Friday, March 28, 2008

Jack

-

Bab I
Mahluk Cantik di Kereta Listrik


Jago menggeliat. Matanya dibuka sedikit. Suara adzan di mesjid menggaruk-garuk telinga yang membuat mimpinya terusik. Padahal barusan dia sedang bermimpi mengejar Beti, cewek tetangga sebelah yang demplon dengan bulu-bulu yang bersih. Dan yang lebih syur, dia masih perawan.Wah sudah saatnya gue bertugas, bisik hatinya. Matanya dibuka lebar, otot-otot kakinya bekerja mengangkat kedua tungkai kakinya untuk membantunya berdiri. Batuk-batuk sebentar, mengibaskan kedua lengannya yang kekar dan berbulu, kukuruyukkk!!!!

Bletak!

Beker itu berhenti berteriak. Sepatu kets baru saja menghantamnya untuk tutup mulut. Jack menggeliat, kelopak mata sebelah kirinya dibuka sedikit mengintip jam dinding di tembok depan tempat tidurnya. Sedikit saja kelopak mata kirinya dibuka. Jack tidak mau lagi untuk yang ketiga kalinya. Beker itu kemarin membangunkannya jam dua dini hari. Padahal Jack sudah memohon untuk membangunkannya tepat setengah lima pagi!.

Jack melempar selimutnya. Kali ini beker itu tidak berbohong. Jack loncat dari tempat tidurnya, menyalakan compo. Because I Got Hig-nya Afro Man dipasang pada level empat belas dengan surround dan XDDS pada posisi on mengiringi Jack berolahraga kecil semisal menggerakan pantat kanan kiri, mematahkan leher ke kiri dan ke kanan . Yah… olahraga kecil sejenis itulah.

“ Jack, kecilin tape-nya!!” teriak Mama Jack yang subuh-subuh sudah sibuk didapur, “ Udah sholat belum?!!!” teriaknya lagi. Kamar Jack ada di lantai dua. Tepat diatas ruang keluarga yang bersebelahan dengan dapur.

“ Oke Mom!” Jawab Jack.

Jack menyudahi olahraga paginya. Memencet tombol off dan kemudian bergegas ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Jack meski tidak bisa dikatakan anak yang alim - tidak seperti si Doel yang kerjaannya sembahyang dan mengaji- suka sholat dan ngaji meski terkadang males-malesan dan sering “belang bentong”. Ini berkat mamanya yang selalu mengingatkan dan menyuruhnya untuk selalu sholat dan mengaji.

“ Rara!,bangun!!!” teriak mama Jack lagi. Ih tuh anak udah umur tujuh belas tahun, bangun aja mesti digubrak-gubrak. Rara adalah adik satu-satunya. Kelas tiga es-em-u. Bentar lagi mo lulus. Rencana dia mo nerusin kuliah di Universitas Indonesia ngambil ekonomi, itu juga kalo lulus ujian saringan masuknya. Papa Jack sudah dua tahun yang lalu meninggal dan syukurnya, Mama dan Rara, begitu juga Jack sudah mulai terbiasa dengan kehilangan sosok suami dan Papa yang begitu mereka sayangi. Untuk menyambung kehidupan sehari-hari, Mama mengandalkan toko kelontong warisan Papa yang ada di pasar Cibinong. Selain itu juga uang pensiunan Papa tiap bulan. Untungnya, Papa sudah mengasuransikan Jack dan Rara sehingga untuk biaya kuliah Jack dan Rara sampai dengan selesai mama tidak perlu repot-repot lagi banting tulang, peras keringat dan putar otak.

Selesai sholat Jack meraih handuk yang tergantung dijemuran sudut kamar. mengedipkan matanya kearah poster orang yang paling dibenci Amerika Serikat, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad yang tertempel di pintu masuk kamar mandi sebelum kakinya melangkah masuk. Setengah enam tepat, Jack harus sudah stand bye di Stasiun Bojong Gede. Itu adalah kereta terakhir yang bisa membawanya terhindar dari amukan “Big Bos”. Pernah satu hari Jack naik kereta dengan jadwal keberangkatan pukul enam lebih lima, dan hasilnya….,

“ Kamu tahu jam masuk kantor disini adalah jam delapan, bukan jam sepuluh!”

“ Tahu Bu Bos!” jawab Jack.

“ Kalo kamu tahu kenapa terlambat?” Tanya Bu Bos, yang ternyata adalah seorang wanita setengah tua dengan tubuh besar, makanya dipangil Big Bos.

“ Jadi begini Bu bos, “ Jack menarik lengan besar Bu Bos membimbingnya untuk duduk dikursi,

“silakan duduk dulu” tambahnya. Jack mengelurkan bungkusan di tas punggungnya.

“ Apa tuh?” Tanya Bu Bos

“ Ya, ini yang membuat saya terlambat masuk kantor Bu Bos” Jack membuka bungkus plastik dan mengeluarkan kotak kardus berwarna ping, “ maklum antriannya panjang dan menyemut, sama seperti antrian ibu-ibu yang mengantri minyak tanah ma minyak goreng bu bos!”

“Comro!!!” teriak Bu Bos dengan volume full. Ih kaya anak kecil nemu permen atau ciki, Bu Bos meraup comro kecil-kecil sekali makan dengan sigap.

“ Emmm, enak Jack!” komentar Bu Bos dengan mulut penuh comro,” Dimana belinya?”

“ Stasiun Cawang Bu Bos

“ Besok kamu boleh terlambat lagi tapi bawakan aku comro sepuluh dus”

Cape deh!. Jack menepuk jidatnya.

Makanya untuk menghindari tekor penghasilan, Jam lima seperempat , Jack sudah meluncur diatas Honda Civic warna item tahun 90-an full modifikasi beraroma sporty menyusuri jalanan karadenan. Say What u Need to Say-nya John Mayer memenuhi ruangan mobil berkolaborasi dengan asap mild . Tepat diperempatan Pemda Cibinong, Jack membanting setirnya ke kiri menuju arah jalan raya Bojong Gede. HP Jack berdering.

“ Halo, Jack disini, siapa disana?”

“ Disini Pato, dimana lo jack”

“ Lima menit lagi gw nyampe, lo tunggu aja ditempat biasa” Jack menutup sony erricsonnya. Pato, temen Jack yang satu ini bertubuh subur. Saking suburnya, Abang Becak disekitar stasiun pada membuang becaknya jauh-jauh tiap kali ada gelagat manusia ini mendekat.

“ Wah, Mas becak saya bisa sakit-sakitan kalo bawa sampean, cari becak yang lain saja” tolak Abang Becak tegas waktu Pato merayunya untuk mengantar pulang.

“ Saya takut kena razia Mas, Petugas tonase di perempatan situ kan ketat sekali” tolak yang lain.
“ Ini bukan becak saya Mas, saya nggak tahu kemana orangnya” Kata Abang Becak yang lain yang sedang menunggu penumpang di sadel joknya, sambil buru-buru turun dan ngeloyor pergi meninggalkan becaknya. Huhh kasihan juga Pato, untungnya kadang-kadang Jack bawa mobil yang dititipkannya ke Bang Amet yang punya usaha penitipan motor dan mobil.

“ Lo sih! Diet napa? Badan lo tuh dah kelewat melar, dah klewat bates. Ga salah Abang-Abang becak itu pada nolakin lo tumpangin becaknya. Lo tahu kenapa?” tanya Jack. Pato menggeleng polos.

“ Pertama, mereka takut becaknya jadi sakit pinggang karena membawa muatan melebihi tonase. Kedua, Abis narik lo, Abang Becak itu pasti sakit dan minta diurut, lo tahu sendiri biaya ngurut lebih mahal dari ongkos lo naik becak. Ketiga, Abang-Abang becak itu takut malah diledekin sama temen-temennya gara-gara nekad bawa lo, yang sudah jelas-jelas merugikan.” Jelas Jack panjang dan lebar. Pato menyimak dan manggut-mangut

“jadi apa yang sebaiknya kuperbuat Jack?, naik angkot susah masuknya secara angkot-angkot disini pintunya kecil-kecil, lagi pula angkot-angkot itu tidak bisa mengantarku sampai depan rumah, naik ojek juga sama mereka pada ogah kalau pun mau, mereka mematok harga yang sudah diatas rasionalitas?” Pato mengucek rambutnya yang galing!,”semprrruuullllll!!” teriaknya.

Selesai memarkir civiv-nya, Jack melangkah satu dua setengah berlari menuju loket karcis. Ada pengumuman dari petugas kereta yang menginformasikan kalo kereta yang ke Jakarta sudah masuk jalur dua. Setelah memperoleh tiket, Jack segera meluncur masuk berlari ke arah selatan menuju rangkaian gerbong paling buncit.

“ Buruan Jack!!” teriak Pato di jendela gerbong paling buncit tepat disebelah kabin masinis belakang. Hupp, Jack melompat. Gerbong masih agak sedikit lengang.

“ Yah berdiri lagi kita..” Jack merapikan rambutnya.

Pato mengangkat bahunya, “ mepet kali kau!” katanya, tangannya sibuk memasang headset untuk mendengarkan mp3 dari ipod.

“ Perut gw mules, Ndut!” jawab Jack. Matanya berkeliling mencari tempat duduk barangkali saja masih ada tersisa. Nihil. Kereta berjalan perlahan. Mata Jack menangkap sosok cantik berlari-lari mengejar kereta dan...wuih dengan nekadnya cewek itu loncat dan ....

Gedubrak!!!

Buku-buku mewarnai itu jatuh berserakan. Buku-buku yang dijual gocengan tiga buku. Di kereta Listrik ini bukan cuma penjual buku yang mencari rejeki. Ada tukang buah salak, tuang buah jeruk, buah naga, buah duku, tukang bingkai foto, casing hp, aksesoris perempuan , rokok, pengamen, penyair, wah seru pokoknya.

“ Aduh maap, saya terburu-buru bang, “ sesal cewek yang barusan menabraknya sambil memunguti buku-buku yang berserakan. Jack memungut sebuah buku yang terlempar ke dekat sepatunya.

“ Ga pa-pa neng. Ditabrak lagi juga boleh ko!” katanya sambil tersenyum

“ ah si Abang bisa aja”

“ Ini satu lagi” Jack menyerahkan buku itu. “ Kalo gw yang nabrak boleh ga bang!” Tanya Jack. Si Abang buku melirik, melotot, ngeloyor. Jack tersenyum.

“ Maap ya Bang!”teriak cewek itu masih menyesal. Sekilas Jack menangkap tangan Si Abang diacungkan membentuk tanda peace!.

“ Buru-buru ya!”

“ Iya hampir ketinggalan kereta tadi.” Mata indahnya melirik alexandre christie. Bibir tipisnya merengut. Tubuh tinggi langsingnya di bungkus setelan baju kerja warna hijau tua. Tas Gucci sewarna ngegantung dibahu sebelah kiri. Seseorang menawarkan tempat duduknya, tapi ditolak dengan halus. Yess!!, hati Jack bersorak.

“ Jack…” Jack menyodorkan tangannya, Pato menyodok perut Jack.

“ Amel” sambutnya

“ Ini temen gw, Pato” Jack mengenalkan gajah disampingnya yang sedari tadi kasak kusuk minta dikenalin. Pato menyodorkan tangannya.

“ Ih gede banget!” ringis Amel.

“ Pato, yah udah dari sononya nih.” Jawab Pato sambil garuk-garuk kepala.

“ Turun dimana?” tanya Amel

“ Cawang, kamu?” tanya Jack

“ Juanda”

Kereta Masuk Stasiun Citayam. Dan kereta pun semakin penuh.

“ awww!! Gentong!, tahan dong, dih nih badan gede amat lagi, uh hrggghh!!” omel laki-laki berperawakan kurus pendek tangannnya mendorong-dorong tubuh Pato.

“ Yeh Ceking!, aku juga didorong-dorong orang” bela Pato. Kasihan juga sih tuh orang. Dan Amel.... dia semakin merapat ke tubuh Jack.

“ Woi!! Jangan main sikut dong!” bentak Pato, rupanya sikurus udah mulai ngga tahan dengan tekanan tubuh Pato.

“ Masa bodo!!, makanya kalo naik kereta jangan bawa-bawa karung beras!”
Pato mendelik, “ Eh kurus!, Badan lo aja yang kekecilan kurang makan, jangan salahin gw dong pake ngatain bawa karung beras!”

Kereta berjalan perlahan, dan tubuh Pato semakin menekan si kurus, Hmmmfhh!!!. Amel tersenyum, Jack membalasnya.

“ Penuh sekali ya?” Amel membuka pembicaraan

“ Biasa, …baru ya?”

Amel mengangguk.

“ Biasanya aku bawa mobil sendiri”

“ Masuk bengkel ya?”

Amel menggeleng. Tubuh jangkungnya semakin merapat. Ada beberapa orang yang hendak turun. Dikereta Listrik ini, turun adalah perjuangan yang maha dahsyat. Menyelinap diantara kepadatan penumpang yang lepek dan bau asem ketek bercampur reramuan pewangi tubuh. Jack tidak hendak mengorek lebih jauh kenapa mahluk cantik didekatnya ini beralih ke kereta. Jack sendiri dulu pake motor pergi kekantor. Tapi lama-lama badan remuk tiap hari pulang pergi menempuh jarak kurang lebih 50 kilo-an. Pernah juga pake mobil, Cuma menurut itung-itungan ekonomi, tidak hemat alias boros. Lagipula bukannya Jakarta sudah terlalu padat dengan kendaraan bermotor. Jack mau dong jadi contoh teladan buat orang-orang yang menggunakan kendaraan pribadi agar beralih menggunakan transportasi massal. Kereta Rel Listrik ini misalnya. Terus untuk menuju ke tempat kerjanya masing-masing, busway lumayan juga.

“ Bagus deh, semakin banyak orang yang beralih ke transportasi massal, semakin ringan pemerintah kita menanggung subsidi BBM non” ujar Jack. Amel tersenyum.

“ Dah nyampe mana nih Jack?”

“ Lenteng Agung..”

Kereta tambah sesak. Biasanya setelah Cawang kereta listrik ini akan sedikit lengang. Jack melihat Pato masih sibuk dorong-dorongan sama si Kurus.

“ Kamu setuju tidak dengan perjodohan Jack?” Tanya amel serius

“ Hmmm…duh berat banget pertanyaannya?” Jack mengucek rambutnya, “ Kamu dijodohin?” Jack balik nanya. Amel menggeleng.

“ Tanya aja, lumayan kan buat ngilangin bete”

“ Perjodohan…hmmm, Pato seneng dijodohin. Soalnya dia susah dapet cewek kalo usaha sendiri. Maksud gue, setuju sama ngga setuju itu tergantung dari orangnya. Dan perjodohan bukan hak milik mutlak jaman siti nurbaya. Jaman kita juga boleh ko ada perjodohan sebatas tidak memaksakan. Kamu sudah melihat film ayat-ayat cinta kan?. Fachri pun dijodohkan guru ngajinya dengan Aisha. So..ga da salahnya dengan perjodohan.”

“ Betul Mel!, aku juga senang sekali tiap kali mami menjodohkan aku dengan Gadis-gadis desa tempat asal mami ku tinggal. Cantik-cantik Mel. Tapi sayangnya mereka semua belum menjadi jodohku.” Pato ikut nimbrung. Sesekali pantat besarnya digoyang-goyang menekan si kurus.

“ Terang aja ga da yang jodoh ma lo!, Karung!” si kurus meningkahi, “hmmmfhh!!” tekanan si Pato makin besar.

“ Gitu ya jack..” ujar Amel pelan tanpa semangat. Butir-butir keringat membasahi kulit mukanya. Kasihan juga cewek cantik seperti Amel harus bersimbah keringat. Jadi kapan dong pemerintah bisa menyediakan angkutan massasl yang nyaman dan murah??.

“ O ya Jack, kamu sendiri gimana kalo dijodohkan?”

“ Aku....dijodohkan? “ Jack terkekeh, “ Mamiku nggak mung..”

“ Andai..” potong Amel

“ Dengan alasan apa orang tuaku menjodohkan aku?”

“ Untuk melanjutkan hubungan pertemanan orang tua kamu misalnya?”

Jack mengucek rambutnya lagi,” Mau kalo dijodohin ma Amel hehehe…”

“ Serius nih, Jack” amel merajuk.

“ Yah seperti yang aku bilang tadi, ga da salahnya selama tidak ada unsur pemaksaan didalamnya. Lagian kenapa sih nanya sampe gitu banget, jangan-jangan…”

“ Ga lah…..dah nyampe mana kita?”

“ Pasar Minggu”

Si Pato ribut-ribut lagi sama si kurus. Agaknya si kurus mau turun di Stasiun Pasar Minggu.

“ Minggir dong lo!!” bentak si kurus

“ Minggir kemana Ceking!” Jawab Pato sambil berusaha memberi jalan.

“ Yah berangkat lagi deh keretanya!” Si kurus marah-marah.

“ Ya sudah kau ikut aku saja sampe cawang, hehehe” Pato tertawa puas. Amel menggeleng-gelengkan kepalanya. Jack tersenyum.

“ Mel, aku turun di Cawang, hati-hati ya, jaga dompet kamu. Banyak copet “ bisik Jack. Amel mengangguk. “ Besok masih naik kereta kan?”

“Ya..” Amel mengangguk lagi. “ Aku boleh minta no Hp kamu?” Amel mengeluarkan Nokia dari tasnya.

“081xxxxxxxxx, kamu?”

“081yyyyyyyyy”

“ Oke deh samapi ketemu besok”


1st Chapter by Irwansyah

Read More ......

Dalamnya Secangkir Teh

-Dalam ruang besar bernuansa emas, beriring Gending mendayu…

Karpet merah panjang digelar menjadi jalan setapak menuju pelaminan bernuansa emas. Pilar-pilar tinggi digelayuti kain-kain cokelat keemasan. Meja-meja hidangan berbalut kain putih dengan peralatan saji perak berkilau-kilau. Stand-stand kecil di tepian ruang merebakkan aroma berbeda di setiap tempat. Bunga-bunga putih bersemu kekuningan disapa lampu-lampu yang tertanam di langit-langit gedung, sementara daun-daun hijau yang terangkai bersamanya melengkung-lengkung anggun. Kilat-kilat lampu blitz turut meramaikan suasana, merangkum bahagia di pelaminan dan sebagaian lainnya menangkap hilir mudik para tamu dengan berbagai gaya, senda gurau formil, dan piring-piring makanan di tangan masing-masing.

Ini adalah kegiatan favoritku beberapa tahun terakhir. Berawal dari sebuah undangan pernikahan dari beberapa kerabat, kemudian teman, lalu tetangga, lalu tidak ragu lagi menemani teman untuk datang ke pesta seperti ini, hingga terbiasa memakai sepatu berhak tinggi karena seringnya pergi ke pesta pernikahan. Aku sangat menikmati jamuan pesta pernikahan. Menatapi dekorasi-dekorasi gedung, mengagumi pakaian-pakaian pengantin, menyapa orang-orang yang sebenarnya hanya sedikit kukenal dan mencicipi makanan-makanan aneka jenis.

Satu-satunya yang mengganggu dari pesta-pesta ini hanya, sebuah pertanyaan, : “Kapan nyusul?”

Dan teringatlah teman-temanku yang entah kenapa banyak yang menikah muda. Belum lagi sepupu-sepupuku yang susul -menyusul menentukan tanggal pernikahan.

Memangnya menikah hal sepele?! Menikah muda lalu kandas bagiku bukan masalah ‘sudah bukan jodoh’ atau hanya ‘tidak cocok lagi’, tapi pemikiran yang kurang matang dan tidak berpegang pada prinsip yang benar. Yeah, setidaknya begitu bagiku. Tapi aku selalu mengacungkan jempol untuk orang-orang yang berani menikah muda demi sebuah prinsip dan berani menghadapi resiko apapun termasuk kegagalan itu sendiri.

Aku ingat… pernah kubaca dalam sebuah buku,

“Bencana kadang datang dari sebuah pemikiran dengan kehati-hatian sempurna.”

Kalimat bagus kan? Kalimat yang bagus dan sangat menyindir di lain pihak. Sebenarnya membuat bulu kuduk merinding. Kalau sebuah kehati-hatian saja bisa mendatangkan bencana, bagaimana kalau tidak? Atau malah sebenarnya sedikit berpikir bisa membuat segalanya lebih baik? Yang benar saja?! Aku adalah seorang pecandu kehati-hatian sampai hari ini tapi aku tidak pernah melihat ada yang salah dengan itu.

Aku membuat beberapa keputusan bagus. Mungkin bukan yang paling bagus, tapi setidaknya tidak merugikan siapapun. Aku selalu bermain aman, tidak ada yang menganggap remeh aku dan keputusanku, semuanya setidaknya semuanya selalu ada di tempat yang aman. Dan satu lagi, orang selalu bertanya padaku kalau hendak membuat keputusan. Bukankan itu berarti bagus?

Hmmm…

Kecuali… harus berpikir sampai injury time, kurang tidur berhari-hari kalau harus memutuskan sesuatu, tidak bisa makan enak kalau aku merasa berat badanku sudah mulai naik, daaa…n… beberapa orang pikir aku sangat pelik, hingga beberapa lelaki mundur teratur dari barisan kandidat calon pendampingku, ada yang berusaha sampai babak belur karena terpaksa kutolak saja, dan lainnya masih mengantri-aku rasa-, meski akhirnya aku tidak tahu lagi apa sebenarnya yang aku cari dari mereka karena terlalu banyak berpikir.

Kenapa aku melakukan ini pada hidupku? Aku cuma mau main aman. Kalau semuanya aman, resiko yang dihadapi tidak akan pernah terlalu besar---aku rasa---. Semuanya akan berjalan mulus dan baik-baik saja kalau aku tidak pernah terburu-buru, dan berhati-hati memikirkan semuanya. Iya kan?

Well, anyway…aku Gia, Asisten Direktur Utama sebuah perusahaan konstruksi bangunan bernama Awiseukeu. Bosku, ---laki-laki 55 tahun, sudah beristri dan memiliki dua anak, yang kebetulan salah satu anaknya adalah aku---, Hamdi Hamidjaya, merintis perusahaan ini bersama beberapa temannya. Umurku… akan 24 dalam beberapa bulan. Awalnya aku tidak pernah berpikir aku harus memikirkan arti umurku ini, tapi setelah beberapa saudara ayah dan ibuku mulai bertanya kapan aku akan menikah---ditambah sepupu-sepupuku sudah mulai mengakhiri masa lajangnya di usia muda, bahkan ada yang lebih muda---, aku terpaksa jadi mulai memikirkannya. Seperti hari ini, dalam pesta pernikahan anak sahabat ibuku yang hanya lebih tua dua tahun dariku.

Well, this is it… aku dan sebuah pencarian. Aku yakin Aku akan menemukannya. Di suatu tempat, yang mungkin tidak pernah aku duga. Tidak di usiaku yang ke-24 mungkin. But slowly. …and carefully.

Gia

“Pagi Marlina!”

Tidak ada yang lebih indah dari seulas senyum tulus di Senin pagi. Lebih lengkap ditambah secangkir kopi atau teh hangat, sepotong sapa dari orang-orang spesial kalau ada, dan tanpa suguhan setumpuk dokumen atau memo.

Gia tersenyum sendiri. Baru saja ia berpapasan dengan Kang Harun, Satpam merangkap tukang parkir kantor, yang sedang menyapa penuh cinta, Marlina, pelayan warung makan di seberang kantor, pujaan hatinya. Marlina yang sedang menyebrang jalan menuju warung makan tempatnya bekerja, hanya menjawab lirih sambil tersipu. Kalau bukan karena Mang Adun yang membawa Kang Harun ke pinggir gerbang, Kang Harun pasti sudah diomeli Putri sahabat Gia yang sedang memarkir mobilnya. Bagaimana tidak, sementara Putri sedang sibuk memarkir mobil, Kang Harun tiba-tiba saja berhenti mengomandoi arah parkiran dan berdiri di belakang mobil yang dikendarai Putri sambil melambai-lambai pada Marlina. Gia lebih suka turun terlebih dulu dari mobil, dan membiarkan Putri memarkir mobil daripada melihatnya mengomel.

“Pagi, Lan!” Sapa Gia waktu masuk ke ruang depan kantor.

Wulan sang penunggu front desk masih sempat tersenyum ramah, meski ia sedang menerima telpon.

Gia baru saja berniat menengok ke tempat parkir, waktu Putri akhirnya muncul dengan wajah tertawa.

“Dasar, Kang Harun!!”

“Kenapa? Masih dadah-dadahan sama Marlina?” Tanya Gia.

Putri sekarang benar-benar tertawa, “Iya, terus tadi disundul sama mobilnya Pa’ Arif gara-gara markirin ngga bener! Hahaha…ngeliatin melulu Marlina, sih!!” Ia tergelak sambil memegangi perutnya.

Gia jadi ikut tertawa. Kasihan Wulan, susah payah ia menahan tawanya sambil menerima telpon. Gia meletakkan telunjuknya di bibir, menyuruh Putri diam karena Wulan sedang menerima telpon, lalu mengajaknya naik ke lantai tiga, ke tempat dimana biasanya pekerjaan mereka sudah menanti.

Gia baru bekerja selama delapan bulan di Awiseukeu Holdings, menggantikan asisten sebelumnya yang sekarang sudah diangkat menjadi koordinator lapangan proyek di luar kota. Sebenarnya pekerjaan ini tidak sulit buat Gia, karena selain subjek yang harus diasisteninya adalah ayahnya sendiri, juga karena dulu Gia pernah bekerja di Event Organizer yang pekerjaan sehari-harinya atur-mengatur jadwal, menghubungi klien, dan menangani dokumen-dokumen penting. Hanya saja, karena posisi ayahnya yang Direktur Utama, Gia kadang merasa orang menganggap dirinya bisa bekerja di perusahaan ini cuma karena itu, bukan karena kemampuan yang dimilikinya. Tidak banyak orang yang tahu, kalau untuk duduk di posisi ini, Gia juga dibandingkan dengan beberapa nama dan dengan banyak pertimbangan. Malah lebih banyak.

Trululululut…Trulululululut…

Telpon di meja Putri berbunyi. Gia yang sedang memeriksa beberapa dokumen mulai terganggu, karena Putri belum, juga mengangkat teleponnya. Gia menengok ke meja Putri dari kursinya.

“Lho… kemana sih Putri?” gumamnya ketika melihat meja Putri kosong.

Trululululut…Trulululululut…

Telepon di meja Putri terus berbunyi. Gia baru ingat Putri sedang dipanggil Pak Syarif ke ruang rapat. Gia berdiri dari kursinya, lalu berjalan mendekat ke meja Putri yang letaknya berseberangan dengan mejanya.

Gia baru saja sampai di meja Putri ketika telepon itu akhirnya berhenti berbunyi.

“eh… orang disamperin…” Gia tidak jadi mengangkat telepon, dan bersiap kembali ke mejanya.

Trululululut…Trulululululut…

“eeeh…” gumamnya gemas. “Halo, Awiseukeu Holdings, Selamat Siang.” Sapa Gia ramah seketika.

“Halow, Ndut!” Jawab si penelpon.

Alis Gia mengangkat mencoba mengingat-ingat suara penelpon pria itu, “Maaf?”

“Eh… halow… bisa bicara sama Putri?” Si penelpon mengulang kalimatnya. Kali ini lebih pelan dan lebih sopan dari sebelumnya.

“ Maaf Pa, Putri sedang tidak ada di tempat. Ada pesan mungkin yang bisa saya sampaikan?” Kata Gia.

“Oooh sori, sori… ngga usah deh. Nanti saya nelpon lagi aja. Tolong sampein aja, ini dari Adit.” Kata si penelpon.

Detik itu juga Gia tertawa pelan, “Oooohhoh, Adit? Iya ntar Gia sampein, ya. Putri lagi dipanggil sama bosnya. Kenapa Wil? Mau kesini?” Tanya Gia.

“Eh, Gia! Kirain si Ndut! Euuuh… ngga sih, Gi. Eh, iya sih. Eh bukan, maksudnya gini, Gi, hari Sabtu ini ulang taunnya Santi, kemaren Putri ngajakin beli kado bareng. Cuman mau mastiin aja jadi apa ngganya.” Kata Adit dengan logat sunda dan gaya bicaranya yang lucu menurut Gia.

“Ya ampun, mau janjian aja sampe grogi gitu. Ko tumben nelponnya ke kantor?” Tanya Gia.

“Abis dari tadi Putri ditelponin ngga diangkat-angkat. Lagi kemana sih, Gi?”

“Iya lagi sibuk, Wil. Ni kan udah mau awal bulan. Ntar kalo udah gajian pasti ngga sibuk banget kaya gini deh.” Hibur Gia.

“Oh gitu ya?” Suara Aditterdengar melemah di telinga Gia.

“Ko lemes? Udah deh, ntar Gia ingetin Putri biar nelpon kamu ya?” Kata Gia.

“Iya deh. Makasih ya, Gi. Haturnuhun pisan!” Kata Adit.

“Sama-sama.”

Aditmenutup telponnya.

Gia duduk di tepi meja Putri sambil memandangi telpon yang sudah ditutupnya barusan. Adit, sahabat Putri sejak kuliah. Sangat dekat sampai ia berpikir, Aditdan Putri pasti punya perasaan khusus satu sama lain, meski Putri tidak pernah mau mengakuinya.

Gia tersenyum sendiri.

Tau apa aku soal cinta…ngga pernah bener-bener jatuh cinta juga sama orang.

‘Kiit…’

Tiba-tiba saja seperti ada suara berdecit dari ujung kuku yang menggaruk ke papan tulis kapur, datang jauh dari sebuah ruang dalam dirinya. Herannya suara itu begitu jelas dan menyiksa. Membuat gigi-geligi terasa linu. Gia berjengit dan bergidik, lalu tersenyum kecut sendirian.
Ketika teman-temannya kala SMP mulai tengok kanan-kiri, sibuk meramu sebanyak-banyaknya formula tipe pria idaman yang ideal, Gia cuma ikut tertawa, mendengarkan atau kadang-kadang sedikit merasa iri kalau salah satu dari mereka mulai dilanda proses ‘pe-de-ka-te’. Waktu SMU, teman-teman Gia adalah sekumpulan jomblo-jomblo bahagia, yang meski terdiri dari laki-laki dan perempuan, tapi tidak pernah sekalipun terjadi cinta lokasi. Hanya main bersama, menertawakan orang putus cinta bersama, membuat fans club sendiri di bawah pohon setiap jumat siang di sekolah atau secara umum disebut ‘ngeceng berjamaah’, mengasihani diri masing-masing yang tidak juga bisa dapat pacar selama dua tahun terakhir di SMU, untuk kemudian lulus bersama dari SMU, dan masuk ke Perguruan Tinggi idaman masing-masing. Kalau ada yang kita dapat, pasti ada juga yang harus kita lepaskan. ‘Tul?

“Fuh… kalau orang bisa jatuh cinta sampe kaya gitu… kenapa aku ngga bisa? Sedikit aja…” Gumam Gia.

Tanpa disadari Gia, Astrini sekertaris bagian marketing sedang memperhatikannya sejak tadi. Astrini mengendap, menjajari Gia lalu menepuk dua tangannya keras-keras,

“Hayooo, siang-siang ngelamun!!” seru Astrini, sampai Gia melompat berdiri.

“Ampuuuun!” Gia mengelus dada, “Ngagetin aja, ah!”

“Hehehe… bukan apa-apa, ntar mejanya Putri bisa ambruk tu didudukin begitu terus, apalagi sambil ngelamun… tambah berat deh!” Kata Astrini sambil berlalu ke mejanya lagi.

“Maksudnya…?” Gia mendelik.

Astrini malah nyengir, “Ngga ada maksud apa-apa…Hehehe…”

Gia memegangi perutnya, lalu lengan, kemudian pipi, “Emangnya Gia keliatan gendut banget, Rin?”

Astrini tersenyum kecil, ia duduk di kursinya lalu menjawab, “tergantung… kalo terus-terusan ngelamun siang-siang, ya bisa jadi.” Astrini sekarang menambah porsi senyumnya menjadi tawa geli.

Gia kembali ke mejanya sambil mencibir, “Seneng! Ngeliat orang bingung, seneng!” gerutunya.
“Tuh, kan! Makin gede pipinya kalo kaya gitu!” Astrini meneruskan tawanya.

Gia jadi ikut tertawa. Ia tahu pipinya yang besar, hanya akan sedikit mengecil kalau ia menjadi kurus, karena sudah dari sananya tercipta tembam. Ia juga tahu sekurus apapun dia, tidak akan pernah selangsing Paris Hilton, karena tulang-tulangnya sudah terlanjur besar-besar. Jadi buat apa merasa tersinggung kalau orang bilang pipinya tembam atau badannya terlihat besar, toh memang sudah jadinya begitu.

Jemari Gia kembali menelusuri tulisan-tulisan dalam dokumen yang ditinggalkan ayahnya untuknya sebelum berangkat ke Malaysia kemarin. Ada beberapa memo yang tampak ditulis terburu-buru hingga butuh waktu untuk mengartikan maksudnya, beberapa kali Gia mengerutkan kening, sesaat kemudian menghembuskan nafas, baru kemudian berhasil menterjemahkan tulisan ayahnya ke dalam agendanya sendiri.

“Heran, Ayah padahal bukan dokter tapi tulisannya ko kaya resep. Hihi…” Gia bicara dengan pelan pada dirinya sendiri.

Akhirnya dokumen-dokumen itu selesai juga ditelitinya. Beberapa sudah dimasukkannya ke dalam agenda, yang lain masuk ke arsip dan beberapa masuk ke mesin penghancur kertas.
Gia tengok kanan-kiri. Astrini nampak masih asyik dengan komputernya, sementara Putri belum kembali juga dari ruang rapat. Gia tersenyum senang. Ini adalah saatnya melakukan observasi. Dikeluarkannya sebuah buku dari dalam tas kerjanya. Buku yang sudah beberapa hari menemani hari-harinya sebelum pergi tidur, atau di saat pekerjaannya sudah selesai dan ayahnya sedang tidak ada di tempat seperti sekarang.

Buku yang sekarang dibaca Gia adalah tentang, tipe-tipe laki-laki. Sebelumnya Gia sudah membaca beberapa buku, soal hubungan Mars dan Venus dari A sampai Z, bahkan sampai nyaris hafal setiap kalimat-kalimat penting yang ada di dalam buku itu. Nah, menurut Gia buku yang terakhir ini adalah salah satu cara untuk melakukan observasi, tentang berjenis-jenis tipe laki-laki, dan pada laki-laki seperti apa dia mungkin bisa jatuh cinta. Karena menurutnya, beberapa kali ia ikut ngécéng berjamaah dengan teman-temannya waktu SMA dulu, belum pernah ada yang membuatnya jatuh cinta. Hanya suka karena berwajah lumayan, bersimpati karena baik hati, atau kagum karena pintar. Standar. No heart feelings.

“Heh!” Sebuah tepukan mendarat mantap di bahu Gia.

“Ya ampun!” Jantung Gia nyaris melompat keluar dari sarangnya.

“Baca apaan tuh?” Putri mengintip ke buku di pangkuan Gia, “Pria dengan tipe ini biasanya…”

“Eh, ngintip lagi! Sana-sana!” Gia mengibas-ngibaskan tangannya.

“huuu!” Putri mendorong pipi tembam Gia.

Gia mencibir, tapi lalu ingat pesan Adituntuk Putri, “Eh, Put. Barusan Adittelfon, katanya HP kamu dari tadi ditelfonin ngga diangat-angkat jadi dia nelfon ke sini.”

Putri duduk di kursinya, “Mo ngapain katanya si Adit?”

“Katanya… jadi ngga mau nyari kado bareng buat Santi, Ndut?”Gia mengulang pesan Adit.
Putri mendelik, “Ngga usah ikut-ikutan deh!” Lalu menuju mejanya tanpa berkomentar apa-apa lagi.

“Emang dia ngomongnya gitu...”

“Ya terus emangnya kamu mesin rekam pesen, mesti persis segala? Phelieee..s!” Putri mengangkat alis kepalanya bergoyang kiri kanan.

Kalau sudah begitu Gia hanya bisa tersipu. Putri memang begitu, ekspresif dan tanpa basa-basi. Gia mengereyit, “udah cuman gitu doang? Ngga rame banget sih!” Gia kembali pada bukunya.
“Mmmakksuddh Jueng Mueigya?” Tangan-tangan Putri berhenti membereskan dokumen-dokumen yang baru dibawanya dari ruang rapat.

“Ya apa ke… cerita ke… pe-de-ka-te-nya udah sampe mana…” Gia menggigit lidah, sambil tertawa jahil.

Putri mendelik, “Pe-de-ka-te? Apaan sih?!”

“Kalo kata Gia mah… cowo kaya Adittu kurang baek apa sih, Put?”

Putri melotot, “Haduuuhh!! Ngomongin itu lagi, itu lagi! Putri sama si Adit mah udah ngga mungkin ada acara pedekate- pedekate-an, Gi! il-fil! ngga selera!"

“Ya kenapa? kurang baek?”

“Gi… Si Adit tu emang orangnya baek, malah baek banget.” Kata Putri, “kadang-kadang.”

Imbuhnya. “Tapi kalo baek ngga berarti harus ada apa-apa kan?” Putri melotot lagi. Seraya membereskan tasnya, “Ayo Gi, ah! Jangan ngomongin si Adit terus. Sakit perut Putri mah, kalo ngomongin dia terus Teh. Udah jam setengah lima lagi. Pulang yu!”

“Huuu dasar! Ngeles! Terus aja ngeles! Liat aja ntar, suatu hari ntar… Adit pasti bakalan…”

“Gi…Gi…” Putri memalingkan tubuhnya, lalu memasang tampang memelas, “Pliiisss… udah dooong… mending cepet pulang yu.. Putri laperrr… lapeeer banget!” mohonnya.

Gia mencibir, lalu segera bangkit dan menggamit tas tangannya.

(^-^)

Dalam Picanto Hitam Yang Melaju…

“Ketemuan?” Gia melirik pada Putri di sampingnya. Ia memindahkan ponsel ke telinga kirinya,

“Hmmm… eng, sori banget ya, Wan… Gia lagi banyak kerjaan banget. Ngga boong, beneran…

Yeah… padahal kan seneng banget ya bisa ketemuan sama anak-anak… hehehe…”

Putri mendelik, ia sudah tahu dengan siapa Gia bicara. Putri melepas pedal gasnya perlahan, lalu menginjak rem lembut, berhenti tepat di batas zebra cross.

“Ooh…yang laen juga ngga bisa? Yaaahh…eng, gini aja deh, kalo anak-anak yang laen pada bisa, kamu kasi tau Gia, gimana? Siapa tau ntar Gia bisa minta ijin keluar… gimana?” Gia meringis sambil melirik Putri sekali lagi.

Putri menoleh, lalu tertawa mencemooh tanpa suara.

“Oke, kedengerannya bagus. Yup!” Gia mengurut dadanya, “Oke, Wan, Gia tunggu kabarnya ya! Ya yu.. daah.” Gia mengakhiri telponnya.

Putri mengerling, “Sapa Gi? Irwan lagi? Cie… mau janjian ni?”

“Ngga!” Bantah Gia cepat.

“Jangan ngasih harepan sama orang kalo ngga mau pergi sama dia!” Katanya.

Gia meringis. Merasa bersalah sebenarnya, tapi akan lebih merasa bersalah lagi kalau menerima ajakan Irwan, laki-laki yang barusan menelponnya, dengan sangat terpaksa. Ia tahu, ini sudah kesekian kalinya, dan ia juga tidak tahu mengapa ia tidak menyukai Irwan padahal Irwan orang yang cukup menyenangkan dan cukup perhatian.

Tapi gue ngga suka…

“Kenapa sih Put, Putri ngga mau sama Adit padahal dia baik banget?” Tanya Gia.

Putri melirik, “lho, kenapa jadi ngomongin si Adit lagi sih?!”

“Ya ngga apa-apa.” Kata Gia. “Jadi kenapa?”

“Urusannya kalo udah soal Adit jadi beda lagi, Gi. Si Adit tu temen Putri banget. Udah tau lah rebek-rebeknya, mau orang bilang cakep kaya Josh Harnet juga Putri mah tetep aja ngeliat dia kaya si Adit yang tengilnya minta ampun. Susah lah, Gi. Udah terlalu deket kali. Terlalu tau diri masing-masing…” Putri melirih di ujung tuturnya.

Gia memandangi jalan di depan.

“Hmmmh,” Putri menghela nafas sebelum akhirnya berkata, “dan ada yang lebih penting daripada ‘mau sama dia’.”

“Huh?” Gia menengok otomatis.

“Iya.” Putri mengangguk mantap.

Kening Gia mengerut lebih rapat.

Putri menengok sahabatnya itu, “Hehehehe….” Ia tertawa, “It is samting tu komplikeited tu eksplen bay words, lah, Gi.” Katanya dengan English Pronunciation-nya yang terbata-bata.
Gia menoleh sebal sekaligus ingin tertawa mendengarnya.

“jangan ngetawain!” Pekik Putri ketika melirik Gia.

Tawa Gia meledak, “Hahahaha….so English lu! So English!!”

Putri ikut tertawa-tawa geli, sambil menjelaskan, “Iya kan maksudnya…baru bisa tau kalo ngerti, kalo udah ngalamin. Gitu, Gi! ih bukannya ngebenerin malah ngetawain!” Putri memukul-mukul bahu Gia dengan tangan kirinya.

Sementara Gia berusaha menghindar sambil menahan tawanya.

“Ih jahat banget sih!!” maki Putri sambil tertawa. “Lagian kaya gitu aja ngga ngerti! So native! ngga ngerti bahasa Inggris lokal!” Putri mencibir.

“Ih jelek!!” Gia mendorong pipi Putri jauh-jauh.

Tawa keduanya berderai, renyah. Hanya untuk cibiran buruk rupa, tapi rasanya seluruh lubang duka tertutup sudah.

Apalagi yang kuminta selain rasa seindah ini? Jiwaku rasanya lengkap sudah. Apa nemuin seorang laki-laki bakal bikin aku ngerasa selengkap ini?


1st Chapter by Adisti

Read More ......

Tuesday, March 25, 2008

Penculik dan Pembunuh Jangkrik

-Rumahnya memang jauh, tetapi bukan itu yang membuat aku harus mengeluarkan umpatan dan makian, dalam hati pastinya. Iya, kelakuan ayahnya yang nyentil. Pura-pura baik kalau pas aku bawa wajik kesukaannya, tetapi malah menunjukkan watak aslinya, kala kudatang dengan tangan hampa. Semuanya lebur dalam semangatku dan rasa ingin ketemu anak semata wayangnyalah yang membuatku terpaksa berjalan kaki 2 kilometer menapaki pematang-pematang sawah dan jalanan licin Kampung Babakan.

“Halo, Bdulll. Oh ya, si Neng lagi nyiapin bubur sum-sum khusus buat elu tuh. Qeqeqeqe,” panggilan kepadaku dan tawanya yang terakhir yang selalu membuatku berandai ingin sekali mengelupas kumis tebalnya lalu mengiris-iris dan menguncirnya empat bagian.

Segelas kopi sudah terseduh di depan meja, aku duduk sambil bersiul lalu kubuka sebuah plastik, malam itu aku membawakan wajik rasa nanas yang dibeli dari warung Uwa Ape. Tetap saja, aku selalu bilang wajik buatan emakku.

“Rasa nanas ini baru ya, Bdulll? Hmm...tapi enakan wajik nyang elu bawa dua minggu kemarin deh,” beberapa kalimat terakhir sebetulnya menyindirku. Aku tidak membawakannya minggu kemarin, lalu dia bertingkah aneh dan tidak menyapaku. Dalam benakku, terserahlah dia maunya apa. Toh aku bukannya naksir dia, tapi anak semata wayangnya, Siti Syamsiatul Azhari alias Syamsiah.

Aku masih terduduk di beranda depan sambil mendengarkan bunyi mulut calon mertuaku yang duduk di samping, ia sedang mengunyah wajik. Entahlah, wajik memang kue yang aneh menurutku. Selain rasanya seperti ampas kelapa. Ya, memang terbuat dari parutan kelapa, aku selalu kapok jika makan wajik terlalu banyak, pencernaanku selalu berontak seakan selalu merintih “Hentikan Bdulll kunyahanmu. Hentikan! Please“.

Oh ya, aku dan Syamsiah sudah bertunangan. Kami berencana ke pelaminan setelah bulan haji tahun ini juga. Aku sendiri lupa itu kapan. Yang pasti, tanggalnya sudah ada dan tinggal di cetak dalam bentuk undangan. Alagh, aku enggak sabar.

“Elu suka jangkrik, Dul?” Tiba-tiba calon mertuaku bertanya. Aku terhentak dan hampir saja membuang air kopi yang ada dalam mulut ke mukanya saat mendengar kalimat itu. Jika panggilanku tanpa huruf B di depannya, ia berarti sedang mengajakku bicara serius.

“Jangkrik, beh?”

Aku selalu menyebutnya Babeh. Nama aslinya sendiri Haji Somad. Aku lupa bercerita bahwa selain wajik, Haji Somad, calon mertuaku itu juga suka dengan jangkrik. Ia termasuk betawi yang agak nyeleneh. Jika sebagian marganya berbisnis kontrakan dan tanah, Haji Somad, calon mertuaku itu malah bisnis jangkrik.

“Bukannya beberapa minggu lalu aye udah ngasih jawaban, beh?”

“Kalo jawaban lo nyang kemaren kan gue liat kaga serius. Ini serius, Dul. Lo mau kaga nyariin gue jangkrik?”

“Lha? Tadi cuman nanya suka apa kaga? Kok sekarang laen lagi, beh?”

Haji Somad tiba-tiba terdiam, lalu munculah Syamsiah dari balik tirai pintu membawa bubur sum-sum untukku, betul sekali, nampan itu hanya berisi satu mangkok, tetapi bukan itu pandanganku. Syamsiah penampilannya beda, ada sesuatu yang membuatku terpana, apalagi kalau bukan warna jilbabnya. Iya, Syamsiah memakai jilbab biru. Jilbab pemberianku kala kami nonton layar tancap di acara nikahannya Mpok Titin, si janda beranak empat itu, minggu lalu.
Haji Somad melirik kami berdua, padahal aku sedang memainkan bola mata dengan Syamsiah, aku mengedipkan dua mataku. Aih, seperti sinetron dan lenong saja tingkahku.

“Heh! Heh! Heh! Makan tuh bubur! Entar kite lanjut lagi obrolan tadi,” Seru Haji Somad, calon mertuaku. Permainan mata kami pun bubar seketika.

Syamsiah kemudian duduk berdampingan dengan Haji Somad, calon mertuaku. Seperti model rumah betawi lainnya, kursi kayu yang kami duduki juga di tata sedemikian rupa dengan meja bulat, melingkar. Beranda rumah ini seperti akan menjadi rumahku yang kedua, tentu saja ketika Syamsiah resmi jadi istriku. Aku masih melanjutkan makan bubur, sambil kureguk sisa-sisa kelezatan airnya, kutatap mata Haji Somad dengan mata menyipit, ia seperti drakula atau seorang hakim yang meminta pertanggungan jawab. Aih, aku tidak berbuat apa-apa sama anakmu, Mad. Kualihkan pandangan kepada Syamsiah. Cuma satu kata: meneduhkan.

Kulebarkan bibir, kemudian mengambil tisue di meja, kuseka sedikit liur yang menempel dan berkata singkat pada Haji Somad, calon mertuaku “Udah, beh”

Haji Somad menyulut rokok filternya, kemudian memberi kode kepada Syamsiah untuk masuk ke dalam rumah, seakan berkata “Ini urusan pria sejati”, dari situ pula aku melihat merk rokoknya.

“Begini Dul, gue dapat pesenan jangkrik dari pengusaha di kota. Elo kan kuliah lagi libur, gue tau dari anak gue. Jangan dulu ngomong ! Nah, kalo bisa lo bantuin gue nyari jangkrik yang banyak, kite bikin ternaknya. Anggap aja sebagai syarat lain buat ngawinin anak gue”

Astafirullo, seruku membathin. Aku melonjak dari kursi dan terjatuh. Tidak ada yang kuingat dengan posisi dudukku terakhir hingga bisa begitu. Haji Somad, si calon mertuaku jumpalitan menertawaiku. Ia mengulurkan tangannya dan membantuku duduk kembali. Aku masih heran dengan ajakannya “Beh, lalu yang kemaren-kemaren ternaknya kenapa? Bangkrut?” padahal ingin kutanyakan saat itu "Beh, kok syarat kawinnya jadi nambah sih?" tetapi mulutku terkunci oleh gerak tangannya yang memutar-mutar kumisnya. Aihh, aku terpana lagi.

Sesaat kemudian, malah aku yang ingin tertawa ngakak, tiba-tiba saja Haji Somad ke pangkuanku sambil menangis. Pecinya terjatuh, sementara dari bilik jendela kulihat Syamsiah mengintip. Aku tersenyum, dibalasnya senyumanku. Syamsiah kemudian menunjuk-nunjuk ayahnya yang sedang dalam pangkuanku. Dia tertawa sambil menutupi deretan giginya dengan jari tangan.

Sementara Haji Somad, calon mertuaku masih tersedu “Saat itu gue salah ngurus, Dul”.
Ia kemudian melepaskan diri dari pangkuan.Ia memergokiku sedang tertawa panjang “Huuuhwakakaka...huakakakakakaka” tak sengaja, pancingan tertawanya Syamsiah malah membodohi diriku. Astafirullo.

“Bdul, lo besok kudu ikut gua!” ancamannya meluluh lantahkan segalanya. Aku hanya manggut-manggut.

Dan hari itu pun tiba.

Aku ke rumah Haji Somad, calon mertuaku dengan jeans belel selutut dan kaos oblong. Semalam dia menelpon dengan nada meyakinkan “Besok lo kaga usah bawa ape-ape. Lo dateng aja ke rumeh, kite muter kampung nyari jangkrik”

“Lha? Babeh kaga malu napa?”

Di ujung telepon tiba-tiba hening.



1st Chapter by: Jenk Planet

Read More ......

Wednesday, March 19, 2008

Pada Satu Bintang

-Kelapa Gading Estate - Jakarta


MATAHARI pagi baru saja memancarkan sinarnya. Lembut dan hangat. Menjemput embun yang menggantung pada pucuk-pucuk daun dan tanah lembap, menciptakan uap berupa kabut yang bergerak perlahan memenuhi jalan kota Jakarta yang mulai ramai, bangkit dari pekat dan kesunyian malam.

Sebuah ruangan berukuran sedang dengan jendela bening besar yang berada di dua sisi dinding, dari dua jendela tersebut sinar matahari menerobos masuk membentuk siluet dari tubuh dua orang gadis yang berada di dalamnya. Beberapa lukisan yang belum selesai tertutup kain putih, dibiarkan begitu saja, dan beberapa yang lain diletakkan di sudut.

“Sya, sebaiknya kamu istirahat dulu, sudah terlalu lama kamu duduk di situ,” kata Kimmy, salah satu dari dua gadis tadi.

Kuas berwarna cokelat yang tadinya menari indah di atas kanvas, akhirnya berhenti.

“Aku kehabisan akal memilih warna,” kata Marsya, tidak menghiraukan perkataan Kimmy.

“Apa warna yang bagus untuk bunga ini?” tanya Marsya sambil menatap lukisannya sejenak, lalu berpaling menatap sahabatnya, yang sudah semalaman menemaninya melukis.

“Menurutmu, jika warna merah ini habis, akankah ia berubah menjadi hitam atau bereinkarnasi menjadi ungu?”

Kimmy menghela napas panjang. Ia mengangkat bahu. Dipandanginya gadis yang bernama Marsya Salsabila itu. Matanya tampak memerah, mungkin karena dipaksakan begadang. Marsya memang terlalu memaksakan diri. Kimmy tahu benar, mengapa ia demikian.

Marsya bertubuh tinggi, berkulit kuning langsat dan berambut ikal hitam berkilau. Wajahnya menyiratkan kelembutan. Namun, yang menyedihkan adalah cahaya matanya yang meredup.

“Mau sarapan apa, Sya?” tanya Kimmy sambil memijat pelan bahu Marsya.

“Aku masih kenyang. Semalam aku banyak menghabiskan potongan apel.”

“Heiii…” Kimmy mengerutkan kening. “Makan apel itu berbeda, Sya!”

“Apanya yang berbeda, Kimmy?” Marysa tersenyum tipis.

Kimmy berjongkok di sampingnya. “Aku buatkan nasi goreng dengan telur mata sapi, mau?”

“Terserah kamu saja…” kata Marsya.

Kimmy segera beranjak ke dapur.

Marsya menunggu sampai Kimmy keluar lalu bangkit dari kursinya. Tangannya meraih cangkir berisi teh hangat dari atas meja. Matanya tertuju ke langit kota Jakarta. Pandangannya menerawang. Sepi membuatnya hampa, kosong, perih. Selalu saja begitu, tak ada yang berbeda. Kesenyapan membuatnya ingin terbang, melayang-layang seperti debu kosmos di atmosfer.

“Ayah…” gumamnya bersamaan dengan jatuhnya butiran kristal perak yang turun dari matanya.

Fera, ibunya, berdiri di dekat pintu. Memandangi putri semata wayangnya dengan sendu. Marsya memang selalu terlihat di sana. Takkan berpindah.

Untuk asa yang melebur dalam napas
Penerang langit dalam gulita
Membawa kehidupan dalam satu kepakan indah
Biru langit takkan menjadi jingga
Meski berujung pada satu cakrawala…


TERANGNYA langit kini mulai meredup, suasana alam menjadi hening dan kaku. Angin pun mulai tak ramah, seringkali menggoda rumput-rumput serta menerbangkan daun-daun kering dan menghempaskannya begitu saja di tanah, tanpa daya.

“Aku pulang dulu, Sya. Ibuku membutuhkanku untuk menjaga tokonya,” pamit Kimmy.

Marsya mengangguk. “Hati-hati, Kim.”

Langit mulai gelap, awan berkumpul menjadi kepulan hitam. Dan… badai pun datang.

“Dimakan sarapannya, Sya…” ujar Fera sambil mengelus lembut rambut ikal anaknya.

“Belum lapar, Bu.”

Fera kembali terdiam.

Langit masih kelabu. Semuanya tampak tampak samar bagai kehilangan pegangan. Terlambat untuk memulai lagi semuanya. Rumah yang mereka tinggali kini sepi. Kelam. Tak bersuara. Hanya ada helaan napas dan selebihnya, sunyi.

----

MARSYA melangkah ke sebuah ruangan di belakang rumahnya. Gelap. Jemarinya menyentuh saklar, cahaya menyebar ke seluruh sudut ruangan. Dapat dipastikannya bahwa di dalam terdapat lukisan-lukisannya yang terpajang di dinding. Ia berjalan ke sudut, meraba sebuah kotak kecil yang berada di atas meja, dan merasakan lapisan debu tipis di jarinya.

Marsya menarik nafas dalam-dalam dan mengumpulkan keberanian. Dengan hati-hati ia membuka kotak tersebut. Dari dalamnya, ia mengambil sebuah kalung dengan liontin berbentuk bintang.

Marsya memejamkan mata, terasa bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipi.

Dio…

Nama itu.

Sudah tiga tahun kini, dan pemuda itu tidak juga memberi kabar. Sejak Dio pergi untuk mengejar mimpinya, segala sesuatunya seperti hilang. Yang tersisa hanyalah kenangan, dan itu pun Marsya mulai tak percaya. Perlahan-lahan kenangan itu hanya terlihat hitam putih. Tanpa warna.

Dio…

Gemerisik daun-daun tidak lagi membisikkan namanya. Bening air tidak lagi memantulkan sinar matanya. Hujan tidak lagi melantunkan langkahnya. Wajah pemuda itu semakin samar. Namun, setitik rindu terus menyelusup dada. Membuat Marsya tak tahu harus bagaimana.

Dio…

Marsya keluar dari ruangan kecil tersebut menuju beranda. Ia menatap langit, melampaui titik-titik bintang, tetapi ia tidak lagi bisa membayangkan sebuah keindahan di sana. Ia menutup mata dan kembali menghela nafas, tanpa makna.

Dio…

Marsya merasa lelah. Ia tidak ingin lagi bertanya mengapa semua ini terjadi. Apa yang pernah dan belum dimiliki, kini ia anggap mati. Ia berusaha keras. Sayang, hingga malam ini, ia masih terus bertanya dan masih tidak mengerti.

MARSYA meletakkan kepalanya ke atas bantal. Matanya berkaca-kaca. Tangannya masih menggenggam kalung itu. Kalung bintang pemberiannya yang ia berikan saat ulang tahun Dio tiga tahun lalu.

Ia tak menyangka akan memiliki perasaan yang begitu mendalam pada pemuda itu.. Marsya melengkupkan kepala di bantal. Sekujur tubuhnya gemetar. Ia terisak.

“Kamu jahat, Yo…”



1st Chapter by: Sefryana Khairil

Read More ......

Thursday, March 13, 2008

1st Chapter: Lé Samsara

-

Chapter 1
Tests
Dee-Bay High School… pagi yang cerah…

“Hai, boleh kenalan ga? Nama kamu siapa? Aku Joanne”
“Halo, gua Nathalie.”
“Oiiii, si jabrikz, weitz.. ke mana aja, man? Makin ganteng aja…”
“… waduhh… tali sepatuku lepas…”
“Eh, nak, jangan lari – lari dulu. Sini mama suapin buburnya, belom abis.”
“Mama apaan sih? Ini udah di sekolahan, malu Ma...”

Begitulah keadaan di sekolah yang konon kabarnya peringkat satu nasional pagi itu. Ramai, bisa dibilang bising, tapi bukan gara-gara sekarang tempat itu berubah jadi pasar lho – biarpun sebenarnya cukup mirip karena banyak ibu – ibu berdatangan. Bedanya hanya ibu – ibu ini mengantar anak – anaknya, bukan untuk berbelanja. Pagi itu memang siswa-siswi baru Dee-Bay High School mulai masuk ke sekolah baru mereka. Biar pun biaya sekolah di situ konon mahalnya seamit-amit, tapi heran tuh, tetep aja orang berebut masuk situ. Memang kadang – kadang manusia sulit ditebak. Ngomongnya nggak punya duit untuk ini itu, berusaha menghindari bayar pajak, tapi tetap saja memasukkan anak ke sekolah yang mahal.

Tahun ini seperti biasa ada 8 kelas untuk anak kelas 10 yang satu kelasnya terdiri dari 40 orang. Plus, sejak tahun lalu Dee-Bay High juga mengadakan kelas akselerasi untuk para siswa berbakat (atau lebih tepatnya orang-orang yang terlalu bodoh sehingga mau menyia-nyiakan masa muda dan yang terlalu muak lihat sekolahan jadi pengen cepet lulus) yang bisa mengikuti pelajaran lebih cepat sehingga mereka hanya perlu menghabiskan dua tahun di high school. Kelas khusus ini lebih kecil dari kelas yang reguler, ya tentu saja karena penghuninya lebih sedikit.
Berbeda dengan tahun lalu yang sejak awal sudah ditentukan siapa saja yang berhak menjadi penghuni kelas akselerasi dari sekian banyak orang yang mendaftar untuk mengikuti program khusus tersebut, tahun ini pihak sekolah memutuskan untuk merubah metode penyaringan siswa untuk kelas akselerasi ini. Semua siswa yang berpotensi dan yang entah di mana potensinya tapi cuma modal nekat daftar gara-gara sudah bosan sekolah tapi tetap harus lulus high school karena dipaksa orang tuanya, akan ditempatkan di kelas reguler selama kurang lebih sebulan untuk dipantau lagi perkembangannya. Kalau ternyata dalam waktu satu bulan itu nilai – nilai dan kelakuan mereka cukup baik (baca: nggak ngejek guru di depan orangnya, selalu memuji guru itu cantik dan ganteng biar gimana ancur dandanan mereka, dan rajin – rajin beliin kopi buat satpam dan petugas kebersihan supaya nggak ngadu ke guru kalau nemu murid bolos jam pelajaran) dan juga mereka bisa melewati tes-tes yang ada, baru mereka berhak ‘angkat koper’ menuju ruangan khusus di ujung lantai 4 gedung sekolah itu.
***


Ada tiga macam tes yang perlu dilalui anak – anak yang mau mempercepat masa penyiksaan mereka di high school ini. Yang pertama adalah tes kesehatan. Sepertinya hal ini untuk mempersiapkan supaya jangan sampai ada anak yang pingsan atau bahkan pecah pembuluh otak karena terlalu banyak dicekoki materi pelajaran.

Yang kedua adalah tes psikologi. Hal ini selain untuk memastikan tingkat kecerdasan calon siswa kelas akselerasi (apa mereka sudah lulus TK – ada tes merangkai gambar; apa mereka bisa berbicara – orang tua ditanya: “Apa anak anda bisa dengan jelas mengutarakan keinginannya?”, apa mereka bisa menulis – disuruh isi formulir, dan apa mereka bisa bangun tidur sendiri – tes merangkai gambar kegiatan dari bangun tidur sampai berangkat sekolah), juga untuk memastikan kestabilan emosi mereka di tengah badai besar yang siap menerjang. Sebenarnya sih pihak sekolah tidak mau ambil resiko banyak meja dan kursi patah, kaca – kaca jendela pecah karena anak – anak berubah menjadi banteng liar yang hidungnya berasap walau tak ada tungku pembakaran di dalamnya ketika stress memuncak sampai ke ubun – ubun.
Tes yang ketiga sih standar – standar saja. Formalitas tes tertulis dari semua pelajaran yang ada. Satu kesalahan dari tes ini, semua pertanyaan yang diajukan berbentuk pilihan berganda dan tidak ada nilai minus unutk jawaban yang dikosongi atau salah. Jadi bisa diasumsikan selain siswa yang pintar dari sononya, orang – orang yang hokinya gede juga pasti bisa lewat tes ini.
***
Tok.. tok.. Pintu kelas 10-2 diketuk. Mr. Sissy masuk dan berbicara pada Mrs. Newman yang saat itu sedang mengajar Biology. Sebenarnya namanya adalah Mr. Steven Johansen, tapi karena orangnya sedikit feminim dan menyebalkan, murid-murid biasa menyebutnya Mr. Sissy. (sissy = banci .red)

“Ehem... ehem...” Mr. Sissy batuk – batuk dengan gaya sok wibawa tapi tetap saja tidak bisa membuat anak – anak memperhatikannya.

“Yang saya panggil namanya harap ikut saya keluar sebentar. Catherine Obrien. Lucille Cole. Kalian berdua ikut saya keluar sebentar, ada yang perlu dibicarakan dengan kalian berdua. ” kata Mr. Sissy dengan gaya sok galak yang membuat beberapa anak semakin mau muntah.
“Permisi sebentar, Mrs. Newman.

Sesampainya di luar kelas Mr. Sissy pun menyuruh kedua gadis itu duduk – masih dengan gaya sok wibawa tapi ujung – ujungnya menyilangkan kaki gaya cewek, lalu dia membuka folder yang dipegangnya.
“Begini, saya mengajak kalian bicara di sini karena ingin membicarakan perihal kalian mendaftar untuk masuk kelas akselerasi, benar?"

“Benar, Sir,” jawab kedua Lucille dan Catherine berbarengan.

“Sebenarnya kalau melihat rapor kalian yang dulu, nilai kalian sudah mencukupi, namun hasil tes kalian beberapa hari yang lalu sangat mengecewakan.”

Lucille dan Catherine pun berpandangan dengan malas. Mereka berdua tampaknya tahu pembicaraan selanjutnya akan sangat membosankan.

“Miss Cole, nilai Matematika-mu dapat E. Bagaimana anda dapat menjelaskannya? Terus terang jika begini terus anda tidak akan dapat mengikuti pelajaran di kelas akselerasi.”

Lucille membatin dalam hati “Memangnya bakal kiamat besok apa? Nilai matematika E itu kan hanya hasil ulangan pertama, nanti juga kalau ada ulangan berikutnya nilaiku pasti lebih baik. Memangnya aku tidak tahu resiko kalau di kelas akselerasi itu nilainya harus bagus? Aku ini sudah cukup bisa berpikir, Mr. Sissy!”

“Ehm, yah, begini, Sir. Jadi, saya kan baru pindah ke kota besar seperti di sini, jadi saya masih kaget saja dengan system pembelajaran di sini. Masih adaptasi lah. Saya janji akan meningkatkan nilai saya dan saya yakin bisa masuk kelas akselerasi itu,” jawab Lucille dengan sedikit tersenyum berusaha tampak sopan dan ramah tapi hasilnya dia tampak meringis seperti orang sakit gigi.

“Baiklah, saya bisa memahami hal itu, saya akan memberi anda kesempatan mencoba,” kata Mr. Sissy yang kembali membuat Lucille mendengus yang disamarkannya dengan pura – pura batuk.

Sejak hari pertama di sekolah ini Lucille memang sedikit antipati dengan guru – guru yang rata – rata sok galak dan sok berwibawa tapi malah membuat mereka tampak konyol.

“Lalu anda Miss Obrien, anda mendapat E untuk pelajaran Fisika. Apa anda masih mau mencoba masuk kelas akselerasi?” Tanya Mr. Sissy kini giliran mencecar Catherine.

“Yah akan saya coba, Sir,”jawab Catherine dengan gayanya yang khas. Sedikit aneh, tapi kelihatan professional dan meyakinkan. Kayaknya ini anak benar – benar sudah banyak belajar dari ayahnya yang memang kerja di bagian humas dan sangat piawai meyakinkan klien.

Mr. Sissy memandang kedua gadis itu sekali lagi. Namun tidak ada tanda – tanda grogi di wajah mereka. Tampaknya tes ‘menakut – nakuti’ calon siswa akselerasi ini gagal total. Mereka salah memilih mangsa dan berhadapan dengan dua orang yang memang cuek dan mendaftar kelas akselerasi dengan modal nekat yang membara.
“Baiklah kalau begitu. Kalian boleh masuk kelas lagi sekarang. Terima kasih.”

***

Hari itu jadwal tes kesehatan untuk para calon siswa akselerasi sudah dipasang di papan pengumuman. Tampak ada sekitar lima puluh nama terpampang di sana. Beberapa anak tampak mengamati papan itu untuk melihat siapa – siapa saja saingan – saingan mereka. Beberapa tampak melihat jadwal untuk mencari tumpangan pergi bersama. Beberapa lainnya tampak senang karena jadwal tes mereka bertepatan dengan pelajaran yang membosankan sehingga mereka tidak perlu berada di kelas dan menahan mata mereka untuk tetap terjaga sampai berair.

Kembali di kelas 10-2...
Lucille dan Mildred yang baru kembali dari melihat jadwal tes mereka di papan pengumuman pun mengunjungi Catherine yang sedang mengungsi di kursi Anne. Seperti biasa Catherine selalu mengungsi ke barisan depan saat istirahat karena tempat duduk aslinya di barisan belakang sangat mengenaskan. Bukan apa – apa, hanya saja barisan belakang – yang memang sarang cowok dengan Catherine satu – satunya cewek yang terdampar di sana – memang menjadi ‘kasino’ di jam – jam istirahat karena entah bagaimana pengaturan awalnya pada saat pendaftaran murid baru, semua kepala geng terkumpul di kelas 10-2 yang terpencil dan jauh dari kantor guru.

“Hai, Cath! Lo ikut tes aksel juga, kan? Kapan jadwal tes kesehatan elo?” tanya Lucille.
“Umm, kalau nggak salah gue dapet jadwal Selasa jam 1 siang,” jawab Catherine. “Elo?”

“Gue ama Millie hari Rabunya jam 9 pagi. Mungkin kita bakal pergi bareng. Sayang yah jadwal lo beda sendiri. Kayaknya Julie juga hari Selasa deh. Coba aja lo tanya sama dia jam berapa jadwal tesnya, siapa tahu bisa pergi bareng. Kan lebih enak kalau ada yang nemenin. Sekalian ngirit ongkos. Hehe...”

“Haha... Bener – bener. Ok deh, ntar gue tanya dia.”

***
Hari Selasa minggu berikutnya Catherine bolos praktikum biologi karena mengikuti tes kesehatan. Dia satu – satunya dari kelas 10-2 yang memperoleh jadwal tes hari itu. Dan karena kedua orang tuanya sibuk, maka dia memberanikan diri melangkahkan kaki menuju surga urine dan jarum suntik.

Untungnya di sana dia menemukan seorang teman senasib sependeritaan yang sedikit lebih cerdas darinya. Orang yang berjasa tersebut bernama Eddie, dari kelas 10-5.
Kisah penyelamatan Eddie terhadap Catherine dimulai dari Catherine yang tampaknya baru pernah menapakkan kaki di laboratorium yang ramai dan diberi sebuah botol kosong kecil.

“Ini tolong urine-nya ditaruh di sini. Silakan, toiletnya di sebelah sana,” kata perawat di kantor kepada Catherine.

Dengan sedikit bingung, Catherine pun pergi ke toilet dan menampung urine-nya di botol itu. Ketika Cath keluar dari toilet, ternyata laboratorium itu semakin ramai dan tampaknya para perawat itu terlalu sibuk untuk memberi tahunya di mana tepatnya dia harus meletakkan botol berisi urine itu.

Jadilah Catherine duduk diam sendirian di sebuah bangku kosong dengan botol urine di kantongnya. Dia terus menunggu dan menunggu, tapi namanya tidak dipanggil – panggil kembali hingga datanglah Eddie dan duduk di sampingnya.

Melirik ke sebelah ada seorang dengan seragam yang sama, dia pun mencoba menyapanya.
“Halo, tes buat aksel juga, ya?”

“Iya,” jawab Eddie singkat.

“Kenalin, gue Catherine,” kata Catherine sambil mengulurkan tangannya.

“Gue Eddie,” kata Eddie. “Elo lagi nunggu apa?”

“Nunggu dipanggil lagi, tapi kok lama banget ya? Tadi udah tes urine, ini urine-nya,” kata Cath sambil mengeluarkan botol urine dari kantongnya.

Eddie bengong sesaat menatap Catherine dan botol berisi urine di tangannya. Dia tersenyum menahan geli.

“Ehehe... itu, urine-nya kalau sudah, kasih ke kantor situ lagi. Nanti lo langsung tes darah di situ,” kata Eddie – yang ternyata anak dokter, yang pastinya tahu benar prosedur di laboratorium kesehatan - memberi tahu Catherine prosedur yang benar.

“Oww... abisnya nggak dikasih tau. Ya udah, gue ke sana dulu ya,” kata Catherine kembali ke jalur prosedur yang benar.

Keesokan harinya giliran Lucille dan Mildred yang absen. Mereka pergi ke klinik bersama diantar ayah Mildred. Sesampainya di klinik lalu mereka diberi tabung kecil untuk menampung urine mereka yang nantinya akan dicek, selain itu ada juga tes darah dan rontgen.

Ketika tiba giliran Mildred dan Lucille untuk pemotretan rontgen, mereka berdua masuk ke ruang foto bersama. Bapak petugas rontgen pun memberi tahu mereka berdua harus berganti baju dahulu dengan baju khusus pasien.
“Miss Obrien dan Miss Cole, silakan. Tolong ganti baju di ruangan itu, yang ada talinya di belakang. Pakaian lain tolong dilepas. Kalung, bra, juga lepas semuanya,” kata petugas tersebut memberi tahu kedua gadis itu tentang prosedur pemotretan rontgen.

“A...” mulut Mildred melongo sedikit karena syok ada bapak – bapak tidak dikenal menyuruhnya lepas bra. Untung ada Lucille yang segera menariknya ke kamar ganti.

Di kamar ganti kedua gadis itu tertawa terbahak-bahak saking geli juga heran. Mana ada bapak-bapak menyuruh anak gadis lepas bra dengan entengnya, tanpa ekspresi pula.

***
Ting tong teng tong…

“Perhatian, perhatian… Pengumuman kepada para siswa yang telah mengikuti tes masuk kelas akselerasi, hasil tes telah dipasang di papan pengumuman di loby sekolah. Terima kasih.”
Ting tong teng tong…
***
DAFTAR NAMA SISWA KELAS AKSELERASI
ANGKATAN II
TAHUN 2003 / 2004


ATKINS, MARCUS
BUTLER, MARGARET
BYRD, ALFRED
COLE, LUCILLE
CLARK, DALE
DOUGLAS, EDDIE
GARRETT, KAATHLEEN
GUERRERO, DAN
HOWELL, NATHAN
HUNT, STEVE
LAWSON, VINCENT
MUNOZ, EDNA
OBRIEN, CATHERINE
RODRIQUEZ, FLOYD
RUSSELL, CHARLOTTE
SAUNDERS, NORMA
STEVENSON, JULIE
STEWART, RACHEL
WILKERSON, MILDRED
1st Chapter by: Fei (Nonny Amelia Boenawan)

Read More ......