Rumahnya memang jauh, tetapi bukan itu yang membuat aku harus mengeluarkan umpatan dan makian, dalam hati pastinya. Iya, kelakuan ayahnya yang nyentil. Pura-pura baik kalau pas aku bawa wajik kesukaannya, tetapi malah menunjukkan watak aslinya, kala kudatang dengan tangan hampa. Semuanya lebur dalam semangatku dan rasa ingin ketemu anak semata wayangnyalah yang membuatku terpaksa berjalan kaki 2 kilometer menapaki pematang-pematang sawah dan jalanan licin Kampung Babakan.
“Halo, Bdulll. Oh ya, si Neng lagi nyiapin bubur sum-sum khusus buat elu tuh. Qeqeqeqe,” panggilan kepadaku dan tawanya yang terakhir yang selalu membuatku berandai ingin sekali mengelupas kumis tebalnya lalu mengiris-iris dan menguncirnya empat bagian.
Segelas kopi sudah terseduh di depan meja, aku duduk sambil bersiul lalu kubuka sebuah plastik, malam itu aku membawakan wajik rasa nanas yang dibeli dari warung Uwa Ape. Tetap saja, aku selalu bilang wajik buatan emakku.
“Rasa nanas ini baru ya, Bdulll? Hmm...tapi enakan wajik nyang elu bawa dua minggu kemarin deh,” beberapa kalimat terakhir sebetulnya menyindirku. Aku tidak membawakannya minggu kemarin, lalu dia bertingkah aneh dan tidak menyapaku. Dalam benakku, terserahlah dia maunya apa. Toh aku bukannya naksir dia, tapi anak semata wayangnya, Siti Syamsiatul Azhari alias Syamsiah.
Aku masih terduduk di beranda depan sambil mendengarkan bunyi mulut calon mertuaku yang duduk di samping, ia sedang mengunyah wajik. Entahlah, wajik memang kue yang aneh menurutku. Selain rasanya seperti ampas kelapa. Ya, memang terbuat dari parutan kelapa, aku selalu kapok jika makan wajik terlalu banyak, pencernaanku selalu berontak seakan selalu merintih “Hentikan Bdulll kunyahanmu. Hentikan! Please“.
Oh ya, aku dan Syamsiah sudah bertunangan. Kami berencana ke pelaminan setelah bulan haji tahun ini juga. Aku sendiri lupa itu kapan. Yang pasti, tanggalnya sudah ada dan tinggal di cetak dalam bentuk undangan. Alagh, aku enggak sabar.
“Elu suka jangkrik, Dul?” Tiba-tiba calon mertuaku bertanya. Aku terhentak dan hampir saja membuang air kopi yang ada dalam mulut ke mukanya saat mendengar kalimat itu. Jika panggilanku tanpa huruf B di depannya, ia berarti sedang mengajakku bicara serius.
“Jangkrik, beh?”
Aku selalu menyebutnya Babeh. Nama aslinya sendiri Haji Somad. Aku lupa bercerita bahwa selain wajik, Haji Somad, calon mertuaku itu juga suka dengan jangkrik. Ia termasuk betawi yang agak nyeleneh. Jika sebagian marganya berbisnis kontrakan dan tanah, Haji Somad, calon mertuaku itu malah bisnis jangkrik.
“Bukannya beberapa minggu lalu aye udah ngasih jawaban, beh?”
“Kalo jawaban lo nyang kemaren kan gue liat kaga serius. Ini serius, Dul. Lo mau kaga nyariin gue jangkrik?”
“Lha? Tadi cuman nanya suka apa kaga? Kok sekarang laen lagi, beh?”
Haji Somad tiba-tiba terdiam, lalu munculah Syamsiah dari balik tirai pintu membawa bubur sum-sum untukku, betul sekali, nampan itu hanya berisi satu mangkok, tetapi bukan itu pandanganku. Syamsiah penampilannya beda, ada sesuatu yang membuatku terpana, apalagi kalau bukan warna jilbabnya. Iya, Syamsiah memakai jilbab biru. Jilbab pemberianku kala kami nonton layar tancap di acara nikahannya Mpok Titin, si janda beranak empat itu, minggu lalu.
Haji Somad melirik kami berdua, padahal aku sedang memainkan bola mata dengan Syamsiah, aku mengedipkan dua mataku. Aih, seperti sinetron dan lenong saja tingkahku.
“Heh! Heh! Heh! Makan tuh bubur! Entar kite lanjut lagi obrolan tadi,” Seru Haji Somad, calon mertuaku. Permainan mata kami pun bubar seketika.
Syamsiah kemudian duduk berdampingan dengan Haji Somad, calon mertuaku. Seperti model rumah betawi lainnya, kursi kayu yang kami duduki juga di tata sedemikian rupa dengan meja bulat, melingkar. Beranda rumah ini seperti akan menjadi rumahku yang kedua, tentu saja ketika Syamsiah resmi jadi istriku. Aku masih melanjutkan makan bubur, sambil kureguk sisa-sisa kelezatan airnya, kutatap mata Haji Somad dengan mata menyipit, ia seperti drakula atau seorang hakim yang meminta pertanggungan jawab. Aih, aku tidak berbuat apa-apa sama anakmu, Mad. Kualihkan pandangan kepada Syamsiah. Cuma satu kata: meneduhkan.
Kulebarkan bibir, kemudian mengambil tisue di meja, kuseka sedikit liur yang menempel dan berkata singkat pada Haji Somad, calon mertuaku “Udah, beh”
Haji Somad menyulut rokok filternya, kemudian memberi kode kepada Syamsiah untuk masuk ke dalam rumah, seakan berkata “Ini urusan pria sejati”, dari situ pula aku melihat merk rokoknya.
“Begini Dul, gue dapat pesenan jangkrik dari pengusaha di kota. Elo kan kuliah lagi libur, gue tau dari anak gue. Jangan dulu ngomong ! Nah, kalo bisa lo bantuin gue nyari jangkrik yang banyak, kite bikin ternaknya. Anggap aja sebagai syarat lain buat ngawinin anak gue”
Astafirullo, seruku membathin. Aku melonjak dari kursi dan terjatuh. Tidak ada yang kuingat dengan posisi dudukku terakhir hingga bisa begitu. Haji Somad, si calon mertuaku jumpalitan menertawaiku. Ia mengulurkan tangannya dan membantuku duduk kembali. Aku masih heran dengan ajakannya “Beh, lalu yang kemaren-kemaren ternaknya kenapa? Bangkrut?” padahal ingin kutanyakan saat itu "Beh, kok syarat kawinnya jadi nambah sih?" tetapi mulutku terkunci oleh gerak tangannya yang memutar-mutar kumisnya. Aihh, aku terpana lagi.
Sesaat kemudian, malah aku yang ingin tertawa ngakak, tiba-tiba saja Haji Somad ke pangkuanku sambil menangis. Pecinya terjatuh, sementara dari bilik jendela kulihat Syamsiah mengintip. Aku tersenyum, dibalasnya senyumanku. Syamsiah kemudian menunjuk-nunjuk ayahnya yang sedang dalam pangkuanku. Dia tertawa sambil menutupi deretan giginya dengan jari tangan.
Sementara Haji Somad, calon mertuaku masih tersedu “Saat itu gue salah ngurus, Dul”.
Ia kemudian melepaskan diri dari pangkuan.Ia memergokiku sedang tertawa panjang “Huuuhwakakaka...huakakakakakaka” tak sengaja, pancingan tertawanya Syamsiah malah membodohi diriku. Astafirullo.
“Bdul, lo besok kudu ikut gua!” ancamannya meluluh lantahkan segalanya. Aku hanya manggut-manggut.
Dan hari itu pun tiba.
Aku ke rumah Haji Somad, calon mertuaku dengan jeans belel selutut dan kaos oblong. Semalam dia menelpon dengan nada meyakinkan “Besok lo kaga usah bawa ape-ape. Lo dateng aja ke rumeh, kite muter kampung nyari jangkrik”
“Lha? Babeh kaga malu napa?”
Di ujung telepon tiba-tiba hening.
1st Chapter by: Jenk Planet
Tuesday, March 25, 2008
Penculik dan Pembunuh Jangkrik
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment