Tuesday, September 23, 2008

Pilihannya

-

1

“H-Hamil?” Noelle terlonjak dari sofa empuk yang didudukinya, mendengar pengakuan sepupunya, Mischa. Selintas, tak terlihat satu pun kemiripan antara Noelle dan Mischa. Noelle tinggi dan langsing. Kulitnya sedikit coklat muda dengan rambut yang indah dan panjang. Bulu matanya yang lebat mengelilingi matanya. Sementara Mischa, kecil mungil dengan kulit berwarna coklat gelap. Rambutnya hitam bergelombang. Bibirnya penuh dengan sepasang mata hitam yang terlihat eksotis. Kesamaan mereka hanya terletak di sifatnya. Mereka sama-sama ceroboh, bertindak tanpa berpikir lebih lanjut dan cenderung berpikir dengan perasaaan, bukan dengan logika.

Mischa tersenyum dan tertawa lebar, “enam minggu, menurut dokter.” Dengan tenang ia mengambil cangkir teh yang disediakan untuknya.

“Enam minggu? Dan – dan siapa ayahnya?” Noelle berusaha bersikap tenang, meski pada kenyataanya keadaan hatinya segalau topan badai.

“Jordan Suherman. Pernah dengar namanya ‘kan?” Mischa bertanya pelan, seolah hendak membangkitkan nama itu dalam ingatan Noelle. Noelle mengernyitkan kedua alitnya yang indah, berusaha mengingat-ingat dimana ia pernah mendengar nama itu disebutkan.

“Tidak – Tidak.” Noelle bangkit kemudian mengambil sebuah majalah bisnis dan membukanya. “Maksudmu bukan ‘Jordan Suherman’ yang ini kan?” Ia melemparkan majalah itu yang menampilkan sesosok pria tampan berkulit tembaga dengan rambut gelap yang lebat dan sepasang mata yang tajam. Senyumnya tak dapat disangkal lagi, mampu membuat para wanita jatuh tersungkur.

“Aku tak mengira kau mengoleksi majalah bisnis.” Mischa mengambil majalah itu dan membacanya penuh minat. “Well?” Tanya Noelle dengan tidak sabar, dia bukan?”

“Harus kau akui jika dia sangat hebat di bidangnya. Jadi, tidak salah bukan jika aku bersedia melakukan kencan semalam dengannya.” Mischa menampilkan senyum termanisnya yang seolah mengatakan ‘kau-tak-bisa-menyalahkanku-hamil-karena-berkencan-semalam-dengan-pria-sehebat-ini.

Noelle langsung jatuh terduduk, “ya Tuhan!” Ujarnya lemas. “Ya, kurasa kini Mom pun akan memarahiku.” Balas Mischa dengan muram.

“Marah? Kurasa dia akan memukul bokongmu, Mischa. Lihat apa akibat dari kebodohan tulenmu.” Noelle berteriak histeris.

“Yeah, seolah kau juga tak melakukan kebodohan dengan melarikan diri ke Italy selama 6 bulan.”

“Aku melarikan diri karena tak ingin menikah dengan pria yang bahkan tidak pernah kulihat. Aku menyelamatkan masa depanku, sedangkan kau menghancurkannya. Aku tidak melakukan kebodohan yang sama denganmu.” Balas Noelle dengan pedas.

Setelah kisah asmaranya dengan Tonny selama 1 tahun hancur, Ibu Noelle, Serena langsung menjodohkan putri tunggalnya dengan keponakan kenalannya. Serena memberikan foto Noelle kepada sang calon, yang – ternyata tanpa diduga – langsung disetujui. Tanpa pertemuan, Serena meminta Noelle untuk bertunangan.

“Aku tak kan pernah mau bertunangan dengan pria yang tidak kucintai! Melihatnya saja aku belum pernah. Apa yang Mom harapkan?” Noelle berteriak sehingga tenggorokannya terasa sakit.

“Well, apa yang kau harapkan? Pria yang kaucintaipun meninggalkanmu demi wanita lain. Lalu apa yang harus kulakukan? Menunggumu jatuh cinta lagi baru bisa melihatmu menikah?”

Mata Noelle menyiratkan kepedihan yang dalam, “mendukungku. Kau bisa mendukungku. Bukannya langsung menikahkanku pada pria pertama yang kau temui.”

“Ini juga demi kebaikanmu. Tonny tidak bisa mencintaimu seperti dia.” Serena menepuk pelan bahu Noelle. “Aku mencintaimu, kau tahu. Aku menginginkan yang terbaik untukmu. Demi Tuhan, kau putri tunggalku.”

“Tapi tidak cukup sabar menungguku pulih? Aku bahkan tidak sanggup membayangkan pria macam mana yang mau menikah dengan seorang wanita yang hanya dikenalnya lewat selembar foto.” Noelle mendengus kasar dan segera keluar dari rumah ibunya. Mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, menuju rumahnya untuk menangis keras. Setelah merasa lega, Nolle segera menelepon pihak penerbangan dan segera menghilang tanpa kabar selama 6 bulan.

“Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?” Tanya Noelle pelan. Mischa mengerucutkan bibirnya. “Bukan aku, tapi kau!” Tunjuknya.

“Kau akan membawanya ke hadapanku.” Senyuman Mischa kian lebar. “Aku tak mungkin menggugurkan bayi ini, Noelle.” Mischa menjelaskan ketika melihat perubahan raut muka di wajah sepupunya yang cantik.

“Tentu saja kau tidak boleh menggugurkannya.” Noelle berkata dingin, “tapi apa maksudmu dengan aku yang akan membawanya ke hadapanmu?”

“Well,” Mischa berlambat-lambat, “kau sudah dengar kan jika aku hanya melakukan kencan semalam dengannya. Tentu kau tidak mengharapkan kami saling bertukar identitas kan? Aku hanya tahu jika dia Jordan Suherman. Kurasa dia bahkan tidak mengetahui siapa namaku.” Mischa mengernyitkan alisnya.

“Dan jika kau baca majalah ini,” Mischa melambai-lambaikan majalah yang Noelle lempar padanya, “tentu kau mengetahui betapa sulitnya menghubungi dia.” Mischa membaca sepenggal kalimat yang tertulis di salah satu alinea, “dikabarkan, jadwalnya sangat padat hingga 2 tahun belakangan ini.”

“Tapi kau pasti akan sangat mudah mendekatinya. Kalian sama-sama berkecimpung di dunia bisnis. Kau pasti tahu cara untuk mendekatinya.”

“Kau tidak bisa menyuruhku berbuat hal seperti ini, Mischa!” Noelle berteriak marah, “kau yang melakukan, kau yang bertanggung jawab.”

Mischa mengikir kukunya yang pada dasarnya sudah dimanikur dengan sempurna. “Itu tidak seperti yang kau lakukan ketika kabur. Seluruh keluarga mencecarku karena mereka mengetahui bahwa aku adalah orang yang kau hubungi sesaat sebelum kau lepas landas.”

“Salahmu kau tidak menghapus call log di ponselmu.”

“Salahmu kau adalah sepupuku.”

Noelle menarik nafas panjang. Ia sudah kalah dalam pertempuran ini. “Aku tak bisa menjanjikan apa-apa. Apalagi berhasil menjeratnya untuk menemuimu sebelum semua orang mengetahui jika kau telah hamil.”

“Yeah, kurasa Mom tidak akan marah jika dia mengetahui siapa ayah bayi ini.” Ujarnya lembut sambil mengelus perutnya yang masih rata.


1st Chapter by Meilina Suhendra

Read More ......

Big Ben Lalala

-

Day-Dream-ing

Tinuninut.. tereretoreet…

Huh, alarm berisik. Mataku menyipit mencoba melihat jam. 04.30. Aku berjalan malas menuju kamar mandi, mengambil wudhu. Kulihat ketiga adikku—yang selalu berisik disaat bangun maupun tidur—terlihat masih menutup rapat matanya. Setelah shalat, aku mengambil handuk dan turun ke bawah untuk mandi. Aku lebih suka mandi di bawah karena ada pancurannya.

Yang kedua bangun setelah aku adalah mamaku. Beliau mengisi air di teko kemudian merebusnya, dan mulai menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan dan makan siang adik-adikku (aku berangkat terlalu pagi jadi aku jarang membawa makan siang). Dan, seperti biasa selalu berkata, “Tolong matiin kompornya, mbak,”

Aku mengangguk dan mematikan kompor itu, tentunya setelah aku selesai berpakaian. Setelah itu aku membuat teh, sarapan, minum satu kapsul scott emulsion, memakai ikat pinggang dan kaos kaki, dan siap berangkat. Pada waktu yang bersamaan adik-adikku dan papaku baru beranjak dari tempat tidurnya.

“Mekum,” kataku dari balik pagar setelah salim.

“Kum salam.”

Kalau mengikuti saran Anlene, berjalan sepuluh ribu langkah sudah kujalani sejak masih SMP. Jarak dari rumah ke jalan raya untuk naik angkot terbilang cukup jauh. Makanya, jangan heran kalau langkahku sepanjang langkah anak cowok.

Biasanya, sepanjang perjalanan aku memikirkan apa yang akan diberikan hari ini untukku, maksudku apa yang akan terjadi setelah ini di sekolah nanti. Tapi, ya ampun.. memikirkannya saja kadang membuatku sakit perut. Kau tahu kan, pelajaran SMA—walaupun sering diceritakan kalau masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan—tapi bagi murid baru mungkin tidak. Jadi, setiap aku mulai berpikir tentang sekolah aku langsung membelokkan jalur pikiranku ke hal-hal yang menyenangkan (baca: khayalan). Misalnya, membayangkan kemenangan Liverpool (I’m truly Liverpudlian), membayangkan pangeran berkuda putih perak menculikku dan membawaku ke Far-Far Away Country, dan hal-hal semacam itu. Tapi, pasti semua khayalanku itu berhubungan dengan satu kata: INGGRIS.

Aku sudah bilang kan, kalau aku Liverpudlian—penggemar fanatik Liverpool FC. Dan kamu tahu kan artinya? Liverpool berada di Inggris jadi aku juga membayangkan tentang Inggris. Cerita pangeran berkuda putih juga dibuat oleh pengarang Inggris, entah J.K.Rowling atau siapalah aku lupa. Intinya, aku ingin sekali ke Inggris.

Dan satu hal lagi yang masih berhubungan dengan yang tadi, kapten Liverpool FC yang bermarkas di Inggris dan tinggal di Merseyside, Liverpool, Inggris a.k.a. STEVEN GERRARD adalah cinta pada pandangan pertamaku (silakan tertawa, aku ikhlas kok). Yah, sangat mustahil memang untuk menjadi kekasihnya, karena ia sudah memiliki 2 anak dan Alex Curran, istrinya (yang wajahnya mirip aku dengan rambut pirang). Dialah 5 prioritas teratas alasanku dari ratusan alasan mengapa aku ingin sekali menetap dan bersekolah disana—tidak hanya pergi ke sana saja.

Mungkin alasannya hampir mirip dengan sahabatku Tasya, yang ingin bertemu si Harry-Potter-Bocah-Berbulu-Dada (bercanda ding) itu. Well, sebenarnya aku tidak boleh mengucapkan kata tadi karena katanya malah terdengar seperti tukang kain yang di India, bukan Daniel Radcliffe. Toh, Tasya nggak tahu ini. Atau seperti V alias Ventin yang ingin bertemu band kesayangannya, Arctic Monkeys.

Kembali ke topik, menurutku jalan hidupku akan sangat bagus kalau di Inggris. Aku sangat ingin kuliah di Oxford. Dari namanya saja sudah bagus. OXFORD. Bagus kan?

Lalu aku pergi ke sekolah dengan trem, bukan angkot. Eh, bukan, dengan mobil Bentley milik pacarku yang seorang pemain sepakbola. Aku adalah WAG (Wives and girlfriends, sebutan untuk para cewek dan istrinya pemain bola). Lalu kami menikah. Dan aku bisa terus mampir ke Anfield, stadion Liverpool melihat pacar/suamiku bertanding, dan juga Gerrard.

Tiba-tiba lagu Khayalan Tingkat Tinggi berputar di kepalaku, membuatku terhempas kembali ke dunia nyata, duduk di bangku paling pojok di angkutan kota bernomor 02. Yah, apa salahnya sih sedikit lebih lama mengkhayal? Lalu aku tersadar aku sudah berada di tempat tujuan.

“Kiri, bang!” seruku, membuat semua penumpang menoleh ke arahku. Memangnya ketahuan ya kalau aku habis mengkhayal? Atau suaraku yang terlalu besar?

Sampai di sekolah, di kelas 10.1, seorang temanku memanggil.

Risa...”

* * *

Seperti biasa, yang kulakukan pertama kali saat masuk kelas adalah menonton berita olahraga di TV. Inilah untungnya masuk di kelas unggulan, fasilitasnya lengkap dan sepertinya guru-guru tidak begitu peduli bila kau menyalahgunakannya.

Dan seperti biasa pula, yang pertama kali datang lalu menyalakan TV itu adalah Adi, teman-serong-bangku-ku. Pasti ia datang dengan mengenakan jaket biru tua bergaris di lengan bertuliskan ‘karate’, melepasnya kemudian menaruhnya di loker, dan duduk di bangkunya yang kebetulan bangku paling depan. Tampak wajahnya serius menyaksikan setiap berita yang muncul.

Aku sendiri was-was menunggu berita tentang hasil pertandingan Liverpool melawan Manchester United kemarin malam yang SAMA SEKALI tidak ditayangkan di stasiun televisi gratis. Masa awal SMA-ku sempat tidak bergairah karena hal itu.

Aku menanti penuh harap. Dia juga. Pokoknya di kelas hanya aku dan dia yang begitu serius mengikuti perkembangan sepakbola. Satu kelas tahu kalau aku penggemar Liverpool dan Gerrard sejati.

Sesuatu terasa tidak mengenakkan disini. Dan, benar saja.

“Yess!! MU menang!”

Sial.

“Lihat nih, Tevez menggiring bola melewati Reina dan, Gol!”

Supersial.

“Wahaha.. Anfield sudah nggak angker lagi!”

Megasial.

Kemudian datang beberapa anak cowok yang ternyata United Mania dan ikut menimpali Adi.

“Liverpool kalah ya? Hahah.. payah!”

SELAMAT! ANDA TELAH MEMENANGKAN PAKET BOMBASIAL DARI PT. ADI NDESO NUGROHO!!!

Pengumuman itu berteriak di otakku. Rasanya aku ingin menyetrika semua anak cowok ini!

“Sabar ya, Risa.. sabar ajjjaaa..!!!!”aku melotot ke arah mereka, terutama Adi. Mereka hanya cekikikan.

Ya tuhan, bawa aku ke Anfield sekarang juga!

Seketika pagi itu terasa asing buatku. Temanku, Tari, yang penggemar Arsenal malah ikut menimpali.

“Liverpool kalah ya? Wakakakak…”kurasa dia tidak memperhatikan mukaku yang sudah masam kuning-hijau ini. Awas saja sampai aku benar-benar pergi ke Inggris.

Selepas ujian semester kemarin, topik pembicaraan yang paling hangat adalah penjurusan. Bagaimana hasil ujian nanti, apakah bisa masuk ke IPA, atau malah masuk IPS, nada-nada cemas dan menyerah dan semacamnya. Jelas saja, aku masuk kelas unggulan atau populer dengan sebutan RSBI—Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (jangan lupakan kata ‘Rintisan’. Ini hanya permulaan tapi guru-guru merasa sekolah ini berada setengah di Inggris, cukup membuatku muak. Pengistimewaan memang memakan korban meskipun aku kepingin banget masuk situ.). Disini, matapelajaran yang paling diutamakan adalah MIPA. Kelas ini mempunyai bahasa kedua, yaitu Bahasa Inggris. Percakapan antar guru dan murid RSBI menggunakan bilingual Inggris-Indonesia.

Sebenarnya, aku tidak terlalu peduli dengan guru yang mengajarnya tidak enak, atau bagaimana. Kalau tidak mengerti, aku lebih sering membaca sendiri saat waktu senggang, dengan pemikiranku sendiri; atau bertanya pada teman karena penjelasannya lebih mudah dimengerti. Lagipula, aku ingin masuk ke kelas ini karena sehari-hari memakai bahasa Inggris. Bukannya aku sombong—aku sangat suka English dan England dan sangat membutuhkan bahasa itu saat aku bertemu Gerrard. Yah, walaupun di depan Gerrard nanti aku tidak yakin sepenuhnya akan berbicara Bahasa Inggris. Saking groginya, mungkin aku akan bicara bahasa planet.

Di RSBI ini (menyebutkannya kadang membuatku ingin muntah, benar-benar tampak diskriminan, ya kan?) juga karena aku ingin masuk ke IPA dan memang diarahkan ke IPA. “Percuma saja masuk RSBI mahal-mahal tapi tidak masuk IPA,” kata ayahku. Kalau menurutku sih, percuma saja masuk RSBI kalau tidak jadi ke Inggris.

Sekarang, setelah libur panjang yang sering ditanyakan tidak hanya liburan, tapi juga pelajaran yang makin susah. Aku dengar dari teman masa kecilku, Nia, katanya Fisika dan Kimia semester dua sangat susah. Entah dia tahu dari mana.

Setelah insiden muka masam itu, kami—aku, temanku Erlin, Meyli dan Tino (Nama aslinya Tryatno, kadang-kadang suka dipanggil ‘Tray’)—membicarakan tentang kedua hal tadi. Mungkin ini bisa membuatku sedikit baikan setelah holy shock tadi. Bukan apa-apa, kalau Liverpool kalah rasanya aku kehilangan setengah energiku. Dan juga peringkatnya yang merosot menjauhkannya dari trofi Liga Primer, yang membuat keadaanku lebih parah. Parah secara fisik (kantong mata dan wajah kusut) dan kiasan.

“Liburan gimana?” tanya Erlin.

Ngebosenin,” jawab Tino.

Tak lama kemudian. Mereka malah berganti topik menjadi ‘Tentang Kesehatan Pak Harto’ saking bosannya dengan liburan dan pelajaran. Tino bilang Pak Harto harus diadili, bagaimanpun juga dia pernah korupsi. Tapi menurut aku dan Meli, kasihan kalau masih sakit terus saja diberi tekanan batin.

Pembicaraan berubah haluan ke pemanasan global. Aku bertanya tentang G8 ke Tino, karena yang kutahu hanya G14, kuartal sepakbola yang terus berselisih dengan FIFA dan UEFA (aku hapal kan?).

Kata Tino, G8 adalah perkumpulan 8 Negara Besar di dunia, tapi jawabannya tidak memuaskanku. Lalu kuputuskan untuk menanyakan hal itu kepada Putra, si jenius 10.1. Tapi, kuurungkan niatku karena ternyata dia sedang serius belajar kimia. Padahal, haloo.. gurunya saja tidak ada di depan kelas. Mungkin sibuk menyambut kepala sekolah baru, atau terkena sindrom hari pertama sekolah. Dasar anak rajin.

Disebelahnya, kulihat Adi jga ikut belajar bersamanya. Mereka memang bersahabat. Mukanya yang sangat sawo matang dengan bintik-bintik di pipinya—bukan bintik seperti orang bule, tapi bekas jerawat—lalu alisnya yang tebal melengkung tanda berpikir. Mukanya sangat jawa. Jelas, nama tengahnya kini ‘Ndeso’, bukan lagi ‘Satrio’.

Kalau melihatnya, rasanya diriku sendiri hampir tak percaya kalau aku pernah, err.. mengaguminya. Mungkin dia memang pantas dikagumi, selain karena postur tubuhnya yang sangat enak dibuat model untuk sebuah gambar (aku suka sekali menggambar) seperti di manga, semangatnya tinggi dan pantang menyerah, dan yang terpenting, jago bola. Kalau dilihat-lihat rambutnya sedikit mirip Gerrard.

Namun sebenarnya, aku sedikit iba dengannya. Meskipun semangatnya menjunjung sampai ke langit, kemampuan dia tidak lebih tinggi dari pohon toge (tahu maksudnya kan?) walaupun aku sendiri tidak pintar-pintar amat, hehe. Bu Syafnah, wali kelasku pernah bilang kepada orang tuanya selagi mengambil raport (aku tahu dari mamaku), “Adi itu semangat tinggi, tapi sayang, kemampuannya kurang,” kurang lebih seperti itu.

Yah, mungkin aku lemah terhadap cowok-cowok yang punya semangat tinggi seperti Gerrard dan Jamie Carragher. Mereka tidak cakep-cakep amat, tapi pantang menyerah luar biasa dan determinasinya tinggi. Aku sendiri kurang tahu juga apa yang dimaksud dengan determinasi itu, tapi kedengarannya hebat seperti superhero.

Cerita berubah ke scene sepulang sekolah. (Lagi-lagi) dengan angkot, aku harus merasakan dampak dari pemanasan global secara langsung. Hari ini sangat puannass, sungguh! Aku jadi nggak bisa membayangkan bagaimana keadaan bumi 5 tahun mendatang tanpa usaha mencegah Global Warming ‘bertamu’. Mungkin manusia akan pindah ke Mars.

Kali ini aku pulang sekolah sendiri. Biasanya aku pulang dengan beberapa temanku yang searah, kira-kira ada tiga sampai lima orang. Tapi mereka ada yang ikut ekskul atau sudah pulang duluan. Jadilah aku berjalan sendiri, menikmati rasanya ‘dibakar’ ultra violet.

* * *


Kisah hidupku kuakui biasa saja. Mungkin karena itulah aku punya banyak harapan. Yang terbesar, masuk surga. Yang sangat disukai, pergi ke Inggris. Yang harus terwujud dalam jangka pendek, masuk kelas IPA.

Ngomong-ngomong soal harapan, aku sudah berharap akan pergi ke Inggris semenjak SMP kelas 2. Bersama Tasya dan Ventin, kami membuat janji ‘sarkastis’ (menurut banyak orang yang sirik), akan bertemu dan reunian di Big Ben. Ya, kuakui lagi, mungkin memang terdengar sarkastis, atau malah konyol. Mana ada reunian di Gedung Parlemen? Makanya, setelah tergabung secara resmi dan tidak resmi menjadi Liverpudlian, kami putuskan untuk reunian di Anfield saja.

Aku masih ingat banget waktu itu, kami sedang berkumpul di kelas.

“Eh, kalau kita kuliah, kita janjian di Inggris yuk!” celetukku.

“Iya!” sahut Tasya sangat bersemangat. “Kita kuliah di Oxford aja!” ia berkata seolah kami sudah punya pilihan untuk berkuliah.

“Iya! Terus kita ketemu, habis itu kita semua pada bilang, ‘eh, kalian masuk sini juga? Jurusan apa?’ blablabla..” dan kami terus mencerocos dan berceloteh sampai tertawa dan orang yang ada di seberang kami menggeleng heran.

Setelah agak tenang, Ventin meneruskan kembali. “Terus kita dijemput sama cowok-cowok kita..” tangannya mengepal dan diatruhnya di bawah dagu.

“Entar aku sama Daniel!” teriak Tasya.

“Ah, elo mah Daniel mulu. Bosen gua. Kayak lo bakal ketemu dia aja.” Seorang anak cowok mengomentari Tasya dengan spontan. Siapa lagi kalau bukan si alien Abi, teman SMP-ku yang paling ‘nggak jelas’.

Dan, dalam sepersekian detik Tasya pun bereaksi. “Eh, kalo ngomong jangan sembarangan ya! Gue buktiin kalo gue bisa ke Inggris!”

Memang nggak mustahil kalau kita semua bisa pergi ke Inggris. Aku percaya keajaiban, karena aku sendiri pernah melihat dan mengalaminya. Hanya saja terlalu banyak orang yang realistis di sekeliling kami, jadinya mereka hanya percaya menjalani hidup yang let it flow, bukan practice makes perfect.

Oya, waktu kelas 3, saat kami sedang candu-candunya pada Steven Gerrard dkk, aku menanyakan hal reunian itu lagi.

“Kita jadi nih reunian di Big Ben?”

“Di Anfield aja deh, biar bisa ketemu Gerrard,” jawab Ventin.

“Iya, fa. Konyol ah kayaknya kalo di Big Ben,”

Dan, begitulah ceritanya.

Tapi mimpi hanyalah omong kosong dengan O gendut kalau tidak segera direalisasikan. Itu dia masalahnya. Aku sudah menanyakan kepada beberapa orang tentang hal ini dan meminta mereka untuk membantuku (syukurlah semuanya baik. Semoga mereka mendapat pahala yang banyak). Ya, setidaknya itu bisa dikatakan usaha, kan? Hasil perburuan itu lumayan banyak, mulai dari beasiswa bachelor di beberapa universitas, menjadi sukarelawan atau ikut undian berhadiah jalan-jalan keliling eropa. Yang terakhir sebaiknya dihapus karena peluangnya 0,023 persen dibanding beasiswa yang meraihnya menggunakan otak. Namun satu yang membuatku penasaran adalah kemarin guru bahasa Inggris-ku, Miss Mona (sebenarnya Mrs.) yang sangat amat pengertian memanggilku untuk menemui beliau besok di kantornya, mengenai cita-citaku yang hampir menyentuh langit itu. Aku sendiri tidak tahu dan sedikit sulit untuk membayangkan apa yang akan dikatakan beliau nanti.

Jadi, sudah ya. Aku agak malas menceritakan usahaku untuk bisa masuk ke IPA. Karena bagiku yang lebih penting adalah pergi ke Inggris.

Malam sudah menyapa, memberitahuku untuk segera tidur agar aku bisa bangun jam setengah tiga untuk menonton pertandingan live Liverpool.


1st Chapter by Ifa Ambarita Inziati

Read More ......

Day's Journal

-

“Udah puas belum?”

“Bentar, ah.”

Day menggila. Ia seperti lupa diri. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mencari posisi yang pas untuk mengambil gambar seekor ular yang berukuran sebesar pahaku. Dengan keringat yang sudah mengalir deras di pelipisnya, ia semakin antusias memotret hewan melata yang mengerikan itu. Sesekali ia menyuruh beberapa wartawan menyingkir agar ia dapat leluasa mengambil gambar. Walaupun setelah itu ia harus rela wajahnya diserbu air liur yang muncrat dari mulut wartawan yang membentak karena kesal dengannya.

“Aduh Day, panas banget nih. Udahan ah!” Aku menyeka keringatku sendiri, seraya mengipas-ngipas dengan kertas karton yang sedang menganggur di sebelahku.

“Eh gila lu ya? Itu kain lap buat lensa kamera gue tau! Kenapa lu pake buat ngelap muka?”

Day berhenti memotret dan langsung menyambar sehelai kain yang berada di genggamanku. Ia mengibas-ngibaskan kain itu di udara sambil menggerutu kesal.

“Ah, kain perca gitu aja. Ntar aku beliin yang banyak! Yang motifnya bunga-bunga, mau nggak?” Aku terkekeh.

“Brengsek lu.”

Day cinta mati dengan kameranya. Apapun dari kameranya, lensa, sarung, sampai kain lap kesayangannya tidak boleh diganggu-gugat oleh siapapun. Pernah di satu waktu seorang partner kerja di kantor iseng memakai sarung tempat kamera Day untuk menyimpan alat-alat kosmetiknya, Day langsung berang dan menumpahkan isi body lotion ke kepala orang itu, lalu mencoret-coret wajahnya dengan lipstik.

“Day, udah jam empat nih. Kerjaan kamu belum beres-beres juga. Udah deh, pamerannya kan masih sampai besok.”

“Iya, tapi yang seekor ini cuma ada di hari ini doang.” Ujar Day. “Ini yang langka, belum tentu seumur hidup gue bisa liat yang kaya gini lagi ntar.”

“Eh, kerjaan kamu tuh bukan nyosorin ular pake lensa kamera. Tapi nyari berita.” Aku berusaha mengembalikan ingatan Day.

“Iya, bawel ah! Dasar Miss Ngoceh!”

“Sialan.” Aku melemparnya dengan kertas karton.

Day tertawa. Hari ini baru sekali ia tertawa. Hampir seharian ia mengambil gambar untuk kebutuhan berita sambil memasang wajah kusutnya yang khas. Aku sengaja mengajaknya ke pameran ular untuk membuatnya senang, karena aku tahu ia juga begitu mencintai hewan melata yang bagiku sangat menjijikkan itu. Kalau kamera itu cinta pertamanya, maka ular adalah kekasih gelap yang berhasil mencuri sebagian hatinya.

Day membereskan peralatan kameranya dan memasukkannya ke dalam tas. Kami beranjak pergi dari area pameran dan bergegas menuju mobil.

“Kamu nggak takut dimarahin bos lagi, Day?” Tanyaku sembari mengendarai mobil meninggalkan parkiran. “Kita udah telat nih, janji mau wawancara dengan manager kafe yang kemarin kan jam setengah empat.”

“Ah udahlah, bisa cari berita lain kan.” Jawabnya cuek sembari menyeruput es jeruknya.

“Lagi?” Aku menghela napas berat.

- - o - -

Peluhku menggiring diri menyusuri napas

Ketika tersengal aku berdetak, semenit lantunan terbata

Berseru menggelung rambut di buram hidup

-The Reason-

Rutinitas selalu menjadi momok, setidaknya untuk orang dinamis sepertiku. Tidak hanya menyumbat laju semangat hidup, tapi juga bisa mematikan kreatifitas-yang sangat membenci rutinitas. Terkurung dalam tugas-tugas yang mengepung, dan terhimpit oleh deadline yang gemar sekali menjepit.

Beruntung aku masih punya alasan kuat untuk bertahan dengan keadaan seperti ini. Kalau tidak, aku sudah kalap dan menjejalkan racun tikus ke tenggorokan pemimpin redaksi yang menyebalkan itu. Jangankan mendengar ocehannya yang sok berkuasa, mencium aroma parfumnya dari jarak sepuluh meter saja sudah membuatku ingin mati. Karenanya aku jauh lebih senang menghabiskan hari untuk lembur, demi terhindar dari penjilat itu.

Aku masih, punya alasan untuk bertahan.

Letih sekali rasanya hari ini. Dan panas, panas sekali. Bahkan sampai malam begini udara di dalam kantor masih terasa panas. Sialnya, sepasang air conditioner di kantor semuanya sedang dalam perbaikan. Saking hangatnya suhu udara di sekitar, satu gelas besar es jeruk pun tidak mampu menjaga tenggorokanku agar tetap basah.

“Lembur lagi, Day?”

Aku menoleh ke samping, sesosok lelaki berkacamata persegi berjalan terhuyung sambil membawa setumpuk map dan kertas. Rambutnya yang agak gondrong dan acak-acakan membuat tampangnya semakin lusuh dan terlihat seperti gembel yang berkeliaran di terminal bus. Kemeja putih polos lengan panjangnya yang sudah sangat kusam dan lecek berlipat hingga batas sikut. Celana jeans yang ia kenakan kondisinya tidak lebih baik dari apapun yang ia pakai-sobek di kedua lutut seluas bentangan telapak tangan. Aroma tubuhnya yang tercium saat ia berjalan mendekat sama sekali tidak membuat mood ku membaik.

“Seperti yang lu liat.” Aku menjawab malas. “Lu sendiri Jun, lagi?”

“Seperti yang lu liat.” Jun menyengir kepadaku.

“Dasar Mister Beo.” Aku menggumam sembari mengikat rambutku.

“Sembarangan lu. Dasar Miss Ngasal Julukan!” Jun tertawa-tawa. “By the way, potong rambut ya Day? Perasaan yang kemaren bagusan deh.”

Aku tidak menjawab. Buang-buang energi rasanya. Cuaca panas seperti ini memang membuat orang malas melakukan apapun. Tidak terkecuali memasang gambar-gambar hasil potretanku, sekaligus me-layout tampilannya di majalah. Untungnya ada yang membuatku bertahan mengerjakan tugas hingga lembur seperti malam ini, dan malam-malam sebelumnya. Tentu bukan Jun yang bisanya hanya membuat mood ku semakin parah, melainkan sepasang Ballphyton dalam toples kaca di atas meja kerjaku, yang selalu setia menghiburku dengan wajah lucunya.

“Kalo lu kaya gini terus, lu nggak bakalan bisa dapet promosi, Day.” Ujar Jun seraya menyeka keringat dan menyalakan rokoknya.

“Sok tau amat sih lu. Lu sendiri sama aja kaya gue kan.”

Jun dengan tidak sopannya mengambil ikat rambutku dari meja. Lalu mengikat rambut gondrongnya, setelah sebelumnya mengetuk-ngetuk toples kaca tempat Ballphyton milikku sambil tersenyum-senyum aneh. Aroma tubuhnya sungguh membuatku ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku. Entah sudah berapa hari ia tidak mandi, mungkin juga berapa minggu.

“Tapi gue kan nggak punya tanggungan. Jadi nggak masalah mau dapet promosi apa nggak.”

“Maksudnya?”

“Gue hidup sendiri. Apa-apa sendiri. Makan sendiri, tidur sendiri, cuci baju sendiri, mandi juga sendiri.”

“Ya iyalah, masa mau mandi bareng tetangga sebelah.” Aku memotong ucapan Jun sambil tertawa pelan.

“Ah, nyambung aja lu!” Jun melemparku dengan spidol. “Gini ya Day. Gue nggak perlu promosi, gue nggak perlu duit banyak. Dengan gaji gue yang sekarang ini udah cukup buat menuhin kebutuhan gue sehari-hari.”

“Trus?”

“Yaelah, lu sadar nggak sih Day? Lu nggak kaya gue, lu punya tanggungan hidup. Lu punya adek, masih sekolah dan masih perlu banyak dukungan materi.” Ujar Jun.

Aku hanya diam. Baru saja aku merasa, atau mungkin ingin merasa bahwa hari ini hari terbaik dalam setahun terakhir. Karena aku bisa mendapatkan banyak gambar di pameran langka yang memajang ular-ular langka dari seluruh penjuru dunia. Tapi omongan Jun barusan membuyarkan semuanya.

“Day, gue bukan sok perhatian. Tapi gue tau Rayi belum bayar uang sekolahnya.”

Aku seketika menoleh ke Jun, mengerutkan alis.

“Nggak usah masang muka kaya gitu. Kita udah temenan berapa lama sih? Lu masih aja suka nutup-nutupin masalah dan berlagak kaya nggak ada apa-apa.” Ujar Jun sembari menghembuskan asap rokok dari mulutnya. “Udah berapa bulan?”

Aku memalingkan wajah ke jendela. Memandang kosong pada langit yang gelap. Deretan bintang seperti membentuk wajah Rayi, ia sedang tersenyum kepadaku. Aku balas dengan senyum. Tanpa kusadari air mata tiba-tiba meleleh tanpa permisi lebih dulu.

“Bulan depan masa promosi.” Jun melanjutkan bicaranya, tanpa menunggu jawabanku atas pertanyaannya yang tadi. “Gue jual tuh ular kalo lu sampe nggak dapet.”

Bingung, aku tidak tahu harus memberikan tanggapan apa atas omongan Jun. Hari ini aku terlalu lelah, bahkan untuk sekedar menelepon Rayi yang kutitipkan di rumah tetangga. Tapi aku tahu Jun tidak salah, aku memang sedang perlu banyak uang. Tidak hanya untuk biaya sekolah Rayi.

“Gue heran, kadang rasanya kok gue yang lebih perhatian dengan hidup lu ya? Daripada diri lu sendiri.” Kata Jun seraya menekan-nekan ujung puntung rokoknya ke atas asbak kaca. “Lu butuh promosi ini, Day.”

Aku hanya memandang nanar kepada bayanganku sendiri di jendela. Rasanya sudah terlalu lama aku acuh pada hidupku sendiri. Bukan tanpa maksud, aku hanya terlalu lelah menghadapi masalah. Mereka merundungiku tanpa kenal jeda. Maka kuputuskan untuk bersikap santai dan biasa, dengan harapan batinku tidak bertambah tertekan. Tapi rupanya harapanku berbuah nihil, setiap kali Jun menyadarkanku akan hidup yang harus kuurus. Akan diriku sendiri yang tidak sepantasnya untuk kubohongi.

Semenjak peristiwa memilukan itu, aku nyaris tidak pernah menjalani hari-hari tanpa membohongi diri. Aku berjalan dengan mendongak dan senyum lebar menebar ke seluruh orang, seakan tidak pernah ada masalah dalam hidupku. Tidak banyak yang tahu bahwa aku memendam semuanya dalam hati, mengubur kegelisahan akan pikiran-pikiran yang gundah memikirkan bagaimana aku bisa terus bertahan. Aku sesungguhnya resah.

- - o - -

Nadamu sesungguhnya membekas

Tapi tersapukan oleh batas, terhalau karena lelah

Namun rasa hati tetap sadar

-Thinking-

Pikiran orang tidak pernah benar-benar bisa dimengerti. Sesaat terasa mereka sedang tertunduk sepi, tapi nyatanya mereka sedang berlari-lari girang berpacu dengan hari. Begitupun saat aku mengira mereka sedang berteriak gembira, ternyata mereka sedang mengerang karena alasan untuk hidup yang mulai menghilang.

Begitu yang terjadi atas diriku, terhadap seorang wanita berumur dua puluh tahun. Seorang yatim piatu yang kukenal sebagai ‘Day’, atau lengkapnya, Shadday Mundara. Sebagai lelaki aku kadang malu kepadanya. Malu atas ketegarannya menghadapi hidup, malu atas ketabahannya berjuang demi orang yang dilindungi dan dicintainya-Rayissa Firdi, adiknya. Ia wanita, tapi jauh lebih kuat dari lelaki manapun yang pernah kukenal, mungkin saja lebih kuat dariku.

Aku merasa terlalu sering menyalahkan hidup dan Tuhan, bahwa Tuhan gemar memberi susah pada ciptaan-Nya sendiri. Tapi kesadaran bahwa aku lah yang seharusnya kusalahkan, muncul begitu aku mengenal sosok Day.

Tidak sulit bagiku untuk menggambarkan perawakan Day. Ia seperti gadis-gadis kebanyakan, umurnya masuk kepala dua, tapi posturnya tidak juga bertambah tinggi semenjak aku mulai mengenalnya, seratus enam puluh senti. Beberapa hari yang lalu rambutnya masih lurus panjang, tapi dengan alasan klasiknya-gerah, malas keramas-ia lalu memotong mahkotanya itu hingga tinggal sepanjang bahu. Sehari-harinya ia nyaman hanya dengan mengenakan kaos dan celana jeans belel-casual style, istilah modernnya. Paras wajahnya nyaris serupa gadis Arab, dengan alis yang tebal, mata bening yang besar, hidung bangir, dan dagu berbelah, aku pernah menudingnya bahwa ia sebenarnya keturunan langsung kakek buyut Shah Rukh Khan.

Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan Day. Walau aku mengaku sudah berteman lama dengannya dan mengatakan bahwa aku mengerti dia, aku sebenarnya tidak benar-benar mengerti jalan pikirannya. Ia selalu memasang wajah yang berbeda dengan hatinya. Meski di saat-saat tertentu ia tidak bisa lagi menahan dirinya untuk tidak jujur dengan perasaannya, lalu menangis di depanku. Di saat itulah sisi perempuannya terlihat.

“Juno Derian!”

“YA PAK!?” Aku terhenyak.

“Mana Shadday!” Teriak Pak Wono, pemimpin redaksi yang bertubuh ceking itu.

“Err-Sepertinya belum masuk Pak.” Aku menjawab terbata-bata.

“Kurang ajar itu anak!” Pak Wono menghempaskan sejumlah map ke atas meja seorang karyawan yang sedang tertidur, membuatnya terperanjat sembari bergumam aneh.

Day sebenarnya karyawan yang memiliki kinerja cukup baik, kalau saja ia menyadarinya. Tapi aku tidak yakin kali ini ia akan lolos dari amarah Pak Wono. Day sudah terlalu sering terlambat masuk kerja. Ia beruntung bisa terhindar dari Pak Wono, karena bantuan Venus. Pemimpin redaksi itu mata keranjang, sekaligus penjilat yang sungguh ahli di bidangnya. Menurut gosip yang beredar di kantor, Pak Wono bisa sampai di posisi pemimpin redaksi juga karena menjual harga dirinya. Entah bagaimana detail dari kisah ‘menggelikan’ tersebut.

“Begitu dia nongol, suruh dia menghadap saya! NGERTI?”

“Iya Pak.” Jawabku pendek.

Sosok ceking itu pun berbalik badan dan bergegas melangkah keluar dari ruangan kantor. Bau parfumnya yang menyengat seakan seperti debu yang melayang-layang tersapu oleh sepatu kulitnya, yang dibeli dari uang hasil menjilat. Entah kenapa orang yang seperti itu bisa hidup sukses, setidaknya terlihat lebih sukses dariku. Yang mencoba bertahan hidup dengan idealisme diri.

Aku tidak begitu ambil perduli dengan kehidupan orang lain yang tidak begitu ingin kukenal, tapi tetap saja aku merasa bahwa orang seperti Pak Wono tidak pantas hidup enak oleh keahliannya menjilat atasan. Hanya karena pandai membual, mata orang-orang jadi tertutup atas kredibilitasnya sebagai pemimpin redaksi-yang masih sangat perlu dipertanyakan.

“Jun, nggak hunting?”

Derap sepatu Venus yang berjalan mendekat terdengar jelas di antara keriuhan kantor. Wanita berambut panjang bergelombang itu menjinjing bungkusan plastik yang lumayan besar. Alis tebalnya sedikit terangkat, ketika sepasang mata birunya mendelik kesana-kemari mencari sesuatu.

“Day telat lagi?” Tanya Venus seraya meletakkan bungkusan plastik ke atas mejaku.

“Seperti yang lu liat.” Aku memberikan perhatian pada bungkusan plastik yang dibawa Venus. “Apa nih?”

“Ada aja.”

“Apaan sih?” Aku mendekatkan kepala dan mencoba memasukkan tangan ke dalam bungkusan.

“Eh, nggak sopan ya!” Venus seketika memukul tanganku dengan keras.

“Cantik cantik, kasar.” Aku terkekeh-kekeh. “Buat siapa?”

“Rayi.” Jawab Venus seraya mendelik ke arah arlojinya. “Kok Day belum masuk juga sih, Jun? Nggak biasanya telat sampe jam segini.”

Venus sungguh sosok wanita yang sempurna, tidak memposisikan diri di atas langit meskipun ia berasal dari keluarga yang berada. Satu lagi hal di dunia yang membuatku heran, selain Pak Wono si penjilat itu. Yaitu kesendirian Venus yang kurasa sangat tidak rasional. Bagaimana bisa tidak ada lelaki yang mendampingi wanita sebaik dan secantik Venus. Sebagai eksekutif muda yang terbilang sukses, Venus mestinya dengan mudah memiliki lelaki manapun yang diinginkannya. Kuharap ia juga menginginkanku, tentu saja.

“Coba kamu telfon Day deh.” Kata Venus.

“Mau isiin pulsa gue, nggak?” Aku balas bertanya, sambil tersenyum lebar.

“Uh, dasar!”

Venus mengambil ponsel dari tas tangannya lalu memencet-mencet tombol. Dikibaskannya rambut panjangnya yang menggelung dan berwarna kecokelatan, kemudian ditempelkannya ponsel ke telinganya. Aku yang masih penasaran dengan isi bungkusan plastik, mencoba merogoh isinya ketika tangan kiri Venus kembali memukul tanganku dengan lebih keras.

“Nomernya Day nggak aktif.”

“Ponselnya nge-drop kali, dia kan suka lupa nge-charge.” Ucapku sambil menyalakan rokok.

“Sehari aja nggak ngerokok di depanku bisa kan, Jun!” Seru Venus sembari mencomot rokok dari mulutku dan membuangnya ke tempat sampah.

Venus mengambil bungkusan plastik dari atas meja dan melangkah pergi. Derap sepatu berhaknya kembali mengisi keriuhan, yang semakin lama semakin terdengar menjauh sebelum akhirnya benar-benar menghilang. Beberapa molekul wewangian dari tubuh Venus melepaskan diri dan mengisi udara di sekitar. Menenangkanku sejenak, sebelum akhirnya aku tersadar.

“Aduh, stok terakhir tuh hari ini.” Gumamku seraya menggaruk-garuk kepala.

Di sela-sela riuh rendah kesibukan para karyawan di kantor dan kesibukanku meminta sebatang rokok pada teman sebelah meja, tiba-tiba ponselku berdering. Hanya misscall saja palingan, pikirku, maka kuacuhkan. Namun deringnya tidak juga berhenti, setelah berhenti, ponselku berdering lagi. Siapa rupanya yang begitu ingin mendengar suara serak-serak rocker yang merdu ini.

“Halooo?” Aku memutus dering itu, mengangkat panggilannya.

“Jun, sorry ngeganggu.” Kata suara dari seberang, yang terasa tidak asing bagiku.

“Lu Day? Pake nomer siapa nih?”

“Tetangga, handphone gue nge-drop, lupa nge-charge.” Jawabnya dengan nada agak risau. Aku terkekeh sesaat, lalu terdiam seketika, saat ia mulai bicara lagi dengan nada serius. “Jun, gue benci ngomong ini. Tapi gue hampir nggak kuat lagi.”

Aku diam saja, sudah paham dengan apa yang akan diutarakannya. Sudah menjadi kebiasaan Day, meneleponku saat sedang sibuk di kantor, ketika ia sedang dirundung masalah. Ia jarang sekali terbuka pada orang lain, maka aku tidak sekalipun ingin membuatnya kecewa di saat ia sudah memilihku sebagai orang yang dipercayainya. Aku lalu merelakan pekerjaanku terbengkalai, demi untuk mendengarkan keluh kesahnya.

Day lalu memulai pembicaraan tentang dirinya, hidupnya, dan Rayi. Telingaku larut dalam suaranya yang agak serak, bercampur isakan yang membuat ia kadang terbata-bata bicara. Ia memberitahuku bahwa hampir mustahil sekarang ini untuk menggantungkan hidupnya pada gaji, karena lembaran-lembaran rupiah yang diperolehnya setelah lelah lembur setiap hari selama sebulan itu nyaris habis disedot rentenir untuk menutup hutangnya. Hutang peninggalan almarhum Ayahnya, sebenarnya.

- - - -


1st Chapter by Bernard S. Y. Batubara

Read More ......

Seri Si Ndut: Nadia

-

Orang tua itu Kadang tidak bisa dimengerti. Waktu anaknya masih kecil, mereka senang sekali kalau anak itu terlihat montok. Menggemaskan katanya…bangga anaknya jadi pusat perhatian teman-temannya selama arisan. Disaat anak itu sudah besar, mereka malah ribut menyuruh anak itu diet.

“ Aya! Kamu-kan anak perempuan, harus bisa menjaga badan. Nanti seret jodoh loh! ,” kata tante Veli, adik ibuku.

Bukannya aku tidak mau, Cuma aku sudah mencoba berbagai cara untuk menurunkan berat badanku ini. Dari cara melakukan olahraga lari pagi disekitar kompleks rumahku yang sayangnya aku lupa kalau dari malam semua tetanggaku kompak mengeluarkan anjing-anjing kesayangannya agar bisa melakukan acara arisan bersama sesama anjing. Dan sialnya anjing-anjing itu merasa siapa yang mendapatkan arisan bisa memburu orang yang kebetulan tali celana pendeknya putus. Akhirnya lari pagi yang nyaman jadi lari pagi terbirit-birit sambil memegang celana yang nyaris kedodoran..Belum lagi satpam yang melihat kejadian itu ikut tertawa terbahak-bahak dan sampai saat ini mereka selalu tersenyum jika melihatku Lewat. Malu sekali.

Aku juga sudah mengikuti aerobic dengan sobatku Ella. Hasilnya, aku capek berolahraga, eh dia malah asik beramah-tamah dengan cowok-cowok disana. Lama-lama aku jadi malas ikut lagi, apalagi hasil dari seminggu 3 kali fitness selama 1 bulan hanya menurunkan berat badanku 1 kg, badan remuk dan nafsu makan yang jadi lebih besar.

Terakhir aku melakukan cara minum obat-obatan penurun berat badan. Yang ada aku jadi lemas karena cairan tubuhku terkuras habis. Aku juga mencoba mengurangi makanku, mungkin terlalu ekstrim sehingga akhirnya aku masuk rumah sakit karena kekurangan nutrisi. Di rumah sakit kata-kata yang paling berkesan bagiku datang dari mendiang kakekku, ayah ibuku yang saat itu sudah berumur 85 tahun.

“Aya! Dimata kakek kamu sudah sangat cantik. Tidak perlu kamu menyiksa dirimu seperti ini. Jodoh itu Tuhan yang menentukan. Walaupun kamu secantik putri dari antah berantah tapi kalau Tuhan menentukan, kamu tidak akan mendapatkan jodoh siapapun itu. Yang penting kamu tetap sehat itu saja sudah cukup. Gemuk tapi sehat juga banyak-kan.”

Sejak saat itu aku berusaha menurunkan badan dengan pola sehat. Tetapi tetap saja, beratku tidak turun-turun juga. Entah faktor keturunan atau aku kurang berusaha akhirnya aku berhenti. Tapi aku selalu ingat kata-kata kakekku itu aku berusaha menjaga pola hidupku agar aku tetap sehat. Walaupun begitu sering muncul rasa iri dihatiku melihat kak Eli dan teman-temanku yang kebetulan cantik-cantik dan bertubuh ideal bisa memakai berbagai macam model baju yang sedang trend saat ini.

“Nad! Sedikit lagi kamu mengudara. Cepat!! Ini surat-suratnya”

Yoga tiba-tiba masuk sambil membawa segepok surat-surat ditangannya. Aku buru-buru meminum habis kopiku dan menggigit sisa rotiku yang terakhir. Kusambar surat-surat ditangannya dan berlari keruang siaran. Kupasang mig dan menunggu isyarat dari Yos.

“Hallo! Selamat malam kita ketemu lagi diacara listen to the night dengan saya Nadia.Kita mulai malam ini dengan lagu dari Vanessa Carlton-A Thousand Miles yang saya persembahkan untuk pemirsa yang terpaksa harus lembur hari ini, selesaikan segera agar tidak mengganggu weekend anda.Don’t Give Up, just keep on going and don’t worry I’ll always company you tonight

Setelah itu Yos segera memutarkan lagu yang kumaksud dan aku punya kesempatan untuk membuka surat-surat yang datang.

Aku bekerja sebagai penyiar Radio Zee. Waktu siaranku selalu malam dari jam 19.30-22.30 (Untung rumahku tidak jauh dari kantor, hanya berjarak 2 blok saja). Gaji yang kudapat cukup lumayan untuk kebutuhan pribadiku sendiri. Dan hal yang paling kusukai di tempat kerjaku adalah krunya yang ramah dan bersahabat Serta atasan yang sudah seperti teman dengan kita. Di tempat ini juga kami para penyiar menggunakkan nama samaran masing-masing. Nama samaranku Nadia kuambil dari buku pintar ayahku dimana Nadia yang dalam bahasa Prancis memiliki makna Harapan. Aku memang punya banyak harapan untuk diriku sendiri dimasa depan. Siapa tahu dengan nama Nadia ini harapanku bisa terwujud.

Reyhan merebahkan badan disofa ruang kerjanya. Sudah seharian bekerja, sampai saat ini belum selesai juga. Kalau bukan karena kesalahan audit, Reyhan tidak mungkin malam ini masih berkutat dengan kertas-kertas laporan dikantornya. Laporan itu harus selesai hari Senin agar dia bisa berbicara didepan Dewan Komisaris dan Direksi, terutama didepan ayahnya yang merupakan Komisaris dari Perusahaan mereka. Dilepaskannya kacamata bacanya lalu memijit hidungnya lelah.

Tiba-tiba terdengar pintu diketuk

“Ya! Masuk!”

Muncul wajah Ana sekertarisnya dan salah satu satpam gedung.

“Pak saya sudah mau pulang. Bapak bagaimana?”, tanya Ana.

“O iya! Kau pulang saja. Sudah ….jam 19.30. Maaf An! Kamu bawa mobil? Atau mau saya antar pulang?’

“Ah tidak perlu pak! Terimakasih banyak. Saya bawa mobil. Bapak sendiri pulang jam berapa? Pak Rusdi ingin tahu kapan bapak pulang,”, kata Ana sambil menunjuk satpam yang berdiri disampingnya.

“Oh iya! maaf pak! Saya mungkin masih disini kurang lebih 1 sampai 1,5 jam lagi setelah itu saya langsung pulang”

“Oh nggak apa pak saya hanya ingin tahu , jadi listrik ditempat Bapak tidak dimatikan dulu. Kalo ada apa-apa bapak bisa hubungi security di ext 212. Mari Pak!”, kata satpam itu sopan .

“Ya. Terimakasih Pak! Ana Hati-hati dijalan. Maaf kamu jadi ikut lembur.”

“Tidak masalah pak.Terimakasih.Bapak juga hati-hati pas pulang. Selamat Malam!”

Pintu tertutup kembali. Reyhan kembali menghenyakkan tubuhnya ke sofa dan menghembuskan nafas kelelahan. Matanya memandang lampu-lampu gedung bertingkat Kota Jakarta yang terpampang lebar dari kaca ruangannya yang terletak dilantai 21 salah satu gedung bergengsi dikawasan Jl. Jend Sudirman.

Setelah agak lama termangu memandang pemandangan tersebut, Reyhan mengambil remote tape decknya. Disetelnya ke program radio dan dipilihnya chanel yang diinginkan. Alunan musik Vanessa Carlton menjadi pilihannya, sayang lagu itu sudah menjelang selesai. Reyhan berdiri menghampiri meja kerjanya dan mulai berkutat dengan pekerjaannya. Terdengar suara halus penyiar radio tersebut.

“Vanessa Carlton dengan A Thousand Mile-nya mengisi malam anda bersama saya Nadia di Radio Zee, Radionya para City Workers. Untuk anda yang terpaksa harus lembur hari Jumat ini..hmm..mengesalkan ya, disaat orang-orang sudah berlomba-lomba pulang untuk beristirahat dan merencanakan akhir pekan, anda malah harus menghabiskan waktu dengan mengurus hal-hal yang belum selesai sampai malam. Tapi jangan kesal dulu....Kita ambil saja hikmahnya. Jika kita bisa selesaikan semuanya hari ini walaupun sampai malam, kita punya jatah istirahat dengan tenang selama dua hari dan pada senin paginya kita sudah siap tempur dengan otak yang fresh…lagipula di Jakarta semua orang tahu, Jumat sore adalah hari macet nasional. Daripada kita bercapai-capai dijalan, lebih baik dikantor sampai malam menyelesaikan pekerjaan, pulang tinggal istirahat..betul tidak pendengar!! Oke satu lagi lagu yang saya harap bisa menambah semangat anda dari soundtrack Ally Mc Beal, Searchin’ My Soul oleh Vonda Shepperd”

Mengalunlah lagu yang penuh semangat dari radio. Reyhan tersenyum kecil mendengar kata-kata penyiar itu.

“ Cocok banget dengan kondisiku saat ini. Benar juga, kalau bisa selesai sekarang, hari Senin aku bisa menghadapi ayah dengan tenaga penuh. Thank’s Nadia!”

Reyhan kembali mengetik dikomputernya dengan lebih bersemangat sekali-kali dia menggumamkan lagu yang terdengar di radio. Sesudah lagu tersebut habis dilanjutkan dengan lagu Goo-Goo Doll’s “Iris”.

“ Dua buah lagu untuk menambah semangat anda para city workers. Surat Pilihan kami hari ini datang dari Niken.Isinya sebagai berikut ‘Mba Nadia, Saya belum lama lulus dari Universitas T jurusan Ekonomi Manajemen. Sekarang saya bingung. Saya terus mencari pekerjaan tapi tidak berhasil saya dapatkan. Sebenarnya bagi saya mudah untuk bekerja. Ayah saya sudah menawarkan untuk bekerja diperusahaannya. Tapi itulah masalahnya. Saya pernah menolong ayah saya diperusahaan itu kurang lebih 3 bulan. Semua orang, dibelakang saya ternyata tidak menyukai saya. Hal ini saya ketahui secara tidak sengaja. Mereka menganggap saya memanfaatkan kekuasan ayah saya semata. Pekerjaan yang saya lakukan sebaik mungkin tidak dipandang sebelah mata oleh mereka. Tapi jika saya melakukan kesalahan kecil saja sudah diungkit sampai saat ini. Saya harus bagaimana? Bukannya saya sok idealis, tapi sekarang saya berusaha mencari pekerjaan dimana saya masuk dengan kemampuan saya sendiri ternyata tidak bisa semudah itu. Apa yang harus saya lakukan?’ ….Nah Niken, untuk menenangkan pikiranmu saya kirimkan lagu khusus untuk Niken…Life dari Gabrielle resapi kata-katanya dan sesudah itu kita bicarakan lagi ya.”

Mengalunlah lagu Life dari radio. Reyhan menghentikan pekerjaannya dan berpikir. Kejadian yang dihadapi Niken sama dengannya. Ditutupnya matanya sambil menghayati lagu tersebut.

“Kalo kamu sudah mendengar dengan cermat lagu ini, Kamu pasti tahu maksud saya. Hidup ini memang banyak kendala apalagi dalam dunia kerja. Tapi itu semua harus bisa kita hadapi dengan berani. Menurut saya kalo kamu belum mendapatkan pekerjaan, daripada kemampuan kamu tersia-siakan, terima saja tawaran ayahmu. Soal omongan orang dibelakang, tidak perlu kamu tanggapi. Memang sih antara omongan dan kenyataan lebih gampang omongan. Tapi kalau kamu tidak bisa menghadapi masalah ini, suatu saat kamu dapat masalah yang lebih berat lagi, kamu tidak akan bisa menghadapinya. Tunjukkan kamu bisa melakukan semua pekerjaanmu dengan baik. Think Positiv, diantara 10 orang yang membicarakanmu pasti ada 2 atau 3 orang yang mengerti keadaanmu. Biasanya orang-orang ini bukan orang yang cuma ingin cari muka dan mereka adalah orang-orang yang bisa menghargai pekerjaaanmu dan menjadi sahabatmu yang terbaik. Saran saya, terima pekerjaan ini, tunjukkan kemampuanmu ,jangan perdulikan omongan orang lain dan carilah rekan kerja yang bisa bekerjasama dengan baik…oke niken….”

Reyhan termenung mendengar saran tersebut, sambil tersenyum dia kembali melakukan pekerjaannya sambil terus mendengar siaran radio. Satu jam kemudian, dia tetap mendengar siaran tersebut didalam mobil yang menuju apartemennya dibilangan Kuningan dan terus mendengarkan siaran tersebut sambil berganti pakaian dan merokok didepan beranda kamar apartemennya.

“ Yah sampai disini dulu saya menemani anda semua dalam acara Listen to the night. Kita bertemu kembali Senin malam dalam acara yang sama dengan saya Nadia. Sweet Dream….”

Mengalunlah lagu Forever Love milik Gary Barlow. Reyhan mematikan rokoknya dan masuk kekamar tidurnya.

“Ya! Aku minta minyak wangimu ya. Punyaku habis nih!,” tiba-tiba kakakku Eli nyelonong masuk sementara aku sedang asik membaca komik Elex-ku.

Dia sudah berdandan sangat cantik malam ini.

“Mau kemana?,” tanyaku sambil mengunyah bakpia oleh-oleh Ella.

“Pergi ama Rio!”

“Siapa tuh? mangsa baru lagi?”

“Enak aja! Emangnya aku ini hewan pemakan laki-laki”

“Sort of!”

“Sialan! aku kenal dia belum lama. Anak baru pindahan dari Bandung ditempatkan dibagian KPR.”

Kakakku Eli sudah bekerja disebuah Bank Swasta yang cukup terkenal, dibagian Customer Service. Wajahnya cantik dan badannya tinggi langsing turunan ibuku. Dia juga pintar dan sangat bersahabat. Tidak heran banyak yang senang berteman dengannya. Aku sendiri punya teman, tapi karena aku agak tertutup maka jumlah temanku tidak terlalu banyak. Tapi aku lebih senang seperti itu. Sedikit teman tapi benar-benar teman sejati.

“Oke thank’s ya! Nanti ku-beliin Bubble Tea deh ,” Kata Kak Eli sambil berlari keluar.

“Ye..Yeah ,” Aku kembali membaca komikku. Tapi belum lama aku penasaran ingin melihat seperti apa wajah cowok yang mengajak kak Eli pergi. Kebetulan kamarku diatas dan jendelanya langsung mengarah ke halaman depan rumah. Kuintip mereka yang sedang membuka pagar. Boleh juga cowoknya. Tinggi dan berkesan seperti seorang profesional muda. Tiba-tiba kak Eli melihatku dan melambaikan tangannya kepadaku. Si Profesional Muda juga memandangku, Aku balas lambaiannya dan kulihat si cowok tersenyum sopan dan mengangguk. Kubalas senyumannya dan kembali melanjutkan keasyikkanku membaca komik.

“Siapa?,” tanya Rio Ke Eli

“Adikku Aya!”

“Heh beda banget ama kamu”

“Jangan gitu! Aku nggak senang kamu ngomong gitu ,” Kata Eli sengit

“Loh aku-kan cuman bilang kamu dan dia beda”

“ Kamu-kan belum kenal dia, berarti kamu tadi menilai dia dari fisik”

“Yah! Habis dari apalagi?”

“Ya Itu yang nggak aku suka, Jangan menilai orang dari luarnya seperti kamu itu ciptaan Tuhan yang paling sempurna luar dalam dan punya hak menilai orang lain!”

“Wah! Kok jadi gini…padahal aku cuma bilang kalian berbeda, Yah sudah…maaf deh! Kita jadi pergi-kan?”

Eli diam menahan kesal lalu mengangguk. Mobil Hyundai milik Rio-pun mulai meninggalkan rumah.

Sekarang Reyhan punya hobi sendiri, setiap hari Senin sampai Jumat dia pasti tidak pernah absen mendengar siaran Nadia. Tidak pernah dia meninggalkan siaran Nadia sedikitpun walaupun pekerjaannya menumpuk. Siaran Nadia kadang lucu, kadang penuh dengan nasihat yang berguna untuk dunia pekerjaannya. Semakin lama Reyhan semakin ingin mengetahui Nadia lebih dekat. Dan malam ini saat yang tepat, Reyhan ingin menelepon ke stasiun Radio Zee. Tapi dia ragu-ragu. Dipandanginya jam diruang kantornya.Baru jam 19.00.

“Sebaiknya dihubungi malam saja sesudah selesai siaran,” Pikirnya sambil membereskan barang-barangnya dimeja.

“Oke! Trims ya Yos! ,” sapaku

“Yo!”

Aku berlalu menuju ruang istirahat mengambil minum dan bersiap untuk pulang kerumah ketika tiba-tiba Emil operator kami memanggilku.

“Nad! Sini cepat! ,” panggilnya penuh semangat. Kuhampiri dia dengan heran.

“Ada apa sih?”

Dia mengangsurkan ganggang telepon kedepan wajahku sambil tersenyum usil.

“Telpon untukmu.katanya dari salah satu penggemar beratmu!”

“Hah?! Penggemar? Orang iseng kali! Si Andi atau Teguh mungkin?”

Emil menggeleng dengan penuh semangat (mahluk satu ini terlalu full of semangat, jadi tingkahnya benar-benar seperti orang udah minum kopi 10 gelas).

“Nggak! Aku kenal banget suara dua orang gila itu biarpun diubah pakai mesin aku pasti tahu. Bukan! Ini jelas-jelas penggemarmu!”

“Cowok-Cewek?”

“Cowok! Dan suaranya nggak tahan booo! kayaknya orangnya gentelemen banget deh.!”

“Ngawur! Suara belum tentu sama dengan kenyataannya!”

“Pokoknya oke deh! buruan nih! Kasian dia nunggu!”

“Ah! Nggak mau! Kalo orang gila dan gua diancam dibunuh gimana?”

“Kamu yang gila! Terlalu banyak nonton film thriller sih! Udah deh terima dulu buruan!”

Dengan sikapnya yang sering maksa Emil memberikan ganggang telepon itu dan memencet tanda hold ditelpon. Aku sudah tidak bisa menghindar lagi. Agak takut sekaligus penasaran aku mencoba berbicara.

“Halo?”

“Halo! Bisa bicara dengan Nadia?” (Benar loh suaranya benar-benar enak, curiga ini orang penyiar juga)

“Iya saya sendiri. Darimana ya?”

“Oh! Nadia ya? Saya Reyhan…saya sering dengar siaranmu……ngg……saranmu bagus juga….... Kamu anak Pisikologi ya?”

“Bukan…?!”

“Ooo…maaf kukira kamu anak psikologi karena saran kamu boleh juga”

“Ngasih saran ke orang itu gampang kok….yang susah menerapkannya!”

“Ya kamu betul!”

Terus kami sama-sama terdiam tidak tahu mau bicara apa. Emil sudah mencoel tanganku sambil menunjuk-nunjuk telepon. Aku melotot kesal memandangnya.

“Maaf kalau saya mengganggu,” kata cowok itu

“Hah! Oh nggak..nggak apa-apa..cuman aku agak kaget saja”

“Kenapa?”

“Masalahnya selama ini belum ada yang benar-benar mengatakan bahwa dia penggemar berat saya”

“kamu-kan penyiar. Pasti dong ada penggemarnya, tidak mungkin tidak”

“Yah! Masalahnya saya penyiar malam, dan jarang yang mendengar lalu menelpon saya sekedar mengatakan dia penggemar saya. Biasanya mereka menulis surat dan mengatakan unek-uneknya disurat itu. Hanya itu saja”

“Itu juga disebut penggemar, walaupun tidak mengatakannya”

“Biasa mereka hanya mengatakan kalau mereka menyukai acara yang saya bawa.Sedangkan kalau ada yang menyebutnya penggemar saya berarti yang dia sukai itu saya dan acara yang saya bawa.”

“Saya menyukai acara yang kamu bawa dan juga kamu sebagai penyiar yang kompeten kok”

“(aku tertawa kecil) Darimana saya bisa disebut kompeten, sedangkan kamu tidak tahu bagaimana kerja saya yang sebenarnya disini.”

“Kompeten dalam arti membawa acaranya”

“Itu berarti kamu Penggemar ACARA saya, bukan Penggemar SAYA”

Aku senang mendengar suara tawanya, enak sekali dan berkesan tanpa beban.

“Sudah saya duga, bicara dengan kamu pasti asyik..ngomong-ngomong sudah jam segini, kamu tidak takut pulang malam-malam? Atau memang tugas sampai pagi?”

“Saya langsung pulang kok. Rumah saya tidak terlalu jauh dari sini”

“Wah! Hati-hati. Cewek pulang malam-malam bisa kenapa-napa!”

“Terima kasih dan tenang saja tidak ada yang niat nyulik saya sih. Masalahnya bakal rugi dia”

“Loh Kenapa?”

“Yah rugi aja…saya makannya banyak sih!”

Dia tertawa lagi. Aku juga jadi ikut tersenyum . kenapa ya cowok satu ini enak diajak ngobrol ? padahal baru juga kenal (Wah!!!jangan-jangan aku ketularan genitnya si Emil nih! Virus satu itu)

“Kalau begitu saya sudahi dulu deh! Biar kamu bisa pulang. Hati-hati aja, mungkin ada orang yang kelebihan beras dan butuh bantuan untuk dihabisin?” katanya bercanda. Aku jadi tertawa geli dan tumbennya tidak ada perasaan sakit hati mendengar kata-katanya itu (Maklum aku orangnya rada sensitive banget).

“Ya…ya… terimakasih…saya juga berdoa semoga ada orang yang sebaik itu!”

Dia tertawa lagi

“Oke deh selamat malam Nadia!”

“Selamat malam dan terima kasih atas perhatiannya Pak Reyhan!”

“Reyhan! Jangan panggil Pak deh! Rasanya umur saya sudah 60 tahun aja”

“Iya…Reyhan…Makasih banget atas perhatiannya”

“Sama-sama. Malam”

“ Malam”

Sewaktu kututup telpon Emil langsung nyerocos nggak karuan.

“Gimana? Benar-kan dia Fans kamu. Dia ngomong apa? siapa namanya? kerja dimana? cakep nggak? kalau dengar suaranya kayaknya dia oke banget! wahhhh Nad….You are so Lucky!”

Pusing juga dengar omongan anak satu ini.

“Aduh!! Loe tuh nanya apa jawab sih? Bingung aku…kayak nggak pernah nerima telepon penggemar aja.Padahal loe sering terima telepon dari penggemar anak-anak lain!”

“Ya! Tapi baru kali ini ada yang nelpon kamu…mana suaranya simpatik banget. Jangan-jangan dia seperti tipe idolamu si Jang Dong Gun atau Bae Yong Jun?”

Anak satu ini tahu aku suka banget nonton film drama korea, dan aku ngefans berat ama dua orang itu. Tapi impian nih anak rada ngaco.Cuman karena yang nelpon aku cowok dengan suara yang aduhai dia langsung nganggap begitu. Gimana kalo ternyata yang nelpon kakek-kakek 70 tahun dan pake suara boongan lewat kaset nah lo….

“Ahhh aku pulang dulu deh. Bareng ama kamu terus bisa bikin aku pusing dan jadi ngelantur.Yuk dah!”

Emil menarik tanganku yang sudah bersiap melangkah pergi.

“Tunggu dulu! Paling tidak kasih tahu namanya”

“Untuk apa sih?”

“Yah..Jadi kalo dia nelpon lagi aku tahu dari siapa langsung aku kasih kamu-kan”

“Tadikan kamu nguping aku ngomong masa nggak dengar aku nyebut dia siapa!”

“Nggak jelas dengarnya. Kamu ngobrolnya mencicit kayak tikus sih…siapa sih nama dia? Kalo nggak salah dengar tadi Rencong ya?”

“Ngaco! Bambu Runcing lagi…!”

“Serius Nad!”

“Rey-Han! Puas!”

“Oooo Reyhan toh! Wow namanya aja bagus, suara bagus, pasti orangnya bagus”

“Ye..ye…aku pulang dulu ya”

“Dehhh..Selamat mimpi indah ya”

Aku melambaikan tangan sambil berlalu. Ampun dah! Masa Cuma ditelpon aja langsung mimpi indah.

Tapi malam itu aku mungkin ketularan penasarannya Emil, aku mimpi adegan film All About Eve dimana Jang Dong Gun Sedang menelpon Lawan Mainnya Chae Rim dengan Mesra tapi dimimpi itu aku yang jadi Chae Rim-nya.Benar-benar mimpi buruk!

Acaraku sudah selesai, dan aku bersiap-siap untuk pulang, ketika Emil yang tiba-tiba memanggilku dengan penuh semangat.

“Ada apa?” tanyaku sambil menghampirinya.

“Tilpun!”

“Dari?”

Emil langsung cengar-cengir dan matanya bersinar menggoda, Jantungku tidak tahu kenapa tahu-tahu langsung berdebar.

“Yong-Gun!”

Benar dugaanku, pasti Reyhan karena baru kemarin Emil menggodaku dengan mengatakan kemungkinan Reyhan Mirip Bae Yong Jun atau Jang Dong Gun. Dengan hati berdebar aku terima telepon yang diberikan Emil yang tersenyum-senyum misterius.

“Halo!”

“Hallo Nad! Masih ingat saya?”

“Reyhan-kan!”

“Hebat! Saya pikir sudah lupa”

“Tidak mungkin. Karena tidak ada yang pernah menelpon saya di sini selain kamu”

“Masa?! Keluargamu juga?”

“Ngapain juga mereka telepon kalo bisa langsung datang”

“Iya..aku lupa kamu tinggal dekat dari situ…teman kamu? Masa nggak pernah nelpon?”

“Sudah malam sih! Biasanya mereka call ke HP”

“Oooo…Maaf kalo aku selalu hubungi kamu malam. Pasalnya aku ngerasa kamu pasti ada kalo aku telepon sehabis siaran. Sori banget kalo mengganggu”

“Nggak…Nggak apa-apa kok. Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa. Ingin ngobrol saja.Tidak boleh? Atau kamu sudah mau pulang?”

“Tidak. Belum niat pulang,ada yang mau diselesaikan dulu!”

“Oh! Kalau gitu kamu selesaikan saja dulu, kapan-kapan saya hubungi lagi”

“Eh! Tidak apa lagi…. bukan hal besar kok jadi santai aja lagi”

“Maaf ya”

“Nggak apa-apa”

Terus kita diam seperti orang bego.

“Kemarin…”

“Kamu…”

Kami berbicara berbarengan

“Kamu duluan,” katanya

“Tidak kamu saja…kenapa kemarin?”

“Nggak hanya mau tanya aja, ada yang nawarin beras nggak?”

“Hah?,” aku agak bingung dengan pertanyaannya. Wah jangan-jangan dia rada error nih.

“Kamu bilang kemarin rugi kalau ada yang mau nyulik kamu. Cuman habisin beras aja. Makanya aku nanya kemarin apa ada yang mau minta bantuan kamu habisin beras?”

“Oh itu toh…kupikir apa, Di zaman susah begini? Kalau ada yang punya beras 2 karung saja pasti dia umpetin mana mungkin bela-belain nyulik anak orang untuk bantuin ngabisin beras itu. Mendingan disimpan, terus saat langka dijual dengan harga tinggi-kan!”

“Wah! Kamu ngajarin nggak bener”

“Sori deh. Tapi kenyataannya banyak orang kita yang seperti itu”

“Ups! Sekarang ngomong politik nih”

“Nggak ah! Mendingan berhenti aja. Ngomong politik itu bikin kepala pusing….Eh kamu Politikus?”

“Kenapa? Takut saya penjara?”

“Sort of!”

“Tenang saja! Saya bukan Politikus Kok!”

“Wah!!! Jangan-jangan kamu Lintah darat atau sejenisnya?”

“Ha…ha..ha…Tidak-lah….kerjaan saya berhubungan banget dengan hal-hal penting untuk kehidupan sehari-hari!”

“Banyak kerjaan yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari!”

“Yah kamu tebak saja!”

“Bankir!”

“Tetottt….Wrong!”

“Tapi kalo nggak ada uang kita tidak bisa menjalani kehidupan sehari-hari kita-kan?”

“Iya sih…tapi yang pasti bukan itu,” katanya sambil tertawa geli

“Raja Kapal!”

“Sori bukan kembarannya Onasis. Lagian Kapal-kan bukan kehidupan sehari-hari”

“Nggak juga kalo kehidupan para jet set.”

“Yang pasti bukan…ayooo tebak lagi”

“Raja Tahu!”

Dia tertawa ngakak mendengar tebakanku dan aku juga tertawa geli.

“Salah semua.Masa pekerjaan yang umum banget kamu nggak tau sih?”

“Sopir Metro?”

Dia tertawa lagi

“Pekerjaan Umum Bukan Kendaraan umum”

“Oh orang PU?”

“Bukan!”

“Aduh apa sih? Bingung aku”

“I give it the 2nd clue, setiap hari pasti dipake orang satu rumah!”

“Pembantu?,” Kataku dengan nada ragu.

Terdengar tawa terbahak-bahaknya diseberang telpon

“Ngawur!!! Aku bilang diPAKAI setiap hari orang satu rumah.Mengerikan sekali kalo pembantu dipake setiap hari, oleh orang satu rumah lagi ha.ha.ha !,” kami berdua tertawa.

“Jadi apa dong…aku nyerah dah?”

“Payah masa langsung nyerah gitu”

“Ayooo dong…apa sih?”

“oke deh kukasih tahu clue-clue yang lainnya…habis bangun pagi kamu ngapain?”

“Mandi dan sikat gigi”

“Pake?”

“Yah… sabun dan odol dong”

“Nah itu salah satu produk dari perusahaanku selain itu kamu kalo lapar ambil makanan yang keriting terus direbus apa ayo…”

“Mie?”

“Yup 100…perusahaanku juga mengeluarkan produk-produk itu”

“Oh jadi perusahan consumer goods ya? Apa namanya”

“Pernah dengar PT. Amexindo Multi Perkasa?”

“Woahh….tentu dong..perusahaan gabungan Amerika dan Indonesia itu-kan, Salah satu perusaah consumer goods terbesar di Indonesia saingan berat perusahaan (Aku menyebutkan salah satu perusahaan besar di Indonesia). Keluargaku banyak pake produk dari perusahaan itu loh…Masuk untuk kerja juga aku dengar pemilihannya susah ya?”

“Yah lumayan panjang sih testnya”

“Iya temanku pernah melamar kesana tapi gagal. Hebat juga kamu bisa lolos. Kerja dibagian apa?”

Reyhan terdiam sejenak

“Bagian Accounting”

“Wihhh..tiap hari megang uang terus dong”

“Nggak lah…bukan berarti bagian accounting terus pegang uang mulu”

“tapi tiap waktu berurusan ama yang namanya uang-kan,” elak-ku

“Iya sih”

“jabatanmu apa?”

Mendengar pertanyaanku,Reyhan terdiam lagi

“Emangnya ada apa? Kok tahu-tahu nanya jabatan saya?”

Aneh! Aku mendengar nada suaranya yang penuh kecurigaan sekarang.

“Nggak kenapa-napa cuman kamu-kan udah tahu jabatanku disini. Kalau ingin berteman paling tidak kita tahu dong hal umum tentang teman baru kita. Tapi kalau kamu tidak mau kasih tahu juga nggak apa-apa!”

Tidak ada jawaban darinya. Aku jadi nggak enak hati juga.

“Eh maaf loh!Maaf…kalau ada yang tidak kamu suka dari omonganku bilang saja,” aku jadi ketakutan dengan sikap diamnya itu.

Reyhan menarik nafas dan menghembuskannya perlahan

“Tidak apa Nad. Aku kerja sebagai Asisten Manager Accounting disana”

“Oh! Bagus dong. Tapi setiap hari berkutat dengan angka Ya…kalau aku mah sudah pusing ?,”Kataku mencoba berbicara biasa saja dengan dia.

“Yah begitulah”

Terus kami berdiam diri lagi. Benar-benar suasana yang tidak nyaman aku jadi tidak enak hati

“Sudah Malam kamu ada yang harus diselesaikan-kan? Maaf aku mengganggu terus”

“Tidak apa-apa kok”

“Oke Selamat Malam”

“Rey!”

“Ya?”

aduh! Lidahku kok jadi kelu begini ya?

“Ma..maaf kalo aku menyinggung kamu.Aku benar-benar nggak ada maksud apa-apa kok…”

“Nad, Tidak apa-apa kok. Aku sama sekali tidak marah kok. Sudah ya, Hati-hati dijalan,” katanya lembut.

“Ya,” jawabku lesu

Sewaktu telpon ditutup Emil memandangku dengan wajah penuh tanda-tanya. Aku hanya tersenyum lesu, mengangkat bahu dan berlalu. Oke! Aku sudah merusak hubungan persahabatan yang cukup baik dengan cowok yang kayaknya baik hanya karena lidahku yang menyebalkan ini.Ulu hatiku terasa seperti ditusuk jarum. Kayaknya aku harus makan lebih banyak malam ini untuk menghilangkan rasa sakit ini.

Reyhan sama sekali tidak marah pada Nadia. Hanya dia selalu berhati-hati menyebutkan jabatannya dikantor, kepada orang yang belum lama dikenalnya. Sudah sering Reyhan bertemu orang terutama wanita yang langsung merasa perlu lengket kepadanya setelah tahu siapa dia sebenarnya. Walaupun bukan sebagai someone specialnya, minimal menjadi temannya pasti tidak akan rugi karena berbagai macam fasilitas miliknya bisa dimanfaatkan.

Dia juga tahu diumurnya yang sudah kepala tiga ini banyak ibu-ibu yang mencoba menjodohkan anak gadis mereka dengannya karena mereka tahu masa depan putri dan cucu mereka akan terjamin. Reyhan benci sekali kalau ada pertemuan ibu-ibu dirumah orang tuanya. Sebisa mungkin dia menghindar dari acara tersebut. Ibunya sendiri bukannya tidak menyuruhnya mencari pasangan hidup. Tapi beliau tidak pernah memaksakan kehendaknya itu pada anak satu-satunya yang memang lebih senang bekerja daripada mencari jodoh itu.

Reyhan menyukai Nadia. Berbicara dengan Nadia sangat menyenangkan dan menambah semangatnya. Dia tahu Nadia bisa menjadi teman yang menyenangkan.Tapi dia tidak ingin persahabatan itu didasari atas kepentingan dan keinginan tertentu. Itulah sebabnya dia mengatakan posisinya sebagai Asisten Manager bagian Accounting dan bukannya Direktur Utama diperusahaannya. Sebenarnya didasar hati Reyhan yang terdalam, dia tahu Nadia tidak seperti wanita-wanita lainnya. Reyhan ingin membuktikannya.



1st Chapter by R. Shinta H.

Read More ......