Nadia
“Kak, maaf… maafkan aku… cincin itu…”
“Kita harus berangkat sekarang!”
“Tidak! Aku nggak bakal pergi kalau…”
“Nadia, Nadia!!! Na…”
“WOI!!!!” Terdengar suara penuh amarah yang membuyarkan lamunanku. Cepat-cepat aku bangkit, membereskan barang-barang dan pergi menemuinya sebelum dia mengamuk. Menemui bossku.
“Kamu ini! Kerjaannya melamun aja, apa kamu nggak bisa kerja yang bener?” Omelan bossku mulai panjang lebar. Aku nggak ngerti, udah seharian ini dia kerjaannya ngomel melulu. Padahal aku udah berusaha selama ini kerja yang baik.
“Vin, take sekali lagi ya!” Seru seseorang memanggil bossku. Bossku hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia menoleh padaku lagi.
“Kamu balik ke mobil, ambilkan handuk dan pakaian ganti. Habis ini kita pulang!” Perintah boss sebelum pergi. Teringat sesuatu, aku memanggilnya.
“Vin, makan malam belum...” Yah, dia udah pergi. Aku belum buat makan malam. Bagaimana ini? Ya udah deh, yang penting ngambil barang-barangnya dulu.
Sesudah ngambil barang-barang dan keperluan lainnya, aku menonton bossku bekerja. Bossku adalah seorang bintang film.
Vincent, umur 20 tahun, pria lajang yang keren, tinggi, ganteng dan cool. Tapi sombong, angkuh, pemarah dan betul-betul nggak sabaran. Entah kenapa profesinya sebagai aktor terus aja meroket. Memang sih, kalau dia udah senyum bisnis, semua wanita bakal mabuk kepayang. Udah gitu, pintar pula. Katanya dia sering loncat kelas, dan sekarang dia udah mau lulus kuliah tanpa kesulitan berarti meskipun sibuk syuting. Vincent, Vinci. Oh iya, nama artisnya kan Vinci.... Vinci apa ya?
Haaah.... kalau aja nggak punya perjanjian bisnis dengan si licik itu, nggak bakal deh mau jadi asistennya. Emang sih, namanya asisten, yang katanya Cuma membantu membawakan barang dan mengurus semua barang-barangnya selagi dia kerja. Tapi aku juga merangkap pembantu yang mengurus rumah dan makanannya!!! Di suruh ke sana kemari, lalu terus-terusan diomeli, mana tahaaannn!!!!
Ukh... aku yang masih umur 16 tahun begini, untung aja lagi libur puasa. Mana sekolahku jauh. Haah.... aku harus sabar, harus tabah. Sabarlah Nadia!!! Ini demi tujuanmu sampai kau rela kabur dari rumah!!!
“Cut!! Oke!!! Syuting selesai. Bereskan semuanya!!!” Kata Sutradara menghentikan syuting. Dia menghampiri Vinci dan lawan mainnya sambil memberikan selamat. Ada asisten sutradara yang membawakan skrip selanjutnya. Mungkin ada perubahan skenario?
“Woi!” Panggilnya sambil melemparkan skrip. Kena deh, kepalaku yang jadi sasaran. Aku cepat-cepat membasahkan handuk dan menyerahkannya pada Vinci. Anehnya, dia selalu menerima dengan kening yang mengerut. Herankah? Kalau heran, kenapa nggak ditanya?
“Vin, ada sedikit masalah. Aku nggak sempat masak buat makan malam...” Aku melaporkan dengan suara rendah.
“APA?!” Cowok ini sudah mulai naik darah lagi. Meskipun nggak terlalu terpancar dari mukanya, dari nadanya yang naik setengah oktaf udah ketahuan.
Benar-benar deh, cowok ini. Waktu pertama kali ketemu, aku pikir dia itu robot karya masterpiece ilmuwan terkenal. Habis, keren dan ganteng begini, tapi kalau Cuma berdua atau sendirian, nggak ada ekspresi kehidupan. Tapi kalau udah mengamatinya baik-baik, emosinya terpancar samar-samar, meskipun itu cuma dari nada suaranya aja.
“Kita bisa belanja dulu, baru masak. Tapi kalau mau tepat waktu... berarti harus makan di luar.” Kataku memberikan opsi. Aku melihat jam tangan yang menunjukkan waktu pukul 18.37. Vinci adalah orang yang sangat disiplin dengan waktu. Jadi bagaimana?
“Kita makan di luar. Tapi meja masing-masing. Ngerti?” Tanya Vinci. Aku mengangguk. “Dan biaya makanmu dipotong dari gajimu.”
Aku mengangguk sekali lagi tanpa banyak protes. Ini memang salahku. Jadi semua harus ku tanggung.
Setelah Vinci ganti baju dan siap pergi kami berangkat ke restoran terdekat. Hm... ada benernya juga sih. Kalau kami jalan bareng, pasti bakal ada gosip. Aku kan bareng sama Vinci gara-gara kerjaan, kalau ada gosip pasti aku nggak bisa kerja sama dia lagi. Dan gagal total targetku.
Vinci berjalan duluan dan mengambil kursi. Aku mengambil meja persis di seberangnya. Jadi kami berhadapan diantara dua meja. Selalu seperti ini. Jadi terkenang saat kami bertemu.
* * *
Tiga minggu. Ya, benar. Tiga minggu yang lalu aku nekat datang ke rumahnya setelah kabur dari rumah. Aku hanya hidup berdua dengan kakakku, kak Juno, yang sekarang tercatat sebagai mahasiswa di sebuah universitas di Australia.
Haah... kak Juno. Cowok berumur 20 tahun dengan badan yang tinggi, kurus tapi bertenaga, ganteng, rambut coklat gelapnya sekarang cocok banget. Tatapan dan senyumannya lembut sekali. Benar-benar pangeran berkuda putih. Lagipula dia seorang gentleman. Beda sekali dengan cowok yang bersebrangan denganku sekarang.
Vinci dan kak Juno. Berumur sama, berpenampilan sama, kharisma sama, tapi karakternya jauh berbeda. Kak Juno... aku kangen. Seandainya kita tidak bertengkar waktu itu... tapi tunggulah kak! Aku nggak bakal membuat kakak khawatir. Aku akan pulang, minta maaf dengan membawa benda yang sangat penting bagi kita berdua itu.
Betapa bodohnya aku, Cuma dengan selembar kertas, datang ke rumahnya Vinci waktu itu. Aneh juga dengan keadaan rumah yang sepi. Bell rusak, bahkan di ketok pun nggak ada yang nyahut. Nggak terkunci lagi!!
Nama : Viná
Umur : 20 tahun
Pekerjaan : Swasta
Tempat Tinggal : Miracle Living Resident, no 14
Ya, ya. Itu selembar kertas yang membuatku seperti orang bodoh. Aku mengira pekerjaannya wanita karir yang ceroboh. Melihat rumahnya yang luarbiasa besar, foto-foto wanita yang cantik, dan kamar lux dengan banyak sekali warna abu-abu dan silver. Benar-benar wanita karir yang kaya, pikirku saat itu.
Pokoknya, aku betul-betul kaget begitu tahu dia laki-laki. Aku kira namanya Vina, seperti yang tertulis di kertas itu. Tapi ternyata namanya adalah Vinci. Haaah... sial.
Dengan sombongnya dia mengajak aku bicara. Kalau nggak benda itu dipegang sama dia, pasti dia sudah kuhajar habis-habisan, meskipun itu bertentangan dengan prinsip karate, dan mungkin aku bisa dilaporkan ke polisi karena tuduhan penganiayaan.
Akhirnya aku harus kerja menjadi asistennya minimal tiga bulan untuk menebus benda itu. Astaga... aku disuruh-suruhnya!!! Kayak pembantu aja. Untung aku terbiasa mengurus rumah dan memasak. Habis dulu harus mengurus dua cowok dalam rumah dari kecil. Kalau Cuma si robot yang nggak banyak omong itu, masalah enteng. Cuma selera dan disiplinnya aja yang kelewatan, sampai aku susah. Sudahlah... makan dulu!!!
Hm? Banyak juga orang-orang sekitar yang berbisik-bisik di sekitar kami. Meskipun Vinci sudah menyamar sedemikian rupa, tetap saja dia menarik perhatian. Untung aja kan, aku nggak semeja dengan dia. Yak, untung-untung...
* * *
“Jangan cemberut, dasar anak kecil.” Kata Vinci begitu kami dalam perjalanan pulang. Mahal banget semua makanan tadi!!! Lebih dari setengah gajiku!!!! Aku kan jadi rugi besar!
Kulirik Vinci sebentar. Kurasa nggak ada orang yang selurus dia. Kalau ada yang mengganjal dan mau dikeluarkan, meski sejelek apapun dan membuat orang terluka nggak pernah disensornya satupun. Dan kalau nggak ada yang mau dibicarakan, ya diam saja. Sama sekali nggak ada basa-basinya. Menyedihkan.
“Kurasa kalau begini terus, kamu nggak bakal bisa mendapatkan cincin ini.” Kata Vinci yang menusuk perasaanku. Tapi aku memilih menahan diri.
Kutatap tangan kiriku. Ada cincin emas yang melingkari jari manisku. Polanya indah, dengan satu mata berlian dengan pola potongan yang membuat kilaunya begitu memancar, seperti pelangi. Pasangan cincin ini melingkari jari manis tangan kiri Vinci.
“Aku sudah bilang, dengan cara apapun pasti kudapatkan kembali cincin itu.” Kataku pelan. Itu kan satu-satunya warisan dari ayah dan ibuku...
Cincin pernikahan orangtuaku yang ditinggalkan untukku dan kak Juno. Nggak akan kubiarkan kedua cincin ini terpisah!
* * * *
Vinci
Aku nggak pernah ngerti pikiran anak kecil. Begitu ngototnya mereka hanya demi sebuah barang yang remeh dan sepele.
Begitu kagetnya aku waktu kutemukan cewek histeris yang bersembunyi di lemariku, lalu berteriak nggak karuan karena menyangka aku cowok mesum, padahal aku baru saja selesai mandi. DI RUMAHKU SENDIRI.
Cewek itu kepalanya berada di bawah bahuku sedikit. Bagiku yang 185 cm ini, dia lumayan juga. Rambutnya hanya sampai bahu dan berponi tipis. Rambutnya cukup halus. Badannya kurus, dan wajahnya bisa dinilai imut untuk seorang siswi SMA. Itu kata-kata para kru film yang selalu saja tersenyum kesenangan begitu anak kecil itu datang.
Biarkan sajalah, yang penting anak itu bisa berguna untukku.
Anak kecil itu datang dan mengatakan dia mau melakukan apa saja, asal aku mengembalikan cincin itu padanya. Konyol sekali. Apa sih istimewanya cincin yang dibeli di acara lelang pegadaian? Memang pola ukirannya rumit, dan membuat Via senang. Tapi itu bukan alasan untukku.
Tapi kupikir nggak ada salahnya memanfaatkan cewek ini. Dia bisa kupekerjakan untuk mengurus rumah dan mengurus barang-barangku selama aku kerja. Bisa kujadikan asisten dan membuatnya menderita. Tapi tak kusangka, ternyata dia kabur dari rumah!!! Sempat kucurigai dia bukan anak baik-baik. Begitu kusuruh tinggal di rumahku, tanpa ragu dia menyetujuinya!! Memangnya dia pikir dia siapa? Apa dia terbiasa tinggal bersama cowok? Kenapa dia sama sekali tidak ragu, takut, atau bahkan senang. Yang dia pikirkan hanyalah mendapatkan cincin tunanganku ini yang dia bilang milik kakaknya yang labur.
Begitu kuberitahu manajerku, dia panik sekali. Cewek itu bisa mengancam karirku. Tapi begitu melihat sepertinya dia terbiasa mengurus rumah dan memasak, kupikir tak apa. Apalagi aku baru saja pindah rumah dan belum ada yang tahu alamat rumah baruku ini. Tak masalah, aku dapat tenaga baru yang masih muda dan gratis.
Begitu semangatnya dia bekerja, pagi-pagi aku sudah sarapan. Bahkan dia membuatkan bekal untukku. Aku kan nggak terbiasa makan pagi, apalagi dapat bekal. Tapi sayang sekali menyia-nyiakan makanan, jadi ku makan saja. Sekalian mengetes rasa masakannya.
Seminggu itu aku jadi repot mengenalkannya pada semua dia itu asistenku. Banyak juga orang yang nggak percaya, tapi begitu melihat dia begitu semangat membawakan barang-barangku dan mau kusuruh-suruh tanpa banyak protes, aku sudah tahu aku terbebas dari gosip aneh. Lagian dia kan anak kecil, mana mungkin cocok denganku.
Sudah tiga minggu ini dia bekerja untukku tanpa kenal menyerah. Tampaknya dia sangat menginginkan cincin ini, sampai dia melakukan semua pekerjaan serajin-rajinnya. Pagi menyiapkan sarapan, diantara sinar pagi yang menghangatkan udara yang dingin dia menjemur pakaian, lalu membereskan rumah. Memberikanku bekal, dan begitu pulang dia sudah menyiapkan air panas untukku. Bersantap malam, membereskan dapur lalu tidur. Seleranya nggak jelek, dia bisa memilihkan baju untukku.
Entah kenapa, meskipun baru tiga minggu, sepertinya kami sudah terbiasa hidup bersama. Tapi aku harus bersikap rasional. Aku dan dia itu orang lain, dan kami juga baru tiga minggu tinggal serumah. Meski rasanya sudah biasa, tapi jangan dibiasakan.
Meskipun begitu... melihat senyumnya yang mengembang seiring dengan bangkitnya sinar mentari, aku merasa dia bukan gadis biasa. Juga waktu beberapa hari yang lalu.
Waktu aku sama sekali nggak tidur untuk mempelajari naskah, aku bermaksud turun untuk minum kopi. Dari tangga, kulihat dia yang terus saja menatap keluar melihat bulan. Tatapan yang sangat kesepian. Kosong menerawang, seperti memanggil di samar-samar sepinya suasana malam itu. Rasanya mau kupanggil, tapi jiwanya seperti di tempat lain.
Dia menangis. Dia menangis tanpa suara sambil melihat bulan. Airmatanya terus jatuh bercucuran. Sepertinya sakit sekali. Entah apa yang selama ini dialaminya. Esoknya dia sudah semangat kembali, dan aku tak pernah lagi melihatnya menangis. Hanya sekali saja dia menangis, dan itupun tanpa suara. Tanpa ada sinyal apapun. Entah kenapa, sejak saat itu aku terus penasaran apa saja yang ada padanya.
“Malam ini... tanggal 17 ya?” Tanya anak itu tiba-tiba. Kurasa itu nggak perlu dijawab, karena dia sudah melihat kalender berkali-kali. Kukemudikan mobilku tanpa banyak bicara. Sebenarnya dia mau apa?
Skrip baru yang diberikan ini bikin repot saja. Kenapa selalu saja ada perubahan skenario padahal ini sinetron striping. Hm... bikin kopi saja dulu.
Begitu ke bawah, kulihat dia berada di ayunan kayu yang berhadapan dengan laut. Banyak orang bilang rumahku modelnya sama dengan sinema ‘Full House’ dasar orang-orang manajemen sialan. Dia terus saja memandang bulan sabit itu. Aku jadi penasaran dan mendekatinya.
“Vinci... mau menikmati bulan juga?” Katanya begitu menyadari keberadaanku. Dia Cuma pakai piyama, dan nggak pakai jaket sama sekali. Dia duduk sendirian dengan segelas kopi di malam yang dingin ini?
“Nih...” kupakaikan jaket yang kuambil di rumah. Aku mengambilnya dua. “asisten nggak boleh sakit, nanti bukannya bantu malah bikin masalah.”
“Tapi si aktor sendiri juga nggak boleh sakit. Bisa heboh para fansmu di luar sana tahu kamu sakit. Makasih ya...” Kata anak itu pelan. Wajahnya memerah sesaat, tapi dia lalu memandang bulan lagi.
“Vinci... pernah merindukan seseorang? Orang yang sangat berharga bagi Vinci...” Tanya Nadia. Aku menggeleng.
“Kalau aku... ada.”
“Cowok yang kamu suka?” Tanyaku. Giliran Nadia menggeleng.
“Bukan. Orangtuaku. Ibuku meninggal waktu aku tujuh tahun. Ayah bekerja sebagai novelist, kakak yang masih SMP kelas 1, dan aku masih tujuh tahun. Ibu adalah sosok yang anggun, cantik, dan sangat telaten mengurus keluarga. Tapi karena ibu meninggal karena sakit, semuanya berubah.” Nadia terdiam.
“Peninggalannya hanya cincin yang ada di tangan kiriku ini.” Kata Nadia. “Sepeninggal ibu, semuanya jadi kacau. Ayah jadi semakin ceroboh, dan agak konyol. Tapi kami semua bahagia. Sampai akhirnya tiga tahun kemudian, kakak lulus SMP dengan prestasi yang luarbiasa. Dan begitu masuk SMA... ayah meninggal.”
Jadi... orangtuanya meninggal. Apa cincin ini...
“Ayah meninggal karena kecelakaan setelah mengantar kakak. Akhirnya kakak keluar dari sekolah berasrama itu, dan mulai mencari kerja sambilan untuk membiayai kami. Jadi kami hanya tinggal berdua. Empat tahun... hanya berdua. Makan, main, belajar, bahkan kadang tidur bersama selama ini. Dia kakak yang sangat baik.”
Jadi karena itu dia terbiasa tinggal bersama cowok? Wajahnya begitu menceritakan kakaknya... begitu lain. Seperti orang yang sedang kasmaran saja.
“Dimana kakakmu sekarang? Apa karena kalian bertengkar sehingga kamu kabur dari rumah?”
“Kamu ini memang orangnya dingin ya? Kakak... sewaktu lulus SMA, ada seorang direktur yang sangat suka dengan prestasinya. Dia menawarkan beasiswa dengan syarat IP diatas 3 dan setelah lulus bekerja untuknya. Dan sekarang dia kuliah di Australia. Aku dititipkan, dan karena cincin itu, aku kabur dari rumah. Puas?”
Aku meneruskan minum. Jadi begitu?
“Kenapa cincin yang begitu penting kamu gadaikan?”
“Entahlah. Aku juga nggak tahu. Kakaklah yang menggadaikannya. Begitu aku sadar, semuanya sudah terlambat. Karena itu aku bertekad mendapatkannya kembali.”
Hm... kehilangan orangtua, hidup bersama kakaknya dan lalu dipisahkan, dan cincin yang jadi peninggalan satu-satunya tergadai. Ternyata anak ini kesepian juga. Sepertinya ada yang mirip, entah dimana. Aku pernah mengalaminya. Apa di salah satu dari ratusan film yang pernah kutonton? Atau buku-buku yang pernah kubaca?
“Na...” Begitu aku memanggil, ternyata Nadia jatuh tertidur. Kepalanya jatuh berlahan ke pundakku. Wajahnya tenang sekali. Apa dia kecapean?
“Kak... kakak... kak Jun.... aku kangen...” Nadia mengigau. Jun? Siapa lagi itu. Anak ini nggak mungkin kutinggal keluar, jadi kuputuskan untuk menggendongnya ke kamarnya. Berat juga tubuh cewek itu. Dan tubuhnya dingin. Jangan-jangan, sesudah membereskan makan malam dia langsung keluar tanpa jaket?
Tangannya semakin bergelayut. Hei-hei, jangan-jangan anak ini pura-pura tidur.
“Hangatnya... punggung yang lebar dan hangat. Kak Jun... hangat...” loh, ternyata dia ngigau lagi? Lagi-lagi Jun.
Begitu kubaringkan dia dan kuselimuti, dia terbangun sebentar.
“Kak Jun? Kak Jun menggendongku lagi ya? Makasih ya... kak Jun baik.”
Jun lagi, Jun lagi! Siapa sih, dia?
Begitu bangun, dia sudah riang lagi seperti biasa. Bangun pagi-pagi, menyiapkan sarapan. Selagi kami makan bersama, terdengar suara bell.
“Hai!!!! Good Morning, my darling!!!” Suara ini... dia lagi?
“MARIO?!!!” Seru Vira kaget. Mario sudah gabung bersama kami. Dia melihat semua makanan di atas meja, dan berpaling menatapku heran.
“Vin, bukannya kamu nggak biasa sarapan?” Tanya Mario heran. Kenapa sih, anak ini selalu membuat jengkel? Apa yang harus kukatakan?
“Loh, jadi... selama ini Vinci maksa makan masakanku ya? Kamu nggak sakit perut?” Tanya Nadia tiba-tiba. Rupanya kalau anak ini cemas seperti ini ya?
“Aku nggak apa. Nggak ada yang sakit, cerewet.” Kataku cepat. Wajahnya agak lesu. Keliatan banget kalau ia khawatir.
“Aku pernah dengar, kalau orang yang nggak pernah sarapan itu makan pagi, dia bakal sakit perut. Untung aja Vinci nggak apa-apa. Lain kali aku cukup buatin bekal saja?” Tanya anak itu. Ng? Masa...
“Delicious!! Nadia pintar masak ya? Aku bakal datang tiap pagi untuk sarapan di sini ah!!! Nggak apa kan, darling?” Tanya Mario mencicipi masakan si kecil.
“Terserah.” Kataku cepat. Entah kenapa, aku merasa lega.
“Habis ini mau ngapain?” Tanya Mario.
“Aku harus meneruskan syutingku sampai jam 3 sore dan habis itu pemotretan untuk sampul majalah.” Tiba-tiba HP ku berdering. Hm?
“Halo.” Sapaku cepat. Ternyata Ibu Helen.
“Datanglah ke kantor, ada yang mau kubicarakan.” Kata Bu Helen seperti biasa.
* * * *
1st Chapter oleh Y.E. Bungan Margaret
No comments:
Post a Comment