, “kamu bener-bener nggak mau cerita sama aku? Kamu marah, ya Ra?”

Rara tetap diam seribu bahasa.

“Aku udah denger sedikit dari Dirga. Dia sempet SMS aku pas hari ketiga aku di Jogja, dia ngasih tau aku tentang keadaan kamu. Aku bener-bener minta maaf banget, ya Ra?!” Revi melirik HP-nya sekilas. “Tapi aku tetep berharap buat denger langsung ceritanya dari kamu. Siapa tau dengan cerita ke aku bisa bikin beban kamu berkurang.”

Rara menggigit bibir bawahnya, berusaha keras menahan tangisnya. Air mata terlihat mengambang di sudut matanya. Ia menarik nafas dalam, sebelum akhirnya mengeluarkan suara. “Aku nggak marah, kok mbak. Mbak Revi nggak salah..cuma emang waktu itu aku aja yang nggak berusaha menghubungi mbak buat cerita, aku nggak mau ganggu mbak Revi.”

Perasaan bersalah menyerang Revi saat mendengar kalimat terakhir Rara. Revi diam, menunggu Rara melanjutkan ucapannya.

“Aku tau kalo waktu itu mbak Revi lagi sibuk banget nyiapin ini-itu buat persiapan di Jogja. Aku juga nggak berusaha buat cerita ke Dirga, cuma karena aku nggak ada kabarnya sampe beberapa minggu akhirnya Dirga dateng ke rumahku tanpa ngasih aku dulu. Jadinya mau nggak mau aku akhirnya cerita sama dia.” Rara tersenyum, berusaha menutupi kesedihannya.

He is a good friend ever! Dia bener-bener tau kapan kamu butuh dia tanpa harus kamu kasih tau dulu. Nggak kayak aku..I’m a jerk!

“Nggak gitu juga, kok mbak. Dirga jadi curiga juga karena biasanya kan aku doyan banget ngerepotin Dirga. Dikit-dikit aku telpon atau SMS dia dan minta tolong ini-itu sama dia, makanya begitu beberapa hari dia nggak ngerasa ada yang gangguin..dia langsung ngerasa aneh. Mungkin yang bikin dia makin curiga karena waktu itu aku juga nggak mau bales SMS dan terima telpon dari siapapun, kecuali yang berhubungan sama kerjaan, mbak. Termasuk dari Dirga juga, mbak! So..you are not a jerk! You still my best older-sister!

Revi tersenyum senang mendengar pujian Rara. “Ceritain semuanya ke aku, ya Ra..jangan ada yang kamu pendem sendiri, sakitnya nggak akan pernah hilang. Kalo pun bisa hilang, pasti waktunya bakalan lebih lama.”

Rara diam. Mencoba meresapi setiap kata-kata bijak yang meluncur dari bibir Devi. Ia nggak yakin dia siap untuk membuka kembali ingatannya tentang kejadian beberapa bulan lalu itu. Rara menyandarkan punggungnya di senderan kursi, mencoba meyakinkan dirinya bahwa dia kuat untuk menceritakan semuanya kepada Revi. Mbak Revi bener, kalo gue pendem sendiri masalah ini, pasti bakalan lebih lama lupanya. Buktinya tadi aja gue masih tetep nangis pas inget semuanya, padahal kejadiannya udah lumayan lama! Rara membakar rokoknya lagi dan mulai menceritakan semua yang dialaminya.


1st Chapter by Tata

No comments: