Monday, July 13, 2009

Lajang Lapuk

-

Bayangkan jika kau jadi aku. Perempuan berusia 40 (sebenarnya 41 tapi masyarakat berhasil kukelabuhi. Horeee...!!!). Cantik, tinggi, seksi, punya karir cemerlang, dan bergelimang harta. Sekilas tampak sempurna. Tapi salah! Ada satu yang kurang. Di usia hampir setengah abad ini kau—jangankan pendamping hidup—pacar saja tidak punya. Dan kenyataan itu diperparah oleh teman-teman sebayamu yang semuanya telah sukses menikah. Bahkan ada yang sudah nekad memproduksi enam anak. Mau ditaruh di mana mukamu? Stress, sudah pasti. Panik, setiap hari. Jengkel, jangan ditanya! Apa kata tetangga?

Belum, reuni SMA tinggal 2 bulan lagi. Berani jamin! Pasti aku jadi pusat perhatian karena lagi-lagi melenggang sendirian di tengah teman-teman lama yang sedang sibuk memperkenalkan suami/istri mereka pada yang lain. Luar biasa memalukan! Sudah 3 minggu kepalaku migran memikirkan cara agar bisa meloloskan diri dari acara jahanam ini. Tadinya sempat ada niat untuk membakar gedung yang akan dipakai reunian, tapi setelah dipikir-pikir lagi rasanya cara itu agak sedikit kejam. Duuuuh... Gusti... bingungnya minta tobat. Kau pasti setuju, dalam situasi serba salah seperti ini gegar otak adalah alternatif terbaik selain gantung diri di pohon jengkol.

Penderitaanku belum berhenti sampai di situ. Ada yang lebih memalukan dari pada sekedar dipaksa keliling mall mengenakan bikini warna ungu sambil berteriak kalau kau adalah kembaran Jennifer Lopez yang sedang shooting video klip untuk album baru yang sebentar lagi akan diluncurkan ke pasaran. Aku sudah lama gamang karena sampai saat ini tidak tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya. Aku keturunan orang tidak jelas. Bebet, bobot, bibitku masih diragukan kesterilannya. Sialnya, waktu kecil aku diadopsi dari panti asuhan oleh orang yang... aku sendiri tidak tahu harus menyebutnya apa? Kata dokter sih ibu palsuku menderita kepikunan dini karena usianya sudah tua. Tapi aku tidak percaya karena ibuku sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda kepikunan, ia malah memperlihatkan ciri-ciri gangguan jiwa (mana ada nenek-nenek pikun yang nyasar ke diskotik didampingi 2 brondong SMA yang sadis gantengnya?). Kau tahu kenapa ibuku menderita gangguan jiwa? Tidak usah repot-repot mengira kalau dia pernah terbentur tabung gas elpiji ukuran tiga kilo setengah ketika sedang masak di dapur, terimakasih banyak. Jawabannya adalah aku—maksudku kehidupan ibuku sama persis sepertiku. Dia bahkan lebih parah karena sampai usia 72 tahun ini belum pernah punya suami.

Ajaibnya, sampai sekarang ibuku masih perawan, belum pernah dijajah oleh pria manapun. Aku tahu hal itu karena setiap kali berhasil punya pacar dan mengajaknya ke rumah, tanpa dipersilahkan ibuku akan heboh mempromosikan dirinya sendiri sambil berkata: “Hai, Tampan! Nama tante Gladis, ibunya Tamara. Kau tahu? Tante juga masih perawan, lho! Berminat pindah ke lain hati?” setelah itu ia akan berkedip-kedip genit sambil terus memegangi tangan pacarku. Dan yang terjadi selanjutnya adalah wajah pacarku mendadak pucat. Dengan suara bergetar tiba-tiba pamit pulang. Puncaknya, tengah malam hand phone-ku berbunyi, mengeluarkan suara yang sangat kukenal, dengan penuh ketakutan berkata: “Tamara, maaf, aku tahu ini berat bagimu. Tapi aku harus mengakhiri hubungan ini. Kita putus.” Disusul suara ‘tut’ tanda telepon ditutup. Ya, lagi pula siapa yang mau punya pacar anak orang edan? Hal apa coba yang lebih memalukan dari pada punya ibu angkat model begini? Tarzan boleh bingung karena punya ibu gorilla. Aku lebih bingung karena punya ibu setengah gila. Dan aku yakin kau pasti tidak akan menolak jadi orang sinting anyar kalau mengetahui kaulah satu-satunya pewaris tunggal kutukan perawan tua ibuku. Ya Tuhan... cobaan hidup macam apa ini?

Tapi tak apa. Di balik ketidak jelasan statusku itu banyak sekali kemungkinan yang bisa saja terjadi. Seperti: siapa tahu aku ini Uwa'nya Britney Spears? Atau anak bibi dari kakak ipar neneknya Madonna? Atau keponakan mantan pembantu tetangganya Mariah Carey? Atau penyanyi ngetop yang sedang naik daun yang didzolimi para pesaingnya, digetok pakai palu hingga amnesia lalu dibuang ke Indonesia? Atau, atau, atau, atau, atau... apa saja yang penting bukan wanita kesepian seperti sekarang.

Bagaimana? Mengetahui kenyataan itu kau pasti tidak sudi walau hanya membayangkan dirimu jadi aku. Begitupun aku. Kadang ada saat di mana aku tidak mau jadi diriku sendiri. Aku lebih sering membayangkan diriku jadi Anggun Cipta Sasmi (ngarep), Christina Aguilera, Beyonce Knowles, Celine Dion, Rihanna, atau mentok-mentoknya jadi Aura Kasih, bukannya Aura Setan yang dijauhi para lelaki. Duuuuuh... Pangeran Penguasa Alam... sudah lengkapkah data-data yang mendukungku jadi kandidat terkuat calon orang edan periode 2009-2014? Kenapa Kau jadikan hidupku tongkrongan favorit semua masalah aneh?

Masih belum cukup? Baiklah, kulengkapi data mengenaskan ini. Kelemahanku yang lain adalah masak. Aku tidak terlalu mahir dalam bidang itu. Pernah suatu ketika calon mertuaku (yang tidak jadi) memintaku untuk masak di rumahnya. Tidak mau ambil pusing, kuputuskan masak yang simpel. Tempe goreng. Sementara keluarga pacarku menunggu masakan dariku di ruang makan, aku malah sibuk bertelepon ria bersama temanku. Dengan panik bertanya apa saja bumbu tempe goreng itu? Kalau sudah matang tempenya berwarna apa? Ketika tempenya kubawa ke ruang makan, pacarku langsung minta putus. Dia mengira aku berusaha meracuni keluarganya dengan tempe gosong buatanku. Tuhan…

Satu lagi. Dosa rasanya kalau tidak mengikut sertakan musibah yang satu ini. Aku yakin kau pasti tidak mau punya teman sinting bin crazy binti gelo. Aku punya satu. Namanya Nensih. Selain ibuku, dia juga menjadi salah satu sumber malapetaka putusnya hubungan dengan pacar-pacarku. Termasuk tragedi tempe beracun tadi. Itu adalah hasil karyanya. Dan betapa beruntungnya aku karena kami tinggal satu atap. Di mana ada aku, di situ ada Nensih. Di mana ada Nensih, aku selalu berusaha untuk tidak ada di situ. Tapi walaupun begitu, kami sangat kompak. Apa-apa selalu berdua. Makan bareng, shoping bareng, jalan-jalan bareng, nonton bareng, tapi kalau mandi bareng, no way!

***

Satu-satunya alasan kenapa sampai saat ini aku masih bertahan hidup di tengah siksaan batin yang terus mendera adalah karirku yang terus menanjak. Ya, aku boleh dibilang wanita hebat yang mampu menaklukan Jakarta dalam waktu singkat. Bagaimana tidak, di usia yang masih belia (butuh belaian pria) aku sudah punya butik, cafe, dan 3 mini market. Dan tahun ini rencananya aku ingin menjajal peruntungan di bidang kuliner. Lagi pula sudah lama juga aku bermimpi punya restoran sendiri. Kelak—walau tidak yakin—kalau berhasil punya pacar lagi setiap hari aku bisa mengajaknya makan malam tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun. Ah, cara berhemat yang luar biasa picik. Tapi bukankah semua pria suka calon istri yang pandai berhemat? Hemmm… akan kupertahankan sikap ini. Picik!

Hari tampaknya masih agak gelap. Biasanya yang pertama kali bangun adalah ibuku. Tapi kami sedang bertengkar gara-gara pacarku yang lagi-lagi minta putus setelah berkenalan dengannya. Seperti biasa, setiap kali habis melakukan kesalahan ibuku akan lenyap dari rumah selama 1 atau 2 bulan dengan alasan ingin menenangkan batinnya yang sedang kacau-balau di rumah adiknya, Bibi Susi. Cara melarikan diri yang sangat efektif untuk mencegak meletusnya perang ibu dan anak. Ah, semoga dia tidak kembali lagi. Setidaknya sampai aku menikah.

Entah berapa lama suara gedebag-gedebuk dari depan rumah mengganggu tidur. Kulirik jam. Ternyata sudah lumayan siang. Dengan malas aku pergi ke kamar mandi. Ketika sedang dandan perutku terus saja melakukan makar. Rupanya paduan suara di dalam sudah tidak tahan ingin cepat-cepat diisi. Setelah beres aku buru-buru ke ruang makan. Nensih sudah ada di sana. Kenapa makhluk satu ini selalu selangkah lebih maju dariku? Apa-apa pasti dia yang duluan.

“Cepat sarapan. Sudah jam tujuh.” Katanya sambil mengolesi roti dengan selai. “Untung suara ribut orang pindahan di depan rumah itu membangunkan kita. Kalau tidak, bisa terlambat lagi seperti kemarin.”

“Oh, jadi rumah kosong di depan itu sudah ada yang menempati.” Kataku akhirnya tahu apa sebenarnya suara gedebag-gedebuk tadi pagi. “Sukurlah, kalau terlalu lama kosong kan seram juga.” Aku mengambil roti dan mengolesinya dengan selai kacang.

“Tadi ibumu telepon. Katanya dia akan tinggal dua bulan di rumah bibimu. Dia pesan supaya kau jangan menghawatirkannya.”

“Ah, biarkan saja. Walaupun mau tinggal dua abad aku tidak perduli.” Aku masih marah.

“Heh, jangan begitu. Biar bagaimanapun dia tetap ibumu.”

“Memang. Tapi kelakuannya itu.”

“Ya sudah jangan dibahas lagi. Aku hanya memberitahu.”

Sarapan berlanjut tanpa ada percakapan lagi di antara aku dan Nensih. Sekali saja dia menyinggung-nyinggung tentang ibuku, perang saudara bisa pecah.


Setelah mengantar Nensih ke kantornya aku ke butik. Hari ini mendadak butik dijejali manusia-manusia beken. Harap dicatat! Tamaras Boutique adalah salah satu butik terkenal di Jakarta. Langganan peraih penghargaan di setiap fashion show besar. Baik skala nasional maupun internasional. Minggu kemarin saja aku kembali meraih penghargaan untuk the best desainer di Jepang. Ya, hampir semua pakaian yang ada di butik ini adalah hasil rancanganku sendiri. Aku lebih sering menghabiskan waktu menggambar model baju di butik ini. Tapi kalau sedang tidak waras biasanya aku lari ke café. Alasannya karena di café banyak brondong-brondong yang nongkrong. Melihat tampang remaja yang masih fresh kadang membuat stress hilang. Lumayan. Dan kalau sudah kembali waras aku akan kembali ke butik untuk menggambar model baju lagi. Semua model yang berhasil kuciptakan sangat unik, tidak ada duanya, dan tentu saja elegan. Jadi jangan heran kalau sebagian besar pengunjung butikku adalah artis, istri pejabat, dan para menteri. Tidak sembarang makhluk bisa masuk ke dalamnya. Singkat kata butikku adalah butik elit. Saking elitnya, semua baju yang ada sengaja tidak diberi bandrol agar orang-orang tidak langsung semaput ketika mengetahui harganya. Hebat bukan!

Sudah jam sepuluh. Aku masih duduk santai di belakang kasir sambil menggambar model baju. Sesekali kulirik pengunjung yang datang. Siapa tahu Tom Cruise nyasar ke tempat ini—semoga!!! Kalau benar akan kupeluk, kucubit, kucium, kuremas-remas rambutnya, foto bareng, makan bareng, tapi tidak untuk tidur bareng. Maaf, bukan muhrim.

Setelah harapan berbahaya itu melesat ke langit-langit, seorang gadis berambut panjang masuk diikuti dua manusia setengah wanita setengah pria. Rambut keduanya berwara-warni mirip kemoceng. Dan seolah pelengkap fashion, srantai bulu—entah ayam, entah bebek—yang diuntel-untel sengaja dililitkan ke tangan. Sekilas dua makhluk naas ini mirip burung unta yang baru saja sukses melarikan diri dari benua Afrika. Tapi bila dilihat dari cara bicaranya yang nyerocos mereka malah mirip burung Beo. Ah, mana yang benar?

Pintu terbuka lagi. Segerombolan ibu-ibu berjubel masuk. Tubuh mereka sangat langsing bak gitar spanyol. Umurnya kira-kira sama denganku. Sambil berceloteh riang mereka cekikikan. Ringan sekali hidupnya.

“Eh, di sana ada yang cocok, lho!” si Baju-merah menunjuk ke pojok, tempat gaun malam dipajang. “Kemarin aku lihat. Ih... gemes, deh!” katanya greget.

“Aduh, Jeng Tina, kok baru bilang sekarang.” si Baju-biru menimpali. Agaknya ia kekurangan gaun malam.

“Eh, yang di depan tadi juga lumayan, lho.” si Rambut-kriting ikut bersuara. “Hitam-hitam gimana... gitu.”

“Yang di depan tadi? Sori, ya, bukan level.” si Baju-biru menggeleng ngeri.

Kulihat gaun yang dipajang di depan. Ada tulisan diskon 10% di atasnya. Oh, ternyata mereka ibu-ibu gila gengsi. Pasti orang kaya. Bagi manusia seperti mereka diskon adalah sebuah penghinaan besar-besaran. Bisa menurunkan harkat, martabat, dan derajat sampai setara dengan sendal jepit.

“Eh, Ayo. Keburu disamber orang.” ajak siBaju-merah. Kemudian gerombolan arisan itu menyerbu pojok yang dimaksud. Di sana mereka menjerit histeris seolah menemukan Anjasmara sedang bersembunyi di antara daster-daster.
Aku tersenyum. Bahagia sekali hidup mereka. Sementara suaminya sibuk cari uang, mereka malah asik berburu pakaian. Ah, di mana mereka menemukan suami seperti itu. Aku berniat mengikuti jejak suksesnya.

Hand phone-ku tiba-tiba berdering. Dari Nensih.

“Lohaaaa...!!!” sapaku riang. “Ada apa?”

“Mara, ibumu tadi meleponku. Katanya dia minta ditransfer uang.”

“Transfer uang? Bukannya dia pergi membawa membawa banyak uang?”

Nensih berdecak kesal. “Mana aku tahu.” desusnya. “Dia cuma bilang kalau kau mentransfer uang ada kemungkinan dia akan tinggal satu tahun di rumah bibi Susi.”

“Ah, pemerasan.” Kataku kesal. Tapi mendadak otakku berpikir jernih. Satu tahun tahun tanpa ibuku. Itu berarti kesempatan punya pendamping hidup akan segera terwujud. “Ok, baik. Nanti akan kutransfer.”

“Ibumu juga bilang untuk mengetahui informasi lebih lanjut kau disuruh menghubunginya langsung.” Nensih agaknya mulai kesal menjadi penghubung komunikasi antara aku dan ibuku.

“Oke, akan kuhubungi dia.” Kataku mengakhiri perbincangan.

Sinting. Ibuku benar-benar sudah sakit jiwa. Sudah terang-terangan melakukan pemerasan dia malah belagak sok sibuk menyuruhku menghubunginya. Dengan kesal kudial nomor. Tersambung.

“Hallo, selamat siang. Anda tersambung dengan nomor Nyonya Gladis. Maaf kalau boleh tahu ini siapa, ya?” suara ibuku terdengar sangat menjengkelkan.

“Mamih, berhentikah membuat lelucon konyol.” Aku berang.

“Sepertinya saya mengenal suara Anda?”

“Demi Tuhan. Ini anakmu! Tamara!!!” aku berteriak.

“Oh, Anda. Bagaimana? Anda setuju dengan persyaratan yang saya ajukan?”

“Berhentilah mengoceh. Sebutkan berapa yang Mamih perlukan?”

“Oh, Cantik. Aku tahu kau takkan menelantarkan ibumu ini. Sepertinya sepuluh juta cukup. Kalau kau mau dua tahun hidupmu lebih tentram tiga puluh juta juga boleh.” Mamih tertawa genit. Suaranya mengingatkanku pada tokoh pelacur yang sedang memeras lelaki kaya yang semalam tidur dengannya. Dan kalau kemauannya tidak ditiruti dia akan membeberkan skandalnya.

“Akan kutranfer lima belas juta.” Kataku pasrah.

“Cantik, tunggu sebentar. Aku mau bertanya apakah kau ikhlas memberiku uang sebanyak itu?”

“Aku anakmu, Mamih. Ikhlas tidak ikhlas aku akan mentransfer uangnya.”

“Baiklah kalau begitu. Semoga harimu menyenangkan.” Kemudian derai tawa kemenangan menutup ocehan Mamih. Mengerikan.

Dengan kesal kututup hand phone. Pandanganku kembali tertuju ke pintu. Hasrat menggambarku lenyap seketika. Dan tiba-tiba pintu terbuka lagi. Mendadak mataku melotot. Kali ini yang masuk bukan wanita jejadian atau gerombolan arisan seperti tadi. Ini pria berdasi, masih muda, sendirian, tinggi, putih dan… aaaaarrrggghhh… sangat tampan. ku kelojotan. Secepat kilat berlari ke ruanganku untuk memeriksa make up dan penampilan—masih cantik—buru-buru keluar lagi. Si Tampan telah lenyap. Aku celingukan. Kepalaku berputar-putar mencari. Aduuuuuuuh... Tom Cruise-ku hilang.

Ke depan, tidak ada. Tak mungkin si Tampan berkeliaran di area kutang dan jilbab. Jangan! Pasti dia ada di area pakaian lelaki atau apa saja yang ada sangkut pautnya dengan lelaki. Ah, mungkin di area kemeja atau dasi. Cepat-cepat aku ke sana. Nihil. Duuuuuh... Tampan... di mana dirimu berada? Ketika hendak kembali ke kasir aku menemukannya sedang memilih sepatu. Aha! Kurapihkan pakaian. Tapi tiba-tiba gemuruh orang yang berlarian terdengar. Sekitar sepuluh SPG berhamburan kegenitan ke arah si Tampan. Dengan hasrat memecat seribu karyawan kuhadang mereka. Mataku melirik tajam, penuh ancaman PHK tanpa ampun bagi siapapun yang membangkang. Berhasil. Para SPG bubar barisan.

Tidak mau membuang waktu. Dengan penuh percaya diri aku mendekati si Tampan. Pura-pura ikut memilih sepatu. Mataku rasanya mau copot. Jantungku seperti mau meledak. Dari dekat lelaki ini terlihat jauh lebih tampan. Subhanallah... rambutnya hitam mengilap. Astagfirullah... bibirnya seksi sekali. Allahu Akbar... matanya berwarna biru. Mungkin dia bule atau keturunan Indo. Dan Alhamdulillah... sekarang aku di dekatnya. Wangi parfumnya menggoda hidung untuk terus berada di dekatnya. Tuhan... sempurna sekali makhluk ciptaan-Mu ini.

Otakku berputar setengah mati mencari ide agar bisa mengajaknya bicara. Dapat!

“Maaf, boleh minta tolong?” kataku gugup.

Si Tampan menoleh. “Ya,” jawabnya.

Aku tersenyum. “Boleh minta tolong ambilkan sepatu itu.” aku menunjuk sepatu putih di atas kepalaku.

Si Tampan membalas senyumku lalu mengambilkan sepatu yang kumaksud kemudian memberikannya padaku. “Ada lagi?” tanyanya.

“Tidak ada.” Aku menggeleng. “ Terimakasih.”

“Sama-sama.” balasnya. Kemudian dia pergi ke pojok, duduk di kursi dan mencoba sepatu yang ia bawa. Aku mengikutinya, duduk di sampingnya, dan mencoba sepatuku. Jantungku benar-benar mau meledak. Aroma parfumnya semakin menggoda hidung. Kalau direstui aku ingin sekali pingsan di hadapannya. Sukur-sukur langsung diberi nafas buatan.

“Eh, coba sepatu juga?” aku basa-basi.

Ia mengangguk sambil tersenyum. Manis sekali.

Kulepaskan high heels dan kupakai sepatu putih yang modelnya sungguh sangat aneh. Menyesal aku memilih sepatu ini. Tapi tidak apa-apa, ini hanya pura-pura. “Bagaimana, sepatu ini cocok tidak untukku?” aku menjulurkan kakiku yang telah dibungkus sepatu baru.

Alih-alih berkata 'bagus' si Tampan malah meledak tertawa. Keras sekali sampai beberapa pria yang kebetulan ada di ruangan itu melirik ke arah kami dan langsung ikut tertawa. Ada apa ini? Apanya yang lucu? Wajahku mendadak pucat. Aku salah tingkah. Nyengir sendiri. “Kenapa tertawa?” tanyaku gugup.

Dengan susah payah si Tampan berusaha bicara. “Itu kan sepatu laki-laki.” katanya kemudian kembali terbahak-bahak.

Rasanya seperti tertimbun apartemen 754 tingkat. Malunya ampun-ampunan. Kenapa aku tidak sadar kalau sekarang berada di area sepatu lelaki. Mataku buta. Pantatku serasa dipaku ke kursi, sulit sekali bergerak. Si Tampan tertawa semakin menjadi-jadi. Mamih... tolong anakmu. Dengan kecepatan cahaya aku kabur. Bersembunyi di ruanganku. Meratapi kebodohanku. Seribu satu satwa kebun binatang kusapa. Mulai dari monyet hingga badak ujung kulon. Tidak ada yang terlewatkan. Namun tanpa gentar, beberapa menit kemudian aku kembali ke medan perang. Kali ini bersembunyi di deretan gaun pengantin. Menunggu si Tampan ke kasir untuk membayar dan saat itu aku akan pura-pura ikut membayar barangku lalu sedikit berbincang-bincang tentang kebodohanku di area sepatu tadi, kemudian kenalan, tukar nomor telepon, janjian, pacaran, dan menikah. Aaaaahhh... sempurna sekali rencana biadabku ini. Apalagi tahun ini Mamih lenyap dari rumah. Sungguh sempurna. Hahahaha…

Hampir setengah jam aku bertengger menunggu. Keram mulai menjalar, kesal mulai mengendap, gondok mulai membengkak. Dan ketika semuanya nyaris meledak, akhirnya si Tampan muncul. Dia membawa lumayan banyak belanjaan. Aku meraih baju asal-asalan kemudian mengikutinya dari belakang. Di kasir dia mempersilahkanku untuk membayar lebih dulu. Ah, selain tampan ternyata dia sangat baik.

“Terimakasih.” kataku tersipu kemudian memberikan bajuku pada kasir.

“Aaaaarrrggghhh...” kasir tiba-tiba berteriak. “Selamat ibu. Akhirnya Tuhan mendengar doa saya. Mana undangannya? Kok belum disebar?” dia mengibarkan gaun yang baru saja kuberikan.

Kepalaku serasa digetok 500 martil. Bodoh! Kenapa aku mengambil gaun pengantin??? Salah-salah si Tampan mengira aku akan menikah besok. Tapi dengan kecanggihan akal bulusku dalam sekejap alasan untuk mengelak kudapatkan.

“Ah, kau ini ada-ada saja.” aku tertawa renyah sambil memukul pundak si kasir lembut. Tapi terlalu keras sampai si Kasir tersungkur ngusruk. Beberapa kotak berisi uang receh ikut berhamburan diiringi suara gemerincing yang menghawatirkan. Adalah sebuah misteri alam kalau tenaga orang yang sedang jengkel mendadak berlipat ganda. “Ah, maaf.” kataku.

Si Kasir bangkit. Merapihkan pakaiannya. Ia cengar-cengir serba salah. Dan... oh... hidungnya berdarah. Mungkin mencium meja atau apa. Rasakan itu bedebah!

“Cepat bungkus gaunnya.” perintahku. “Itu untuk saudaraku.” aku berbohong. Dengan sedikit sentuhan kesombongan kukeluarkan dompet dan mengambil kartu kredit gold.

“Loh, ini kan butik Ibu. Tidak usah bayar.” kata kasir dengan wajah bingung. Darah dari hidungnya mengalir semakin deras. Brengsek!

Aku berkedip-kedip berusaha memberikan isarat yang semoga saja dipahami.

“Mata ibu kenapa?”

Ah, isarat tidak dimengerti. Kasir tolol!

“Bu, sudah, tidak usah dibayar. Nanti saja saya masukkan ke data pribadi ibu.” kasir masih ngoceh.

Tiba-tiba aku sangat berhasrat ikut kursus menjahit. Kalau sudah lihai nanti akan kujahit mulut si Kasir. Aku terus berkedip-kedip. Si Tampan menatapku curiga. Jangan sampai dia mengira aku orang gila yang membeli baju di butikku sendiri. Duh... Tuhan... kenapa aku mendapatkan kasir idiot yang tidak mengerti isarat darurat. Kutendang meja, merharap mengenai kaki si kasir. Meleset, malah mengenai meja dan terlalu keras hingga suaranya berdebam. Aku jejeritan kesakitan. Kini semua orang menontonku. Duh... malunya. Berang! Akhirnya aku pergi keluar.

Aku bersembunyi di antara mobil. Ada dua ribu sembilan alasan untuk mendekati si Tampan. Sekarang aku akan pura-pura susah membuka bagasi. Dan kalau si Tampan nongol aku akan pura-pura minta bantuan padanya. Ah, sempurna.

Pintu terbuka. Yang keluar malah gadis berambut panjang yang diikuti dua banci atraktif tadi. Kuperhatikan. Ah, itu bukannya Anastasya Muldiono, penyanyi muda yang sedang naik daun itu. Lagu Culik Aku Lagi sangat booming dan menggema di mana-mana. Aku hafal liriknya. Tapi kalau melihat secara langsung tampaknya gadis itu sangat jutek. Ah, masa bodo.

Aku kembali menunggu. 5 menit, 10 menit, dan ketika aku hendak mengintipnya ke dalam akhirnya si Tampan keluar. Aku gelagapan, berlari serabutan tanpa arah ke mobil. Pura-pura mengeluarkan kunci. “Aduh... susah sekali ya!?” teriaku pura-pura. Jantungku melonjak.

“MALIIIIIIIING...!!!”

Sebuah teriakan dari ibu-ibu berpakaian aneka warna menggema di parkiran itu. Ada maling di mana? Aku celingukan. Itu bukannya rombongan anti-diskon yang tadi belanja di butik? Dengan tampang murka mereka berhamburan ke arahku.

Bagai petir di siang bolong. Keledai idiot saja tidak akan jatuh ke lubang yang sama tiga kali. Aku, Tamara Amalia, diteriaki maling oleh grup arisan entah dari Rt mana? Demi tempe-gosong-dan-beracun buatanku tempo dulu, aku sama sekali tidak tahu kalau mobil Taruna berwarna merah ini punya ibu-ibu itu. Apalagi berniat merampoknya. Sungguh, tidak secuilpun ada niat seperti itu. Dadaku serasa sesak. Panas perlahan menjalar naik dari ujung kaki ke ubun-ubun. Pasti wajahku merah padam karena malu. Apalagi banyak orang yang tiba-tiba berdatangan. Duuuuhhh... Penguasa Jagat Raya... apa yang harus kulakukan. Jangan biarkan hamba-Mu mati muda dibakar masa.

Kakiku bergetar hebat dan dalam hitungan detik semuanya berubah menjadi gelap.

Samar-samar kulihat siluet wajah Nensih yang panik.

“Ah, untunglah kau sudah sadar.” Katanya tersenyum.

Aku hendak bangun tapi kepalaku terasa berat. “Apa yang terjadi? Mana ibu-ibu itu?” tanyaku bingung.

“Sudah tidak ada. Kau sekarang berada di rumah. Tadi siang sekertarismu menelepon. Katanya kau pingsan karena hampir digebugi masa.” Nensih cekikikan. “Ini, minum dulu.” Ia membantuku bangun lalu memberiku segelas air. “Bagaimana? Sudah agak mendingan?”

Aku mengangguk lemas.

Ternyata tadi siang aku pingsan. Tapi bagaimana nasib si Tampan. Duuuh… aku belum sempat kenalan. Tapi jujur, rombongan ibu-ibu tadi kalau sedang marah sungguh menyeramkan.

Jam 8 malam semuanya kembali normal. Aku sudah bisa tenang. Dan untuk memulihkan emosiku Nensih mengajakku nonton DVD. Film a Cinderella Story yang dibintangi Hilary Duff dan Chad Michael Murray. Ketika film sedang seru-serunya bel pintu berbunyi. Dengan malas aku membukanya.

Seorang pria tampan berdiri di ambang pintu. Tadinya aku hendak menjerit. Tapi tak jadi karena pria itu malah tersenyum. Sungguh manis. Dia memberikan sekotak kue padaku.

“Maaf, aku mengganggu. Ini ada kue.” Katanya sopan. “Aku penghuni baru di rumah depan. Anggap saja ini sebagai pemberian dari tetangga baru.”

Aku tersenyum. “Terimakasih.” Kataku senang.

Dari dalam Nensih berteriak, bertanya siapa yang datang. Tapi karena tak kuhiraukan dia akhirnya melihat sendiri. “Mara, siapa yang datang?”

“Eh, ini tetangga baru kita. Itu loh yang mengisi rumah depan.” Kataku gugup. “Oh, iya, namaku Tamara.” Aku mengulurkan tangan.

“Andy.” Katanya menjabat tanganku.

Setelah berbincang-bincang pendek akhirnya Andy pamit pulang tanpa mau masuk ke rumahku dulu. Katanya masih banyak yang belum dibereskan di rumahnya. Dan kabar baiknya, dia masih lajang. Aaaaaarrrrggghhh…

Aku dan Nensih buru-buru menyantap kue pemberian si tetangga-baru-yang-tampan. Tapi bunyi bel kembali mengganggu. Aku dan Nensih buru-buru membukanya. Pasti Andy balik lagi. Dan setelah pintu dibuka ternyata ibuku. Di ambang pintu, berlumuran tawa.

Bibirku langsung monyong mengetahui siapa yang datang. “Bukannya Mamih sedang menenangkan diri di rumah Bibi susi?” kataku judes.

Ibu melangkah genit ke dalam rumah seolah dia adalah model yang sedang berjalan di catwalk. Ia cengar-cengir tidak jelas sebelum akhirnya tertawa renyah. “Sepertinya perjanjian kita batal.”

“Apa?” aku kaget.

“Iya.” Ia mengangguk. “Naluri keperawananku mengatakan ada seorang pemuda tampan yang tinggal di depan rumah kita.” Katanya centil.

“Naluri keibuanmu seharusnya mengatakan bahwa merebut pacar anak sendiri itu adalah perbuatan tidak bermoral.” Kataku berang.

“Oh, Cantik. Aku suka sekali perbuatan tidak bermoral.” Mamih mengitari sofa. Entah apa maksudnya? “Sangat menantang.”

Aku kehabisan kata-kata untuk meladeni ibu-ibu sinting yang satu ini. Karena tidak mau ada perang teluk akhirnya aku mengalah dan naik ke atas. Tapi tiba-tiba bel berbunyi lagi. Aku buru-buru turun ke bawah. Kulihat ibu juga berlari ke arah pintu. Kami berdua berlomba dan akhirnya aku berhasil membuka pintu.

“Aaaaaarrrrggghhh…”

Kami berdua menjerit histeris.

***


1st Chapter oleh Zelan Sidik

Read More ......

Nadia

-

Nadia

“Kak, maaf… maafkan aku… cincin itu…”

“Kita harus berangkat sekarang!”
“Tidak! Aku nggak bakal pergi kalau…”
“Nadia, Nadia!!! Na…”

“WOI!!!!” Terdengar suara penuh amarah yang membuyarkan lamunanku. Cepat-cepat aku bangkit, membereskan barang-barang dan pergi menemuinya sebelum dia mengamuk. Menemui bossku.

“Kamu ini! Kerjaannya melamun aja, apa kamu nggak bisa kerja yang bener?” Omelan bossku mulai panjang lebar. Aku nggak ngerti, udah seharian ini dia kerjaannya ngomel melulu. Padahal aku udah berusaha selama ini kerja yang baik.

“Vin, take sekali lagi ya!” Seru seseorang memanggil bossku. Bossku hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia menoleh padaku lagi.

“Kamu balik ke mobil, ambilkan handuk dan pakaian ganti. Habis ini kita pulang!” Perintah boss sebelum pergi. Teringat sesuatu, aku memanggilnya.

“Vin, makan malam belum...” Yah, dia udah pergi. Aku belum buat makan malam. Bagaimana ini? Ya udah deh, yang penting ngambil barang-barangnya dulu.

Sesudah ngambil barang-barang dan keperluan lainnya, aku menonton bossku bekerja. Bossku adalah seorang bintang film.

Vincent, umur 20 tahun, pria lajang yang keren, tinggi, ganteng dan cool. Tapi sombong, angkuh, pemarah dan betul-betul nggak sabaran. Entah kenapa profesinya sebagai aktor terus aja meroket. Memang sih, kalau dia udah senyum bisnis, semua wanita bakal mabuk kepayang. Udah gitu, pintar pula. Katanya dia sering loncat kelas, dan sekarang dia udah mau lulus kuliah tanpa kesulitan berarti meskipun sibuk syuting. Vincent, Vinci. Oh iya, nama artisnya kan Vinci.... Vinci apa ya?

Haaah.... kalau aja nggak punya perjanjian bisnis dengan si licik itu, nggak bakal deh mau jadi asistennya. Emang sih, namanya asisten, yang katanya Cuma membantu membawakan barang dan mengurus semua barang-barangnya selagi dia kerja. Tapi aku juga merangkap pembantu yang mengurus rumah dan makanannya!!! Di suruh ke sana kemari, lalu terus-terusan diomeli, mana tahaaannn!!!!

Ukh... aku yang masih umur 16 tahun begini, untung aja lagi libur puasa. Mana sekolahku jauh. Haah.... aku harus sabar, harus tabah. Sabarlah Nadia!!! Ini demi tujuanmu sampai kau rela kabur dari rumah!!!

“Cut!! Oke!!! Syuting selesai. Bereskan semuanya!!!” Kata Sutradara menghentikan syuting. Dia menghampiri Vinci dan lawan mainnya sambil memberikan selamat. Ada asisten sutradara yang membawakan skrip selanjutnya. Mungkin ada perubahan skenario?

“Woi!” Panggilnya sambil melemparkan skrip. Kena deh, kepalaku yang jadi sasaran. Aku cepat-cepat membasahkan handuk dan menyerahkannya pada Vinci. Anehnya, dia selalu menerima dengan kening yang mengerut. Herankah? Kalau heran, kenapa nggak ditanya?

“Vin, ada sedikit masalah. Aku nggak sempat masak buat makan malam...” Aku melaporkan dengan suara rendah.

“APA?!” Cowok ini sudah mulai naik darah lagi. Meskipun nggak terlalu terpancar dari mukanya, dari nadanya yang naik setengah oktaf udah ketahuan.

Benar-benar deh, cowok ini. Waktu pertama kali ketemu, aku pikir dia itu robot karya masterpiece ilmuwan terkenal. Habis, keren dan ganteng begini, tapi kalau Cuma berdua atau sendirian, nggak ada ekspresi kehidupan. Tapi kalau udah mengamatinya baik-baik, emosinya terpancar samar-samar, meskipun itu cuma dari nada suaranya aja.

“Kita bisa belanja dulu, baru masak. Tapi kalau mau tepat waktu... berarti harus makan di luar.” Kataku memberikan opsi. Aku melihat jam tangan yang menunjukkan waktu pukul 18.37. Vinci adalah orang yang sangat disiplin dengan waktu. Jadi bagaimana?

“Kita makan di luar. Tapi meja masing-masing. Ngerti?” Tanya Vinci. Aku mengangguk. “Dan biaya makanmu dipotong dari gajimu.”

Aku mengangguk sekali lagi tanpa banyak protes. Ini memang salahku. Jadi semua harus ku tanggung.

Setelah Vinci ganti baju dan siap pergi kami berangkat ke restoran terdekat. Hm... ada benernya juga sih. Kalau kami jalan bareng, pasti bakal ada gosip. Aku kan bareng sama Vinci gara-gara kerjaan, kalau ada gosip pasti aku nggak bisa kerja sama dia lagi. Dan gagal total targetku.

Vinci berjalan duluan dan mengambil kursi. Aku mengambil meja persis di seberangnya. Jadi kami berhadapan diantara dua meja. Selalu seperti ini. Jadi terkenang saat kami bertemu.

* * *

Tiga minggu. Ya, benar. Tiga minggu yang lalu aku nekat datang ke rumahnya setelah kabur dari rumah. Aku hanya hidup berdua dengan kakakku, kak Juno, yang sekarang tercatat sebagai mahasiswa di sebuah universitas di Australia.

Haah... kak Juno. Cowok berumur 20 tahun dengan badan yang tinggi, kurus tapi bertenaga, ganteng, rambut coklat gelapnya sekarang cocok banget. Tatapan dan senyumannya lembut sekali. Benar-benar pangeran berkuda putih. Lagipula dia seorang gentleman. Beda sekali dengan cowok yang bersebrangan denganku sekarang.

Vinci dan kak Juno. Berumur sama, berpenampilan sama, kharisma sama, tapi karakternya jauh berbeda. Kak Juno... aku kangen. Seandainya kita tidak bertengkar waktu itu... tapi tunggulah kak! Aku nggak bakal membuat kakak khawatir. Aku akan pulang, minta maaf dengan membawa benda yang sangat penting bagi kita berdua itu.

Betapa bodohnya aku, Cuma dengan selembar kertas, datang ke rumahnya Vinci waktu itu. Aneh juga dengan keadaan rumah yang sepi. Bell rusak, bahkan di ketok pun nggak ada yang nyahut. Nggak terkunci lagi!!

Nama : Viná
Umur : 20 tahun
Pekerjaan : Swasta
Tempat Tinggal : Miracle Living Resident, no 14

Ya, ya. Itu selembar kertas yang membuatku seperti orang bodoh. Aku mengira pekerjaannya wanita karir yang ceroboh. Melihat rumahnya yang luarbiasa besar, foto-foto wanita yang cantik, dan kamar lux dengan banyak sekali warna abu-abu dan silver. Benar-benar wanita karir yang kaya, pikirku saat itu.

Pokoknya, aku betul-betul kaget begitu tahu dia laki-laki. Aku kira namanya Vina, seperti yang tertulis di kertas itu. Tapi ternyata namanya adalah Vinci. Haaah... sial.

Dengan sombongnya dia mengajak aku bicara. Kalau nggak benda itu dipegang sama dia, pasti dia sudah kuhajar habis-habisan, meskipun itu bertentangan dengan prinsip karate, dan mungkin aku bisa dilaporkan ke polisi karena tuduhan penganiayaan.

Akhirnya aku harus kerja menjadi asistennya minimal tiga bulan untuk menebus benda itu. Astaga... aku disuruh-suruhnya!!! Kayak pembantu aja. Untung aku terbiasa mengurus rumah dan memasak. Habis dulu harus mengurus dua cowok dalam rumah dari kecil. Kalau Cuma si robot yang nggak banyak omong itu, masalah enteng. Cuma selera dan disiplinnya aja yang kelewatan, sampai aku susah. Sudahlah... makan dulu!!!

Hm? Banyak juga orang-orang sekitar yang berbisik-bisik di sekitar kami. Meskipun Vinci sudah menyamar sedemikian rupa, tetap saja dia menarik perhatian. Untung aja kan, aku nggak semeja dengan dia. Yak, untung-untung...

* * *

“Jangan cemberut, dasar anak kecil.” Kata Vinci begitu kami dalam perjalanan pulang. Mahal banget semua makanan tadi!!! Lebih dari setengah gajiku!!!! Aku kan jadi rugi besar!

Kulirik Vinci sebentar. Kurasa nggak ada orang yang selurus dia. Kalau ada yang mengganjal dan mau dikeluarkan, meski sejelek apapun dan membuat orang terluka nggak pernah disensornya satupun. Dan kalau nggak ada yang mau dibicarakan, ya diam saja. Sama sekali nggak ada basa-basinya. Menyedihkan.

“Kurasa kalau begini terus, kamu nggak bakal bisa mendapatkan cincin ini.” Kata Vinci yang menusuk perasaanku. Tapi aku memilih menahan diri.

Kutatap tangan kiriku. Ada cincin emas yang melingkari jari manisku. Polanya indah, dengan satu mata berlian dengan pola potongan yang membuat kilaunya begitu memancar, seperti pelangi. Pasangan cincin ini melingkari jari manis tangan kiri Vinci.

“Aku sudah bilang, dengan cara apapun pasti kudapatkan kembali cincin itu.” Kataku pelan. Itu kan satu-satunya warisan dari ayah dan ibuku...

Cincin pernikahan orangtuaku yang ditinggalkan untukku dan kak Juno. Nggak akan kubiarkan kedua cincin ini terpisah!

* * * *

Vinci

Aku nggak pernah ngerti pikiran anak kecil. Begitu ngototnya mereka hanya demi sebuah barang yang remeh dan sepele.

Begitu kagetnya aku waktu kutemukan cewek histeris yang bersembunyi di lemariku, lalu berteriak nggak karuan karena menyangka aku cowok mesum, padahal aku baru saja selesai mandi. DI RUMAHKU SENDIRI.

Cewek itu kepalanya berada di bawah bahuku sedikit. Bagiku yang 185 cm ini, dia lumayan juga. Rambutnya hanya sampai bahu dan berponi tipis. Rambutnya cukup halus. Badannya kurus, dan wajahnya bisa dinilai imut untuk seorang siswi SMA. Itu kata-kata para kru film yang selalu saja tersenyum kesenangan begitu anak kecil itu datang.

Biarkan sajalah, yang penting anak itu bisa berguna untukku.

Anak kecil itu datang dan mengatakan dia mau melakukan apa saja, asal aku mengembalikan cincin itu padanya. Konyol sekali. Apa sih istimewanya cincin yang dibeli di acara lelang pegadaian? Memang pola ukirannya rumit, dan membuat Via senang. Tapi itu bukan alasan untukku.

Tapi kupikir nggak ada salahnya memanfaatkan cewek ini. Dia bisa kupekerjakan untuk mengurus rumah dan mengurus barang-barangku selama aku kerja. Bisa kujadikan asisten dan membuatnya menderita. Tapi tak kusangka, ternyata dia kabur dari rumah!!! Sempat kucurigai dia bukan anak baik-baik. Begitu kusuruh tinggal di rumahku, tanpa ragu dia menyetujuinya!! Memangnya dia pikir dia siapa? Apa dia terbiasa tinggal bersama cowok? Kenapa dia sama sekali tidak ragu, takut, atau bahkan senang. Yang dia pikirkan hanyalah mendapatkan cincin tunanganku ini yang dia bilang milik kakaknya yang labur.

Begitu kuberitahu manajerku, dia panik sekali. Cewek itu bisa mengancam karirku. Tapi begitu melihat sepertinya dia terbiasa mengurus rumah dan memasak, kupikir tak apa. Apalagi aku baru saja pindah rumah dan belum ada yang tahu alamat rumah baruku ini. Tak masalah, aku dapat tenaga baru yang masih muda dan gratis.

Begitu semangatnya dia bekerja, pagi-pagi aku sudah sarapan. Bahkan dia membuatkan bekal untukku. Aku kan nggak terbiasa makan pagi, apalagi dapat bekal. Tapi sayang sekali menyia-nyiakan makanan, jadi ku makan saja. Sekalian mengetes rasa masakannya.

Seminggu itu aku jadi repot mengenalkannya pada semua dia itu asistenku. Banyak juga orang yang nggak percaya, tapi begitu melihat dia begitu semangat membawakan barang-barangku dan mau kusuruh-suruh tanpa banyak protes, aku sudah tahu aku terbebas dari gosip aneh. Lagian dia kan anak kecil, mana mungkin cocok denganku.

Sudah tiga minggu ini dia bekerja untukku tanpa kenal menyerah. Tampaknya dia sangat menginginkan cincin ini, sampai dia melakukan semua pekerjaan serajin-rajinnya. Pagi menyiapkan sarapan, diantara sinar pagi yang menghangatkan udara yang dingin dia menjemur pakaian, lalu membereskan rumah. Memberikanku bekal, dan begitu pulang dia sudah menyiapkan air panas untukku. Bersantap malam, membereskan dapur lalu tidur. Seleranya nggak jelek, dia bisa memilihkan baju untukku.

Entah kenapa, meskipun baru tiga minggu, sepertinya kami sudah terbiasa hidup bersama. Tapi aku harus bersikap rasional. Aku dan dia itu orang lain, dan kami juga baru tiga minggu tinggal serumah. Meski rasanya sudah biasa, tapi jangan dibiasakan.

Meskipun begitu... melihat senyumnya yang mengembang seiring dengan bangkitnya sinar mentari, aku merasa dia bukan gadis biasa. Juga waktu beberapa hari yang lalu.

Waktu aku sama sekali nggak tidur untuk mempelajari naskah, aku bermaksud turun untuk minum kopi. Dari tangga, kulihat dia yang terus saja menatap keluar melihat bulan. Tatapan yang sangat kesepian. Kosong menerawang, seperti memanggil di samar-samar sepinya suasana malam itu. Rasanya mau kupanggil, tapi jiwanya seperti di tempat lain.

Dia menangis. Dia menangis tanpa suara sambil melihat bulan. Airmatanya terus jatuh bercucuran. Sepertinya sakit sekali. Entah apa yang selama ini dialaminya. Esoknya dia sudah semangat kembali, dan aku tak pernah lagi melihatnya menangis. Hanya sekali saja dia menangis, dan itupun tanpa suara. Tanpa ada sinyal apapun. Entah kenapa, sejak saat itu aku terus penasaran apa saja yang ada padanya.

“Malam ini... tanggal 17 ya?” Tanya anak itu tiba-tiba. Kurasa itu nggak perlu dijawab, karena dia sudah melihat kalender berkali-kali. Kukemudikan mobilku tanpa banyak bicara. Sebenarnya dia mau apa?

Skrip baru yang diberikan ini bikin repot saja. Kenapa selalu saja ada perubahan skenario padahal ini sinetron striping. Hm... bikin kopi saja dulu.

Begitu ke bawah, kulihat dia berada di ayunan kayu yang berhadapan dengan laut. Banyak orang bilang rumahku modelnya sama dengan sinema ‘Full House’ dasar orang-orang manajemen sialan. Dia terus saja memandang bulan sabit itu. Aku jadi penasaran dan mendekatinya.

“Vinci... mau menikmati bulan juga?” Katanya begitu menyadari keberadaanku. Dia Cuma pakai piyama, dan nggak pakai jaket sama sekali. Dia duduk sendirian dengan segelas kopi di malam yang dingin ini?

“Nih...” kupakaikan jaket yang kuambil di rumah. Aku mengambilnya dua. “asisten nggak boleh sakit, nanti bukannya bantu malah bikin masalah.”

“Tapi si aktor sendiri juga nggak boleh sakit. Bisa heboh para fansmu di luar sana tahu kamu sakit. Makasih ya...” Kata anak itu pelan. Wajahnya memerah sesaat, tapi dia lalu memandang bulan lagi.

“Vinci... pernah merindukan seseorang? Orang yang sangat berharga bagi Vinci...” Tanya Nadia. Aku menggeleng.

“Kalau aku... ada.”

“Cowok yang kamu suka?” Tanyaku. Giliran Nadia menggeleng.

“Bukan. Orangtuaku. Ibuku meninggal waktu aku tujuh tahun. Ayah bekerja sebagai novelist, kakak yang masih SMP kelas 1, dan aku masih tujuh tahun. Ibu adalah sosok yang anggun, cantik, dan sangat telaten mengurus keluarga. Tapi karena ibu meninggal karena sakit, semuanya berubah.” Nadia terdiam.

“Peninggalannya hanya cincin yang ada di tangan kiriku ini.” Kata Nadia. “Sepeninggal ibu, semuanya jadi kacau. Ayah jadi semakin ceroboh, dan agak konyol. Tapi kami semua bahagia. Sampai akhirnya tiga tahun kemudian, kakak lulus SMP dengan prestasi yang luarbiasa. Dan begitu masuk SMA... ayah meninggal.”

Jadi... orangtuanya meninggal. Apa cincin ini...

“Ayah meninggal karena kecelakaan setelah mengantar kakak. Akhirnya kakak keluar dari sekolah berasrama itu, dan mulai mencari kerja sambilan untuk membiayai kami. Jadi kami hanya tinggal berdua. Empat tahun... hanya berdua. Makan, main, belajar, bahkan kadang tidur bersama selama ini. Dia kakak yang sangat baik.”

Jadi karena itu dia terbiasa tinggal bersama cowok? Wajahnya begitu menceritakan kakaknya... begitu lain. Seperti orang yang sedang kasmaran saja.

“Dimana kakakmu sekarang? Apa karena kalian bertengkar sehingga kamu kabur dari rumah?”

“Kamu ini memang orangnya dingin ya? Kakak... sewaktu lulus SMA, ada seorang direktur yang sangat suka dengan prestasinya. Dia menawarkan beasiswa dengan syarat IP diatas 3 dan setelah lulus bekerja untuknya. Dan sekarang dia kuliah di Australia. Aku dititipkan, dan karena cincin itu, aku kabur dari rumah. Puas?”

Aku meneruskan minum. Jadi begitu?

“Kenapa cincin yang begitu penting kamu gadaikan?”

“Entahlah. Aku juga nggak tahu. Kakaklah yang menggadaikannya. Begitu aku sadar, semuanya sudah terlambat. Karena itu aku bertekad mendapatkannya kembali.”

Hm... kehilangan orangtua, hidup bersama kakaknya dan lalu dipisahkan, dan cincin yang jadi peninggalan satu-satunya tergadai. Ternyata anak ini kesepian juga. Sepertinya ada yang mirip, entah dimana. Aku pernah mengalaminya. Apa di salah satu dari ratusan film yang pernah kutonton? Atau buku-buku yang pernah kubaca?

“Na...” Begitu aku memanggil, ternyata Nadia jatuh tertidur. Kepalanya jatuh berlahan ke pundakku. Wajahnya tenang sekali. Apa dia kecapean?

“Kak... kakak... kak Jun.... aku kangen...” Nadia mengigau. Jun? Siapa lagi itu. Anak ini nggak mungkin kutinggal keluar, jadi kuputuskan untuk menggendongnya ke kamarnya. Berat juga tubuh cewek itu. Dan tubuhnya dingin. Jangan-jangan, sesudah membereskan makan malam dia langsung keluar tanpa jaket?

Tangannya semakin bergelayut. Hei-hei, jangan-jangan anak ini pura-pura tidur.

“Hangatnya... punggung yang lebar dan hangat. Kak Jun... hangat...” loh, ternyata dia ngigau lagi? Lagi-lagi Jun.

Begitu kubaringkan dia dan kuselimuti, dia terbangun sebentar.

“Kak Jun? Kak Jun menggendongku lagi ya? Makasih ya... kak Jun baik.”

Jun lagi, Jun lagi! Siapa sih, dia?

Begitu bangun, dia sudah riang lagi seperti biasa. Bangun pagi-pagi, menyiapkan sarapan. Selagi kami makan bersama, terdengar suara bell.

Hai!!!! Good Morning, my darling!!!” Suara ini... dia lagi?

“MARIO?!!!” Seru Vira kaget. Mario sudah gabung bersama kami. Dia melihat semua makanan di atas meja, dan berpaling menatapku heran.

“Vin, bukannya kamu nggak biasa sarapan?” Tanya Mario heran. Kenapa sih, anak ini selalu membuat jengkel? Apa yang harus kukatakan?

“Loh, jadi... selama ini Vinci maksa makan masakanku ya? Kamu nggak sakit perut?” Tanya Nadia tiba-tiba. Rupanya kalau anak ini cemas seperti ini ya?

“Aku nggak apa. Nggak ada yang sakit, cerewet.” Kataku cepat. Wajahnya agak lesu. Keliatan banget kalau ia khawatir.

“Aku pernah dengar, kalau orang yang nggak pernah sarapan itu makan pagi, dia bakal sakit perut. Untung aja Vinci nggak apa-apa. Lain kali aku cukup buatin bekal saja?” Tanya anak itu. Ng? Masa...

Delicious!! Nadia pintar masak ya? Aku bakal datang tiap pagi untuk sarapan di sini ah!!! Nggak apa kan, darling?” Tanya Mario mencicipi masakan si kecil.

“Terserah.” Kataku cepat. Entah kenapa, aku merasa lega.

“Habis ini mau ngapain?” Tanya Mario.

“Aku harus meneruskan syutingku sampai jam 3 sore dan habis itu pemotretan untuk sampul majalah.” Tiba-tiba HP ku berdering. Hm?

“Halo.” Sapaku cepat. Ternyata Ibu Helen.

“Datanglah ke kantor, ada yang mau kubicarakan.” Kata Bu Helen seperti biasa.

* * * *


1st Chapter oleh Y.E. Bungan Margaret

Read More ......

Wednesday, July 8, 2009

I Hate My Twin

-

Kriiiiiiiiiiiing!!! Jam beker di samping tempat tidur Fina berbunyi pada pukul 06.30. Tangan Fina berusaha menggapainya dan mematikannya. Oahm…Fina menguap sambil menggeliat. Ia membuka matanya dan memandang jam yang ada di hadapannya.

“Hah?! Setengah tujuh??”teriaknya.

Ia langsung berdiri dan berlari ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian ia keluar lagi, menyambar handuk di samping kamar mandi dan masuk lagi. Terdengar suara air diguyurkan ke tubuhnya dengan tergesa-gesa. 5 menit kemudian, ia sudah membuka lemarinya dan mencari-cari seragamnya. Setelah menemukannya, ia langsung memakainya. Ia menyisir rambutnya dengan asal, mengucir rambut panjangnya dengan karet rambut, menyemprotkan parfum ke tubuhnya dengan cepat, menyambar tasnya dan bergegas keluar kamar menuju ruang makan yang terletak di lantai bawah.

“Kok baru turun, Fin? Kamu kesiangan, ya?”tanya mamanya yang tampaknya sudah siap berangkat kerja.

“Mama kok nggak bangunin aku, sih?”Fina balik bertanya.

“Mama kira kamu udah bangun, soalnya tadi kamar kamu udah terang.”jawab mama.

“Terang? Dari tadi aku nggak nyalain lampu, kok.”jawab Fina sambil memakai sepatu dengan tergesa-gesa. Selesai memakai sepatu, Fina langsung meminum segelas susu yang ada di meja makan. Tampak gelas-gelas yang lain sudah kosong.

“Kamu nggak sarapan?” tanya mamanya.

“Nggak sempet. Fina berangkat, ya.” Fina mencium tangan mamanya dan berlari keluar.

“Pak Udin, ayo berangkat.” Pak Udin, sopir keluarga Fina langsung menuju mobil dan menstarternya.

“Pak, ngebut, ya, soalnya udah siang, nih!” pinta Fina.

“Wah, kalo udah siang, jalannya rame, jadi nggak bisa ngebut.”jawab Pak Udin.

“Ya udah, pokoknya cepetan deh, Pak!” Mobil itupun meninggalkan rumah Fina.

***

“Fin, tadi lo kok telat, sih?”tanya Arnes, sahabat Fina.

“Iya, biasanya lo kan dateng pagi.”Shanny menimpali.

“Gue kesiangan gara-gara semalem bikin makalah B.Indo.”jawab Fina sambil melahap semangkok bakso.

“Emang lo tidur jam berapa?” tanya Arnes lagi.

“Jam 12. Tapi anehnya jam beker gue bunyi jam setengah tujuh, padahal udah gue setel jam lima.”terang Fina.

“ Mungkin lo salah liat, kan elo udah ngantuk.”

“Nggak mungkin, gue yakin kok udah bener nyetelnya.” Bela Fina.

“Trus kata mama tadi pagi lampu kamar gue udah nyala, padahal kan gue belum bangun.”lanjut Fina.

“Hm…gue tahu sekarang.”tiba-tiba Fina bersuara lagi.

“Tahu apa?” Shanny bingung dengan kata-kata Fina.

“ Gue tahu siapa yang nglakuin ini.”

“Siapa?” tanya Shanny dan Arnes berbarengan.

“Arjuna.”

“Arjuna lagi…Arjuna lagi…” Arnes seakan sudah bosan mendengarnya.

“Kenapa sih lo sama dia nggak pernah akur?” tanya Shanny.

“Dia tu asli nyebelin banget.”jawab Fina.

“Trus lo bakal ngebales dia?” Arnes sudah hafal kelanjutan kisah ini.

“Ya jelas, dong! Gara-gara dia, gue jadi dihukum guru piket tadi pagi. Liat aja nanti, awas lo Arjuna!” kata Fina berapi-api.

“Apa yang mau lo lakuin?” Shanny penasaran.

“Gue juga belum tahu. Kalian ada ide nggak?” Fina bertanya sambil memandang 2 orang yang ada di hadapannya secara bergantian.

“Kenapa,sih lo nggak baikan aja sama dia?” Arnes masih berharap Fina baikan sama kembarannya.

“Apa? Baikan? Maksud lo gue maafin dia tanpa ngebales perbuatannya?”

“Emang awalnya butuh sedikit pengorbanan, tapi ntar kalo lo ama dia udah baikan, lo pasti nggak bakalan nyesel udah berkorban demi dia.” Kata Arnes bijak.

“ Nggak. Gue nggak bakalan mau maafin dia. Harusnya dia yang minta maaf duluan. Tapi gue yakin dia nggak bakalan mau nglakuin itu.” Fina sudah menghabiskan bakso dan es jeruknya.

“Balik ke kelas, yuk!” ajak Shanny.

***

“Seperti yang ibu bilang minggu lalu, hari ini kalian harus mengumpulkan makalah kalian. Silakan kalian letakkan makalah kalian di meja masing-masing, dan ibu akan mengambilnya.” Bu Indah, guru Bahasa Indonesia sudah siap mengambil makalah murid-muridnya. Anak-anak mulai sibuk mengambil makalah mereka dari dalam tas dan meletakkannya di atas meja.

“Nes, gawat!” kata Fina sambil mengacak-acak isi tasnya.

“Kenapa, Fin?” tanya Arnes yang duduk di sebelahnya.

“Makalah gue…” Fina mulai panik.

“Makalah lo kenapa?” tanya Arnes lagi.

“Makalah gue nggak ada. Di laci juga nggak ada. Aduh, gimana, nih? Mampus gue!”

“Masa, sih? Coba lo cari sekali lagi, mungkin keselip di buku.” Arnes berusaha membantu.

“Nggak ada. Gue yakin tadi malem makalah gue udah gue masukin ke tas.”

“Mana makalah kamu?” tanya Bu Indah yang sudah berdiri di samping Fina.

“Mm…anu…Bu…ketinggalan.” Jawab Fina. Anak-anak lain mengarahkan pandangannya pada Fina. Mereka tahu, kalau sudah begini, Fina sudah tak punya kesempatan lagi. Bu Indah memang tegas, kalau ada murid yang tidak mengumpulkan tugas, maka ia harus keluar dan mengerjakannya di luar.

“Ya sudah, bawa bukumu, kerjakan makalahnya di luar,nanti saat jam pelajaran saya habis, kamu kumpulkan makalah kamu.” Perintah Bu Indah. Fina hanya mengangguk dan segera keluar.

***

Duk! Fina berjalan menuju perpustakaan sambil menendangi kerikil yang ditemuinya. Dan kerikil itu mengenai sepatu anak lain yang berpapasan dengannya. Fina mengangkat wajahnya dan melihat siapa anak itu. Arjuna! Ia langsung menariknya ke halaman belakang sekolah yang lumayan sepi.

“Lo kan yang bikin gue telat? Lo yang ngambil makalah gue, kan?” semprot Fina.

“Iya. Kenapa?” jawab Arjuana dengan santainya.

“Mana? Balikin makalah gue!” bentaknya.

“Sori. Lo terlambat.”

“Maksud lo?”

“Udah gue kumpulin.”

“Jadi, lo make tugas gue buat lo kumpulin sebagai tugas lo? Kurang ajar lo, ya!” Fina meninju muka Arjuna hingga bibirnya berdarah.

“Lo pikir itu salah gue? Itu salah lo sendiri!” bentak Arjuna. Ia mengelap darahnya dengan tangannya.

“Lo udah bikin Anya mutusin gue!”

“Jadi lo nyalahin gue? Itu salah cewek lo sendiri! Ngapain dia percaya sama gosip gue.” Bela Fina.

PLAK! Tamparan keras Arjuna mendarat di pipi Fina yang kini memerah. Fina memegangi pipinya yang terasa perih.

“Lo mesti bantuin gue bikin makalah!” ucapnya kemudian.

“Sori. Gue nggak mau. Bikin aja sendiri!” Arjuna pergi meninggalkan Fina yang masih terpaku. Tak ada pilihan lain, Fina kembali menuju perpustakaan dan mengerjakan makalahnya.

***

Teeet!! Teeet!! Bel pulang berbunyi. Anak- anak bersorak dan mengemasi barang- barang mereka.

“Gue bener- bener dendam sama Arjuna. Tadi gue ketemu dia pas mau ngerjain makalah di perpus.” Kata Fina pada Arnes dan Shanny.

“Trus?” Shanny penasaran kelanjutan cerita Fina.

“Gue tonjok dia.”

“Dia diem aja?”

“Dia nampar gue.”

“Trus apa rencana lo selanjutnya?”

“Gue bakal rebus dia hidup- hidup!”

“Serius lo?”

“Serius dong!”

Mereka berjalan keluar kelas dan pulang.

***

Kriiiinggg!! Jam beker Fina berbunyi. Kali ini pada pukul 04.30. Fina segera mematikannya. Ia memang sudah merencanakan hal ini sebelumnya. Ia segwera bangun dan berjalan keluar kamarnya. Dengan mengendap- endap, ia memasuki kamar Arjuna dan pelan- pelan membuka lemari pakaiannya. Ia segera mengambil seragam Arjuna dan keluar dari kamar Arjuna. Senyuman kemenangan tersungging di bibirnya.

Pukul 06.10 Fina sudah siap di meja makan. Sementara Arjuna masih belum terlihat batang hidungnya. Arsenna, kakak Fina juga sudah siap.

“Kok Arjuna belum turun?” tanya mama.

“Tau, masih tidur kali!” jawab Fina asal.

“Ma, tahu seragamku nggak?” tiba- tiba Arjuna muncul masih dengan kaos oblongnya.

“Lho, ya di lemari kamu, dong.” Jawab mama.

“Nggak ada tu, ma.” Kata Arjuna.

“Nggak ada?” ulang mama.

“Pasti lo yang nyembunyiin, ya, Fin?” tuduh Arjuna.

“O, iya! Gue tadi masukin seragam lo ke mesin cuci, abis gue kirain baju kotor, sih.” Jawab Fina seolah dia tidak sengaja melakukannya.

“Apa?!” Arjuna langsung berlari ke mesin cuci di dekat dapur.

“Yah… Seragam gue basah, deh.” Arjuna menatap seragamnya yang sudah terkena busa sabun.
“Ya udah, kamu pake seragam lain aja.” Usul mamanya.

“Nggak bisa, ma, hari ini aku jadi petugas upacara.” Kata Arjuna putus asa.

“Kalo kamu tetep mau pake seragam ini, kemungkinan kamu telat. Soalnya seragam ini harus dicuci dulu, trus dikeringin, baru disetrika. Itu aja belum tentu bener- bener kering.” Jelas mamanya.

“Ma, aku sama Mas Sena berangkat dulu, ya.” Tiba- tiba Fina muncul diikuti Arsena. Mereka mencium tangan mama.

“Hati- hati, ya.” Pesan mama.

Ada apa dengan cinta… Perbedaan aku dan engkau biar menjadi bait puisi cinta terindah…

Terdengar HP Arjuna berbunyi dari kamarnya. Ia langsung berlari menuju kamarnya di lantai atas.

“Halo..” Kata Arjuna setelah menekan tombol OK di Hpnya.

“Lo dimana? Kok belum nyampe sih, kita kan mesti berangkat pagi buat persiapan.” Ternyata Dimas yang menelepon.

“Sori. Gue masih di rumah.”

“Apa? Masih di rumah? Ini udah jam berapa?” ujar Dimas kesal.

“Seragam gue lagi dicuci.”

“What?! Lo gimana sih, Masa ga disiapin dari kemaren??”

“Sori. Ini bukan salah gue. Ini gara- gara Fina, dia yang masukin seragam gue ke mesin cuci.” Arjuna membela diri.

“Trus sekarang gimana? Lo bisa dipanggang sama Pak Dudi!”

“Ya udah, cariin orang buat gantiin gue, ya. Siapa,kek. Fahmi aja! Kemaren dia juga jadi pemimpin upacara, kan?” Arjuna mencoba memberi solusi.

“Ya udah, ntar gue usahain.”

“Thanks, ya!”

“Sama- sama. Bye!”

Arjuna meletakkan kembali Hpnya di atas meja belajarnya. Ia kembali ke bawah.

“Arjuna, mama berangkat dulu, ya. Udah siang, ntar telat kalo nungguin kamu. Kamu bisa nyetrika sendiri, kan?” kata mamanya yang sudah bersiap mengeluarkan mobil dari garasi.

“Ya udah, mama berangkat aja.” Jawab Arjuna.

Sepeninggal mamanya, Arjuna menyetrika seragamnya yang masih setengah basah sambil merencanakan pembalasan dendamnya pada Fina.

Pukul 07.15 Arjuna sudah siap berangkat. Ia mengambil kunci motornya dan menuju garasi. Namun, ia terkejut ketika mendapati ban motornya gembes. Dua- duanya lagi!

“Sialan!” umpatnya. Terpaksa ia menuntun motornya menuju bengkel terdekat. Untung aja bengkelnya udah buka dan masih sepi.

“Wah, kenapa lagi nih, mas? Gembes kok dua- duanya?” komentar sang penjaga bengkel. Ia memang sudah cukup sering didatangi Arjuna kalau motornya kena masalah.

“Iya, nih, berantem lagi sama Fina.” Jawab Arjuna.

Penjaga bengkel hanya geleng- geleng kepala mendengarnya. Arjuna memang sudah pernah bercerita tentang dirinya dan kembarannya yang nggak pernah akur sejak kecil.

Satu jam kemudian Arjuna baru bisa meninggalkan bengkel itu menuju sekolahnya.

Sesampainya di sekolah, ia langsung memarkir motornya dan menuju kelasnya. Untung aja, Bu Rima, guru matematikanya yang terkenal killer banget udah cabut dari kelasnya, jadi sekarang di kelasnya nggak ada gurunya.

“Woi! Kemana aja,lo, jam segini baru nongol, lo sengaja mbolos pelajarannya Bu Rima, ya? Pasti lo belum ngerjain PR!” Farel langsung menyambutnya begitu melihat Arjuna meletakkan tasnya di sampingnya.

“Enak aja! Gue udah ngerjain PR, tau!” bela Arjuna.

“Trus kenapa tadi lo mbolos?” tanya Farel lagi.

“Ini semua gara- gara Fina. Dia masukin seragam gue ke mesin cuci, udah gitu, ban motor gue digembesin. Dua- duanya lagi!” Arjuna menjelaskan mengapa dia baru dateng.

“Oo…” Farel ber-o ria.

“Jun! Payah,lo baru dateng! Lo belum tau, kan, di sekolah kita ini ada murid baru.” Radit menghampiri meja Arjuna sambil ngasih info.

“Kelas berapa?” Arjuna penasaran.

“Kelas 2, sama kayak kita, kalo ga salah, sih, dia masuk di kelas 2 IPA-5.” Terang Radit.

“Kelas 2 IPA-5? Brarti sekelas sama Fina, dong!” Arjuna menyimpulkan.

“O, iya, ya. Bener juga, Fina kan kelas 2 IPA-5.” Tampak Radit senyum-senyum sendiri.

“Kenapa emangnya kalo Fina kelas 2 IPA-5?”

“Enggak, enggak pa-pa. Jun, lo nggak pengen baikan sama Fina?”

“What? Baikan? Yang bener aja, dia udah bikin gue telat kayak gini, gue ajak baikan?”

“Yah, kita kan bisa peralat dia, dia kan sekelas sama Dira. Kita bisa minta kenalin sama Dira.”

“Dira? Siapa?”

“Ya anak baru itu, namanya Dira. Wuih, cantik banget, man! Udah putih, tinggi, keren, body-nya oke, wah, gue jadi ngiler!”

“Yang bener lo? Masa iya, di sekolah kita ini ada cewek kayak gitu? Gue jadi penasaran.”

“Emang bener, kok. Tanya aja Farel. Farel, Si Dira itu cantik banget, kan?” Radit menanyai Farel.

“Iya, lo belum liat, kan? Tadi waktu dia diperkenalin pas upacara, gue pikir ada acara apa, kok pake ngundang artis segala, ternyata dia anak baru.” Jelas Farel.

Perbincangan mereka terhenti karena Pak Budi, guru fisika mereka sudah datang.

***

Saat istirahat, Arjuna, Farel, dan Radit sengaja lewat kelas 2 IPA-5 karena Arjuna pengen liat yang namanya Dira.

“Mana,ya? Apa dia lagi di kantin?” Farel mencari-cari sosok Dira, tapi tak menemukannya.

Tiba-tiba muncul 2 orang dari arah yang berlawanan dengan mereka. Mereka terpana melihatnya. Mereka terus menatapnya sampai 2 orang itu menghilang di balik pintu kelas 2 IPA-5.

“Itu, tuh, yang namanya Dira. Keren, kan?” Radit yang pertama kali buka mulut.

“Wah, kalian bener, dia cantik banget.” Komentar Arjuna.

“Ternyata secepat itu, ya, mereka bisa akrab.” Farel tiba-tiba nyeletuk.

“Maksud lo?” Radit tak mengerti.

“Fina dan Dira. Tadi kalian liat, kan, mereka jalan bareng,brarti ntar pulang sekolah kita main ke rumah Arjuna.” Farel berusaha menjelaskan tapi yang lain malah tambah bingung.

“Apa hubungannya? Gue nggak ngerti.” Tanya Arjuna.

“Ya, kita rayu Fina biar mo ngenalin Dira sama kita,dong.”

“Eh, gue punya ide.” Ujar Radit.

“Apa?” tanya Arjuna dan Farel.

“Kita omongin di kantin aja, ya?” Mereka pun menuju kantin.

Sesampainya di kantin…

“Apa ide lo tadi, Dit?” tanya Farel.

“Gimana kalo kita taruhan, siapa di antara kita yang bisa ndapetin Dira, dia yang menang. Nah, yang kalah mesti ntraktir yang menang, gimana?”

Arjuna dan Farel tampak berpikir sejenak.

“Mm… boleh juga,tuh.” Akhirnya mereka setuju.

***

Pulang sekolah, Farel dan Radit main ke rumah Arjuna. Sesampainya di rumah Arjuna, ternyata Fina juga baru pulang, dan ternyata dia juga sama temen-temennya, Arnes dan Shanny. Wah, bakalan rame nih, kayaknya.

“Jun, liat, deh, Fina bawa temen, tuh. Jangan-jangan sama Dira juga.” Radit melihat Fina dan 2 temennya menuju pintu masuk.

“Wah, kalo itu, sih, Arnes sama Shanny, mereka udah bisa maen kesini.” Komentar Arjuna.

“Eh, ada kalian juga,to?” Fina agak kaget melihat Farel dan Radit duduk di ruang tamu.

“Kenapa? Emang cuma temen lo doang, yang boleh maen?” tanya Arjuna ketus.

“Cuma gitu aja, marah, sensi banget, sih!”

“Ya udah, sana buruan masuk!” Arjuna mengisyaratkan Fina agar segera masuk.

“Eh, tunggu dulu, kalian disini aja, nggak pa-pa, kok. Ya, kan, Jun?” Radit mengedipkan sebelah matanya pada Arjuna.

“Iya, kalian disini aja, nemenin kita.” rayu Farel.

Arnes dan Shanny saling pandang.

“Pasti kalian ada maunya, iya, kan?” Arnes menebak.

“I..iya, sih, nggak pa-pa kan bantuin temen?”jawab Radit jujur. Farel langsung menyenggol lengan Radit.

“Apa-apaan, sih, lo?”

“Nggak pa-pa, kan, ntar mereka juga tau.” Bela Radit.

“Udah, kalian nggak usah berantem. Emang kalian pengen kita mbantuin apa?” Shanny melerai Farel dan Radit.

“Makanya, duduk sini, dong!”

Akhirnya mereka duduk di depan Farel dan Radit. Sementara Fina masuk ke dalam mbikinin minuman.

“Nes, lo udah kenalan sama Dira?” tanya Radit.

“Udah.” Jawabnya pendek.

“Gimana anaknya?” tanyanya lagi.

“Mm.. gimana, ya? Orang baru sehari kenalan, ya, belum tau sifat aslinya kayak gimana, tapi dia baik, kok.” Terang Arnes.

“Tapi ada gosip nggak sedap tentang dia.” Timpal Shanny.

“Gosip apaan?” Farel langsung semangat.

“Katanya dia dikeluarin dari sekolahnya gara-gara ketauan make, trus pindah kesini.” Terang Shanny.

“Make? Maksudnya make Narkoba?” tanya radit dengan polosnya.

“Ya, iyalah, emang make apa? Tapi mungkin juga, lho, dia kan anak orang kaya, mungkin dia terjerumus pergaulan nggak bener.” komentar Farel.

Tak berapa lama kemudian, Fina muncul dengan membawa 3 gelas minuman.

“Lho, Fin, kok cuma 3? Buat kita mana?” protes Farel.

“Iya, kita kan juga haus.” Radit ikut-ikutan.

“Kalian kan tamunya Arjuna, ya minta sama Arjuna, dong!” jawab Fina.

“Galak banget, sih. Jun, haus, nih.”

“Iya, bentar.” Arjuna masuk ke dalam.

“Trus, mau kalian apa?” tanya Shanny.

“Kita pengen dikenalin sama Dira.” Jawab Radit.

“Usaha,dong. Masa cuma ngandalin temen?” kata Fina.

“Ya, ini kita lagi usaha, Fin.”

“Gimana? Mau nggak?” Arnes berunding dengan Shanny.

“Tapi ada imbalannya nggak?” tanya Shanny.

“Gimana, Dit, ada imbalannya nggak?” tanya Farel.

“Oke, kalian mau apa?” tanya Radit.

“Mm…apa,ya? Ya, ntar, deh, kita pikirin.” Jawab Shanny.

“Jadi, kalian mau ngenalin kita sama Dira?” Farel memastikan.

“Kapan kalian punya waktu?” tanya Arnes.

“Kapan aja, kita punya waktu.” Jawab Farel yakin.

“Brarti kita tinggal nanyain Dira, kapan dia punya waktu.” Kata Arnes.

“O,iya, no. HP kalian berapa? Biar gampang kalo mau nghubungin.” Tanya Shanny. Mereka pun bertukar nomer HP.

Tak lama, Arjuna muncul dengan 3 gelas minuman.
Align Center
“By the way, kalian pada laper nggak,sih?” tanya Fina.

“Ya laper,lah.” Jawab yang lain.

“Ya udah, kita makan dulu,yuk!” ajak Fina. Mereka pun makan siang bareng di ruang makan rumah Fina.

***

Selesai makan, mereka nonton film di ruang keluarga. Lagi asyik- asyiknya nonton, tiba- tiba terdengar deru motor dari depan rumah. Ternyata Arsenna baru pulang. Tapi, sama siapa, ya, kok sama cewek?

“kamu tunggu dulu di sini,ya, aku ambilin obat.” Sena masuk, mencari- cari obat merah dan perban di kotak P3K.

“Siapa yang luar, mas?” tanya Fina.

“Itu, cewek yang hampir kesrempet motorku, untung aja, cuma lecet- lecet.” Terang Sena.

“Oo…”

Tapi, Fina penasaran, siapa, sih cewek itu? Dia pun mengintipnya dari balik tembok ruang keluarga. Hah, nggak salah liat, nih, itu, kan… Dira.

“Hayo, ngintipin siapa?” tiba- tiba Arnes muncul di belakangnya.

“Nes, itu Dira, kan?”

“Mana?” Arnes ikut mengintip.“Kok dia ada di sini? Trus kok dia sama Mas Sena?”

“Kata Mas Sena, itu cewek yang tadi hampir kesrempet motornya Mas Sena.” Terang Fina.

“Kalian berdua lagi ngapain, sih, di situ?” tanya Radit.

Sebelum sempat dijawab, Radit udah ikutan ngintip dan ia mengumumkan hal itu pada teman- temannya.

“Eh, liat, deh, itu Dira!” Otomatis Shanny, Farel, dan juga Arjuna ikutan ngintip dari balik tembok.

“O,ya kamu mau minum apa?” Sena menawari minuman pada Dira.

“Nggak usah. Nggak usah repot- repot.” Jawabnya.

“Nggak pa-pa, kamu pasti haus, kan, panas- panas gini, aku bikinin es jus aja, ya?” tawar Sena.

“Nggak usah. Aku jadi nggak enak, udah ngrepotin kamu gini.”

“Ya udah, kamu tunggu dulu, ya.” Arsena masuk.

Mereka berenam langsung pura-pura nonton film lagi.

“Kalian kenapa,sih? Belum pernah liat cewek cakep?” Sena tau dari tadi mereka ngintip dari balik tembok.

“Kita udah pernah liat dia, kok. Dia Dira, kan?” ujar Radit.

“Lho,kok, kamu tau?” tanya Sena.

“Iya, dia kan temen sekolah kita.” Terang Radit.

“Jadi dia temen sekolah kalian, to? Ya udah, kenapa Cuma ngintipin gitu, kalian keluar aja. Aku mau bikinin minum buat dia dulu.” Sena menuju dapur.

“Gimana, kita keluar nggak?”tanya Radit.

“Katanya pengen kenalan, ya udah sana, mumpung ada kesempatan.” Fina menyarankan.

“Lo dulu aja, Fin, yang keluar, lo kan udah kenal.” Kata Radit Akhirnya Fina keluar diikuti teman - temannya.

“Lho, kalian kok ada di sini?” tanya Dira kebingungan.

“Iya, ini rumah gue. Mas Sena itu kakak gue. O, ya, kebetulan temen- temen lagi pada maen kesini. Kenalin, ini Radit, Farel sama Arjuna.” Fina memperkenalkan mereka bertiga.

“Nah, gitu, dong. Masa cuma ngintipin dari dalem.” Mas Sena muncul sambil membawa segelas es jus.

“Yah, Mas Sena tu gimana, sih, masa yang dibikinin cuma Dira, buat kita mana?” protes Farel.

“Kalian buat sendiri,ya.” Jawabnya.

“Ya udah, aku bikinin es jus buat kalian, ya.” Fina menuju dapur.

Setelah puas ngobrol- ngobrol, Dira pamit pulang.

“Mm… kayaknya gue mesti pulang, nih, udah sore.”

“Kalo gitu, aku anterin, ya.” Kata Arsena.

“Nggak usah, aku pulang naik taksi aja.” Tolaknya.

“Naik taksi mahal, mendingan gue anterin.” Sena tetep nggak nyerah. Akhirnya, luluh juga si Dira, dia pulang dianterin Arsena. Sementara temen- temen yang lain juga pada pamit pulang.

***

Sesampainya di rumah Dira

“Makasih,ya, udah nganterin pulang. Mau masuk dulu?” tawar Dira.

“Boleh.”

Mereka pun masuk ke rumah Dira.

“Mau minum apa?” tanya Dira.

“Apa aja,deh.” Jawab Sena.

“Bentar, ya.”

Selagi Dira sibuk bikin minuman, Sena memperhatikan barang- barang di ruang tamu. Di dinding ada foto keluarga Dira, tampak kedua orang tuanya, 2 anak laki- laki yang tampaknya merupakan anak sulung dan anak kedua, 1 anak perempuan, dan yang paling kecil, anak perempuan yang wajahnya mirip Dira.

Tak lama kemudian muncul Dira sambil membawa segelas minuman.

“Ini minumannya diminum dulu.”

“Makasih.” Sena meneguk minumannya.

“Eh, kamu anak bungsu,ya?” tanya Sena.

“Iya, kok tahu?”

Sena menunjuk foto di belakang Dira. “Itu kamu, kan?”

Dira menengok ke belakang. “Kok kamu bisa ngenalin wajahku, sih, padahal itu, kan waktu aku masih kecil, kalo nggak salah kelas 2 SD.”

“Ya, kan mirip sama kamu.”

“Ya, iya, lah, itu, kan , emang aku.”

“Brarti, enak dong. Anak bungsu, kan biasanya paling disayang, paling dimanja.” Komentar Sena.

“Nggak juga, tuh.” Dira menyangkal.

“Mm… orang tua kamu belum pulang, kan?” tanya Sena.

“Mm… mereka nggak tinggal di sini.”

“Lho, trus tinggal dimana?”

“Mereka sekarang di luar negri.”

“O.. Trus kamu di sini tinggal sama siapa?’

“Sama Mas Fedi, kakak aku yang nomer tiga.”

Tiba- tiba terdengar suara deru motor. Ternyata, kakak Dira baru pulang dari kampus.
“O…itu kakakku.” Terang Dira.

Setelah kakak Dira masuk, Dira memperkenalkannya pada Sena.

“Sini bentar, Mas!” panggilnya.

“Kenalin, ini, Sena. Sena, ini kakakku, Mas Fedi.”

Mereka berdua berjabat tangan dan menyebutkan nama masing- masing.

“Mm… aku ke dalem dulu,ya.” Fedi msuk ke dalem.

“Mm… gue pulang dulu, ya.” Sena pamitan.

“Lho, kakakku dateng, malah pulang, Nggak pa-pa, kok.”

“Nggak, aku emang udah mau pulang, kok, udah sore.”

“O, ya udah ati- ati, ya.”

Sena segera keluar dan mengendarai motornya.

***

“Fin, lo duduk ama gue aja,ya.” Pinta Vega.

“Lho, kenapa? Nggak ada ulangan, kan hari ini?” jawab Fina, sedikit heran karena Vega jarang memintanya duduk dengannya.

“Gue nggak mau duduk ama Dira, mumpung dia belom dateng, soalnya anak laen udah pada punya pasangan duduk. Mau, ya, Fin?”

“Oke, deh. Tapi, kenapa emangnya lo nggak mau duduk ama Dira?”

“Ih, amit- amit. Dia kan pemake, ntar kalo dia ngasih kita macem-macem gimana? Lagian, anak- anak laen juga ga ada yang mau sama dia, ntar kalo gue duduk ama dia, dikirain gue temenan ama dia, trus temen- temen pada ngejauhin gue, gue kan nggak mau.” Jelas Vega panjang lebar.

Tak berapa lama kemudian, Dira dateng. Ia tampak kebingungan mencari tempat duduk yang masih kosong.

Tapi anak- anak lain tak ada yang memedulikannya, tak ada yang repot- repot membantunya, padahal mereka tahu satu- satunya kursi yang masih kosong terletak di pojok belakang sendiri.

Akhirnya Dira berhasil menemukan kursi itu tepat saat guru kimia mereka memasuki kelas. Tampak beberapa anak berbisik- bisik. Apalagi yang mereka bicarakan kalo bukan Dira. Dira memang sudah menjadi buah bibir sejak pertama kali menginjakkan kakinya di sekolah itu.

Saat jam pelajaran ke-3…

“Permisi, pak, bisa bertemu dengan Dira?” seorang guru piket memecah kesunyian kelas karena murid-murid sedang mengerjakan soal-soal.

Semua mata tertuju pada Dira yang berjalan menuju pintu. Semua anak langsung ribut saat melihat siapa yang bersama guru piket itu. Orang yang ingin menemui Dira seorang polisi.

Polisi itu tampak bercakap-cakap dengan Dira, tapi tak lama, setelah itu polisi itu pergi dan Dira kembali ke temapt duduknya di pojok ruangan.

***

1st Chapter oleh Syefi Nuraeni Fitriana

Read More ......

Hidupku Menyebalkan

-

Wah, kalau bapak sama ibu dengar ucapan ini keluar dari mulutku, aku bisa diceramahin abis abisan. Hidup itu untuk disyukuri n`duk, bukan untuk disebal-sebalkan. Mungkin begitu (awal) ceramahnya

Yahhh…beberapa bulan lalu mungkin aku bilang life is wonderful, meski aku belum punya pacar.
Life is exciting meski setelah 4 bulan aku jadi Sarjana Seni Desain Grafis aku masih belum punya pekerjaan tetap (padahal aku nggak jobbles jobless amat, soalnya di kampus aku jadi asisten dosen) tapi kata ibu pekerjaan tetap itu kerja di kantor masuk jam 9 pagi pulang jam 5 sore.

Life is fun meski berat badanku naik turun mencemaskan (karena nafsu makanku berbanding terbalik dengan suasana hatiku. Coklat, ice cream dan gulali jadi cemilanku saat aku Pms dan sedih sedang salad, selat, gado-gado dan karedok jadi menu andalan saat aku melihat junior-juniorku yang bersliweran di depan mataku dengan body yang sekurus lidi).

Life is cool meski aku jarang bedakan dan pake lipstick (ha..ha..ha..apa hubungannya?)

Tapi semua itu mendadak jadi menyebalkan karena Mbak Dhara.

Iya, Mbak Dhara! Mbakku satu satunya yang super perfect, yang tampang dan bodynya seperti bumi dan langit bila dibandingkan dengan aku (kadang-kadang aku suka bingung, kok bisa ya aku dan Mbak Dhara beda banget padahal kita berasal dari gen yang sama)

Dia tinggi menjulang, aku standart saja. Dia langsing, aku kadang-kadang bisa dibilang langsing, kadang tidak (tergantung kejelian dan ketepatan aku memilih model dan warna baju), dia berkulit putih tanpa noda sedangkan kulit wajahku agak sawo matang (meski akhirnya mukaku putih dan mulus juga, tapi itu karena aku nekat pakai pemutih wajah setelah berkonsultasi dengan dokter kulit dan menghabiskan hampir separuh tabungannku).

Mbak Dhara berambut panjang lurus seperti habis di smoothing, aku berambut ikal seperti mie keriting. Aku pakai kacamata minus tiga, sedang Mbak Dhara pakai kacamata kalau dia mau gaya saja (meskipun sebenarnya matanya juga minus dan silinder), Dia menyelesaikan kuliah Kedokteran Giginya dengan nilai yang sangat memuaskan, aku menyelesaikan kuliah Grafisku lima tahun dengan `hanya` nilai B. Dan Mbakku juga yang super perfect yang punya love story berjalan mulus..luss..luss…..Pacaran hanya sekali lalu menikah dan sampai sekarang masih live happily dengan satu anak balita perempuan yang lucu, menggemaskan dan pintar pula.

Jadi kecil kemungkinannya pernah patah hati. Sementara aku, seperti aku bilang pacar tak ada tapi patah hati pernah.

Tapi bukan itu yang membuat aku merasa hidupku jadi menyebalkan. Kalau soal Mbakku dan segala kesempurnaannya aku sih sudah belajar menerima sepanjang hidupku.Lama-lama kebal juga kok keseringan menerima pertanyaan dan pernyataan perbandingan.

“Ini adikmu Ra?” Kok beda ya? (Nggak mungkin sama dong memangnya kloningan), atau “Kamu juara berapa di sekolah? Juara satu kan? Kayak Mbakmu.” Atau, “Contoh deh Mbakmu kalau cari suami. Sudah cakep, pinter, S3, lulusan Amerika….” Lalalalalaaa….capeeee…..

Kalau itu semua sih bukan masalah buat aku (well, I hope so). Tapi karena tiba-tiba saja, tanpa basa basi, Mbakku tercinta ini yang biasanya nggak pernah mau tahu apa yang aku lakukan, ditengah sore yang nyaman dan indah dengan warna langit yang semburat jingga (jarang-jarang langit Jakarta berwarna indah biasanya kan hanya abu-abu biru polusi asap), ketika aku sedang santai di halaman belakang rumah, duduk di kursi rotan yang hampir jebol, menikmati potongan terakhir chesse cake legendaries buatan Ibu, dia mengajukan pertanyaan yang membuat perutku mendadak jadi kenyang.

“Jadi kira-kira kapan kamu rencana mau nikah Dha?” di kupingku nada ucapannya lebih seperti keharusan daripada pertanyaan, mirip banget sama dialog sinetron Indonesia.

Lho..lho…kok…apaann sih.. nggak ada hujan nggak ada badai nggak ada banjir nggak ada petir..kok nanyanya…

“Hah..apaan Mbak?” aku minta diulangi. Kali aja salah denger, meski kecil kemungkinannya habis ngomongnya kenceng banget. Si Mbak Kokom aja yang lagi nyapu di taman mungkin denger juga.

“Kamu kapan mau n-i-k-a-h Dhaya? Kali ini Mbakku mengulangi pertanyaanya dengan slow motion.

“Ooo…nikah..kirain apaa” hmm..hmmm..hmmm… aku bergaya mikir.

“Iya nikah, married, kawin”

“Nikah ya?” still mikir.

Hmmm…hmmm…hmm…kalau aku jawab belum ada cowok yang bersedia menikahi aku, gengsi banget masa Dhaya yang cute ini kesulitan cari pacar. Kalau aku bilang ada nanti malah disuruh diperlihatkan ke orang rumah. Kalau aku bilang banyak……

“Waduhh…gimana ya Mbak, justru sekarang aku lagi bingung nih” jawabku sok santai meski hati dongkol setengah mati. Dalam rangka apa sih pakai nanya kapan aku mau nikah (lah wong aku aja nggak tahu).Jangan-jangan ini pertanyaan pesanan Bapak sama Ibu. Tapi masa sih rasanya bukan stylenya Bapak sama Ibu deh. Mereka kan orang yang paling menghargai privacyku. Nggak suka usil dan nggak kebanyakan nanya.

“Dha!”

“Hahh..whats sup sih Mbak?”

“Bingung apanya Dha?”

“Bingung milihnya, calonnya buanyakkk” Mudah-mudahan tidak ada pertanyaan berikutnya.

“Memangnya calonmu tuh siapa aja sih? Perasaan nggak pernah ada cowok yang kamu bawa kerumah deh” Tanya Mbak Dhara makin gencar.Salah nih jawabnya.

“Yew..want to know aja sih. Pokoknya banyak deh Mbak. Kalau aku kasih tahu Mbak juga nggak bakalan tahu” jawabku betebe (betebenget).

“Nahh kalau gitu, biar sekalian bingung, mau nggak kamu Mbak kenalin sama temen Mbak?”

Sekarang aku yang bengong, ya ampun Mbak Dhara ini sebenernya cerdas apa jenius ya. Sudah dibilangin calonnya kebanyakan malah mau ditambahin.

“Gimana Dha?” desak Mbak Dhara.

“Emang kenapa sih Mbak? Penting banget ya aku kapan nikah?” bukannya jawab aku malah balik nanya.

“Jelas penting Dha. Umur kamu berapa sekarang? Kamu harus pikirin kapan kamu nikah, kapan kamu mau punya anak, mau anak berapa, trus karirmu gimana?”

Olalalaaaa…Mbakku yang wellplanning … memang beda banget sama aku yang lebih mengikuti kata hati dan terlalu will see.

“Tapi kok nanyanya tiba-tiba begini sih?”

“Dhaya…Dhaya…tiba-tiba apanya. Mbak udah dari sebulan yang lalu mau nanya soal ini sama kamu. Tapi gagal terus. Ingat nggak weekend kemarin waktu kita lagi di Sour Sally, Mbak udah mau nanya tapi nggak jadi karena tiba-tiba ketemu sama Sisil temen Mbak yang cerewetnya minta ampun itu. Waktu kita di Time zone nemenin Keira main Mbak juga udah mau nanya.”

Ooo…pantess…pantesss… weekend kemarin Mbak Dhara baik banget. Ngajak aku nge-fro-yo bareng, trus pake beliin aku baju di Mango segala sementara Mas Pandya dan Keira malah berenang di water boom ( mereka bilang itu hari bapak berdua aja sama anaknya nggak mau diganngu siapapun apalagi sama ibu dan tantenya). Trus dengan semangatnya ngajak aku ikutan main ke Time Zone… Hmmmm…ternyata ada udang dibalik saos tiram.

“Jadi gimana Dha? Mau ya Mbak kenalin sama temennya Mbak? Mbak prihatin nih sama kamu. Mosok seumur kamu, udah lulus kuliah tapi pacaran aja belum pernah. Trus mau nikahnya umur berapa?”

Idihhhh…. Mbak Dhara nyebelin banget sih. Tahu darimana lagi aku belum pernah pacaran. Lagian ngapain juga pake prihatin segala. Aku aja nggak apa-apa kok. Emang bener siihhh… aku belum pernah pacaran. Tapi memangnya aib gitu kalau sudah sampe lulus kuliah belum pernah pacaran.

“Gimana Dha? Mau ya?”

“Ya..atur…aturr …aja deh Mbak.” Kataku enteng. Ngeloyor pergi, meninggalkan Mbak Dhara dan sepotong chesse cake yang gagal aku habiskan

Aku memang ngeloyor pergi. Tapi bukan berarti setelah itu aku nggak mikirin pertanyaan Mbak Dhara. Aku pikirin. Banget malah.

Aku pikirin itu ketika jam satu malam aku ngunyah donat ketigaku di kamar tidur, aku pikirin ketika aku jalan-jalan sendiri ke toko buku nyari komik terbaru, aku pikirin ketika aku sedang hairspa di salon langgananku. Saking dipikirinnya terbawa sampai ke mimpiku untung nggak sampe ngigau.

Jangan dikira aku nggak mau nikah. Aku kan cewek normal. Apalagi akhir-akhir ini aku sering banget menghadiri pesta pernikahan (anaknya temennya Ibu lah, temennya Mbak Dhara lah, sepupu, anak kenalannya Bapak dan sebagainya. Pokoknya asal ada undangan pernikahan aku pasti disuruh ikut, kata Mbak Dhara biar aku terinspirasi..)

Kadang-kadang terpikir juga gimana rasanya berdiri di pelaminan disalamin dan diselametin ratusan bahkan ribuan orang (pasti pegel, Dha), atau gimana ya rasanya malam pertama (Husss…).

Yahh..aku juga pikirin semua itu, Cuma saja aku belum mendengar bunyi “klik” dan music indah di telingaku yang bilang ini dia cowok yang aku mau (kayak di iklan aja).

Dan dari perenungan dan pikir memikir yang tidak sampai membuat rambutku rontok dan jadi putih (lebay deh ah) aku lalu bertekad, berjanji dan berdeklamasi (lho kok). Disaksikan nyamuk-nyamuk bandel di kamarku yang membuat badannku jadi bentol-bentol, serta suara cit..cit tikus yang berkeliaran nyari makanan di dapur bahwa terhitung sejak mulai bunyi kokok ayam bekisarnya Bapak aku akan serius nyari pacar.Bukan hanya pacar, aku akan serius nyari calon suami, lalu aku sodorin ke muka Mbak Dhara setelah itu aku suruh pulang (ehhh salahhh yaa).

Hmmm…..ngebayanginnya aja aku sudah senyum-senyum sendiri. Oke Mbak! Jreng..jrenggg..lets hunt beginnnn……

***


1st Chapter oleh D. Indriwardhani

Read More ......

Spirit of Eye

-

Aura-Aura Mata


Malam hari tanggal 21 Mei 2008 di kota Surabaya, bintang-bintang terlihat berkilauan, malam ini cerah sekali mendung tak tampak meskipun saat ini sudah keluar dari musim hujan namun hampir setiap malam ada awan mendung dan petir berkeliaran di atmosfer. Malam ini ada open air yang mendatangkan grup band kelas nasional ke GOR Kertajaya oleh OSIS di sekolahku. Bosan dengan irama musik yang membuat telinga berdengung-dengung kencang, aku mencoba keluar mencari udara malam yang segar. Kulihat seluruh cakrawala yang bisa aku pandang sekarang. Tak kusangka kudapati sesosok wanita yang rupawan berpakaian warna kuning dengan celana jeans warna coklat susu, memandang lurus ke atas dan melamun, pikirannya telah terbang kesana kemari dengan ditemani bintang-bintang yang berkilau diatas sana, aku hampiri gadis tersebut, lalu bertanya.


“Nggak masuk? Kalau disini terus bisa masuk angin?”

“Males ah…, canggung. Kau sedang apa disini?”

“Capek didalam trus, telingaku juga berdengung.”

“Ooh..perbedaan tekanan sebelum kau masuk ke dalam yang kerapatannya rendah, tiba-tiba berubah tekanan dalamnya akibat gaya bunyi dengan frekuensi suara yang tinggi, menyebabkan tekanan mula-mula berubah drastis menjadi lebih tinggi. Itulah yang menyebabkan telingamu berdengung.”

(kagum) “……Kau sedang apa?”

(bergumam) “….mengkhayal…”

“Tentang…?”

“Aku tidak tahu.”

“Terus…?”

“Entahlah, aku hanya ingin melamun saja. Tapi aku sesekali berpikir, andai saja kalau aku kehilangan mataku saat ini, atau kapan pun, aku pasti tidak akan bisa melihat bintang-bintang ini.”

“Mata..? Memangnya pengelihatanmu bermasalah?”

“Mungkin…”

Aku pun melihat keatas, berusaha bergabung dengan pikiran gadis tersebut yang sedang berada pada suatu tempat yang tidak menentu.

Aku melihat, hanya bintang, bulan pun tak nampak malam ini, kabut dan kosong…, dimana pikiran gadis ini berada? , apa yang sedang ia pikirkan? , mengapa ia berpikir kalau ia akan kehilangan mata?, gumamku dalam hati. Belum selesai aku bertanya-tanya, dia mengucapkan sebilah kata.

“Terakhir…, aku ingin bisa menikmati hal ini untuk yang terakhir kalinya. Bisa saja aku tidak akan bisa melihat lagi esok.”

“Ternyata, kau memikirkan hal itu.”

“Hmm..(mengangguk). Sudah larut. Anak gadis seperti aku tidak baik berdiam disini malam-malam.”

“Aku tahu, mau aku antar?”

“Terima kasih, tidak usah aku bisa pulang sendiri. Terima kasih sekali lagi telah mau menemani.”

(mengangguk) “Gadis yang aneh.”

Terlihat, terlihat kalau dia berjalan menyusuri jalan-jalan di seberang sana, berkabut. Masih terlihat, samar-samar, dan akhirnya mulai menghilang ditengah-tengah kabut dan angin sepoi di luar Gedung pada pukul 2 dinihari.

“…JAM 2 DINIHARI…!!

Oh, sial…, aku sudah disini hingga selarut ini. Bahkan laki-laki seperti aku tidak terbiasa untuk pulang pada jam 2 dinihari, apalagi gadis itu”

Saat itu juga aku segera tancap gas dan bergegas pulang, aku tidak peduli dengan suara-suara bising para musikus menyanyi tak jelas dengan suara serik, gemerisik di telinga dan tarian berjingkrak-jingkrak. Aku sudah terlalu capek dengan hal ini, selain tidak terbiasa tidur larut malam, juga terpikir di benak ku tentang gadis saat itu.
Keesokan harinya, hari Sabtu. Aku masih pergi ke sekolah untuk mengikuti tes pengembangan diri yang aku ikuti, jam sudah menunjuk pada pukul 7.15 pagi, sedikit lebih molor dari jadwal masuk tes yang aku ikuti hari ini yang seharusnya mulai pukul 7.00.

“Sial, aku terlambat lagi..”

Keluarlah sosok seseorang yang tidak asing bagiku, Pak Mahsan, sosok guru namun berjiwa muda, beliau suka memainkan hal-hal yang pada saat ini masih disenangi oleh para remaja. Dalam terawanganku saat ini aku mengalami masalah.

“Fadli!!”

“Ya Pak..”

“Terlambat lagi, padahal hari ini adalah tes pengembangan diri”

“Maaf pak, hari ini saya mengantar adik saya sekolah dulu.”

“Selalu itu alasannya, ya sudah cepat masuk.”

Sementara ini aku merasa kalau perasaan ku mengenai masalah itu ternyata salah. Tapi sesaat kemudian…

“Oia Fadli, berhubung kamu terlambat, tolong fotokopi kan soal tes sekarang, soalnya saat ini soalnya kurang.”

Ternyata benar, aku pasti kena hukum. Pikirku dalam benak, aku sudah telat, disuruh fotokopi dulu, waktuku untuk mengerjakan tes ternyata malah hilang banyak. Tanpa banyak membuang waktu, aku langsung bergegas tancap gas keluar area sekolah dan mulai mencari tempat fotokopi. Tapi bodohnya aku, mana ada tempat fotokopi yang buka pada jam 7.30? sial, aku dikerjai, tapi aku tidak begitu kaget karena sudah berkali-kali Pak Mahsan menjaihiliku. Aku segera menuju ke sekolah. Namun karena jalan disekolahku adalah sejalur, sialnya lagi aku harus putar balik.

Di perjalanan, aku sekilas melihat sosok gadis, aku menoleh ke belakang, terlihat dari belakang seorang gadis berjalan sempoyongan memakai busana yang sama seperti gadis kemarin malam warna kuning dengan celana jeans warna coklat susu masuk ke sebuah gang, dengan gapura bambu berbentuk senjata rakyat Indonesia melawan penjajah dulu. Aku tidak berpikir macam-macam tentang hal itu. Sebenarnya aku ingin menghampirinya, namun karena jalannya satu jalur dan aku dalam keadaan terancam tidak dapat mengikuti ujian, aku terpaksa mengacuhkan gadis rupawan nan cantik tersebut.

Sesampainya aku di sekolah kembali, aku segera ke ruangan Pak Pri, karyawan sekolah yang biasa memfotokopi kertas-kertas atau berkas penting lainnya di ruangan Wakasek. Bodohnya aku dua kali, aku baru ingat kalau ruangan Wakasek buka mulai pukul 9.00, benar-benar sial. Aku langsung kembali ke tempat ujian dan membawa kabar tidak sedap didengar.

Terlihat Pak Mahsan sudah berdiri menunggu, entah menunggu siapa, namun dalam hati aku berpikir kalau Pak Mahsan telah menunggu kedatanganku yang dirasa cukup lama meninggalkan tempat ujian untuk fotokopi.

“Pak, tempat fotokopi pada jam-jam segini masih tutup. Maaf ya Pak telah membuat bapak menunggu lama di luar seperti ini.”

“Siapa yang menunggu kamu? Saya menunggu pesanan bakso saya yang barusan beli dari Pak No. Yee, dasar GR-an. Mwha ha ha”

Aku bingung, seharusnya merasa jengkel atau geli, karena muka Pak Mahsan ketika tertawa lucu banget, kalau diimajinasikan, luas mulutnya ketika tertawa lebar hampir sama dengan 2/3 luas wajah beliau. Akhirnya aku masuk dengan perasaan aneh, dan segera mengerjakan soal tes.

Akhirnya, setelah soal telah usai terjawab semuanya, meskipun ada soal yang aku jawab asal. Aku merasa ingin tidur-tiduran dulu di musholla, karena masih capek gara-gara kemarin tidur larut malam. Di musholla, ketemu Pak Mahsan lagi…

“Fad, Update Antivirus Kaspersky-nya sudah kamu beli?”

“Belum Pak, belum sempat.”

“Eh iya Fad, Di laptopnya bapak tu sepertinya banyak virusnya, mungkin gara-gara Antivirus bapak jarang di update ya Fad?”

“Ya saya mana tahu lah Pak. Emang Bapak tahu dari mana kalau banyak virusnya?”

“Pas Bapak buka dan mau ngetik di Mirosof Wod…” (dipotong)

Microsoft Word pak…”

“Iya ya, apa tadi Mikrosof Wort?”

“Microsoft Word pak..,bukan Mikrosof Wort, di kata Microsoft ada huruf T-nya di akhir kata pak, tapi dibaca samar-samar seperti dihilangkan huruf T-nya, trus kata Microsoft itu pake C bukan K, trus di kata Word, bapak juga salah, akhirannya bukan T, tapi D. Tapi dibaca hampir sama dengan T, namun lidah tidak digigit, bapak pernah tes TOEFL gak sih?

“Apa, TOPEL? ..OPEL? Emang ada tes OPEL?” (mengorek-orek hidung, mencoba meraih OPEL-nya)

“AAAAHHHH….mentolo aku ngrasakno sampeyan Pak. TOEFL pak…TOEFL. Tes buat menilai grammar atau cara pengucapan bahasa Inggris yang benar.”

“Ooh, cara pengucapan toh, kalo bapak gak kenal sama yang TOEFL-TOEFL tuh, kenalnya makhroj sama tajwid

“Haaah…ya udahlah terserah saja.”

“Mengenai yang tadi, Itukan sama saja pake T atau gak, lha wong dibaca samar-samar, kayak idhgom bilaghunah kan? Trus yang pake D kan juga hampir mirip pengucapannya dengan T. Jadi paling tidak nilai Bapak 90 lah kalo ikut tes TOEFL. Tapi dari mana kamu tahu kalau bapak kata-katanya tadi salah? Kan semua bacaannya dibaca samar.”

“Enggak, aku cuma nebak aja.”

“Ayolah..., gimana caranya? Bapak pengen tahu.”

(Menyeringai) “Te he he..., Emoh ah, kalo bapak mau tau, ajarin aku gimana caranya membaca aura seseorang, bapak kan ahli sampai anak-anak mengakui kehebatan bapak membaca aura seseorang.”

“Gak bisa dong, punya bapak kan warisan turun temurun dari bapaknya nenek sepupunya keponakan cucunya menantunya pakde moyangnya Abah bapak.”

“Bilang aja moyang bapak, gitu aja mbulet. Dasar pelit…Elek…”

“Babain…... Oh…Iya, tadi bapak mau bicara apa ya?”

“Berhubungan dengan virus pokoknya.”

“Oh..iya, akhir-akhir ini kok virus flu Babi tidak ada kabarnya lagi ya…? Atau sekarang gantian babi yang kena flu Manusia?”

“Au’ ah… emang kita pikirin, Babi yang punya virus aja belum karuan mikirin kita kok.”

“Oh iya ya.” Kata Pak Mahsan bingung

Penjelasan sebelumnya kalau pak Mahsan adalah seorang yang dianggap ‘sakti’ sama temen-temen sekolah, padahal orangnya juga agak cengengesan, tapi disamping itu kemampuannya membaca aura seseorang bisa diacungi jempol, dia bisa mengetahui apa yang seseorang pikirkan, bahkan yang aneh dia juga bisa mengetahui tipe pasangan yang kita suka dari jari-jari kaki kita, aku pernah ditebak olehnya tipe pasangan idamanku, yang kalem dan pinter, cantiklah, tidak selengean dan religius. Itu bener banget, aku emang suka cewek seperti itu, aku juga agak bingung kenapa bisa dari jari kaki?

Ditengah-tengah perbincangan kami yang begitu sengit, layaknya debat politik pro-kontra, muncul seseorang gadis yang tak lain teman sekelas aku sendiri yang bernama Esha, gadis pendiam yang bisa tahan hidup tanpa bicara selama 1 hari, namun kecerdasannya diatas rata-rata anak SMA lainnya, ia menghampiri kami, dan berkata dengan suara lesu dan mata sendu.

“Pak, boleh saya pinjam Fadli sebentar…?”

“Eh, iya boleh. Silahkan dipinjam aja, tapi terus dikembaikan ya, jangan telat, ntar kena denda.”
(tersenyum) “Iya pak”

Haaa… baru kali ini aku melihat Esha tersenyum seperti itu, senyum yang tulus keluar atas kemauannya sendiri. Aku membayangkan sayang sekali Pak Mahsan tidak mengajar di kelas ku. Seandainya Pak Mahsan mengajar di kelas kami, mungkin Esha tidak semurung waktu lalu. Akhirnya kita pergi ke lapangan dan duduk di bangku teras.

“Pak Mahsan ternyata lucu ya..” (tersenyum)

“Eh..eh..iya, emang Pak Mahsan agak lucu dan jayus orangnya.” (sekali lagi terkejut dengan sikapnya)

“Ada sesuatu yang aku mau omongin.”

“Tentang?”

“Reni.”

“Siapa Reni?”

“Gadis yang kemarin malam kau temui saat Open Air di luar gedung.”

“oOh..ternyatai namanya Reni. Jadi kamu hanya ingin memberi tahu namanya padaku.”

“INI BUKAN HANYA MASALAH NAMA…!”

(Super kaget, sampai mulut jadi kram) “…a..a..i.nn.”

“Reni adalah anak yang dulu satu sekolah dengan kita, dia sahabatku. Namun dia keluar ketika masih 3 bulan sekolah dengan alasan yang tidak jelas. Dia bilang kalau dia tidak akan kembali ke sekolah ini lagi, tapi aku terkejut karena dia datang di acara Open Air sekolah kita, entah dia diundang atau cuma ikut-ikutan, aku ingin menemui dia, menghilangkan segala rindu yang terpendam hingga kini, tapi kau disana, malah bisa ngobrol dengan Reni, aku malu kalau harus tiba-tiba datang kehadapan Reni dan memeluknya, apalagi disana ada kau. Aku terus memperhatikanmu dari jauh, menunggu kesempatan untuk bisa menemui dia...”

“…Namun aku bicara dengannya hingga ia akhirnya pergi dari sana, maaf telah menghilangkan kesempatanmu saat itu untuk bertemu sahabatmu.”

(Mata Berlinang) “Ehm.., gak papa kok. Bisa tahu kalo dia sampai sehat tanpa ada masalah pun aku sudah cukup bahagia.”

(Teringat kejadian kemarin malam) “Oia, kemarin dia bilang kalau dia ingin melihat, melihat sesuatu untuk yang terakhir kalinya. Entah itu apa.”

(Terkejut) “Apa maksud perkataannya itu?”

“Entahlah, dia bilang cuma berkhayal mengenai itu sambil melihat ke atas, dan berkata, ‘Terakhir…, aku ingin bisa menikmati hal ini untuk yang terakhir kalinya. Bisa saja aku tidak akan bisa melihat lagi esok’ tapi anehnya saat aku bertanya apa dia punya masalah dengan mata, dia cuma berkata mungkin. Selanjutnya dia pergi.”

(bergumam) “…Reni…ternyata..”

“Kau tadi bilang apa..?”

(mengusap air mata) “Ah..tidak. Bukan apa-apa kok.”

“Sudahlah…, aku tau perasaanmu…” Kataku lirih

Kasihan Esha, kenapa gadis pemurung seperti dia harus kehilangan satu-satunya semangat hidupnya, seseorang yang bisa membuat hari-harinya tidak mendung, cerah tanpa awan. Aku yakin kalau dirinya dulu tak semurung ini. Di dalam hati aku bertekad untuk menemui Reni sekali lagi. Tapi dia dimana…?

Di sebuah gang kecil dekat perempatan Jl. Ambengan dekat sekolah!

Tak sengaja, seperti kudengar dan kurasakan sesuatu menyusup masuk ke dalam hatiku dan memberiku petunjuk, tapi bukankah itu prosedur yang normal untuk sebuah proses mengingat? Karena memang tadi aku melihatnya masuk sebuah gang. Tapi kali ini beda, aku merasa dituntun untuk menuju tempat yang tepat dalam memoriku, dituntun untuk membuat ku lebih cepat menemukan sesuatu yang aku butuhkan dalam otakku. That’s weird…

(tiba-tiba muncul) “EHM…, so you’re with Esha now, right Fadli…? And then look at this, you’re make Esha crying like a baby, I have no idea what’s happen to you two.”

“Hei, ja..jangan asal ngomong yah…, enak aja. Esha lagi ada masalah sekarang, jadi jangan malah menambah masalah ya, Nita.” (gugup)

What the hell you are. Don’t be so ridiculous like innocent one. I have a proof that u’re the one that make my friend Esha cry.”

“Dasar cewek manja, jangan sok disini ah, lagipula bukan aku yang buat Esha nangis.”

Is that true Esha…?

(mengusap air matanya) “Bukan Fadli yang salah.”

(menjulurkan lidah) “WEEE…”

(tiba-tiba datang dari belakang) “Hoi, Fad…, aku udah selesai buat website sing carane tau kau ajari, jadinya uapik tenan, liaten di website www dot gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertoraharjo tut wuri handayani jerbasuki mawa bea dot com.”

“Busyet, panjang banget, Rip.”

Yo iyolah, supoyo gak gampang lali

“Bukane nanti jadi malah gampang lupa?”

“Haa…, mosok se? tapi aku kok langsung apal yo?.”

“Ya iyalah, kamu kan yang buat, lagian itu kan bahasa kamu sehari-hari.”

“OH, iyo yo.”

Perkenalkan, disini adalah teman-teman 1 kelas aku sekarang, selain Esha yang pemurung, ada juga Nita yang manja dan sok Full English, padahal tiap kali ujian tulis, nilainya pas rata-rata. Selain itu juga ada Sarip, murid asal MU, Medunten Uasli yang bahasanya jowo ngoko banget. Tapi disini masih belum sebagian dari komunitas GOPEL atau Gerombolan IPA telu yang selalu mengisi hari-hari kita di kelas.

“Jadi isi website kamu ada apa aja?” Tanyaku

“Kali ini cuma satu dulu, judulnya Trik belajar bahasa inggris metode 5 tahun.”

(geli) “Wha hah ha…, kok malah gak nyambung sama alamat websitenya, www dot gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertoraharjo tut wuri handayani jerbasuki mawa bea dot com, isinya kok Trik belajar bahasa inggris metode 5 tahun, wha hah ha…lagian lama banget 5 tahun, sekarang aja ada yang 5 hari, tapi gak papa, masih ada 1 orang yang butuhin trik itu.”

Sopo?”

“Nita…”

Don’t make me mad, Fadli. Once I get mad I can burn you all to ash.”

Tertawalah, ayo tertawa bersama kami disini…paling tidak kau menunjukkan kalau kau baik-baik saja, tunjukkanlah ceriamu, tunjukkanlah senyum bahagiamu, tunjukkanlah kalau kau anak yang aktif dan periang pada Sarip, Nita, Aku, Dunia, bahkan Reni, keluarlah dari penjara prinsip hidupmu Esha, kalau diam lebih baik dari bersosialisasi, kalau menjadi pemurung adalah hal terakhir yang bisa dilakukan ketika kau kehilangan semangat hidup, keluarlah Esha, temukan motivasi hidupmu yang baru……kau pasti bisa.

“Eh, udah siang aku pulang dulu yah…”

“Lo Fad, jek tas aku nang kene, kok udah mau pulang.”

“Iya, aku lagi banyak urusan sekarang.”

It’s okay, take care.”

“Makasih. Sha, aku pulang duluan yah, kalo ada apa-apa hubungi aku aja.”

“…………” (diam)


***


1st Chapter oleh Muchammad Arfia
www.ian-rayquaza.blogspot.com

Read More ......