Wednesday, June 11, 2008

SOCK CANTIK LOE…!!!

-

Masalah idung pesek nomor dua

Di dunia ini hanya satu orang yang tidak pernah menyerah untuk mendapatkan cinta sejatinya selain pat kai, Eman Suherman. Lelaki yang tidak ingusan lagi, dengan wajah yang cukup sederhana dan standar. Tidak ada satu pun makhluk yang bernama wanita yang kuliah di jurusan Biologi yang tidak mengenal Eman. Nama Eman sudah melalang-buana ke jurusan-jurusan lain bahkan sudah tingkat universitas.

Para dosen maupun pegawai kampus tidak mampu mencegah menyebarnya virus anti rusuh ini. Mereka sudah berapa kali menentang Eman untuk tidak mempromosikan tampangnya yang kacrut itu kepada wanita terutama mahasiswi baru. Mereka sudah bilang ke Eman kalau itu semua adalah hal yang sia-sia. Terlalu memaksa dan sedikit merusak norma-norma asusila.

Eman protes, “Gak bisa gitu dong, pak. Kita ini bangsa yang demokratis. Sesuai dengan pasal 34 kalau tiap warga punya hak untuk mengeluarkan suaranya.”

“Man pasal 34 itu tentang fakir miskin dan anak terlantar di perlihara oleh negara. Pasal 28 yang tentang hak penduduk diperbolehkan berpendapat.”

“Hmm... Bener juga! Ternyata bapak ini cerdas juga.“ puji Eman

“Terima kasih atas pujiannya. Tapi cukup satu kali ini aja kamu memberikan bapak pujian.”

“Lho memangnya kenapa Pak?”

“Soalnya kuping bapak jadi panas ngedernya. Jantung bapak aja sampai ngos-ngosan.”

“Wah pujian saya luar biasa dasyatnya ya pak” Kata Eman dengan bangganya.

“Bukan itu Man masalahnya.”

“Masalahnya apa Pak?” tanya Eman bingung

“Masalahnya kamu yang bilang. Mahasiswa yang berpredikat lulus tanpa sertifikat dan gelar.”

“Lho kok gitu sih?”

“De Eman sadar sekarang sudah semester berapa?”

“Semester dua.”

“Itu untuk mahasiswa baru. Kalau untuk de Eman semester berapa?”

“Hmm... Semester enam.”

“De Eman yakin?”

“Semester delapan?” jawab Eman dengan nada diayunkan.

“Sumpah demi Tuhan?” balas pak Dosen tidak mau kalah.

“Semester sepuluh?”

“Gak nyesel?”

“Kalau gitu... Semester dua belas aja deh!” kita Eman mantap

“Bukannya lebih!”

“Wah... Kalau gitu bapak aja deh yang nentuin. Habis dari tadi kayaknya salah terus.”

“Kamu tuh sekarang semester dua...”

“Bisa kita kembali ke topik awal kita.” Potong Eman “Tapi berhubung bapak sebentar lagi mau ngajar, dengan terpaksa dan berat hati, saya akan menerima saran dari bapak tadi. Tidak melakukan kelakuan nakal saya dengan menyebarkan nama saya di kalangan para cewek-cewek yang ada di sekitar kampus in―eh, maaf di sekitar universitas ini. Begitu kan Pak?”

“...” pak Dosen menahan marahnya sambil mengelus dada.

“Kalau gitu saya permisi dulu, pak. Permisi...”

Ketika Eman sudah jauh, pak dosen berkata, “Tunggu giliran saya nanti, ya de Eman.”
*****
Sama halnya seperti seorang striker yang butuh tandem untuk bisa membobol gawang lawan, Eman mempunyai teman tandem yang memiliki nasib yang tidak beda jauh dengan dirinya. Namanya Joyo Hadingingrat. Lelaki yang memiliki lemak sedikit lebih banyak dari pada Eman yang memiliki berat hanya empat puluh dua kilogram (Hmm... Bener gak ya??). Dan satu hal yang membedakan antara Joyo dan Eman adalah Joyo lebih muda satu tahun daripada Eman. Joyo yang beberapa tahun yang lalu memanggil Eman penuh hormat dan penuh kesopanan dengan panggilan “Mas” sebelum nama Eman, sekarang justru terliat seperti saudara semati yang kemungkinan punya masa depan suram.

Pola permainan Joyo dalam mengejar cewek sangat berbeda dengan Eman yang cenderung frontal dan gegabah ditambah nafsu. Strategi yang biasa digunakan Joyo biasanya kasual, kalem, tepat sasaran, plus nafsu(satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari sisi kemanusian seorang pria dalam mengejar wanita).

Makanya tidak jarang Eman selalu iri terhadap Joyo. Joyo yang memiliki nasib sama dengan dirinya dalam masalah akedemik tapi beda untuk urusan cewek.

Selama debutnya sebagai anak buah Irwansyah, pecinta wanita, Joyo berhasil mengalahkan Eman dengan skor 5-0.

“Apa yang salah ya Yo dari gue?” Eman mulai curhat.

“...”

“Hidup gue penuh dengan kesederhanaan. Jiwa gue penuh dengan gairah anak muda. Hatiku gue penuh dengan kesucian cinta. Muka gue ...”

“Standar kayak gue apem!” potong Joyo “Haha...”

Eman pasang muka jutek, “Sama temen diri jangan ngomong gitu dong.”

“Hehe... Sory Man. Terpaksa! Habis mau gimana lagi, masa gue harus memaksa diri gue sendiri untuk melakukan hal keji bilang kalau loe itu seganteng Ari Wibowo. Gak sesuai sama etika jurnalistik Man.”

“Terserah deh loe mo ngomong apa. Sekarang bisa gak bantuin gue buat dapetin cewek.” Eman melunak.

“Gimana ya Man? Kalau untuk orang yang se-standar loe ini...menurut gue susah untuk dapet yang high.”

“Terus dapetnya kayak siapa?”

“Kalau dalam dunia pertelevisian, yang paling cocok, udah mentok, dan paten, elo itu harus memilih yang setingkat sama Omas, mpok Ati atau mungkin yang lebih besar lagi Atun kalau enggak kaya...siapa tuh yang suka jadi presenter.”

“Okky!!” jawab Eman melengking.

“Nah iya, sama dia loe punya kecocokan dalam genetika kayaknya.”

~Pletak!!~

“Itu sama aja loe udah nganterin gue ke neraka sebelum waktunya.”

“Haha...Habis mau gimana lagi?!” kata Joyo sambil mengusap kepalanya. “Kalau memang gak dapet yang setingakt Cinta Laura, Dian Sastro, Titi Kamal mau gak mau loe harus nurunin standar pemilihan dong.”

“Sory boy, ternyata prinsip kita memang beda!” ucap Eman sambil mengarahkan telapak tangannya ke Joyo.

“...” Joyo mengerutkan dahinya

“Jujur dalam hati gue yang paling dalem, sekarang bukan masalah mukanya yang cantik, senyumnya yang manis, kulitnya yang putih. Semua itu nomor sekian. Tapi cinta Yo...” kata Eman sambil meranggul dan menunjuk dada Joyo. “Cinta loe dari hati yang harus loe tunjukkan dan tersampaikan ke wanita yang loe cintai.” Tambah Eman penuh dramatis.

“Orangnya belum pernah dapet cewek omongnya emang beda.”

“Itu masalahnya, Bro!” Eman melepaskan rangkulannya. “Kalau gue udah dapet satu aja cewek, baru kriteria cantik, manis jadi nomor satu. Sekarang gue hanya bisa pasrah dan menunggu wanita yang melihat cinta dari hati gue yang tulus dan suci.”

“Mas, mas, Khalil Gibran ya?” tanya Joyo sambil mencolek pundak Eman.

“Bukan. Gue mbahnya Kahlil Gibran.” Balas Eman datar.

“Ooh...”

Hari itu Eman hanya bisa memandang matahari sore dengan muka yang ngenes, pasrah, tak berdaya. Andai saja ada tali di tangannya, mungkin Eman sudah nyolong ayambuat pelampiasan kekesalannya.

Derita cinta tidak akan pernah berakhir, Eman membatin.
****
1st Chapter by Latif Darmawan

Read More ......

Monday, June 9, 2008

Match Point!

-

Pembukaan
Pukul 19.30 WIB

Penonton berderet duduk manis di lantai gedung pertunjukan berukuran tiga kali lapangan badminton yang beralaskan karpet. Hujan diluar membantu menyejukkan ruangan yang tidak ber-AC. Lampu mulai dipadamkan. Lampu panggung dihidupkan, menyorot bantal duduk dan segelas air putih. Hanya itu. Bincang-bincang mulai berganti bisik-bisik.

“Ssst!”

“Ssst!”

Orang-orang mencoba membuat diam penonton disekelilingnya untuk diam. Orang yang di”ssst”i tidak mau kalah, membalas “ssst” pula. Akhirnya para penonton saling berlomba adu “ssst!”. Untunglah musik pembuka segera mengalun mengakhiri perlombaan tak berujung itu. Pertunjukan segera dimulai. Sebuah pertunjukan tunggal dari seorang pendongeng terkenal dari ibukota (percayalah, yang terkenal pasti dari ibukota). Jumlah pendongeng di negeri ini sedikit, yang terkenal lebih sedikit lagi.

Tiap orang merindukan dongeng sebelum tidurnya saat masih kecil. Setidaknya yang belum pernah didongengi sebelum tidurnya berharap kali ini mimpinya terwujud. Menonton pertunjukan dongeng sampai tertidur. Itulah harapan yang ada disini karena harus mengeluarkan uang 5 ribu untuk sekedar didongengi. Harga satu kali makan bagi penonton yang kebanyakan mahasiswa.

- JRENG JREENG -

Musik pembuka masih dimainkan. Seorang lelaki berumur tigapuluhan mengenakan pakaian putih-putih keluar dari balik panggung. Menuju kearah bantal duduk, membungkuk horamat kearah penonton. Senyum lebar tetap menghiasi wajahnya hingga musik pembuka berakhir.
“Assalamualaikum warrahmatullohi wabarakatuuu!” salam Pendongeng.

“Waalikumussalam warrahmatullohi wabarakatuuuuuu!” balas penonton. Membalas salam lebih panjang lebih baik, begitu kata ustadz.

“Selamat malam!”

“Malaaam!”
“Bagaimana penonton, siaap?” Pendongeng tiba-tiba berdiri.

“Siaap!” penonton tiba-tiba ikut berdiri

“Yang belakang okee?”

“Okeee!”

“Tarik Maang!”

“.....”

“Huu, emangnya dangdutan!” butuh beberapa detik bagi penonton (yang kebanyakan mahasiswa) untuk ngeh apa yang terjadi.

“Haha, sori sori. Kebiasaan jadi MC dangdut belum bisa ilang.” Pendongeng kembali duduk. Penonton kembali duduk.

“Baiklah. Seperti biasa, sebelum ane memulai cerita. Basa basi dulu. Sepenuhnya ane ucapkan terima kasih buat pihak yang mengundang ane kemari. Terima kasih juga buat para penonton yang walo hujan-hujan dingin-dingin tetap mau datang hanya untuk sekedar mendengar dongeng dari ane.”
Setelah menarik napas, Pendongeng melanjutkan, “Ini bukan cerita tentang anak-anak orang kaya yang punya mobil mewah, apartemen mewah, tempat nongkrong mewah. Bukan juga cerita anak miskin yang papanya miskin, supir pribadinya miskin, pembantunya miskin, tukang kebunnya miskin. Bukan. Ini cerita tentang anak-anak biasa saja, mobilnya biasa aja, laptopnya biasa aja, ke kafe yang biasa aja, ke diskotik yang biasa aja...”

“Sama aja dong!” potong penonton.

“Eh iya ding,” ralat Pendongeng, “pokoknya bagi yang pecinta sinetron dengan seting glamor bisa meninggalkan pentas ini.”

Tidak ada yang mau membuang tiket lima ribu rupiah cuma untuk diusir Pendongeng. Setelah memastikan penonton tidak ada yang keluar gedung, kecuali satu penonton hamil yang keliatannya mau melahirkan. Pendongeng melanjutkan, “Ini cerita percintaan...Setidaknya demikian harapan ane. Nggak ada yang lebih menarik dari cerita cinta, setelah cerita setan pastinya. Walo sudah pernah denger beribu cerita cinta yang hampir semuanya mirip, nggak bakal bosen. Jangan tanya kenapa, karena ane sampe sekarang masih bujang.”

“Haaa?” seru penonton. Terdengar bisik-bisik tidak percaya, trus bisik-bisik mengasihani, trus bisik-bisik jijay.

Sadar sudah membuka aib sendiri, Pendongeng segera melanjutkan, “Setingnya disini, di kota tercinta Purwokerto ini. Begini ceritanya.”

JRENG JREENG
Tahun Pertama
Junno

Sudah setengah jam berlalu sejak jam weker berbentuk Kenshin Himura memukul-mukulkan pedang ke kepala Arjuna. Masih pake sarung abis solat subuh, Arjuna mulai aktivitas paginya. Yaitu...


“Sebentar, sebentar. Sampe kapan Om panggil aku Arjuna. Arjuna is det. Panggil aku Junno.” protes Junno.

“Oke. Junno. Tapi jangan panggil ane Om. Panggil Aa, lebih merdu.” kompromi Pendongeng.

Junno mengambil komik dari meja belajar pendek di sebelah kasur busa tanpa dipan. Urung membuka komik, dia melihat sekeliling kamar kos barunya.


Tau anak kosnya sudah lulus es em u, ibu kos yang selama ini dianggap Junno sebagai ibu kedua karena selalu memberinya cemilan saat tiba waktunya bayaran kos, mengkhianatinya dengan mengusir secara halus.“Maaf ya nak Junno. Bukannya Ibu nggak seneng Junno disini, walo sering nunggak bayarnya.” senyum berbahaya Ibu kos menghiasi mukanya yang lebih berbahaya lagi, “Tapi nak Junno kan tau, ini kos-kosan kusus buat anak SMA (bukan salah Pendongeng, tapi memang ibu kos gak tau kalo SMA dah ganti SMU), tarifnya juga buat anak SMA. Jadi nak Junno bisa cari kos lain buat mahasiswa.”

Junno hanya menantap tak berdaya. Semua isi kamarnya sudah di depan rumah kos. Junno memang beberapa hari terakhir ini tidak pulang ke kos. Setelah perayaan kelulusan dengan hura-hura tanpa huru-hara, dia langsung disibukkan dengan pendaftaran jadi mahasiswa, yang sarat pendaftarannya cuma bisa dibandingkan sama syarat pendaftaran jadi bupati. Dan betapa syoknya dia melihat semua barang kesayangannya teronggok tanpa bisa melawan di depan kosnya. Pintu dididepannya ditutup tanpa ampun oleh Ibu Kos, kayaknya nggak ingin anak kosnya ini masuk trus memeluk kakinya sambil menyanyi India versi dangdut (Anda tentu tidak membayangkan semua anak SMU sukanya Hip Hop, kan. Begitulah, diluar sana banyak yang dari TK sudah keukeuh pemuja dangdut).

“Sial!” umpat Junno


Sejak saat itu Ibu Kos masuk daftar orang-orang yang akan didendam Junno sepanjang hayatnya. Dia curiga pengusiran sepihak ini bukan karena kelulusannya tapi karena anak gadisnya yang mau masuk SMU tahun ini. Cantik emang, bohay juga. Tapi kenapa dengan itu? Junno toh cuma punya rencana ntar ke sekolah bareng, belajar bareng, nongkrong bareng, bobo...


“Hei, ini cerita remaja lho!”


“Sori.”

Dengan prinsip nggak mau merepotkan diri sendiri selama bisa ngrepotin orang lain, Junno ngeboyong semua isi kamarnya ke tetangga sebelah. Rumah Sadewa, teman Junno sejak orok. Junno tau Sadewa gak bakal ngusir dia lantaran Sadewa gak punya adik cewek, walau Junno juga tau orang tua Sadewa harus beli gembok tambahan buat lemari makan dan kulkasnya. Jadilah kamar Sadewa yang sak emprit tapi rapi nan nyaman bak dituang timbunan sampah dari TPA.


“Sori Wa, aku abis diusir Ibu Kos. Aku disini dulu ya sampe jelas aku kuliah dimana.” Junno memohon.


Memohon? Belum sempat Sadewa mengucapkan itu, tamu-mimpi-buruknya sudah sampai di depan lemari makan dan mengamankan isinya sebelum Mama Sadewa memasang pengaman tambahan.

***

Beberapa hari setelahnya, di tengah acara nulis kode perguruan tinggi. Kode-kode rumit seperti punyanya Opa Leonardo Da Vinci. Butuh Konsentrasi. Mata Junno berada di jauh di bawah jarak aman untuk membaca, menekuni serangkaian arti kode SMA, Universitas, Fakultas, Jurusan yang mau dimasuki. Tidak boleh ada kesalahan. Tidak boleh pengennya Matematika masuknya ke Akuntansi.


Di saat genting sperti itu Junno sekali lagi menerima nasehat bertuah dari Sadewa. Dan ini menyangkut masa depannya, tidak bisa diabaikan. Sadewa bertanya, “Bener gak mau ninggalin Purwokerto?”


Sadewa mau mengeluarkan kata-kata ajaibnya, Junno mengangguk hidmat. Bagaimanapun berkat nasehat-nasehat Sadewa dia bisa lolos (lolos bukan lulus)dari SMP dan masuk ke SMA favorit. Ajaibnya, nasehat Sadewa juga membawanya duduk di kelas IPA.


Padahal satu-satunya pemahamann pengetahuan IPA yang dimiliki Junno adalah, “ternyata gerhana matahari itu adalah peristiwa tertutupnya cewek cantik oleh cowok gendut jelek yang lagi minum Fanta!”


Sekarang setelah meloloskan sekali lagi dari SMA, spertinya Sadewa mau memberi nasehatnya lagi yang mujarab. Dan cita-cita Junno adalah sampai mati terus di Purwokerto membangun (atau lebih tepatnya merobohkan) kota tercintanya ini.


Sadewa bersabda, “Disini Universitas Negeri kan cuma satu. Jadi pilih aja fakultas yang aneh dan jurusan yang ajaib.”


Pyar!


Bagai mendapat pencerahan, Junno langsung memeriksa data statistik yang dimaksud, bak profesor matematik. Sedetik kemudian dia meyerahkan pada Sadewa jurusan mana baiknya yang dipilih, karena Junno adalah profesor matematika linglung. Kata statistik masih didengarnya beberapa tahun lagi. Sadewa memilihkan satu jurusan.


Oke. Junno langsung mengisi kode jurusan itu di kertas formulir pendaftaran.


“Satu lagi Junn. Aku tau kamu gak bakalan bisa melajarin semua mata pelajaran yang bakal ditesin,” Sadewa menatap sejenak pandangan-sok gak ngerti-apa sih maksud lo dari lawan bicaranya dan memilih untuk meneruskan,”jadi pilih satu yang paling bisa diterima otak kamu, kalo ada. Pelajari soal-soalnya, apalin. Kalo perlu apalin soal-soalnya mulai dari soal tahun enam puluhan. Kalo ntar bisa bener semua di satu pelajaran ini, gue jamin bisa masuk.”

(Percayalah penonton – INI SAMA SEKALI TIDAK MUNGKIN!)

Pyar!
Mendapat pencerahan dua kali, Junno langsung mengambil kumpulan soal Biologi dari tahun enam pulahan. Sedetik kemudian Junno terlelap.
Abakadabra!
Disinilah Junno sekarang. Memandangi kamar kos baru berukuran 3x2 (itu yang dikatakan bapak kos barunya), memeriksa apakah semuanya sudah ditaruh pada tempatnya. Semuanya barang-barang dengan tema tokoh kartun. Seluruh dindingnya ditempeli poster hampir semua jagoan yang ada dikolong langit ini, mewakili benua masing-masing. Ada Spiderman, Batman, Superman dari benua Lik (Paman) Sam. Asterix sampai Steven Sterk dari Eropa. Kensin Himura sampai Gundala Putra Petir dari Asia, terakhir ini poster dari kakaknya, sih.
Sebagian karakter kartun di kamar ini juga milik kakaknya yang mewariskan semua tokoh karakter kartun jadulnya ke Junno sebelum pergi. Mau belajar di akademi super hero, begitu pamit kakaknya.
Setelah dirasa semua sudah pas, Junno melanjutkan baca komik yang belum selesai tadi malam karena kecapekan habis menata kamarnya seperti dunia fantasi.
Sejak SD Junno sudah ditinggal orangtuanya dinas di luar Jawa, dia dititipkan bersama sang kakak di rumah pamannya. Sering ditanya oleh guru SD dimana ayahnya, Junno langsung menjawab, “Ayahku sedang menjajah negeri-negeri lain dan nggak akan pulang sebelum seluruh dunia takluk sama Ayah!”. Sampai sekarang kalau ditanya jawaban juga yang selalu diberikan. Waktu SD itu juga kakak laki-laki Junno memberitahu dia bahwa diluar sana banyak super hero, “Liat nih.” Kakaknya lalu memutar video Gaban (kalau ada yang belum tau siapa itu Gaban, tanya ama kakak atau papa ya). Junno kecil terpana.

Wow!


Beberapa waktu kemudian dia tau musik pengiring jagoannya kalau mau main adalah musik dangdut!

Masuk SMP Junno memilih ngekos. Calon super hero harus mandiri, katanya. Kakaknya juga kos tapi Junno gak mau bareng, tepatnya kakak Junno gak mau direcoki adik ajaibnya.


“Sampai kapan Om mau ndongeng?” sela Junno. Dia ternyata sudah siap berangkat ke kampusnya yang baru. Ospek hari pertamanya.


Jangan panggil Ane, Om!

JRENG JREENG

***

1st Chapter by Pradna Paramita (http://pradnaspot.blogspot.com/)


Read More ......

Wednesday, June 4, 2008

Semacam Lagu Cinta

-Semacam Lagu Cinta,
Semacam Tanda Bencana



Because I'm happy to be sad
I want it all I want it bad

-- Torture Me by Red Hot Chili Peppers --
Malam, kadang menjadi keran pelepasan atas kesumpekan yang dirasakannya. Ini malam ke empat semenjak pertemuan terakhir di studio Reff dengan teman-temannya, dan Billy belum punya bahan apa pun untuk menulis lagu yang dijanjikannya.

“Cari inspirasi. Cari inspirasi,” mulutnya komat-kamit. Beberapa penumpang di dalam metromini tampak terusik dengan gumaman yang (menurut si penggumam itu lirih – tetapi nyatanya) cukup jelas di telinga mereka. Billy hanya bisa memamerkan sederetan gigi depan yang bersih tanpa suara apabila matanya bertumbuk pandangan dengan beberapa orang yang memperhatikannya.

“Jangan gila, dong!” Bisik seorang gadis manis sambil tertawa-tawa dengan teman sebangkunya. Seorang gadis juga. Dari kucelnya seragam, bau bodyspray yang mulai luntur, serta kilat keringatnya di pipi dan jidat mereka, tampak bahwa mereka seakan terlambat pulang ke rumah dari kegiatan ekstra kurikuler di sekolah. Lalu sekali lagi, yang dikomentari hanya bisa meringis menahan malu. Sementara gadis –gadis itu masih menatapnya. Billy tak mampu mengeluarkan sepatah kata.

Pikirannya sekarang bermain dengan sebuah lagu dari band yang beraliran funk; Red Hot Chili Peppers! Dia merasa sangat terbebani untuk bisa menyelesaikan sebuah lagu yang ear-catchy bahkan akan menjadi masterpiece bagi demo album mereka.
Torture me and torture me
It's forcin' me so torture me
Torture me with socery
It's forcin' me so torture me
Tapi anehnya, dalam pikiran dia ada perasaan yang menyenangkan. Betapa beban itu menjadi sebuah permainan belaka! Dia sungguh tahu bahwa ada yang akan bisa ditulisnya. Dan akan menjadi lagu yang hebat bagi PlayForward, band yang digawanginya.

Hanya saja persoalannya sekarang adalah : Ia belum tahu apa yang akan ditulisnya itu
+ + +
“Ini persoalan hidup dan mati, Billy!”

“Aku tahu, Bim. Untuk itu aku ingin lagu ini benar-benar lagu yang outstanding. Lagu yang benar-benar berbeda dengan lagu dari band-band yang sekarang ada!”

Teguh, lead guitar PlayForward, akhirnya angkat bicara.

“Bil. Kamu tahu bukan? Sekarang ini, semua yang bisa masuk label itu lagu-lagunya selalu lagu cinta. Agar mereka bisa balik modal, agar kita juga bisa dapat penggemar lebih banyak. Lantas lagu seperti apa yang ada dalam kepalamu?”

Billy cukup kaget dengan pertanyaan dan kesangsian Teguh akan lagu terakhir ini. Padahal hampir semua penggemar PlayForward tahu bahwa PlayForward terkenal dengan lagu-lagu yang sederhana liriknya. Tentang apa saja tetapi punya makna yang dalam. Seperti lagu “Barangkali Bila” yang liriknya berisi anjuran agar orang menangis. Atau lagu “Percakapan Gelas Kristal” yang isinya hanya bercerita tentang kegelisahan dua buah gelas anggur yang tak kunjung dicecap pada suatu pertemuan sepasang kekasih.

“Guh, lagu yang aku bikin nanti mungkin mengarah ke lagu cinta. Tetapi aku ingin yang “bittersweet”, yang “gloomy”, seperti “Bohemian Rhapsody”, seperti “Achilles Last Stands” atau “Starway to Heaven” malah,” jelasnya.

Kini ganti Teguh yang manggut-manggut tak bisa lagi berkomentar soal jenis lagu yang hendak jadi pembuka demo album mereka itu.
+ + +
Rini, gadis berkeringat, dan Hani, temannya kini tampak melongo mendengar uraian panjang lebar dari Billy mengenai beban yang disandangnya hingga malam itu dia meracau; “Cari inspirasi” itu.

“Tapi kamu belum tahu seperti apa lagu itu?”

“Kalau aku sudah tahu, sekarang ini aku sedang di kamar atau di studio untuk membuat aransemennya, Rin!”

“Kalau begitu, mendingan kamu browsing tentang apa saja untuk cari inspirasi, Bil!” Usul Hani.

Bagai mendapat ide cemerlang, Billy langsung mengangguk-angguk riang. Jari telunjuknya segera teracung.

“Benar. Benar. Kenapa tidak terpikir olehku?”

Dan tak berapa lama, Rini dan Hani kembali dibuat bengong oleh tingkah Billy. Karena tanpa mengucap sepatah kata, dia langsung berteriak meminta turun. Dan pergi meninggalkan mereka berdua.
+ + +
Di internet cafĂ© itu terdengar lagu hip hop Madonna featuring Justin Timberlake dan Timbaland “4 Minutes”. Billy, selain tidak bisa menikmati lagunya juga tidak “in the mood”, memilih berdiam diri dan tidak menggoyangkan anggota badan mengikuti irama lagu itu yang sebenarnya enak untuk bergoyang kaki. Dipilihnya sebuah PC pada cubicle paling pojok agar dia tidak terusik oleh lalu lalang pengguna dan karyawan di sana.

Cukup lama Billy memilih “keyword” untuk melakukan browsing pada situs Google. Tadi dia memilih kata : love song dan sekarang yang muncul paling atas adalah sebuah icon video di youtube yang berisikan live performance Tesla dengan lagu Love Song. Dia hampir berteriak: “Rock is number one in this chart, maaan!” atau “Rocks Rule!” Karena ternyata untuk kategori love song yang pertama muncul adalah kelompok musik beraliran rock.

Akhirnya setelah dia mulai bosan browsing beberapa halaman Google. Dia menyerah. Diarahkannya kursor pada icon Yahoo! Mesenger. Dia memilih untuk chating! Namun dilihatnya tak ada teman yang “hidup” maka dia pun membuka chat room. Dipilihnya room di Jakarta. Jakarta Global Chat Room : 13.

Diperhatikan satu per satu nama yang ada di dalam room itu. Lalu dia tertarik pada satu nama yang tampaknya “girly” : ayuni.
billy : hi
ayuni : hi too. asl pls?
billy : billy. 20 m jkt. n u?
ayuni : pembayun. 26 f jkt
billy : pasti kerja dong ya?
ayuni : sok tahu deh. U kuliah?
billy : nope. aku cuma anak band.
ayuni : sayang sekali. kenapa tidak kuliah?
billy : tahun ini memang sengaja gak kuliah. mau total ngurus PlayForward
ayuni : that’s ur band name? sound good.
billy : thx. sibuk?
ayuni : nope. iseng chating nunggu suami pulang.
billy : wah ibu rumah tangga yang baik ya
ayuni : I try my best on it ;)
Billy kebingungan memulai lagi pembicaraan. Dia merasa jengah dengan perbedaan usia dan “pekerjaan” dengan lawan bicaranya. Hingga akhirnya dia memilih pasif.
ayuni : tell me abt yrs
billy : not much. cuma lagi mau masukin demo album ke label. n u?
ayuni : regularly housewife while expecting too
billy : wah selamat ..anak pertama?
ayuni : gitu deh ..thx
billy : sound happy ever after family
ayuni : kamu broken home?
billy : tidak. tidak. aku sedang mencari inspirasi untuk satu lagu terakhir.
ayuni : bagaimana dengan cinta? Pastinya kamu pernah jatuh cinta, bukan?
Kenapa lagi-lagi dia dihadapkan dengan pertanyaan seperti itu? Lagu cinta? Kenapa bukan lagu patah hati? Lagu ingin sendiri? Lagu ingin mati? Lagu persiapan untuk menyendiri? Jadi, kenapa harus lagu cinta?
billy : sudah banyak yang bilang begitu. Tapi mungkin kamu..eh..mbak ayuni belum tahu bahwa PlayForward justru tampil dengan lagu-lagu yang sangat sederhana.
ayuni : panggil saja ayuni. Aku belum pernah dengar lagu-lagu kamu ‘kan?
billy : hm, begini. Saya tuliskan salah satu syair laguku. dan ayuni bisa menilai seperti apa band kami. Bagaimana?
ayuni : sound fair. Go ahead.
Lalu dengan lancar, diketikkannya lirik lagu “Barangkali Bila” yang dibuatnya ketika mendengar temannya kehilangan anak semata wayang dalam usia yang sangat muda.
Barangkali Bila
Barangkali bila kau menangis,
ada beban yang turut terguncang
dan jatuh seiring air mata itu

Seperti helai daun yang tercabut
dan luruh menjauh dari tangkai-tangkai
yang menggenggamnya saat badai

Barangkali bila kau berteriak,
ada yang merasa terpanggil
atau tiba-tiba ingat jalan pulang

Seperti tangan yang buru-buru
menggenggam ujung tangkai payung
lalu berjalan terhuyung menahan
angin yang semakin kencang

ayuni : puitis. siapa yang buat?
billy : aku sendiri
ayuni : hebat! aku senang punya teman yang bisa menulis puisi
billy : aku merasa tidak bisa. Itu lebih ke syair lagu biasa.
ayuni : hm. Aku ingin bisa menulis.
billy : tulislah. Siapa tahu aku bisa ambil untuk bahan laguku.
ayuni : entahlah. Aku merasa kisah yang aku punya mirip dongeng khayalan.
billy : siapa tahu bisa jadi inspirasi sebuah lagu cinta?
ayuni : lagu cinta? Yang aku punya ini lebih seperti tanda bahaya!

Teka-teki apa lagi ini? Billy semakin merasa pembicaraannya melantur. Tapi dia juga penasaran, apa maksud pernyataan Ayuni itu.

ayuni : boleh tahu nomor hp mu?
billy : boleh. 08778978977
ayuni : ok. Aku hubungi lain kali. Suamiku sudah datang. bye.

1st Chapter by Dedy

Read More ......

I just Married

-

THE BEGINNING
Siang yang panas di SMA Gerilya 71 – yang lebih dikenal dengan nama SMA 71. Pelajaran terakhir baru saja selesai dan suasana sedang ramai oleh hiruk-pikuk siswa yang berebutan untuk cepat pulang ke rumah masing-masing.

“Ri, minggu besok ada acara nggak?” tanya Fila sambil memeriksa kelengkapan barang-barangnya di tas.

“Nggak tau juga, tapi kayaknya, sih, gue bakal sibuk.”

“Sibuk ngapain?”

“Bapak pulang dari Swiss, gue harus sambut di rumah dengan senyum cemerlang ala close up.”

“Eh, gue jadi ingat. Minggu lalu elo cerita kalo bokap lo telepon dari Swiss dan nanya apa elo mau dinikahin. Jadi elo sibuk itu?” Aulia yang sedari tadi diam akhirnya ikut nimbrung juga.

“Nggak. Itu, kan, cuma tawaran dari orang kurang kerjaan kayak bapak gue. Nggak mungkin serius lah.”

“Eh, tapi elo waktu ditanya jawab apa?” selidik Fila.

“Gue jawab… iya.”

“Awas, ntar dinikahin lo,” goda Fila.
“Gue dinikahin? Please, deh, Fi. Buktinya gue masih ada di sini, kan? Masih bareng kalian dan yang penting… I’m still free!” Ari berteriak keras sambil merentangkan kedua tangannya sampai Fila dan Aulia harus merunduk untuk menghindari sabetan tangan-tangan tidak bertanggung jawab itu. “Lagian gue, kan, masih SMA. Bapak nggak akan sebodoh itu nikahin gue sekarang. Dia tau, kok, kalau gue punya cita-cita sekolah yang tinggi,” lanjutnya lagi.
“Eh iya, ngomong-ngomong tentang sekolah, elo mau ngelanjutin ke mana setelah ini?” Aulia membuka topik kesukaannya yang sekarang memang sedang hangat-hangatnya dan sering dibicarakan oleh siswa kelas tiga.

“Gue bakal masuk ke sekolah tertinggi di dunia!” seru Ari bersemangat.

“Serius lo?” Aulia terkesima. “Tapi diliat dari kayanya bokap lo, sih, nggak mustahil. Lo bakal ke mana? Harvard? Atau Oxford? Ke mana?” tuntut Aulia penuh semangat.

“Ke sekolah tertinggi di dunia, Mount Everest!”
Aulia meninju lengan Ari. “Ah elo, kirain beneran lo mau ke Harvard.”

“Alah, Ari aja. Bokapnya, kan, sayang banget sama dia, jadi nggak bakal, deh, dibiarin jauh-jauh. Paling dia berakhir di UI, itupun jurusan yang ringan, Fakultas Pembuatan Kapas.”

“Kalo elo, Fi?” tanya Aulia lagi.

“Gue mau ke IPB,” jawab Fila kalem dan Ari langsung tertawa. Fila ke IPB? Boro-boro, deh. Mau ngebedain jahe sama kunyit aja harus dibawa ke rumah sakit forensik dulu, mau ke IPB?!

“Elo jujur aja, deh, Fi. Habis lulus, elo langsung nikah, kan?” goda Ari.

“Yee, elo kali udah ada tanda-tandanya. Lagian gue serius mau ke IPB.”

“Serius lo? Masuk fakultas mana?” tuntut Aulia.

“Ada, deh,” jawab Fila dengan senyum misterius.

“Jurusan Shoping tuh kalo ada,” goda Ari lagi.

Fila memukul lengannya, tapi Ari bisa menghindar. Dia tertawa dan berlari meninggalkan kedua temannya.

“Gue cabut, ya! Gue ada perlu, nih!”

“Ati-ati dinikahin lo!” teriak Fila.

“Nikah? Nggak banget!”

Ari berlari ke lapangan parkir. Dia langsung masuk ke dalam sedan birunya yang penuh dengan tambalan stiker dengan berbagai macam tulisan. Ada ‘Anti Rasis dan Anarkis’, atau ‘SMA Gerilya 71 is the best’, ada juga poster kecil mobil F1 racing Ferrari-Kimi Raikkonen di kaca depan dan yang paling jadi favoritnya adalah stiker dengan tulisan ‘Ih, abang kok liat-liat, sih? Genit, ah!’.

Dengan mengklakson keras-keras, dia mendapat jalan lengang untuk keluar. Semua anak dengan sukarela membukakan jalan bagi Ari yang terkenal tanpa ampun dan bisa dengan sadisnya menabrak siapapun yang menghalangi jalannya.

Ari membuka jendela saat di parkiran di sebelahnya ada seorang cowok berdiri di samping sedan hitam. Ditekannya klakson keras-keras sampai cowok itu menoleh.

“Elo, Ri!” serunya kaget. “Gue kira siapa? Kebiasaan jelek, tuh, bunyiin klakson keras-keras. Ntar kalo udah jatuh satu korban jantungan, baru deh, lo kapok.”

“Nggak pulang?”

“Nunggu adek gue tercinta.”

Ari menekan klaksonnya keras-keras lagi sampai itu cowok terlonjak saking kagetnya.
“Wah, lo bener-bener, deh,” keluhnya.

Ari melambai. “Dah, Danan!” serunya keras. Lalu mobilnya kembali melaju pelan melintasi halaman sekolah.

Salah satu hobi favorit Ari adalah mengganggu cowok yang dia sukai, Danan. Memang aneh, biasanya cewek cari perhatian dengan sikap manis dan lemah lembut, dengan gaya dan gaul, tapi Ari dengan… JAIL.

Sepuluh menit kemudian dia sampai di rumahnya dan terbengong-bengong. Di rumahnya ada puluhan orang sedang memindahkan barang-barang ke dalam beberapa mobil box. Dia keluar dari mobil dan semakin ternganga. Tempat tidurnya baru saja diangkut keluar. Lalu lemarinya. Kursi ruang tamu dan barang-barang lain juga tidak luput dari pengangkutan.

“Pa… Pak!” Ari menghampiri seorang Bapak-Bapak berkumis yang kelihatannya adalah ketua rombongan pencuri nggak lulus SD itu. Jelas nggak lulus SD, mereka nggak tau kalau pencuri, tuh, harus beraksi malam-malam dan sembunyi-sembunyi, bukannya terang-terangan di siang bolong gini.

“Maaf ya, Dik, saya lagi sibuk.”

“Ta… tapi Pak, Bapak ngapain di… di rumah…” saking shocknya, Ari bingung harus bicara apa.

“Woi, lama amat, sih! Cepet sedikit!” teriak Bapak itu tiba-tiba pada anak buahnya yang sedang bersusah-payah memasukkan sebuah lemari ke dalam box. Ari terlonjak kaget karena suara Bapak itu jauh lebih nyaring dari suara klakson kesayangannya.
“Pak…” panggil Ari lirih. “Permisi ya, saya mau tanya baik-baik, nih, nggak perlu pake kekerasan, tapi tolong Bapak jawab dengan jujur, sumpah samber geledek, Bapak sama antek-antek Bapak lagi ngapain di sini?”

“Mindahin barang. Sekali liat juga sudah tau, kan? Ngapain juga nanya yang sudah pasti jawabannya?”

“Bapak…” Ari mulai gemas. “Saya tau, kebetulan saya nggak buta.”

“Nah, bagus itu.”

“Tapi kenapa Bapak mindahin barang-barang di rumah saya?”

“Ah, masa rumah kamu? Kamu salah ngeliat kali?”

“Pak, saya udah tinggal di sini ribuan taun dari jaman nih rumah masih belum ada sampe sekarang, nggak mungkin saya salah liat.”

Bapak itu manggut-manggut paham. “Nama Adik siapa?”

“Ngapain nanya-nanya? Saya mau diculik, ya?”

“Dik, nggak ada faedahnya nyulik Adik, mending juga nyulik ayam masih bisa dimakan.”

“Nama saya Ari,” sahut Ari ketus. Dia mengomel dalam hati: saya juga mending bicara sama ayam daripada sama Bapak.
“Nama Bapak Adik siapa?”

“Penting?”

“Jelas.”

“Bagas.”

Bapak itu manggut-manggut lagi. “Oh, jadi bener Adik memang yang punya rumah ini.”

“Iya, terus kenapa barang saya dipindahin?”

Bapak itu menyerahkan secarik kertas pada Ari.

“Rumah ini sudah dijual beserta isinya, saya diperintahkan pemilik barunya untuk mengosongkan rumah ini, jadi sekarang Adik sudah jadi mantan pemilik.”

“APPPUAAAA?!” teriakan Ari menggelegar. “Nggak mungkin! Ini pasti ada kekeliruan! Saya sama sekali nggak pernah jual rumah ini! Enggak, ini pasti tipu daya…”

“Memang bukan Adik yang jual, tapi Pak Bagas.”

“Bapak?!” Ari terenyak. Dia tidak menyangka bapaknya sebegitu tega merampas rumah tercintanya. Selama ini dia memang sering ditinggal berpergian ke berbagai tempat oleh bapaknya, tapi Ari sungguh tidak menyangka kalau bapaknya tega menjual rumahnya. Terus sekarang dia harus tinggal di mana coba?

“Itu… kertas itu dari Pak Bagas, titipan dari beliau yang beliau minta dikasihkan sama anaknya yang namanya Ari, mungkin itu ganti rumah Adik.”

Ari membuka lipatan kertas itu. Hanya tertulis ‘Bapak sudah pulang’ dengan gambar smile di sana. Ari langsung berteriak frustasi.

“Rumah dijual hanya diganti dengan tulisan Bapak sudah pulang?! Tega bener sama anak sendiri?! Mending nggak usah pulang sekalian, deh, daripada gini jadinya!”

Dengan kesal Ari masuk ke dalam mobil. Setidaknya dia masih bisa tinggal di mobilnya. Seandainya mobil itu juga sudah dijual oleh Bapak, dia tidak akan mau menyerahkannya walau dengan taruhan nyawa.

“Bapak punya dendam apa, sih, sama Ari? Kok tega bener? Ari, kan, nggak pernah nakal. Memang, sih, Ari sering ngasih garam ke kopi Bapak, tapi Ari, kan, cuma becanda. Masa Bapak dendam cuma gara-gara itu?” rintihnya memelas.

Dia bersandar di jok dan benar-benar tidak tahu harus ke mana. Jalan keluar yang terlintas di kepalanya adalah dia akan pergi ke rumah Fila atau Aulia dan minta diadopsi jadi anak, atau jadi pembantu juga boleh. Lebih baik daripada harus luntang-lantung sendirian dan tinggal di kolong jembatan.

Ari meremas-remas surat dari Bapak. Dibukanya lagi surat itu dan tulisannya sudah berubah menjadi sebuah alamat.

“Ajaib!” serunya tidak percaya. “Kok bisa berubah? Jangan-jangan ini surat dari sekolah sihirnya Harry Potter yang mau ngasih tau kalau Bapak nggak sengaja mereka ubah jadi kodok?”

Ari membalik surat itu.

“Aku aja yang bego,” gerutunya. Tulisan ‘Bapak sudah pulang’ masih ada di baliknya.

Ari menghidupkan mobilnya. Ditekannya klakson keras-keras tiga kali sampai Bapak berkumis dan anak buah-buahannya terlonjak kaget. Ari pergi diiringi dengan makian.

“Rasain,” desisnya.

Sekarang dia akan menuju alamat yang tertulis di kertas dan berharap alamat itu adalah rumah barunya, bukannya panti asuhan atau panti jompo. Alamatnya jauh sekali dari rumah lamanya dan agak menghilang dari keramaian kota. Di sebuah perumahan yang kelihatannya baru dibangun karena masih ada beberapa rumah yang belum dicat. Butuh waktu dua jam untuk sampai dan dengan sepuluh kali kesasar, akhirnya Ari berhenti di sebuah rumah dengan pagar hitam.

Begitu mobil Ari menepi, pintu dibuka oleh Inah. Inah adalah pembantunya di rumah lama. Ari memasukkan mobilnya ke dalam.

Dia turun dan langsung menaiki tangga ke teras.

“Buka!” teriaknya dengan suara seriosa. Dia menggedor-gedor pintu. “Buka, Bapak jelek! Buka!”
Ari semakin jengkel karena pintu belum juga dibuka. Pasti bapaknya mau kabur dari hukuman.

“Bapak! Buka!” teriaknya lagi. Bahkan kali ini bukan hanya menggedor, tapi juga menendang.
Pintu perlahan dibuka.

Dan Ari langsung memberondong dengan sejuta kemarahan. “Bapak ini apa-apaan, sih, masa…”
Kata-katanya langsung terhenti karena yang berdiri di depannya membuka pintu bukan bapaknya melainkan seorang cowok yang menurut Ari – walaupun dia sedang marah luar biasa – keren dan berwajah jauh lebih T-O-P dari artis-artis. Ari terkesima menyaksikan pemandangan luar biasa di depannya. Cuci mata, nih. Tapi sedetik kemudian dia tersadar DIA SUDAH SALAH MENGGEDOR-GEDOR RUMAH ORANG – walaupun orang itu keren, sih.

Ari langsung malu dan salah tingkah. “Eh, so… sori, aku, eh, anu… tadi kirain ini… rumahnya… itu…” dia gelagapan mencari alasan. Apalagi sorot mata cowok yang kelihatannya sudah mahasiswa itu menyorot langsung padanya.
Aduh, mati deh aku! Dia suka makan orang nggak, ya? Ntar aku dicincang lagi! Batin Ari.

“Sori, aku nggak sengaja!” seru Ari keras. “Dadah kalau gitu!” dia hendak berbalik, tapi suara yang sudah dikenalnya memanggil dari dalam. “Itu Ari, ya?”

Ari tidak jadi pergi. Dia melongok ke dalam. Ada bapaknya, sedang duduk santai di sofa sambil minum teh.

“Bapak keterlaluan!!!” seru Ari keras. Dia menerobos masuk dan langsung mencekik leher Bapak.

“Sa-sabar dulu, hek, sa-bar, hek, hek, A-Ari… Bapak, hek, mau mati, hek, kecekik…”

“Mati aja sekalian! Dikira Ari peduli apa?!”

Tapi Ari melepaskan cekikannya.

“Aduh, ke mana adat kamu? Sama Bapak kok main cekik?”

“Soalnya Bapak keterlaluan! Masa Bapak tega jual rumah kita yang sudah jadi saksi banyak sejarah keluarga? Dan Bapak nggak pake runding dulu sama Ari! Bapak bener-bener keterlaluan!”

“Sabar dulu, sabar. Dengar cerita Bapak dulu. Sekarang kamu marah, tapi Bapak yakin setelah selesai mendengar cerita Bapak, kamu pasti nangis-nangis.”

“Cerita apa?” sambar Ari.

“Duduk dulu, duduk.”

Ari duduk membanting diri di sofa. Dia melipat kedua tangan di dada dan menampakkan sikap tidak akan tergoyahkan oleh cerita model telenovela atau film India sekalipun.

“Taufik, bisa tolong ambilkan putri tercinta Bapak ini minum?”

Taufik, cowok yang membuka pintu tadi, mengangguk dan masuk ke dalam.

“Siapa dia? Pembantu baru, ya?”

“Taufik.”

“Iyaaa, Bapak, Ari juga nggak tuli, Ari tau namanya Taufik. Tapi siapa dia?”

“Orang, kan?” Bapak malah balik bertanya dengan nada heran.

Ari mendengus kesal. Susah bicara dengan Bapak yang sedang serius seperti ini – beginian srius? Nggak seriusnya gimana?

Bapak melempar selembar kertas ke meja. Ari ragu, tapi, mengambilnya juga. Ternyata dari sebuah rumah sakit di Swiss. Ari membacanya dengan cepat.

“Kanker paru-paru?! Bapak?!”

Bapak mulai menangis tersedu-sedu. “Iya, Sayang. Umur Bapak tinggal hitungan detik lagi.”

Ari ternganga. Kejutan kedua dalam sehari. “Bapak serius… sakit kanker paru-paru?”

“Lah, itu sudah ada suratnya di tangan kamu?”

“Tapi Bapak nggak kayak orang mau mati.”

“Kamu tega, ya, bicara seperti itu sama Bapak?”

“Bapak kenapa bisa sampai sakit kanker, sih? Kenapa nggak sakit magh aja? Atau panu?”

“Itu mah penyakit nggak kelas sama Bapak.”

Ari membaca suratnya lagi. “Cuma tiga bulan… waktu Bapak…”

“Iya, Sayang.”
“Kok lama?”
Bapak langsung berteriak menyayat hati. “Anak macam apa kamu, Ari? Kenapa Bapak masih bisa hidup, kamu malah kecewa?”

“Habis Bapak nyusahin, tua-tua banyak tingkah,” sahut Ari ketus. “Waktu itu bahkan Ari belum kuliah, Bapak. Masa Bapak mau main pergi gitu aja? Selesein dulu administrasi sekolah sama uang kuliah Ari. Nanti warisan jatuh ke tangan Ari semua, kan?” tanya Ari tanpa rasa bersalah.

Bapak sudah menangis sampai satu ember, tapi melihat itu Ari malah semakin tidak tergoyah.

“Bapak sudah pesen tanah kuburan? Kalau belum, biar Ari pesenin, deh. Soalnya kabarnya tiga bulan lagi dolar naik dan harga tanah tambah mahal, jadi pesen sekarang aja.”

“Tega nian dikau Sayang… hu… hiks… hu… hu…”

“Bapak, Ari nggak suka main-main, Ari masih kelas tiga SMA, masih belum dewasa. Bapak jangan becandain Ari kayak gini.”

Bapak menatap lurus ke mata Ari. “Itu juga yang Bapak pikirkan, Ari. Bapak tidak bisa membiarkan masa depan kamu berantakan, setidaknya Bapak harus menyerahkan masa depan kamu pada orang yang tepat.”

Ari menghela nafas dan sebutir air mata mengalir. Dia sadar ini semua serius dan biarpun bapaknya adalah orang yang ekstra menyusahkan dan ekstra egois, dia tetap tidak rela ditinggal begitu saja secepat ini.

“Bapak, gimana masa depan Ari nanti kalau nggak ada Bapak?” Ari sudah siap memulai adegan tangis-tangisan ala sinetron, tapi Bapak malah tersenyum.

“Itu sudah Bapak pikirkan matang-matang, Sayang.”

Ari mencium bau masalah sekarang. Pasti ada yang tidak beres dengan pikiran matang-matang bapaknya.

“Bapak sudah bilang, kan, minggu lalu? Bapak akan menikahkan kamu.”

Ari langsung berdiri. “Ari nggak mau nikah!!!”

“Kenapa? Calon yang Bapak pilihkan baik, kok.”

“Baik buat Bapak belum tentu baik buat Ari! Pokoknya Ari nggak mau nikah!”

“Tapi kamu sudah Bapak nikahkan dengan dia.”

Ari ternganga lagi. Kejutan ketiga dalam sehari.

“Kamu lupa, ya? Hukum Islam menyatakan dalam pernikahan, untuk perempuan wali saja cukup,” jelas Bapak sambil tersenyum-senyum. “Dan Bapak adalah wali mutlak kamu,” tambahnya.

Mulut Ari membuka hendak mengatakan sesuatu, tapi menutup lagi. Membuka lagi, menutup lagi seperti kecebong kehabisan air.

“Ari… Ari… nggak… NGGAK PERCAYA!”

“Tapi Bapak sudah menikahkan kamu,” sahut Bapak kalem.

“Enggak, enggak, enggak! Kalau cuma secara agama Ari nggak akan terima, Ari nggak akan mengakui!”

Bapak tersenyum-senyum dan manggut-manggut. Lalu dia melempar sebuah buku ke meja. Di sampulnya, Ari hanya sempat membaca tulisan KUA, sebelum akhirnya pingsan dengan sukses.
Kiamat!
1st Chapter by Roslyn

Read More ......