Kelapa Gading Estate - Jakarta
MATAHARI pagi baru saja memancarkan sinarnya. Lembut dan hangat. Menjemput embun yang menggantung pada pucuk-pucuk daun dan tanah lembap, menciptakan uap berupa kabut yang bergerak perlahan memenuhi jalan kota Jakarta yang mulai ramai, bangkit dari pekat dan kesunyian malam.
Sebuah ruangan berukuran sedang dengan jendela bening besar yang berada di dua sisi dinding, dari dua jendela tersebut sinar matahari menerobos masuk membentuk siluet dari tubuh dua orang gadis yang berada di dalamnya. Beberapa lukisan yang belum selesai tertutup kain putih, dibiarkan begitu saja, dan beberapa yang lain diletakkan di sudut.
“Sya, sebaiknya kamu istirahat dulu, sudah terlalu lama kamu duduk di situ,” kata Kimmy, salah satu dari dua gadis tadi.
Kuas berwarna cokelat yang tadinya menari indah di atas kanvas, akhirnya berhenti.
“Aku kehabisan akal memilih warna,” kata Marsya, tidak menghiraukan perkataan Kimmy.
“Apa warna yang bagus untuk bunga ini?” tanya Marsya sambil menatap lukisannya sejenak, lalu berpaling menatap sahabatnya, yang sudah semalaman menemaninya melukis.
“Menurutmu, jika warna merah ini habis, akankah ia berubah menjadi hitam atau bereinkarnasi menjadi ungu?”
Kimmy menghela napas panjang. Ia mengangkat bahu. Dipandanginya gadis yang bernama Marsya Salsabila itu. Matanya tampak memerah, mungkin karena dipaksakan begadang. Marsya memang terlalu memaksakan diri. Kimmy tahu benar, mengapa ia demikian.
Marsya bertubuh tinggi, berkulit kuning langsat dan berambut ikal hitam berkilau. Wajahnya menyiratkan kelembutan. Namun, yang menyedihkan adalah cahaya matanya yang meredup.
“Mau sarapan apa, Sya?” tanya Kimmy sambil memijat pelan bahu Marsya.
“Aku masih kenyang. Semalam aku banyak menghabiskan potongan apel.”
“Heiii…” Kimmy mengerutkan kening. “Makan apel itu berbeda, Sya!”
“Apanya yang berbeda, Kimmy?” Marysa tersenyum tipis.
Kimmy berjongkok di sampingnya. “Aku buatkan nasi goreng dengan telur mata sapi, mau?”
“Terserah kamu saja…” kata Marsya.
Kimmy segera beranjak ke dapur.
Marsya menunggu sampai Kimmy keluar lalu bangkit dari kursinya. Tangannya meraih cangkir berisi teh hangat dari atas meja. Matanya tertuju ke langit kota Jakarta. Pandangannya menerawang. Sepi membuatnya hampa, kosong, perih. Selalu saja begitu, tak ada yang berbeda. Kesenyapan membuatnya ingin terbang, melayang-layang seperti debu kosmos di atmosfer.
“Ayah…” gumamnya bersamaan dengan jatuhnya butiran kristal perak yang turun dari matanya.
Fera, ibunya, berdiri di dekat pintu. Memandangi putri semata wayangnya dengan sendu. Marsya memang selalu terlihat di sana. Takkan berpindah.
Untuk asa yang melebur dalam napas
Penerang langit dalam gulita
Membawa kehidupan dalam satu kepakan indah
Biru langit takkan menjadi jingga
Meski berujung pada satu cakrawala…
TERANGNYA langit kini mulai meredup, suasana alam menjadi hening dan kaku. Angin pun mulai tak ramah, seringkali menggoda rumput-rumput serta menerbangkan daun-daun kering dan menghempaskannya begitu saja di tanah, tanpa daya.
“Aku pulang dulu, Sya. Ibuku membutuhkanku untuk menjaga tokonya,” pamit Kimmy.
Marsya mengangguk. “Hati-hati, Kim.”
Langit mulai gelap, awan berkumpul menjadi kepulan hitam. Dan… badai pun datang.
“Dimakan sarapannya, Sya…” ujar Fera sambil mengelus lembut rambut ikal anaknya.
“Belum lapar, Bu.”
Fera kembali terdiam.
Langit masih kelabu. Semuanya tampak tampak samar bagai kehilangan pegangan. Terlambat untuk memulai lagi semuanya. Rumah yang mereka tinggali kini sepi. Kelam. Tak bersuara. Hanya ada helaan napas dan selebihnya, sunyi.
MARSYA melangkah ke sebuah ruangan di belakang rumahnya. Gelap. Jemarinya menyentuh saklar, cahaya menyebar ke seluruh sudut ruangan. Dapat dipastikannya bahwa di dalam terdapat lukisan-lukisannya yang terpajang di dinding. Ia berjalan ke sudut, meraba sebuah kotak kecil yang berada di atas meja, dan merasakan lapisan debu tipis di jarinya.
Marsya menarik nafas dalam-dalam dan mengumpulkan keberanian. Dengan hati-hati ia membuka kotak tersebut. Dari dalamnya, ia mengambil sebuah kalung dengan liontin berbentuk bintang.
Marsya memejamkan mata, terasa bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipi.
Dio…
Nama itu.
Sudah tiga tahun kini, dan pemuda itu tidak juga memberi kabar. Sejak Dio pergi untuk mengejar mimpinya, segala sesuatunya seperti hilang. Yang tersisa hanyalah kenangan, dan itu pun Marsya mulai tak percaya. Perlahan-lahan kenangan itu hanya terlihat hitam putih. Tanpa warna.
Dio…
Gemerisik daun-daun tidak lagi membisikkan namanya. Bening air tidak lagi memantulkan sinar matanya. Hujan tidak lagi melantunkan langkahnya. Wajah pemuda itu semakin samar. Namun, setitik rindu terus menyelusup dada. Membuat Marsya tak tahu harus bagaimana.
Dio…
Marsya keluar dari ruangan kecil tersebut menuju beranda. Ia menatap langit, melampaui titik-titik bintang, tetapi ia tidak lagi bisa membayangkan sebuah keindahan di sana. Ia menutup mata dan kembali menghela nafas, tanpa makna.
Dio…
Marsya merasa lelah. Ia tidak ingin lagi bertanya mengapa semua ini terjadi. Apa yang pernah dan belum dimiliki, kini ia anggap mati. Ia berusaha keras. Sayang, hingga malam ini, ia masih terus bertanya dan masih tidak mengerti.
MARSYA meletakkan kepalanya ke atas bantal. Matanya berkaca-kaca. Tangannya masih menggenggam kalung itu. Kalung bintang pemberiannya yang ia berikan saat ulang tahun Dio tiga tahun lalu.
Ia tak menyangka akan memiliki perasaan yang begitu mendalam pada pemuda itu.. Marsya melengkupkan kepala di bantal. Sekujur tubuhnya gemetar. Ia terisak.
“Kamu jahat, Yo…”
1st Chapter by: Sefryana Khairil
No comments:
Post a Comment