“Udah puas belum?”
“Bentar, ah.”
Day menggila. Ia seperti lupa diri. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mencari posisi yang pas untuk mengambil gambar seekor ular yang berukuran sebesar pahaku. Dengan keringat yang sudah mengalir deras di pelipisnya, ia semakin antusias memotret hewan melata yang mengerikan itu. Sesekali ia menyuruh beberapa wartawan menyingkir agar ia dapat leluasa mengambil gambar. Walaupun setelah itu ia harus rela wajahnya diserbu air liur yang muncrat dari mulut wartawan yang membentak karena kesal dengannya.
“Aduh Day, panas banget nih. Udahan ah!” Aku menyeka keringatku sendiri, seraya mengipas-ngipas dengan kertas karton yang sedang menganggur di sebelahku.
“Eh gila lu ya? Itu kain lap buat lensa kamera gue tau! Kenapa lu pake buat ngelap muka?”
Day berhenti memotret dan langsung menyambar sehelai kain yang berada di genggamanku. Ia mengibas-ngibaskan kain itu di udara sambil menggerutu kesal.
“Ah, kain perca gitu aja. Ntar aku beliin yang banyak! Yang motifnya bunga-bunga, mau nggak?” Aku terkekeh.
“Brengsek lu.”
Day cinta mati dengan kameranya. Apapun dari kameranya, lensa, sarung, sampai kain lap kesayangannya tidak boleh diganggu-gugat oleh siapapun. Pernah di satu waktu seorang partner kerja di kantor iseng memakai sarung tempat kamera Day untuk menyimpan alat-alat kosmetiknya, Day langsung berang dan menumpahkan isi body lotion ke kepala orang itu, lalu mencoret-coret wajahnya dengan lipstik.
“Day, udah jam empat nih. Kerjaan kamu belum beres-beres juga. Udah deh, pamerannya kan masih sampai besok.”
“Iya, tapi yang seekor ini cuma ada di hari ini doang.” Ujar Day. “Ini yang langka, belum tentu seumur hidup gue bisa liat yang kaya gini lagi ntar.”
“Eh, kerjaan kamu tuh bukan nyosorin ular pake lensa kamera. Tapi nyari berita.” Aku berusaha mengembalikan ingatan Day.
“Iya, bawel ah! Dasar Miss Ngoceh!”
“Sialan.” Aku melemparnya dengan kertas karton.
Day tertawa. Hari ini baru sekali ia tertawa. Hampir seharian ia mengambil gambar untuk kebutuhan berita sambil memasang wajah kusutnya yang khas. Aku sengaja mengajaknya ke pameran ular untuk membuatnya senang, karena aku tahu ia juga begitu mencintai hewan melata yang bagiku sangat menjijikkan itu. Kalau kamera itu cinta pertamanya, maka ular adalah kekasih gelap yang berhasil mencuri sebagian hatinya.
Day membereskan peralatan kameranya dan memasukkannya ke dalam tas. Kami beranjak pergi dari area pameran dan bergegas menuju mobil.
“Kamu nggak takut dimarahin bos lagi, Day?” Tanyaku sembari mengendarai mobil meninggalkan parkiran. “Kita udah telat nih, janji mau wawancara dengan manager kafe yang kemarin kan jam setengah empat.”
“Ah udahlah, bisa cari berita lain kan.” Jawabnya cuek sembari menyeruput es jeruknya.
“Lagi?” Aku menghela napas berat.
- - o - -
Peluhku menggiring diri menyusuri napas
Ketika tersengal aku berdetak, semenit lantunan terbata
Berseru menggelung rambut di buram hidup
-The Reason-
Rutinitas selalu menjadi momok, setidaknya untuk orang dinamis sepertiku. Tidak hanya menyumbat laju semangat hidup, tapi juga bisa mematikan kreatifitas-yang sangat membenci rutinitas. Terkurung dalam tugas-tugas yang mengepung, dan terhimpit oleh deadline yang gemar sekali menjepit.
Beruntung aku masih punya alasan kuat untuk bertahan dengan keadaan seperti ini. Kalau tidak, aku sudah kalap dan menjejalkan racun tikus ke tenggorokan pemimpin redaksi yang menyebalkan itu. Jangankan mendengar ocehannya yang sok berkuasa, mencium aroma parfumnya dari jarak sepuluh meter saja sudah membuatku ingin mati. Karenanya aku jauh lebih senang menghabiskan hari untuk lembur, demi terhindar dari penjilat itu.
Aku masih, punya alasan untuk bertahan.
Letih sekali rasanya hari ini. Dan panas, panas sekali. Bahkan sampai malam begini udara di dalam kantor masih terasa panas. Sialnya, sepasang air conditioner di kantor semuanya sedang dalam perbaikan. Saking hangatnya suhu udara di sekitar, satu gelas besar es jeruk pun tidak mampu menjaga tenggorokanku agar tetap basah.
“Lembur lagi, Day?”
Aku menoleh ke samping, sesosok lelaki berkacamata persegi berjalan terhuyung sambil membawa setumpuk map dan kertas. Rambutnya yang agak gondrong dan acak-acakan membuat tampangnya semakin lusuh dan terlihat seperti gembel yang berkeliaran di terminal bus. Kemeja putih polos lengan panjangnya yang sudah sangat kusam dan lecek berlipat hingga batas sikut. Celana jeans yang ia kenakan kondisinya tidak lebih baik dari apapun yang ia pakai-sobek di kedua lutut seluas bentangan telapak tangan. Aroma tubuhnya yang tercium saat ia berjalan mendekat sama sekali tidak membuat mood ku membaik.
“Seperti yang lu liat.” Aku menjawab malas. “Lu sendiri Jun, lagi?”
“Seperti yang lu liat.” Jun menyengir kepadaku.
“Dasar Mister Beo.” Aku menggumam sembari mengikat rambutku.
“Sembarangan lu. Dasar Miss Ngasal Julukan!” Jun tertawa-tawa. “By the way, potong rambut ya Day? Perasaan yang kemaren bagusan deh.”
Aku tidak menjawab. Buang-buang energi rasanya. Cuaca panas seperti ini memang membuat orang malas melakukan apapun. Tidak terkecuali memasang gambar-gambar hasil potretanku, sekaligus me-layout tampilannya di majalah. Untungnya ada yang membuatku bertahan mengerjakan tugas hingga lembur seperti malam ini, dan malam-malam sebelumnya. Tentu bukan Jun yang bisanya hanya membuat mood ku semakin parah, melainkan sepasang Ballphyton dalam toples kaca di atas meja kerjaku, yang selalu setia menghiburku dengan wajah lucunya.
“Kalo lu kaya gini terus, lu nggak bakalan bisa dapet promosi, Day.” Ujar Jun seraya menyeka keringat dan menyalakan rokoknya.
“Sok tau amat sih lu. Lu sendiri sama aja kaya gue kan.”
Jun dengan tidak sopannya mengambil ikat rambutku dari meja. Lalu mengikat rambut gondrongnya, setelah sebelumnya mengetuk-ngetuk toples kaca tempat Ballphyton milikku sambil tersenyum-senyum aneh. Aroma tubuhnya sungguh membuatku ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaanku. Entah sudah berapa hari ia tidak mandi, mungkin juga berapa minggu.
“Tapi gue kan nggak punya tanggungan. Jadi nggak masalah mau dapet promosi apa nggak.”
“Maksudnya?”
“Gue hidup sendiri. Apa-apa sendiri. Makan sendiri, tidur sendiri, cuci baju sendiri, mandi juga sendiri.”
“Ya iyalah, masa mau mandi bareng tetangga sebelah.” Aku memotong ucapan Jun sambil tertawa pelan.
“Ah, nyambung aja lu!” Jun melemparku dengan spidol. “Gini ya Day. Gue nggak perlu promosi, gue nggak perlu duit banyak. Dengan gaji gue yang sekarang ini udah cukup buat menuhin kebutuhan gue sehari-hari.”
“Trus?”
“Yaelah, lu sadar nggak sih Day? Lu nggak kaya gue, lu punya tanggungan hidup. Lu punya adek, masih sekolah dan masih perlu banyak dukungan materi.” Ujar Jun.
Aku hanya diam. Baru saja aku merasa, atau mungkin ingin merasa bahwa hari ini hari terbaik dalam setahun terakhir. Karena aku bisa mendapatkan banyak gambar di pameran langka yang memajang ular-ular langka dari seluruh penjuru dunia. Tapi omongan Jun barusan membuyarkan semuanya.
“Day, gue bukan sok perhatian. Tapi gue tau Rayi belum bayar uang sekolahnya.”
Aku seketika menoleh ke Jun, mengerutkan alis.
“Nggak usah masang muka kaya gitu. Kita udah temenan berapa lama sih? Lu masih aja suka nutup-nutupin masalah dan berlagak kaya nggak ada apa-apa.” Ujar Jun sembari menghembuskan asap rokok dari mulutnya. “Udah berapa bulan?”
Aku memalingkan wajah ke jendela. Memandang kosong pada langit yang gelap. Deretan bintang seperti membentuk wajah Rayi, ia sedang tersenyum kepadaku. Aku balas dengan senyum. Tanpa kusadari air mata tiba-tiba meleleh tanpa permisi lebih dulu.
“Bulan depan masa promosi.” Jun melanjutkan bicaranya, tanpa menunggu jawabanku atas pertanyaannya yang tadi. “Gue jual tuh ular kalo lu sampe nggak dapet.”
Bingung, aku tidak tahu harus memberikan tanggapan apa atas omongan Jun. Hari ini aku terlalu lelah, bahkan untuk sekedar menelepon Rayi yang kutitipkan di rumah tetangga. Tapi aku tahu Jun tidak salah, aku memang sedang perlu banyak uang. Tidak hanya untuk biaya sekolah Rayi.
“Gue heran, kadang rasanya kok gue yang lebih perhatian dengan hidup lu ya? Daripada diri lu sendiri.” Kata Jun seraya menekan-nekan ujung puntung rokoknya ke atas asbak kaca. “Lu butuh promosi ini, Day.”
Aku hanya memandang nanar kepada bayanganku sendiri di jendela. Rasanya sudah terlalu lama aku acuh pada hidupku sendiri. Bukan tanpa maksud, aku hanya terlalu lelah menghadapi masalah. Mereka merundungiku tanpa kenal jeda. Maka kuputuskan untuk bersikap santai dan biasa, dengan harapan batinku tidak bertambah tertekan. Tapi rupanya harapanku berbuah nihil, setiap kali Jun menyadarkanku akan hidup yang harus kuurus. Akan diriku sendiri yang tidak sepantasnya untuk kubohongi.
Semenjak peristiwa memilukan itu, aku nyaris tidak pernah menjalani hari-hari tanpa membohongi diri. Aku berjalan dengan mendongak dan senyum lebar menebar ke seluruh orang, seakan tidak pernah ada masalah dalam hidupku. Tidak banyak yang tahu bahwa aku memendam semuanya dalam hati, mengubur kegelisahan akan pikiran-pikiran yang gundah memikirkan bagaimana aku bisa terus bertahan. Aku sesungguhnya resah.
- - o - -
Nadamu sesungguhnya membekas
Tapi tersapukan oleh batas, terhalau karena lelah
Namun rasa hati tetap sadar
-Thinking-
Pikiran orang tidak pernah benar-benar bisa dimengerti. Sesaat terasa mereka sedang tertunduk sepi, tapi nyatanya mereka sedang berlari-lari girang berpacu dengan hari. Begitupun saat aku mengira mereka sedang berteriak gembira, ternyata mereka sedang mengerang karena alasan untuk hidup yang mulai menghilang.
Begitu yang terjadi atas diriku, terhadap seorang wanita berumur dua puluh tahun. Seorang yatim piatu yang kukenal sebagai ‘Day’, atau lengkapnya, Shadday Mundara. Sebagai lelaki aku kadang malu kepadanya. Malu atas ketegarannya menghadapi hidup, malu atas ketabahannya berjuang demi orang yang dilindungi dan dicintainya-Rayissa Firdi, adiknya. Ia wanita, tapi jauh lebih kuat dari lelaki manapun yang pernah kukenal, mungkin saja lebih kuat dariku.
Aku merasa terlalu sering menyalahkan hidup dan Tuhan, bahwa Tuhan gemar memberi susah pada ciptaan-Nya sendiri. Tapi kesadaran bahwa aku lah yang seharusnya kusalahkan, muncul begitu aku mengenal sosok Day.
Tidak sulit bagiku untuk menggambarkan perawakan Day. Ia seperti gadis-gadis kebanyakan, umurnya masuk kepala dua, tapi posturnya tidak juga bertambah tinggi semenjak aku mulai mengenalnya, seratus enam puluh senti. Beberapa hari yang lalu rambutnya masih lurus panjang, tapi dengan alasan klasiknya-gerah, malas keramas-ia lalu memotong mahkotanya itu hingga tinggal sepanjang bahu. Sehari-harinya ia nyaman hanya dengan mengenakan kaos dan celana jeans belel-casual style, istilah modernnya. Paras wajahnya nyaris serupa gadis Arab, dengan alis yang tebal, mata bening yang besar, hidung bangir, dan dagu berbelah, aku pernah menudingnya bahwa ia sebenarnya keturunan langsung kakek buyut Shah Rukh Khan.
Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan Day. Walau aku mengaku sudah berteman lama dengannya dan mengatakan bahwa aku mengerti dia, aku sebenarnya tidak benar-benar mengerti jalan pikirannya. Ia selalu memasang wajah yang berbeda dengan hatinya. Meski di saat-saat tertentu ia tidak bisa lagi menahan dirinya untuk tidak jujur dengan perasaannya, lalu menangis di depanku. Di saat itulah sisi perempuannya terlihat.
“Juno Derian!”
“YA PAK!?” Aku terhenyak.
“Mana Shadday!” Teriak Pak Wono, pemimpin redaksi yang bertubuh ceking itu.
“Err-Sepertinya belum masuk Pak.” Aku menjawab terbata-bata.
“Kurang ajar itu anak!” Pak Wono menghempaskan sejumlah map ke atas meja seorang karyawan yang sedang tertidur, membuatnya terperanjat sembari bergumam aneh.
Day sebenarnya karyawan yang memiliki kinerja cukup baik, kalau saja ia menyadarinya. Tapi aku tidak yakin kali ini ia akan lolos dari amarah Pak Wono. Day sudah terlalu sering terlambat masuk kerja. Ia beruntung bisa terhindar dari Pak Wono, karena bantuan Venus. Pemimpin redaksi itu mata keranjang, sekaligus penjilat yang sungguh ahli di bidangnya. Menurut gosip yang beredar di kantor, Pak Wono bisa sampai di posisi pemimpin redaksi juga karena menjual harga dirinya. Entah bagaimana detail dari kisah ‘menggelikan’ tersebut.
“Begitu dia nongol, suruh dia menghadap saya! NGERTI?”
“Iya Pak.” Jawabku pendek.
Sosok ceking itu pun berbalik badan dan bergegas melangkah keluar dari ruangan kantor. Bau parfumnya yang menyengat seakan seperti debu yang melayang-layang tersapu oleh sepatu kulitnya, yang dibeli dari uang hasil menjilat. Entah kenapa orang yang seperti itu bisa hidup sukses, setidaknya terlihat lebih sukses dariku. Yang mencoba bertahan hidup dengan idealisme diri.
Aku tidak begitu ambil perduli dengan kehidupan orang lain yang tidak begitu ingin kukenal, tapi tetap saja aku merasa bahwa orang seperti Pak Wono tidak pantas hidup enak oleh keahliannya menjilat atasan. Hanya karena pandai membual, mata orang-orang jadi tertutup atas kredibilitasnya sebagai pemimpin redaksi-yang masih sangat perlu dipertanyakan.
“Jun, nggak hunting?”
Derap sepatu Venus yang berjalan mendekat terdengar jelas di antara keriuhan kantor. Wanita berambut panjang bergelombang itu menjinjing bungkusan plastik yang lumayan besar. Alis tebalnya sedikit terangkat, ketika sepasang mata birunya mendelik kesana-kemari mencari sesuatu.
“Day telat lagi?” Tanya Venus seraya meletakkan bungkusan plastik ke atas mejaku.
“Seperti yang lu liat.” Aku memberikan perhatian pada bungkusan plastik yang dibawa Venus. “Apa nih?”
“Ada aja.”
“Apaan sih?” Aku mendekatkan kepala dan mencoba memasukkan tangan ke dalam bungkusan.
“Eh, nggak sopan ya!” Venus seketika memukul tanganku dengan keras.
“Cantik cantik, kasar.” Aku terkekeh-kekeh. “Buat siapa?”
“Rayi.” Jawab Venus seraya mendelik ke arah arlojinya. “Kok Day belum masuk juga sih, Jun? Nggak biasanya telat sampe jam segini.”
Venus sungguh sosok wanita yang sempurna, tidak memposisikan diri di atas langit meskipun ia berasal dari keluarga yang berada. Satu lagi hal di dunia yang membuatku heran, selain Pak Wono si penjilat itu. Yaitu kesendirian Venus yang kurasa sangat tidak rasional. Bagaimana bisa tidak ada lelaki yang mendampingi wanita sebaik dan secantik Venus. Sebagai eksekutif muda yang terbilang sukses, Venus mestinya dengan mudah memiliki lelaki manapun yang diinginkannya. Kuharap ia juga menginginkanku, tentu saja.
“Coba kamu telfon Day deh.” Kata Venus.
“Mau isiin pulsa gue, nggak?” Aku balas bertanya, sambil tersenyum lebar.
“Uh, dasar!”
Venus mengambil ponsel dari tas tangannya lalu memencet-mencet tombol. Dikibaskannya rambut panjangnya yang menggelung dan berwarna kecokelatan, kemudian ditempelkannya ponsel ke telinganya. Aku yang masih penasaran dengan isi bungkusan plastik, mencoba merogoh isinya ketika tangan kiri Venus kembali memukul tanganku dengan lebih keras.
“Nomernya Day nggak aktif.”
“Ponselnya nge-drop kali, dia kan suka lupa nge-charge.” Ucapku sambil menyalakan rokok.
“Sehari aja nggak ngerokok di depanku bisa kan, Jun!” Seru Venus sembari mencomot rokok dari mulutku dan membuangnya ke tempat sampah.
Venus mengambil bungkusan plastik dari atas meja dan melangkah pergi. Derap sepatu berhaknya kembali mengisi keriuhan, yang semakin lama semakin terdengar menjauh sebelum akhirnya benar-benar menghilang. Beberapa molekul wewangian dari tubuh Venus melepaskan diri dan mengisi udara di sekitar. Menenangkanku sejenak, sebelum akhirnya aku tersadar.
“Aduh, stok terakhir tuh hari ini.” Gumamku seraya menggaruk-garuk kepala.
Di sela-sela riuh rendah kesibukan para karyawan di kantor dan kesibukanku meminta sebatang rokok pada teman sebelah meja, tiba-tiba ponselku berdering. Hanya misscall saja palingan, pikirku, maka kuacuhkan. Namun deringnya tidak juga berhenti, setelah berhenti, ponselku berdering lagi. Siapa rupanya yang begitu ingin mendengar suara serak-serak rocker yang merdu ini.
“Halooo?” Aku memutus dering itu, mengangkat panggilannya.
“Jun, sorry ngeganggu.” Kata suara dari seberang, yang terasa tidak asing bagiku.
“Lu Day? Pake nomer siapa nih?”
“Tetangga, handphone gue nge-drop, lupa nge-charge.” Jawabnya dengan nada agak risau. Aku terkekeh sesaat, lalu terdiam seketika, saat ia mulai bicara lagi dengan nada serius. “Jun, gue benci ngomong ini. Tapi gue hampir nggak kuat lagi.”
Aku diam saja, sudah paham dengan apa yang akan diutarakannya. Sudah menjadi kebiasaan Day, meneleponku saat sedang sibuk di kantor, ketika ia sedang dirundung masalah. Ia jarang sekali terbuka pada orang lain, maka aku tidak sekalipun ingin membuatnya kecewa di saat ia sudah memilihku sebagai orang yang dipercayainya. Aku lalu merelakan pekerjaanku terbengkalai, demi untuk mendengarkan keluh kesahnya.
Day lalu memulai pembicaraan tentang dirinya, hidupnya, dan Rayi. Telingaku larut dalam suaranya yang agak serak, bercampur isakan yang membuat ia kadang terbata-bata bicara. Ia memberitahuku bahwa hampir mustahil sekarang ini untuk menggantungkan hidupnya pada gaji, karena lembaran-lembaran rupiah yang diperolehnya setelah lelah lembur setiap hari selama sebulan itu nyaris habis disedot rentenir untuk menutup hutangnya. Hutang peninggalan almarhum Ayahnya, sebenarnya.
- - - -
1st Chapter by Bernard S. Y. Batubara
No comments:
Post a Comment