Wednesday, June 4, 2008

I just Married

THE BEGINNING
Siang yang panas di SMA Gerilya 71 – yang lebih dikenal dengan nama SMA 71. Pelajaran terakhir baru saja selesai dan suasana sedang ramai oleh hiruk-pikuk siswa yang berebutan untuk cepat pulang ke rumah masing-masing.

“Ri, minggu besok ada acara nggak?” tanya Fila sambil memeriksa kelengkapan barang-barangnya di tas.

“Nggak tau juga, tapi kayaknya, sih, gue bakal sibuk.”

“Sibuk ngapain?”

“Bapak pulang dari Swiss, gue harus sambut di rumah dengan senyum cemerlang ala close up.”

“Eh, gue jadi ingat. Minggu lalu elo cerita kalo bokap lo telepon dari Swiss dan nanya apa elo mau dinikahin. Jadi elo sibuk itu?” Aulia yang sedari tadi diam akhirnya ikut nimbrung juga.

“Nggak. Itu, kan, cuma tawaran dari orang kurang kerjaan kayak bapak gue. Nggak mungkin serius lah.”

“Eh, tapi elo waktu ditanya jawab apa?” selidik Fila.

“Gue jawab… iya.”

“Awas, ntar dinikahin lo,” goda Fila.
“Gue dinikahin? Please, deh, Fi. Buktinya gue masih ada di sini, kan? Masih bareng kalian dan yang penting… I’m still free!” Ari berteriak keras sambil merentangkan kedua tangannya sampai Fila dan Aulia harus merunduk untuk menghindari sabetan tangan-tangan tidak bertanggung jawab itu. “Lagian gue, kan, masih SMA. Bapak nggak akan sebodoh itu nikahin gue sekarang. Dia tau, kok, kalau gue punya cita-cita sekolah yang tinggi,” lanjutnya lagi.
“Eh iya, ngomong-ngomong tentang sekolah, elo mau ngelanjutin ke mana setelah ini?” Aulia membuka topik kesukaannya yang sekarang memang sedang hangat-hangatnya dan sering dibicarakan oleh siswa kelas tiga.

“Gue bakal masuk ke sekolah tertinggi di dunia!” seru Ari bersemangat.

“Serius lo?” Aulia terkesima. “Tapi diliat dari kayanya bokap lo, sih, nggak mustahil. Lo bakal ke mana? Harvard? Atau Oxford? Ke mana?” tuntut Aulia penuh semangat.

“Ke sekolah tertinggi di dunia, Mount Everest!”
Aulia meninju lengan Ari. “Ah elo, kirain beneran lo mau ke Harvard.”

“Alah, Ari aja. Bokapnya, kan, sayang banget sama dia, jadi nggak bakal, deh, dibiarin jauh-jauh. Paling dia berakhir di UI, itupun jurusan yang ringan, Fakultas Pembuatan Kapas.”

“Kalo elo, Fi?” tanya Aulia lagi.

“Gue mau ke IPB,” jawab Fila kalem dan Ari langsung tertawa. Fila ke IPB? Boro-boro, deh. Mau ngebedain jahe sama kunyit aja harus dibawa ke rumah sakit forensik dulu, mau ke IPB?!

“Elo jujur aja, deh, Fi. Habis lulus, elo langsung nikah, kan?” goda Ari.

“Yee, elo kali udah ada tanda-tandanya. Lagian gue serius mau ke IPB.”

“Serius lo? Masuk fakultas mana?” tuntut Aulia.

“Ada, deh,” jawab Fila dengan senyum misterius.

“Jurusan Shoping tuh kalo ada,” goda Ari lagi.

Fila memukul lengannya, tapi Ari bisa menghindar. Dia tertawa dan berlari meninggalkan kedua temannya.

“Gue cabut, ya! Gue ada perlu, nih!”

“Ati-ati dinikahin lo!” teriak Fila.

“Nikah? Nggak banget!”

Ari berlari ke lapangan parkir. Dia langsung masuk ke dalam sedan birunya yang penuh dengan tambalan stiker dengan berbagai macam tulisan. Ada ‘Anti Rasis dan Anarkis’, atau ‘SMA Gerilya 71 is the best’, ada juga poster kecil mobil F1 racing Ferrari-Kimi Raikkonen di kaca depan dan yang paling jadi favoritnya adalah stiker dengan tulisan ‘Ih, abang kok liat-liat, sih? Genit, ah!’.

Dengan mengklakson keras-keras, dia mendapat jalan lengang untuk keluar. Semua anak dengan sukarela membukakan jalan bagi Ari yang terkenal tanpa ampun dan bisa dengan sadisnya menabrak siapapun yang menghalangi jalannya.

Ari membuka jendela saat di parkiran di sebelahnya ada seorang cowok berdiri di samping sedan hitam. Ditekannya klakson keras-keras sampai cowok itu menoleh.

“Elo, Ri!” serunya kaget. “Gue kira siapa? Kebiasaan jelek, tuh, bunyiin klakson keras-keras. Ntar kalo udah jatuh satu korban jantungan, baru deh, lo kapok.”

“Nggak pulang?”

“Nunggu adek gue tercinta.”

Ari menekan klaksonnya keras-keras lagi sampai itu cowok terlonjak saking kagetnya.
“Wah, lo bener-bener, deh,” keluhnya.

Ari melambai. “Dah, Danan!” serunya keras. Lalu mobilnya kembali melaju pelan melintasi halaman sekolah.

Salah satu hobi favorit Ari adalah mengganggu cowok yang dia sukai, Danan. Memang aneh, biasanya cewek cari perhatian dengan sikap manis dan lemah lembut, dengan gaya dan gaul, tapi Ari dengan… JAIL.

Sepuluh menit kemudian dia sampai di rumahnya dan terbengong-bengong. Di rumahnya ada puluhan orang sedang memindahkan barang-barang ke dalam beberapa mobil box. Dia keluar dari mobil dan semakin ternganga. Tempat tidurnya baru saja diangkut keluar. Lalu lemarinya. Kursi ruang tamu dan barang-barang lain juga tidak luput dari pengangkutan.

“Pa… Pak!” Ari menghampiri seorang Bapak-Bapak berkumis yang kelihatannya adalah ketua rombongan pencuri nggak lulus SD itu. Jelas nggak lulus SD, mereka nggak tau kalau pencuri, tuh, harus beraksi malam-malam dan sembunyi-sembunyi, bukannya terang-terangan di siang bolong gini.

“Maaf ya, Dik, saya lagi sibuk.”

“Ta… tapi Pak, Bapak ngapain di… di rumah…” saking shocknya, Ari bingung harus bicara apa.

“Woi, lama amat, sih! Cepet sedikit!” teriak Bapak itu tiba-tiba pada anak buahnya yang sedang bersusah-payah memasukkan sebuah lemari ke dalam box. Ari terlonjak kaget karena suara Bapak itu jauh lebih nyaring dari suara klakson kesayangannya.
“Pak…” panggil Ari lirih. “Permisi ya, saya mau tanya baik-baik, nih, nggak perlu pake kekerasan, tapi tolong Bapak jawab dengan jujur, sumpah samber geledek, Bapak sama antek-antek Bapak lagi ngapain di sini?”

“Mindahin barang. Sekali liat juga sudah tau, kan? Ngapain juga nanya yang sudah pasti jawabannya?”

“Bapak…” Ari mulai gemas. “Saya tau, kebetulan saya nggak buta.”

“Nah, bagus itu.”

“Tapi kenapa Bapak mindahin barang-barang di rumah saya?”

“Ah, masa rumah kamu? Kamu salah ngeliat kali?”

“Pak, saya udah tinggal di sini ribuan taun dari jaman nih rumah masih belum ada sampe sekarang, nggak mungkin saya salah liat.”

Bapak itu manggut-manggut paham. “Nama Adik siapa?”

“Ngapain nanya-nanya? Saya mau diculik, ya?”

“Dik, nggak ada faedahnya nyulik Adik, mending juga nyulik ayam masih bisa dimakan.”

“Nama saya Ari,” sahut Ari ketus. Dia mengomel dalam hati: saya juga mending bicara sama ayam daripada sama Bapak.
“Nama Bapak Adik siapa?”

“Penting?”

“Jelas.”

“Bagas.”

Bapak itu manggut-manggut lagi. “Oh, jadi bener Adik memang yang punya rumah ini.”

“Iya, terus kenapa barang saya dipindahin?”

Bapak itu menyerahkan secarik kertas pada Ari.

“Rumah ini sudah dijual beserta isinya, saya diperintahkan pemilik barunya untuk mengosongkan rumah ini, jadi sekarang Adik sudah jadi mantan pemilik.”

“APPPUAAAA?!” teriakan Ari menggelegar. “Nggak mungkin! Ini pasti ada kekeliruan! Saya sama sekali nggak pernah jual rumah ini! Enggak, ini pasti tipu daya…”

“Memang bukan Adik yang jual, tapi Pak Bagas.”

“Bapak?!” Ari terenyak. Dia tidak menyangka bapaknya sebegitu tega merampas rumah tercintanya. Selama ini dia memang sering ditinggal berpergian ke berbagai tempat oleh bapaknya, tapi Ari sungguh tidak menyangka kalau bapaknya tega menjual rumahnya. Terus sekarang dia harus tinggal di mana coba?

“Itu… kertas itu dari Pak Bagas, titipan dari beliau yang beliau minta dikasihkan sama anaknya yang namanya Ari, mungkin itu ganti rumah Adik.”

Ari membuka lipatan kertas itu. Hanya tertulis ‘Bapak sudah pulang’ dengan gambar smile di sana. Ari langsung berteriak frustasi.

“Rumah dijual hanya diganti dengan tulisan Bapak sudah pulang?! Tega bener sama anak sendiri?! Mending nggak usah pulang sekalian, deh, daripada gini jadinya!”

Dengan kesal Ari masuk ke dalam mobil. Setidaknya dia masih bisa tinggal di mobilnya. Seandainya mobil itu juga sudah dijual oleh Bapak, dia tidak akan mau menyerahkannya walau dengan taruhan nyawa.

“Bapak punya dendam apa, sih, sama Ari? Kok tega bener? Ari, kan, nggak pernah nakal. Memang, sih, Ari sering ngasih garam ke kopi Bapak, tapi Ari, kan, cuma becanda. Masa Bapak dendam cuma gara-gara itu?” rintihnya memelas.

Dia bersandar di jok dan benar-benar tidak tahu harus ke mana. Jalan keluar yang terlintas di kepalanya adalah dia akan pergi ke rumah Fila atau Aulia dan minta diadopsi jadi anak, atau jadi pembantu juga boleh. Lebih baik daripada harus luntang-lantung sendirian dan tinggal di kolong jembatan.

Ari meremas-remas surat dari Bapak. Dibukanya lagi surat itu dan tulisannya sudah berubah menjadi sebuah alamat.

“Ajaib!” serunya tidak percaya. “Kok bisa berubah? Jangan-jangan ini surat dari sekolah sihirnya Harry Potter yang mau ngasih tau kalau Bapak nggak sengaja mereka ubah jadi kodok?”

Ari membalik surat itu.

“Aku aja yang bego,” gerutunya. Tulisan ‘Bapak sudah pulang’ masih ada di baliknya.

Ari menghidupkan mobilnya. Ditekannya klakson keras-keras tiga kali sampai Bapak berkumis dan anak buah-buahannya terlonjak kaget. Ari pergi diiringi dengan makian.

“Rasain,” desisnya.

Sekarang dia akan menuju alamat yang tertulis di kertas dan berharap alamat itu adalah rumah barunya, bukannya panti asuhan atau panti jompo. Alamatnya jauh sekali dari rumah lamanya dan agak menghilang dari keramaian kota. Di sebuah perumahan yang kelihatannya baru dibangun karena masih ada beberapa rumah yang belum dicat. Butuh waktu dua jam untuk sampai dan dengan sepuluh kali kesasar, akhirnya Ari berhenti di sebuah rumah dengan pagar hitam.

Begitu mobil Ari menepi, pintu dibuka oleh Inah. Inah adalah pembantunya di rumah lama. Ari memasukkan mobilnya ke dalam.

Dia turun dan langsung menaiki tangga ke teras.

“Buka!” teriaknya dengan suara seriosa. Dia menggedor-gedor pintu. “Buka, Bapak jelek! Buka!”
Ari semakin jengkel karena pintu belum juga dibuka. Pasti bapaknya mau kabur dari hukuman.

“Bapak! Buka!” teriaknya lagi. Bahkan kali ini bukan hanya menggedor, tapi juga menendang.
Pintu perlahan dibuka.

Dan Ari langsung memberondong dengan sejuta kemarahan. “Bapak ini apa-apaan, sih, masa…”
Kata-katanya langsung terhenti karena yang berdiri di depannya membuka pintu bukan bapaknya melainkan seorang cowok yang menurut Ari – walaupun dia sedang marah luar biasa – keren dan berwajah jauh lebih T-O-P dari artis-artis. Ari terkesima menyaksikan pemandangan luar biasa di depannya. Cuci mata, nih. Tapi sedetik kemudian dia tersadar DIA SUDAH SALAH MENGGEDOR-GEDOR RUMAH ORANG – walaupun orang itu keren, sih.

Ari langsung malu dan salah tingkah. “Eh, so… sori, aku, eh, anu… tadi kirain ini… rumahnya… itu…” dia gelagapan mencari alasan. Apalagi sorot mata cowok yang kelihatannya sudah mahasiswa itu menyorot langsung padanya.
Aduh, mati deh aku! Dia suka makan orang nggak, ya? Ntar aku dicincang lagi! Batin Ari.

“Sori, aku nggak sengaja!” seru Ari keras. “Dadah kalau gitu!” dia hendak berbalik, tapi suara yang sudah dikenalnya memanggil dari dalam. “Itu Ari, ya?”

Ari tidak jadi pergi. Dia melongok ke dalam. Ada bapaknya, sedang duduk santai di sofa sambil minum teh.

“Bapak keterlaluan!!!” seru Ari keras. Dia menerobos masuk dan langsung mencekik leher Bapak.

“Sa-sabar dulu, hek, sa-bar, hek, hek, A-Ari… Bapak, hek, mau mati, hek, kecekik…”

“Mati aja sekalian! Dikira Ari peduli apa?!”

Tapi Ari melepaskan cekikannya.

“Aduh, ke mana adat kamu? Sama Bapak kok main cekik?”

“Soalnya Bapak keterlaluan! Masa Bapak tega jual rumah kita yang sudah jadi saksi banyak sejarah keluarga? Dan Bapak nggak pake runding dulu sama Ari! Bapak bener-bener keterlaluan!”

“Sabar dulu, sabar. Dengar cerita Bapak dulu. Sekarang kamu marah, tapi Bapak yakin setelah selesai mendengar cerita Bapak, kamu pasti nangis-nangis.”

“Cerita apa?” sambar Ari.

“Duduk dulu, duduk.”

Ari duduk membanting diri di sofa. Dia melipat kedua tangan di dada dan menampakkan sikap tidak akan tergoyahkan oleh cerita model telenovela atau film India sekalipun.

“Taufik, bisa tolong ambilkan putri tercinta Bapak ini minum?”

Taufik, cowok yang membuka pintu tadi, mengangguk dan masuk ke dalam.

“Siapa dia? Pembantu baru, ya?”

“Taufik.”

“Iyaaa, Bapak, Ari juga nggak tuli, Ari tau namanya Taufik. Tapi siapa dia?”

“Orang, kan?” Bapak malah balik bertanya dengan nada heran.

Ari mendengus kesal. Susah bicara dengan Bapak yang sedang serius seperti ini – beginian srius? Nggak seriusnya gimana?

Bapak melempar selembar kertas ke meja. Ari ragu, tapi, mengambilnya juga. Ternyata dari sebuah rumah sakit di Swiss. Ari membacanya dengan cepat.

“Kanker paru-paru?! Bapak?!”

Bapak mulai menangis tersedu-sedu. “Iya, Sayang. Umur Bapak tinggal hitungan detik lagi.”

Ari ternganga. Kejutan kedua dalam sehari. “Bapak serius… sakit kanker paru-paru?”

“Lah, itu sudah ada suratnya di tangan kamu?”

“Tapi Bapak nggak kayak orang mau mati.”

“Kamu tega, ya, bicara seperti itu sama Bapak?”

“Bapak kenapa bisa sampai sakit kanker, sih? Kenapa nggak sakit magh aja? Atau panu?”

“Itu mah penyakit nggak kelas sama Bapak.”

Ari membaca suratnya lagi. “Cuma tiga bulan… waktu Bapak…”

“Iya, Sayang.”
“Kok lama?”
Bapak langsung berteriak menyayat hati. “Anak macam apa kamu, Ari? Kenapa Bapak masih bisa hidup, kamu malah kecewa?”

“Habis Bapak nyusahin, tua-tua banyak tingkah,” sahut Ari ketus. “Waktu itu bahkan Ari belum kuliah, Bapak. Masa Bapak mau main pergi gitu aja? Selesein dulu administrasi sekolah sama uang kuliah Ari. Nanti warisan jatuh ke tangan Ari semua, kan?” tanya Ari tanpa rasa bersalah.

Bapak sudah menangis sampai satu ember, tapi melihat itu Ari malah semakin tidak tergoyah.

“Bapak sudah pesen tanah kuburan? Kalau belum, biar Ari pesenin, deh. Soalnya kabarnya tiga bulan lagi dolar naik dan harga tanah tambah mahal, jadi pesen sekarang aja.”

“Tega nian dikau Sayang… hu… hiks… hu… hu…”

“Bapak, Ari nggak suka main-main, Ari masih kelas tiga SMA, masih belum dewasa. Bapak jangan becandain Ari kayak gini.”

Bapak menatap lurus ke mata Ari. “Itu juga yang Bapak pikirkan, Ari. Bapak tidak bisa membiarkan masa depan kamu berantakan, setidaknya Bapak harus menyerahkan masa depan kamu pada orang yang tepat.”

Ari menghela nafas dan sebutir air mata mengalir. Dia sadar ini semua serius dan biarpun bapaknya adalah orang yang ekstra menyusahkan dan ekstra egois, dia tetap tidak rela ditinggal begitu saja secepat ini.

“Bapak, gimana masa depan Ari nanti kalau nggak ada Bapak?” Ari sudah siap memulai adegan tangis-tangisan ala sinetron, tapi Bapak malah tersenyum.

“Itu sudah Bapak pikirkan matang-matang, Sayang.”

Ari mencium bau masalah sekarang. Pasti ada yang tidak beres dengan pikiran matang-matang bapaknya.

“Bapak sudah bilang, kan, minggu lalu? Bapak akan menikahkan kamu.”

Ari langsung berdiri. “Ari nggak mau nikah!!!”

“Kenapa? Calon yang Bapak pilihkan baik, kok.”

“Baik buat Bapak belum tentu baik buat Ari! Pokoknya Ari nggak mau nikah!”

“Tapi kamu sudah Bapak nikahkan dengan dia.”

Ari ternganga lagi. Kejutan ketiga dalam sehari.

“Kamu lupa, ya? Hukum Islam menyatakan dalam pernikahan, untuk perempuan wali saja cukup,” jelas Bapak sambil tersenyum-senyum. “Dan Bapak adalah wali mutlak kamu,” tambahnya.

Mulut Ari membuka hendak mengatakan sesuatu, tapi menutup lagi. Membuka lagi, menutup lagi seperti kecebong kehabisan air.

“Ari… Ari… nggak… NGGAK PERCAYA!”

“Tapi Bapak sudah menikahkan kamu,” sahut Bapak kalem.

“Enggak, enggak, enggak! Kalau cuma secara agama Ari nggak akan terima, Ari nggak akan mengakui!”

Bapak tersenyum-senyum dan manggut-manggut. Lalu dia melempar sebuah buku ke meja. Di sampulnya, Ari hanya sempat membaca tulisan KUA, sebelum akhirnya pingsan dengan sukses.
Kiamat!
1st Chapter by Roslyn

No comments: