Friday, June 19, 2009

Grafftiez Story

-

Part 1
Siapakah Aku?



Dunia telah memasuki abad baru di mana tidak adalagi batasan dan perbedaan antara manusia dan Grafftiez (sejenis mahluk yang menyerupai tubuh manusia tapi di dalam nya mereka memiliki kekuatan luar biasa di saat dia menjadi dewasa).

Horvland sebuah kota pusat keramaian dari sebuah Negara bagian Ruectus, di kota ini lautan manusia setiap harinya berbaur jadi satu dengan Grafftiez, kita tidak akan pernah tau siapa yang jahat dan siapa yang baik.

Ardenz adalah sebuah nama keluarga di mana semua keluarga ini adalah keturunan Grafftiez, tapi amat di sayangkan dari 3 anaknya 2 orang mengikuti sebuah organisasi grafftiez Hard ( Organisasi grafftiez jahat), dan satu anak paling kecilnya masih jadi misteri di manakah dia berada.???

Siang hari di sekolah NARDVART sebuah sekolah terbaik di kota Horvland, di mana semua murid-murid di sekolah ini bukan anak-anak biasa, mereka anak-anak dari keluarga keturunan Grafftiez yang memang orang tuanya memiliki kemampuan yang sangat luar biasa. Semua bisa kita lihat dari cara anak-anak itu belajar, untuk ukuran sekolah tinggkat pertama mereka sudah di ajarkan yang namanya ilmu Griffon (ilmu mengembangkan keahlian gaffitiez yang nantinya akan dia dapatkan di saat mereka sudah beranjak dewasa), Ilmu Grasson (mungkin ilmu ini agak sedikit unik, karena tidak semua Graff “sebutan untuk para keturunan Grafftiez” dapat menguasai ilmu ini hanya orang-orang terpilih lah yang dapat menguasai ilmu ini)

Jam istirahat makan siang sudah berbunyi, maka banyak sekali anak anak keturunan Graffitiez Graff” keluar untuk pergi ke kantin.

Aku Vordz adalah salah satu anak baru di sekolah ini, sampai saat ini aku belum mengerti aku ini sebenarnya Graff dari bangsa apa?, yang aku tahu aku itu dari keturunan Ardenz, yaitu sebuah Grafftiez yang sedang di takuti oleh para Grafftiez lainya

Karena dia anak baru dan belum memilik banyak teman setiap istirahat makan siang dia hanya di kelas dan sesekali dia keluar untuk duduk di bawah pohon yang memang suasananya sangat rindang sekali…

Tiba-tiba ada sebuah tangan yang mencolek ku dari belakang, ketika aku berbalik badan, aku kaget ada seorang wanita berambut agak ikal dan pirang itu menjulurkan tangan sambil mengeluarkan sebuah kata Anna…. Lalu Andritz menjulurkan tangnya juga sambil bicara “Aku Vordz Siswa Tinggkat satu“ . “sepertinya kamu anak baru ya di “ sini, “ jawab Anna sambil melepaskan jabat tanganya dengan Vordz. “iya“ jawab Vordz sambil tersenym senang, karena semenjak dia sekolah di sini tidak pernah ada yang mengajaknya bicara dan hanya sebuah batu besar di samping pohon, sahabat dia ketika dia sedang istirahat makan siang.

“kamu Graff dari keturunan apa? Tanya Anna yang agak sedikit penasaran dengan Vordz. Lalu Vordz terdiam dan berfikir sejenak untuk menyebutkan nama keturunan nya, karena nama keluarga dia sudah terlanjur di kenal kurang baik oleh bangsa-bangsa Grafftiez di Horvland Tapi karena dia tidak ingin berbohong akhirnya dia menyebutkan bahwa dia adalah seorang Graff keturunan keluarga Ardenz. Anna yang tadinya penasaran dan ingin tahu dang bicara banyak dengan Vordz, tiba-tiba tersentak sambil membetulkan rambutnya yang tertiup angin yang begitu kencang di siang itu. Lalu Vordz pun bicara “mungkin kau sudah mengetahui Graff Ardetz itu seperti apa ya?” Anna yang sedari tadi hanya berdiri di depan Vordz akhirnya memutuskan untuk duduk di sebelahnya sambil bicara “apakah aku boleh duduk di sini” dengan agak sedikit terbata-bata dia bicara. “oh silakan dengan senang hati, karena kau sudah mau bicara dengan ku”, Vordz membalas dengan muka yang sangat senang dan sumbringah, karena ada teman bicara. Lalu Anna menjawab dengan agak sedikit gelisah “Terima kasih, ow kamu Graff dari bangsa Ardenz, maaf aku tidak tahu banyak tentang itu”. Lalu Vordz pun terdiam. Mungkin ini alasan Vordz tak pernah inggin berbaur dengan teman sekelasnya. Karena dia takut mendapatkan pertanyyan seperti yang ana ucapkan tadi. “mengapa kamu masuk sekolah nardvards? Bukanya di sekolah ini semua anak akan di bimbing untuk menjadi seorang Grafftiez Blood (Sebutan untuk Graffties yang selalu membasmi kejahatan & lawan dari Grafftiez Hard), dengan agak sedikit bingung ia pun tak bisa menjawabnya. Hanya senyum dan gelengan kepela yang di perlihatkan Vordz kepada Anna.

Bunyi Bell masuk kelas pun berbunyi, lalu Anna pamit terlebih dahulu, sambil tersenyum dan berkata “ senang bisa berteman dengan mu” lalu oleh Vordz hanya di balas dengan senyuman saja. Dan Anna pun langsung berjalan menuju tangga untuk naik ke lantai dua, lalu di situ aku aru menyadari bahwa Anna itu adalah siswa angkatan ke 2. lalu setelah itu aku pun bergegas untuk masuk kelas yang bagiku adalah sebuah tempat asing, dan tidak senyaman ketika aku duduk di sebelah batu besar di bawah Pohon Ardus yang sudah tau berapa umurnya, karena dia memilki daun yang begitu rindang.. di kelas selain dia pendiam dan tidak berbaur dengan teman yang lain Vordz juga agak sedikit canggung dengan bentuk tubuhnya yang lebih besar di bandingkan dengan siswa tingkat satu di kelas nya. Akhirnya suara yang di tunggu tunggu selama berjam-jam sejak jam 2 sampai jam 4 pun berbunyi, yaitu suara bel pulang. Dan Vordz pun segera pulang dan bergegas dengan membawa pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak nya untuk di Tanya ke pada Paman Wols (Wols adalah ayah angkat Vordz, dia adalah orang yang menemukan Vordz di sebuah rumah tua yang kosong, di mana rumah itu adalah bekas rumah dari keturunan Grafftiez Ardenz, karena di saat di temukan dia masih berumur kurang lebih 4 tahun maka dia belum menjadi seorang Graffiez jadi dia belum paham benar dengan dunia asli nya dia yang nanti di saat dia dewsa akan dia lewati).

Setelah sampai di rumah Dengan napas masih ter engah-engah karena selama perjalanan pulang dia berlari, lalu dia bertanya pada Paman WolsPaman akhirnya aku punya teman di sekolahpaman wols yang dari tadi sedang sibuk dengan memperbaiki benda yang di pegangganya terkejut dan kaget . “Siapa Teman mu? Apakah kamu menyebutkan kamu itu dari keturunan Griffon Ardenz?Vord yang wajahnya tadinya kegirangan tiba-tiba jadi terdiam, dan agak sedikit takut menjawab pertanyaan paman wolz. Lalu dia segera pergi ke ruangan yang kecil, yang kosong Cuma hanya ada satu tempat tidur dan sebuah meja yang di hiasi dengan foto Arthur Ardenz dan Libert Ardetz (ayah Dan Ibu Mereka) yang selama ini menjadi misteri dalam kehidupanya.

***



1st Chapter oleh Noemera Agustino
http://cumatulisanbasi.blogspot.com/
http://bukantulisanbasi.blogspot.com/
http://www.beginerdesign.co.cc/

Read More ......

Serenade Murid Baru

-

Pagi-pagi buta, seorang bocah kurus jangkung item botak, nampak celingukan di depan sebuah pagar besi yang naudzubilah gede banget gak kira-kira.

Pemuda Bermutu (Berjenggot Muka Tua) ini udah rapi jali pake seragam SMAnya. Bajunya licin, rapi, and dimasukin ke dalem celana. Gimana celananya? Rapi banget kayak celana baru. Sepatunya juga lebih nampol lagi. Sepatu item merek All Star yang sangat berkelas walaupun sederhana. Tapi cuman satu yang salah.

Lengan bajunya panjang sebelah.

Ya, silakan aja deh, salahin yang jahit. Tapi tetep, dengan kondisi kemeja seragam yang gak lazim itu, pemuda ini tetep ceria dan bersemangat di depan pintu pager raksasa yang disinyalir pager sekolahan itu.

Si pemuda half-madesu ini pun mulai mengguncang-guncangkan pagar besi tadi, berharap ada yang bisa menjawab dan ngebukain pintunya.

Gak pake lama, harapan anak culun ini pun dikabulkan oleh tuhan yang maha esa. Seorang mas-masa sedikit alay, muncul dengan gak tau malunya. Make celana dinas OB, tapi keatasannya cuman pake kaos singlet. Sementara bulu keteknya menyembul membabi buta walaupun lengannya lagi rapet. Sungguh sangat mengerikan.

“Woy! Berisik lu! Masih jam 5, juga!” teriak OB alay tadi dengan sok gua elu a la tegalnya.

“So, sori Bang.” Si Botak kaget.

“Gendeng lu!” Gerutu OB alay tersebut nyolot.

“Yee, maap. Biasa aja kali Bang ngomongnya. Saya kan pengen masuk Bang. Kok belum dibuka sih pagernya? Gimana sih jadi penjaga sekolahan…”

“Belum buka lah, guooblok!” Mas alay garuk2 ketek terus nyamperin si Botak sambil ngerogoh-rogoh kantong celananya. Mukanya kayak gak niat gitu.

Sambil ngorek-ngorek lubang gembok pake kunci, si OB alay mengamati pemuda botak di depannya dari ujung rambut sampe ujung sepatunya.

“Situ pake baju seragam sini. Tapi gak pernah liat. Situ anak baru ya?”

“Iye Bang. Emang kagak keliatan kayak anak baru?”

“Kagak. Muka lu kayak alai.” Ujar si OB datar gak tau diri.

Monyet nih orang.

Si anak muda botak bejenggot pun kesel ma tingkah OB resek tersebut. gak berkaca diri. Heran deh.

Gua cabutin bulu keteknya baru tau rasa!

“Kok datengnya pagi amat??” si OB sok keren itu pun mulai bertanya.

“Soalnya saya denger-denger sekolah di Jakarta masuknya lebih pagi. Jadi saya datang rada pagian. Daripada telat? Kayak Abang tadi telat buka pintu pager sekulahan. Mending saya kepagian.”

“Tetep aja masih kepagian, cah ueedan! Jam enam nyampe sini kan bisa. Ini baru aja selesai adzan shubuh, udah dateng. Berangkat jam berapa sih?” Omel si OB dengan mimik ngeselin.

Obrolan mereka nampaknya kurang akur. Sindir-sindiran.

“Jam dua Bang.”

“Hah?!”

“Bau bang… Hah heh hoh, hah heh hoh…” si Botak kebauan. Emang beneran bau tu mulut OB. Gak diurus mulutnya setahun.

“Rajin apa bego sih lu?”

“Ya pan rumah saya jauh Bang di Bekasi. Saya belum bisa prediksi waktu perjalanan. Daripada kena macet??”

“Tapi kan lu berangkat jam 5 juga bisa.”

“Tapi bang...”

“Tapi apa?”

“Tapi kan saya ke sini jalan kaki Bang...”

“??!!” si OB cengok.

“Lupa bawa motor...” si Botak nambahin. Bego bener.

***

Suasana gelap. Sejuk gelap dan menenangkan. Sementara perasaan menenangkan tadi begitu membuai, tiba-tiba terdengar suara-suara panggilan. Dan sensasi tepukan.

“Hei! Bangun...!”

Mata pun terbuka dan di awal pengelihatan, nampaklah seorang wanita manis berbalutkan baju seragam... seragam guru.

Gak salah lagi. Si botak jenggot ketiduran di ruang guru.

“Kamu anak baru itu kan?” tanya guru muda itu sambil menatap dengan pandangan heran.

“Eh, ah… iya mbak…” sahut Botak setengah sadar. Matanya masih sayu. Saking gak sadarnya, dia sampe salah nyebut “Bu” jadi “Mbak”.

Bu guru ini mengernyitkan dahi, berharap ada ralat dari si Botak. “Mbak...??”

“Ah...” si Botak masih kikuk. Biasa. Sindrom bangun tidur. “Ma, maap mbak, eh... salah lagi. Maksud saya, Bu guru… saya ketiduran.”

“Emang kamu nyampe sini jam berapa? Kok saya baru dateng kamu udah selonjoran di pojokan gitu?”

“Ooh itu… saya dateng jam 5 bu. Hoahm…” Si Botak nguap. Garuk-garuk rambutnya yang cuman 2 sentian. “Oya lupa…”

Si Botak salim.

Bu Guru berdecak sambil geleng-geleng kepala. Masih gak abis pikir dengan tingkah polah anak baru satu ini.

“Yaudah, bentar lagi jam setengah tujuh. Kamu cuci muka dulu sana. Saatnya kamu masuk kelas.”

“Siap Bu!” si Botak buru-buru keluar.

“Eeh... tunggu!” Bu Guru manggil si Botak lagi tapi udah terlanjur ngacir tu anak. Bu Guru bergumam, “Emang dia udah tau kamar mandi di sebelah mana??”

Bener aja, di luar sana pemuda bertampang bangkotan ini kelimpungan nyari toilet. Mau balik lagi ke kantor guru juga tengsin. Yaudah, mau gak mau dia nekat nyari sendiri.

Salah gue... milih sekolahan yang favorit. Gede banget, susah nyari toiletnya!

Jam segini, anak-anak murid yang lain udah banyak banget yang dateng. Ada sekelompok anak cowok yang lagi lari-larian, ada cewek-cewek lagi ngerumpi di bawah pohon di taman sekolah, absurdnya ada juga yang lagi main guling-gulingan and tiban-tibanan di lapangan basket. Kira-kira ngapain ya tu anak?

Tapi pertanyaan seperti itu gak mau dibahas sama bocah botak gila ini. Dia masih tengsin ketemu anak-anak yang laen, apalagi bekas ilernya udah jadi kerak dan beleknya udah numpuk kayak emas mentah. Ih.

Lagi bingung-bingungnya, dia nemu juga pintu toilet. Ada dua, tapi dia bingung mana yang cowok mana yang cewek.

Gak ada tandanya.

“Bego bener sih... sekolahan mahal gak ada tanda cowok atau ceweknya...” botak bergumam.

“Ngitung kancing aja kali yak?” dia pun mulai ngitung kancing. Penyelesaian yang ngaco tapi apa daya.

Kanan.

Kiri.

Kanan.

Kiri.

Kanan…

Ah, iya. Kayaknya kiri deh. Dia pun dengan percaya dirinya masuk ke dalam toilet sebelah kiri yang dia yakini toilet cowok.

Tapi emang dasarnya apes. begitu masuk toilet, dia beradu pandang dengan lima orang cewek yang lagi ngerumpi di depan cermin. Gak pake ba bi bu. Lima menit kemudian si botak aneh ini pun keluar toilet sambil meringis kesakitan gara-gara matanya ungu sebelah. Lalu ia pun berjalan ke pintu di sebelahnya. Dan cuci muka dengan sukses. Sementara lima orang cewek pelaku penganiayaan tadi, keluar dari toilet sambil mendengus puas. Anak-anak yang lain memperhatikannya dengan bingung.

Sementara itu di dalam kelas, Ibu Guru muda sedang menenangkan segerombolan anak-anak muda brutal, anarkis, dan sedikit autis. Yap, anak-anak gila itu adalah penghuni abadi 11 IPS 5.
Kelas yang secara gak langsung, dimanfaatin jadi tempat rehabilitasi anak-anak bego. Bego dan brutal tepatnya. Asal tahu aja, anak-anak sini mirip-mirip Neanderthal. Bodoh tapi agresif. Gak seperti anak-anak IPS lainnya, apalagi anak IPA, anak-anak IPS 5 udah tiga tahun orangnya itu-itu aja.

Walaupun begitu, kelas ini paling kompak sob. Maklum, tiga tahun jadi anak kelas sebelas. Begonya, mereka makin kompak kalo ada tawuran.

Padahal sekolah mana yang tawuran. Mereka sekelas nimbrung-nimbrung aja. Gak cowok gak cewek. Udah sikat! Turun semua ke jalan.

Stress emang.

Dan temen kita yang botak itu gak tahu apa-apa tentang kondisi kelasnya yang gak normal. Maafkan pengarangmu ini, nak.

“Heeh… udah-udah! Ibu harap kalian duduk lagi di tempatnya masing-masing! Heh, itu yang tidur di pojokan, bangun! Eehh… Amar! Itu temennya kok digantung di jendela?! Nanti kalo jatuh gimana…??” Si Bu guru muda ngoceh-ngoceh.

Sekedar informasi, guru ini adalah guru ke empat yang dipaksa jadi wali kelas anak-enak gak waras tersebut. Bapak kepala sekolah dan guru kesiswaan rela sujud-sujud demi kerelaan wanita ini menjadi wali kelas. Orangnya cantik dan sabar pula. Tingkat kesabarannya patut diacungi jempol. Hampir menyamai tingkat kesabaran Nabi Ayub.

Percaya deh, mendingan kena borok bertahun-tahun daripada jadi wali kelas IPS 5.

Ardin, murid yang paling mendominasi di kelas ini walaupun bukan ketua kelas, jatuh iba juga melihat kegigihan gurunya yang tersayang itu.

“Woy! Diem, diem! Bu Arini udah dateng tuh! Gak tau diri lu pada!” Ia mulai bangkit dari bangkunya. Dan menjitaki anak-anak satu persatu.

Karena takut melihat keberingasan Ardin, kontan aja anak-anak yang belum kebagian jitakan langsung ngambil inisiatif buat cepet-cepet duduk manis dan meninggalkan aktifitas abnormalnya masing-masing.

Kelas pun tenang seketika. Ardin tersenyum manis pada Bu Arini sambil menaruh pantatnya di bangku.

“Silakan Bu.”

“Hah...” desah Bu Arini, “Seandainya kamu lebih tua lima tahun, lebih baik kamu yang berdiri di sini, din.”

Ardin cengengesan. Anak-anak yang lain—yang emang dasarnya pada sarap—langsung ketawa sambil nimpukin Ardin pake gulungan kertas. Tapi, hanya dengan satu lirikan tajam dari Ardin, anak-anak gak berani macem-macem lagi.

“Maklumin aja deh bu, ya. Udah tiga tahun di sini terus. Udah pada bangkotan. Jadi makin belagu.” Ardin prihatin.

“Yee. Emang lu nggak?” Mande yang duduknya di bangku ke dua nyeletuk.

“Diem lu! Bacot.”

“Eeeeeh... udah, udah! Ardin, si Mande jangan dicekek nanti kalo mati Ibu yang disalahin!” Bu Arini panik ngelihat tingkah barbar Ardin kambuh, dan nyaris ngebunuh satu orang pemuda lemot asal Klaten hari ini tepat jam tujuh lewat dikit.

“Sori, emosi.”

“Yaudah, duduk sana!” Bu guru pun menghela nafas dan bergumam dalam hati, “Sabar Arini, Cuma setahun kok. Cuma setahun. Setahun gak bakal kerasa kalo anak-anaknya nyusahin kayak gini. Percaya deh. Sabar Arini. Tapi kalo udah gak tahan, tuh di rumah ada obat nyamuk bakar. Telen aja kali ya. Soalnya obat nyamuk semprot mahal sih.”

“Ehem… begini anak-anak. Sebelum kita memulai pelajaran, ada hal yang pengen Ibu sampaikan sebelumnya.”

“Ada apa Bu?” Tanya Amar. Murid yang giginya maju dan sekilas dari angle tertentu mirip-mirip Sammy Kerispatih.

“Hari ini, kitaaa… kitaa… kalian tahu apa? Hari ini kita bakal kedatangan murid baru!!” seru Bu Arini dengan penuh gegap gempita. Sambil melebarkan kedua tangannya dan senyum yang merekah. So beud heboh. Anak-anak cuman diem aja.

Suasana garing sejenak. Emang bener kata orang, susah ngajak ngobrol anak idiot. Apa emang Bu Arini yang jayus? Entahlah. Yang pasti, merasa aksinya garing dan harapannya untuk melihat anak-anak bereaksi heboh sudah pupus, Bu Arini merubah sikapnya jadi lebih kalem dan biasa aja.

“Yah. Maksud saya, hari ini kita kedatangan murid baru.”

“Yaaaaaa….” Desah bocah-bocah sekelas lemes. Gak semangat begitu denger ada anak baru.

“Gua yakin nih, tahun ini anak barunya bukan cewek cakep yang kita bayang-bayangin selama ini. Goceng-goceng dah sama gua.” Ujar Ardin dengan penuh gelisah.

“Iya ya, liat aja noh, tahun kemarin si Hoho anak barunya. Si Lampung gila.” Erik menatap kesal pada Hoho. Bocah berponi fans kangen band itu.

“Tahun kemarinnya lagi si Birong. Mana nafasnya bau lagi.” Timpal Butet. Cewek resek asal Medan yang sudah hilang kebatakannya. “Ada kek gitu yang mukanya mirip Vidi Aldiano.”

“Oh… Vidi?? Itu bukannya yang pernah kena kasus pas kelas dua, gara-gara ngintipin toilet cewek ya?? Yang baru lulus kemaren??” celetuk Ali, yang dari tadi asyik dengerin headset pinjeman. Headsetnya doang tapi. HPnya sih mati. Dari kapan tau belum di cas. Males katanya.

Dengerin celetukan Ali, anak-anak sekelas kontan aja ngakak. Butet pun manyun sambil ngegerutu. “Bukan yang itu bego… jelas-jelas komuknya beda jauh… bla… bla”.

“Yaudah, yaudah. Jadi makin ngaco nih obrolannya.” Bu Arini yang sempet tersenyum geli melihat tingkah muridnya yang kadang lucu walaupun sering nyusahin.

“Terus, mana anak barunya??” tanya Tria. Bukan, dia bukan vokalis Changcuters. Dia cewek. Walaupun badannya gak lebih tebel dari Tria Changcuters sih. Tapi cewek ini adalah yang paling kalem dan paling normal dibandingin temen-temennya yang lain. kesalahan dia cuma satu. Masuk ke dalam kelas ini. Bener-bener fatal.

“Oh…” Bu Arini baru inget, “Dia kayaknya nyasar deh.”

“Hah??” anak-anak kompak. Cuma Birong aja yang mukanya ditutup masker sama Ardin begitu ngomong “hahh!”. Takut sekelas pada koleps.

“Dia nyariin toilet dari tadi. Sekarang gak nongol-nongol deh.” Kata Bu Arini sambil melihat-lihat ke luar kelas.

Begitu kepala Bu Arini nongol dari pintu, dia ngeliat bocah cungkring botak, dengan lengan bajunya yang panjang sebelah lagi celingukan.

“Nah tu dia… JAWA! WA! DI SINI KELASNYA NAK!”

Ya, namanya Jawa. Anak bertampang biasa dipukulin ini bernama Jawa. Cukup lucu juga namanya. Mirip-mirip nama personel Maliq & d’essentials. Javafinger yang biasa dipanggil Jawa. Tapi percayalah, anak ini tidak sehebat dia. Namanya doang yang mirip. Muka udah jelas jauh beda. Yang satu jazz banget. Satunya lagi dangdut abis.

Jawa pun menghampiri Bu Arini dengan lega dan tersenyum lebar. Akhirnya ketemu juga.

Bu Arini masuk kembali ke dalam kelas diikuti Jawa dari belakang. Anak-anak sekelas terang aja melihat dengan penuh nafsu ke arah Jawa. Tapi perlu digaris bawahin, nafsu mereka kayak nafsu srigala ngeliat domba. Bukan nafsu kita ngeliat Miyabi.

Apalagi Ardin. Bocah Makassar berwajah ambon bermental algojo.

“Bajunya bagus. Ngejahit di mana??” tahu-tahu Erza nyeletuk sambil nyengir-nyengir ngeselin. Bocah berparas licik tapi lumayan royal.

“Hehehe… emak gue.” Jawa menyahut. Gak sadar lagi dicengin.

“Berarti lagi ngetren ye, lengan baju panjang sebelah. Hahahaha.” Ali nimpalin. Kontan aja anak-anak sekelas pada ngakak.

Jawa senyum menanggapi ulah anak-anak bangkotan di depannya itu, “Maklumin aja deh ye. Emak saya biasa ngejahit kulit robek. Bukan kaen. Hehe.”

“…”

“Kenapa pada diem??” Tanya Jawa keheranan, lantaran anak-anak sekelas pada kicep.

“Mampus, nyokap lu pshyco ya? Gua jadi inget film House of Wax, anjing…” kali ini Muji buka bacot. Bocah bogel rada gila yang hobinya keliling sekolahan. Dan asal lu tahu, dari alumni sampe anak kelas satu, gak ada yang gak kenal ni anak.

“Bukan. Enak aja. Nyokap gue perawat.” Tukas Jawa sambil monyong-monyong saking gak terimanya.

“Yaudah, sekarang nama lu siapa?? Dari tadi bego bener sih mau aja ngejawab bacotan orang gila...” Teriak Ardin dari bangkunya yang paling belakang. Terus dengan enaknya nempeleng Muji yang duduk di depannya. Anak-anak pada ngikik.

“Oh ya, sori. Kenalin, nama gue Jawa Siregar. Pindahan dari Medan.”

“Hahahahahhahaha” sekelas pada ketawa.

“Kok pada ketawa sih?”

“Sebenernya lu orang mana sih?”

“Orang Purwokerto...”

“Kok Siregar??”

“Kata Bokap gue, orang tua asli gue orang Purwokerto. Berhubung waktu gue brojol orang tua gue gak sanggup bayar, gue ditinggalin di rumah sakit. Yaudah, gue diadopsi sama dokter di situ. Dokter Siregar. Berhubung saya dari pulau Jawa, makanya gue dinamain Jawa. Belakangnya pake marga Bokap. Jadi Jawa Siregar. Dan sampe sekarang gue belum tahu siapa orang tua asli gue. Jadi gitu sejarahnya.”

Suasana pun hening sejenak.

“Hahahahaha, lucu juga lu ye!” tiba-tiba Ardin ngakak sendiri, memecah sunyi. Sampe-sampe dia pake jeduk-jeduk kepala segala ke meja.

Sementara anak-anak yang lain terdiam.

“Hahhahahahahaha!”

“Hahahaha”

“Haha”

“Ha…” tawa Ardin makin garing begitu sadar kondisi temen-temennya yang bengong. Bengong sambil terharu demi mendengar kisa pilu Jawa. Ardin salting sendiri. “Lebay lu pada ah!”

Bener kan? Ardin emang punya selera humor yang ekstrim.

“Kesian Din...” Dai turut memberikan suara. Bocah metal berwajah babyface, “Tu anak boleh nemu Din.”

“Iya, Din. Lu parah lu.” Kali ini Sulton ikut-ikutan. Bocah kurus mirip Cina, rada freak dengan suara nge-Bass a la Patrick Star-nya. Dialah pemuda paling cupu dan tertindas di kelas ini. Biarpun mukanya nyolot, tapi tiap hari sering ditiban rame-rame sama anak-anak sekelas.

Menanggapi Sulton, Ardin gak pake ngomong. Tau-tau langsung disamperin aja.

“AAAAAAKKKHHH!!! Sakit goblok, sakiiit…” Teriak Sulton tiba-tiba. Ternyata Ardin lagi ngegigit pundaknya.

Jawa melihat adegan kekerasan itu rada ngeri juga. Tapi Bu Arini udah keburu menjambak Ardin demi melepaskan gigitannya.

“Udah-udah! bener-bener deh. Ardin! Kamu duduk lagi sana. Tenang aja, ini Ibu bawain tulang. Nah Jawa, kamu duduk di sebelah Butet aja sana ya. Kebetulan bangku yang kosong ada di situ.”
“Ya Bu.” Jawa nurut. Ia pun dengan kalem duduk di sebelah Butet dan menaruh tasnya di atas meja.

Butet tersenyum ramah, “Hai, anak muda.”

“Hai”

“Gue juga dari medan lho.”

Siapa yang nanya… gumam Jawa dalam hati.

“Hehe. Iya. Orang medan juga ya.”

“Umur lo berapa?”

“17 tahun.” Jawab Jawa. Dia rada heran kali ini. Bagaimanapun juga, umur bukan hal yang perlu ditanyain buat temen sekelas. “emang umur lo berapa?”

“20 tahun”

“…”

“Kok diem?”

“Du, dua puluh??”

“Iye mank kenapa? Norak lu ah. Anak-anak yang lain juga udah pada bangkotan. Tuh si Ardin, yang mukanya paling galak, umurnya 25…”

“Hah…”

Tolong, seseorang bilang ke gue kalo gue salah masuk ke sekolah rakyat….

“Yaaa…” Butet memicingkan matanya sambil menyeringai menyeramkan, “Lama-lama juga lu bakal beradaptasi di sini. Enjoy aja!”

Perasaan Jawa pun jadi gak enak tanpa sebab.

***

DUAK!!!

Now, you are officially pimped!” kata Ardin sambil bangkit. Tersenyum puas dan bersahabat. Ada Dai dan Mande yang nemenin Ardin di situ.

Sementara di bawahnya ada Jawa yang nyengir gara-gara digebukin. Sekarang dia baru tahu, makna dibalik semua perasaan gak enaknya selama sekolah berlangsung.

Lengkap sudah. Mata Jawa sekarang udah ungu dua-duanya. Satu pukulan yang nonjok abis buat Jawa.

“Sadis lu...” Dai berkomentar.

“Biarin. Emang kenapa??” Ardin merasa gak salah, “Gue suka ma anak ini. Dia punya gaya.”

“Lu mah kebiasaan! Dikit-dikit mukul. Seneng ma orang, mukul. Sebel ma orang, mukul juga. Dasar Tukul!”

“Biarin sih Dai! Ini tuh cara lelaki. Gak ekstrim lu ah. Payah lu. Masa iya pengen gua cium?? Lebih gak normal lagi.”

“Iye tapi anak orang mati ini…” sekarang Mande buka congor.

“Kagak. Udah gua atur kekuatan gua. Gabakal mati. Tadi tuh cuman 10% dari total kekuatan gua. Cuman cicak yang bakal mati dengan kekuatan segitu.”

“Kayaknya keseringan nonton Dragon Ball lu.”

“Bacot lu!” Ardin sewot. “Wa, lu gak apa-apa kan? Tenang aja, itu tabokan tanda persahabatan dari gua. Bangun lu! Jangan kayak banci.”

Jawa masih ling-lung. Perih banget rasanya. Pusing pula. Dia pun berdiri dengan susah payah sambil dibantu sama Dai.

Ardin tersenyum dengan muka yang lebih bersahabat kali ini. Lalu menjabat tangan Jawa yang masih lemes. Satu hal yang Jawa pelajari hari ini. Masuk ke dalam sebuah komunitas tidak semudah yang kita bayangkan.

“Selamat datang, di XI IPS 5.”

***


1st Chapter oleh Pattra Lidan

Read More ......

Soulmate in The Shadow

-

Message Box of 3G’s Farewell


Vel, thanks ya udah mau temenan sama gue yang suka Telmi ini. Oya, jadi orang jangan dingin2 nape? ntar jadi es lo. hahaha…maap kalo jayus..
Oya, gw gak nyangka klo kita sepupuan (parah! baru tau sekarang). Gw harap hubungan keluarga besar kita bisa membaek. Kan kalo membaek, kita bakal sering ketemu di arisan ato di acara keluarga lainnya. Amin...hahaha… Sukses yo….moga2 kita lulus UAN&Keterima di SMA yang kita inginin.
Awan Utama Aridipta


Mba’ Ayuuuu, tak terasa kite bakal pisah. 1 taun cepet banget yak? Walopun nanti kite pisah, tetep ngelenong bareng yak? Mmm..klo bole nih gue sampein, lo itu unik mba...dingin banget jadi orang, tp kalo di atas panggung, bisa atraktif &bawel gitu. Bener-bener artis berbakat.haha..Tapi lebih baek lg, klo sifat lo di panggung bisa nular ke sifat asli lo. Serem klo ngeliat muka lo jutek terus. Hehehe…ntar SMA lo ikut lenong lagi ye...
Mia si bola bekel


Veli yang cuantik, tapi judes kayak mak lampir, sukses yo ceuy..Don't forget this your handsome friend. Hohoho...thanks dah jadi temen gue, gak bosen dengerin bualan gue n’ ngelayanin ke TP-an gue... Jgn lupain gue kalo dah jadi org! Tapi klo nanti gak jadi org, lupain gue juga nggak apa-apa…. Hohoho….
Bye-bye Veliku yang namanya panjang bener kayak kereta api…
Love, Danish yang kiyut banget… hahaha…


Veli itu emang irit ngomong (padahal namanya nggak irit), Hehehe.,., tapi sekalinya ngomong suka menarik perhatian. Cos, yang dikomentarin suka frontal, dewasa, bahkan terkadang nggak nyambung sama topik. Hehehe.,.,.,peace Vel. But, itu nggak masalah kok Vel..Gue tetep temen lo yang siap ngedengerin dan jgn pernah berfikir kalo di dunia ini elo sendirian (ingat itu!). Btw, boleh nanya sesuatu nggak? Cowok yang waktu itu mojok sama lo di deket lift pas malem prom siapa sih? Wah kacau nih… ada sesuatu yang lo sembunyiin dari gue!!! Cerita-cerita dong Vel! Gue aja ditolak Lexi (sang manajer basket gue yang bawel) ,cerita-cerita ma lo! Masa lo enggak cerita apa-apa sih ke gue?
Reza Ilham Prayoga


Assalamua’laikum Arvitananda Arvelia Pramuswari Abitama Aridipta alias Veli,,,
Nggak nyangka kita bisa ketemu di sekolah dan di kelas 3G ini!! Gue mang nggak kayak Awan yang baru sadar kalo lo sodaraan sama kita. Gue sih dah nyadar dari jaman masih orok. Gue juga tahu karna ada something’s wrong… hubungan keluarga lo dan keluarga besar kita jadi nggak baik. Akhirnya, kita jadi jarang ketemu deh…
Tapi gue nggak mikirin permusuhan itu… biar aja kita yang muda tetep contact-contactan, yang ribut mang yang tua-tua aja. Hehehe…
Pesen gw, shalat 5 waktu. Sorry kalo menggurui,tapi memang itu adanya.
Wassalam…
Muhammad Bilal Aridipta


Vel, thanks y dah jadi my seatmate yg baek..walopun kadang gue suka takut sama elo. Sorry ya kalo gue sering lelet, ngaret, bego dan sering bikin lo naek darah. Ta, ta, tapi, bo, boleh nggak gu, gue muji satu hal? (ceritanya ngomongnya terbata-bata karna jiper).. Lo sebenernya cantik n’ manis loh Vel.. Senyum dikit dong…
Oya,, lo akrab banget sih sama Reza?? Gue iri deh… Hohohoho… B’canda Vel…
Love Imelodia


Salut Vel! Comment vas tu?
Hei judes! Walopun gue cuma setaun sekolah di SMP ini, gue ngerasa dah sayang banget ma lo…tapi sebenernya…gue bingung kenapa orang sejutek elo bisa punya temen banyak dan disayang sama kita-kita. Hiiiiihhhhh!!!! menurut gue yang mau temenan ama elo itu cuma orang bego! (termasuk gue dong…) Jadi Arvitananda Arvelia bla..bla..bla.., janganlah terus-terusan membuat teman-temanmu di kelas 3 G ini jadi kelas 3 Goblok! Caranya adalah dgn tidak judes, galak-galak dan selalu TERSENYUM!
Pesan: Teruslah bermain teater dan lenong!
Alexia Francoise Sidarta (Lexi)


Veli… apa kabar? I just wanna say I love u so much.. tp gue pikir lo nggak usah tahu gue ini siapa. Biarlah gue mencintai lo dari jauh. Lo mau tebak ini tulisan siapa? Gue rasa nggak bisa. Gue minta tolong orang yang lo nggak kenal buat nulisin ini. Gue tahu karena kelulusan SMP ini, nanti-nantinya kita bakal pisah, tapi gue akan terus menjaga lo dari jauh dan hanya gue dan Tuhan yang tahu itu. Oya, jangan terlalu deket sama Reza, Danish, Bilal dan Awan… Reza itu omongannya gede. Danish itu penjahat cinta. Bilal itu munafik dan Awan itu sok polos.
By: Your very secret admire

Sambil menyunggingkan senyum seadanya, Veli membaca semua memo dari teman-teman kelas 3SMPnya yang ia tempel rapi di dinding kamarnya. Memo itu ditulis di kertas warna-warni pada saat acara perpisahan kelas di rumah Awan tujuh tahun silam. Acara sederhana itu diadakan setelah hari UAN terakhir. Di secarik kertas itu, semua anak mencurahkan isi hatinya kepada teman-teman terdekatnya. Setelah itu, kertas digulung dan dimasukkan ke dalam toples yang sudah ditempel karton kecil bertuliskan nama masing-masing anak. Saat itu, Veli tak menyangka akan mendapatkan toples yang berisi gulungan kertas sebanyak ini. Dalam hati ia berguman, bisa juga gue punya temen.

------------------------------------


PROLOGUE:
eorang wanita bergaun pengantin berlari menyusuri lorong yang sempit dan gelap.

Gema langkah kakinya yang cepat mengikuti irama detakan jantungnya. Rambut ikal sedadanya tergerai bebas, terlepas dari jepit rambutnya.

Ini hari apa? pikirnya Kenapa aku berpakaian seperti ini?

Wanita itu terjatuh. Rok gaunnya mengembang indah seperti mahkota bunga melati.

Tiba-tiba terdengar suara langkah sepatu mendekatinya.

Siapa? Wanita itu kontan menoleh. Mata coklatnya yang lentik langsung membelalak.

Rupanya teman khayalannya datang lagi. Pria itu kini berada tepat di depannya.

Cepat! Katakan padanya tentang keadaan hidupmu yang sekarang! Kata hatinya memekik seketika, tertuju kepada sesosok pria yang berjalan ke arahnya itu. Caranya berjalan begitu tenang dan gagah. Kedua tangannya ia masukan ke kantung celana bahannya.

Katakan bahwa sekarang aku seorang pemain teater berbakat! Kini aku berbeda dari Veli yang dulu!

Lagi-lagi kata hatinya mengomporinya. Tapi, untuk mengatakan hal itu, ia merasa belum memiliki rasa percaya diri yang cukup. Lagipula kelihatannya pria itu sudah tertarik padanya. Buktinya, untaian tangan kini terhantur di hadapannya.

Wanita itu menyambut dan menggenggam tangan pria itu kuat-kuat. Pria itu membantunya berdiri. Kemudian pria itu memberikan sebuah kalung berbandul huruf ‘N’ yang terbuat dari emas putih.

“Merci..(1)” Perasaan wanita itu berubah nyaman. Akhirnya kalung kesayangannya kembali padanya. Selama ini, ia tak bisa hidup tenang tanpa kalung itu.

Tetapi, ketika wanita itu hendak menerima kalung itu dari tangan si pria, dadanya sesak tiba-tiba.

Laki-laki ini memiliki kebiasaan buruk itu! Detakan jantungnya menjadi keras. Rasa pusing menyerang kepalanya seketika.

Wanita itu segera memegangi kepalanya dan berjuang melawan benaknya. Berkali-kali ia memejamkan matanya.

Namun terlambat, sebuah kendaraan besar tiba-tiba muncul entah dari mana dan menghancurkan dinding lorong. Pria itu kandas tertabrak kendaraan dan kini kendaraan itu mengincar dirinya.

“AAAAAH!” wanita itu berteriak. Namun tak ada yang menolongnya. Ia sendirian. Tak punya teman.

*******

“HAH! HAH! HAH!” Veli langsung terbangun duduk dari tempat tidurnya dan mengatur nafasnya yang sesak. Wajahnya yang kata orang mirip Mariana Renata penuh keringat. Tak ada suara yang menyeruak di kamar kecil perseginya ini selain bunyi kipas angin dan tarikan nafasnya yang tak teratur.

Mimpi itu lagi! ia menyibak rambut ikalnya ke belakang seraya menggenggam erat kalung berbandul ‘N’ yang melingkar di lehernya. Jantungnya berdetak lebih hebat daripada di mimpinya. Apalagi di luar sana hujan sedang turun dengan lebatnya. Kilat yang menyambar membuat pikirannya menjadi lebih paranoid.

Untuk menenangkan dirinya, cewek bertinggi badan 175 cm ini menyalakan lampu kecil dan mengambil gelas berisi air putih yang ia taruh di meja pelitur samping tempat tidurnya. Tindakan seperti ini merupakan ritual khusus yang ia lakukan kalau mimpi buruk itu lagi-lagi mengusik tidurnya.

Sampai kapan ‘dia’ terus menganggu di tidurku? seraya meneguk cairan bening itu, matanya menerawang ke arah dinding kamarnya yang bercat biru muda. Foto bergambar dirinya semasa kecil bersama ayahnya yang menggantung di dinding sejenak menenangkan hatinya dari mimpi buruk itu. Namun, hanya sedikit.

Ia melirik ke sebelah kiri, ke arah telepon genggamnya yang bercasing biru. Telepon genggam bermodel slide itu menarik perhatiannya.

Apa gue telepon Fara aja sekarang? Ia berpikir bahwa saat inilah dirinya harus membagi masalahnya kepada orang lain. Orang lain itu pun bukanlah orang sembarang. Ia adalah Fara, sepupu sekaligus orang terdekatnya selama ini.

Akhirnya, Veli mengambil telepon genggamnya dan mencari contact ‘Fara si cungkring’.

Tapi jangan deh! Ia mengembalikan telepon genggamnya ke atas meja Biarlah ‘dia’ terus ada di mimpi gue dan cuma gue yang tahu keberadaannya batinnya seraya membenamkan kepalanya lagi di atas bantal.

**********

Chapitre 1
Le Commencement (The Beginning)

“Klik!”

“Klik!”

“Klik!”

“Klik!”

“Klik!”

………

………

“Klik!”

……….

“Adddduuuuuhhhh! Faraaaaa! Apa-apaan sih lo?! Emangnya lo kira gue nggak capek apa difoto-foto terus kayak gitu?!” setelah mencoba bersabar untuk sekian detik, Veli tak kuasa menahan emosinya. Bagaimana tidak? Pagi ini kan ia datang ke studio foto Fara untuk beristirahat dari kepenatan di rumah. Bukan untuk melayani blitz-blitz kamera yang menyilaukan itu.

“Habisnya muka lo lucu sih Vel…” Fara menghampiri Veli yang tengah tidur-tiduran di sofa katunnya yang buluk. Maklum, fotografer kurus jangkung ini –alias cungkring- paling malas bersih-bersih ruangan. Mulai dari lembar-lembar foto, bungkus mie instan sampai buntelan-buntelan kertas bercecer di pelosok ruangan. Untung saja studio mini yang terletak di ruko tua bilangan Manggarai ini jarang didatangi pelanggan. Kalau tidak, pasti pelanggan akan risih melihat kondisi ruangan berkarpet abu-abu yang berantakan ini. Apalagi kalau memperhatikan dinding ruangannya. Poster-poster seperti simple plan, RHCP, My chemical romance, Linkin Park, Muse, dan band-band lainnya penuh menutupi dinding. Veli sampai pusing dan tak bisa menebak cat dinding dari ruangan ini.
Kalau soal menjaga kebersihan badan, Fara juga sama malasnya. Mandi saja jarang. Padahal kalau dilihat-lihat, wajah imut mirip orang Asianya cukup menarik. Sayangnya, sifatnya yang jorok dan malas menata diri mengurangi minat kaum hawa kepada dirinya.

Kaum hawa?

Ya...kaum hawa! Fara adalah seorang cowok yang nama dan –terkadang- kelakuannya mirip cewek. Nama panggilannya memang Fara, tetapi nama panjang fotografer amatiran berusia 24 tahun ini adalah Farahman Aulia A. Apakah kepanjangan dari huruf A di belakang kata ‘Aulia’ itu? Banyak rekan seprofesi atau klien yang bertanya kepadanya. Namun, Fara tak pernah mau menjawab. Jika ditanya, ia hanya cengar-cengir sambil menggaruk-garuk rambut pendek model Baim Wongnya yang ketombean.

“Mau tau nggak lucunya dimaNNNAAA?!” Fara kembali mengeluarkan suara cemprengnya di dekat telinga sepupunya itu sambil menjulurkan lidahnya yang bewarna biru. Biasa... ia memang senang memakan permen yang bisa luntur di lidah begitu. Tentu saja tingkahnya itu membuat Veli naik pitam. Menurut Veli, kelakuan Fara itu amat norak dan kampungan untuk seorang cowok yang sudah berusia 24 tahun. Namun seperti biasa, Fara tidak memperdulikan emosi Veli.

“Lucunya itu…” Lanjut Fara seraya mengamati wajah Veli dengan penuh penghayatan “walaupun mukanya jutek atau lecek, lo tetep aja cantik.”

“Gombal!” karena kesal mendengar ocehan Fara, Veli meraih ember kosong yang kebetulan berada tak jauh dari dirinya dan menutupi kepala Fara dengan ember itu. Kalau sudah begini, Fara tak bisa berkutik. Padahal usianya lebih tua tiga tahun dari Veli.

“Daripada lo ngoceh nggak jelas gitu, mendingan lo siap-siap anterin gue ke rumah buat ngambil baju!” tatap Veli sayu seraya beranjak dari sofa “Abis itu gue mau ke rumah Lexi buat didandanin ke acara kampus. Terus sore nanti, baru gue pergi ke kampus. Nih kunci mobilnya Far!”

“MAKSUD LOH?! Semuanya gue yang nganter?!” Fara melepaskan ember dari kepalanya dan memamerkan wajah teler dan bibirnya yang mencong kepada Veli. Sungguh menyebalkan! Jelek banget mukanya!

“Ya iyalah!” seru Veli ngebossy seraya melempar kunci mobil kijangnya ke arah Farah “Nanti malem kan ada acara penghargaan teater fakultas di kampus, gue harus tampil keren dong. Tau sendiri gue nggak bisa dandan. Jadi gue minta tolong Lexi buat dandanin gue. Kan gawat kalau penampilan gue nggak oke nanti pas naik ke atas panggung.”

“Naik ke atas panggung? Cuih! PD banget lo bakal menang terus ngucapin ucapan terima kasih di atas panggung!” ledek Fara sambil ngupil.

“Ya iyalah. Setiap tahun kan gue selalu menang!” ucap Veli mantap “Kalau gue menang Far, gue dipercaya untuk memainkan peran utama di pementasan festival seni Eropa taun ini.” Lanjutnya penuh dengan kebanggan dan keluar meninggalkan ruangan mini ini.

Sepeninggalan Veli, Fara masih tak beranjak dari sofa buluknya. Ia memandangi kunci mobil Veli dan menghela nafas dengan dalam.

Veli....Veli... sampei kapan lo egois gini?! Batin Fara seraya berjalan menuju sebuah tirai merah yang biasa ia pakai untuk background foto studionya.

Kemudian ia menyibak tirai itu dan memandang beratus-ratus karya rahasianya yang tertempel di dinding balik tirai itu. Sudah jelas. Semua lembar foto itu menggunakan Veli sebagai objek. Foto ketika Veli SD, SMP, SMA, sampai kuliah saat ini terkumpul di sana.

Apa sih menariknya Veli bagi Fara? Mengapa ia begitu gemar memotret sepupunya itu?

Veli tak lebih dari seorang mahasiswi sastra Prancis di sebuah perguruan tinggi negeri. Selain berkuliah, cewek berusia 21 tahun ini juga aktif di sebuah UKM teater di fakultasnya. Selama menyandang predikat sebagai mahasiswi, ia sudah menyabet empat penghargaan di bidang teater. Meskipun dalam kesehariannya Veli amat kaku berekspresi, actingnya sangat menyentuh dan sempurna di atas panggung. Cara berpakaiannya yang nyentrik pun membuatnya terkenal di fakultasnya.

Bagi Fara, Veli adalah sosok perempuan yang cantik, menarik, percaya diri, modis, tetapi jutek, egois, tertutup, galak dan kurang menghargai orang. Terkadang ia mengeluarkan sikap yang menyiratkan bahwa ia bisa hidup tanpa siapa pun. Tanpa keluarga. Tanpa sahabat. Tanpa kekasih. Namun ketika sedang membutuhkan seseorang, baru dia kelimpangan mengejar-ngejar orang itu. Jadi kesannya egois dan ngebossy.

Tapi walaupun gue tahu elo egois, entah kenapa gue sayang banget sama elo… Fara masih terus berkata-kata di dalam hatinya. Dengan senyum sedikit menyungging, ia mengambil salah satu foto yang tertempel di balik tirai itu. Foto itu bergambar ketika Veli wisuda SMA. Di foto itu, seperti biasa, Veli tak memperlihatkan seuntai senyum di bibirnya. Tak hanya di foto itu, semua foto yang kini tertempel di hadapan Fara kini tak ada yang berhasil menunjukan senyuman manis Veli. Semua mimiknya seragam, penuh dengan tatapan dingin dan sayu.

Namun bagi Fara, tatapan itu justru membuatnya gemar menjadikan Veli sebagai objek fotonya. Ia merasa ada sebuah rahasia di balik pandangan juteknya yang justru menarik. Dan ia percaya, suatu hari kelak, ia akan mendapatkan foto Veli yang sedang tersenyum. Tapi, ia tak tahu kapan.

The next chapter:
Chapitre 2
L’histoire de la Famile (The History of a Family)

***


1st Chapter oleh Nadia Silvarani

Read More ......

Prolog

-

PROLOG



Matahari terik menyengat lapisan kulit ariku. Beberapa pejalan kaki terdengar mengeluh tentang betapa panasnya hari ini. Mungkin pengaruh dari pemanasan global , ya, bumi ini makin tua. Dan Jakarta sebagai salah satu kota penyumbang polusi penyebab pemanasan global terbesar di Indonesia juga “puuuaaaanaaaaassssnyaaaaaaa minta ampun !”.

Aku berjalan malas menyusuri trotoar Jalan KH. Syafi’i yang penuh dengan debu dan asap kendaraan. Jadwal kuliah siang ini sama sekali tidak menarik minatku, Akuntansi Menengah, Laboratorium Auditing, dan Statistika Ekonomi. Weeks!! Seharian penuh dengan a-n-g-k-a? Siapa yang tahan? Aku? Kalau saja bukan terpaksa karena keinginan ayah, sejujurnya, tidak pernah kepikiran sama sekali menjadi mahasiswa jurusan akuntansi. ‘ Akuntansi itu selalu diperlukan sepanjang masa’, begitu katanya mencoba untuk membuatku memahami betapa pentingnya akuntansi sebagai penjamin hidup di masa depan. Parahnya bukan hanya beliau yang berpendapat demikian. Pak’de, Bu’de, bibiku, pamanku, semuanya mendukung keputusan beliau. Alhasil suaraku kalah melawan kumpulan suara manusia-manusia feodal itu.

Sejak kecil aku tidak pernah tertarik sama sekali dengan segala hal yang berbau angka. Memang kontras dengan ayahku yang kata orang adalah seorang akuntan hebat. Miring sedikit saja dari kupingnya seakan keluar pasal demi pasal PSAK(1) . Tidak seperti ayahku, aku lebih tertarik dengan benda-benda yang bisa mengeluarkan bunyi merdu, gambar-gambar yang bisa menghipnotisku dengan keunikan coretan warnanya, atau gerakan luwes para penari dan pemeran ketoprak di panggung rakyat yang biasa kutonton di Balai Seni Desa di kampung tempat nenekku tinggal.

Ayah sering membelikanku ‘KOMPAS’ untuk kubaca setiap berita keuangan yang ditulis. Maksudnya supaya aku mempelajari setiap istilah-istilah ekonomi yang dipakai dunia saat ini. Tetapi tidak ada yang membuatku tertarik dari berita ekonomi bahkan warna-warni kurva dan grafik IHSG(2) saja tidak menarik perhatianku. Bagian Bisnis dan Keuangan selalu kukembalikan ke rak koran di ruang tengah, sebaliknya bagian tentang Budaya dan Seni selalu kusimpan sebagai kliping. ‘Kamu nggak mungkin bisa makan dari seni, Ra.’ ucap bibiku suatu hari saat aku mencoba mencari pendukung untuk membujuk ayah supaya membolehkanku kuliah di jurusan seni atau design. Apakah kalian setuju dengan pendapatnya? Oke, mungkin kalian setuju. Tapi aku tidak setuju dengan pendapat itu. Bukan karena memang aku ingin sekali masuk sekolah seni atau sekolah design, tapi apa dia tidak pernah berpikir bahwa dengan seni pun kita bisa menembus dunia? Leonardo Da Vinci tidak akan terkenal tanpa Monalisanya, JK. Rowling tidak akan kaya dengan Harry Potternya, bahkan Gita Gutawa tidak akan digandrungi cowok-cowok tanpa suaranya . Dan tidak ayal jika suatu saat nanti, satu tahun kedepan atau sepuluh tahun kemudian aku bisa terkenal sebagai seniman seperti Slamet Raharjo atau Sutardji Colzoum Bahcri. Aku mulai membayangkan berada di arena yang hanya diterangi cahaya redup kemerahan, memainkan peran sebagai gadis berkerudung yang melantunkan sajak-sajak indah, sangat menjiwai dan para penonton bersemangat memberikan applause karena puas dengan atraksiku. Hehehe….

‘Aw, Sori!’ ucapku spontan.

‘Kalo jalan liat-liat dong!!!’ ceracau seseorang yang tanpa sengaja kutabrak saking berapi-apinya aku mengkhayal sambil berjalan tadi. Yang kutabrak langsung pergi sambil mendengus kesal.

Lamunanku tanpa terasa telah membawaku sampai di St. Tebet. Wew, kelihatannya ramai sekali hari ini. Berbagai jenis potongan manusia saling berjejalan di sepanjang peron.

‘Keretanya ketahan, Neng. Listriknya mati.’ ujar salah seorang bapak menjawab tanda tanya yang terpancar diwajahku.

‘Biasa, Indonesia. Kereta bekas juga dipake aja. Seneng barang-barang bekas kali ya orang-orang Indonesia?’ lanjutnya mencoba berkelakar.

gue nggak suka barang bekas, kok.’ ucapku, tentu saja dalam hati. Tidak tega menyela pendapat bapak tersebut yang sepertinya merupakan usaha untuk menghibur hatinya yang kesal karena kebrobrokan pemerintah dalam hal perkereta-apian. Jadi aku hanya menanggapinya dengan senyum simpul yang manis.

‘Kuliah, Neng?’

‘Iya.’

‘Dimana?’

‘UI.’

‘Jurusan?’

‘Akuntansi.’

‘Wah, Hebat! Jadi boss dong nanti kalau lulus. Akuntansi bagus itu, neng. Masa depan cerah. Apalagi lulusan UI. Hebat banget si eneng ini. Nanti anak bapak juga mau dikuliahin di Akuntansi juga. Soalnya kan pasti tiap tahun diperluin tuh. Tapi jangan di UI deh, mahal hehehe. Wah si eneng ini Hebat euy!’ komentarnya panjang dengan menekankan huruf ‘H’ untuk kata ‘hebat’. Menyebalkan.

Oke, sekali lagi orang berpendapat, Akuntansi itu ‘KEREN BANGET’. Dan aku adalah anak akuntansi, jadi aku termasuk orang ‘keren’. Hmm, cukup menghibur.

Kereta tidak juga muncul. Sudah satu jam aku menunggu dengan si-Bapak-Yang-Suka-Akuntansi-Berlogat-Sunda ini dan dia masih saja berceloteh tentang pentingnya akuntansi untuk jaman sekarang. Kadang kala diselingi komentar-komentar sinis tentang ketidakjujuran para pejabat pemerintah menyangkut keuangan negara. Kata-katanya yang mengalir tanpa hambatan itu tak ada satupun yang berhasil memasuki telingaku. Hanya sekedar manggut-manggut saja untuk menghargai presentasinya. Justru aku lebih tertarik memperhatikan informasi di sudut halaman koran yang sedang dipegangnya. Sesekali mataku terpaksa mengikuti gerakan tangannya mengayun-ayunkan koran untuk memastikan tulisan yang tertera di dalamnya.

“ Tarian Hutan “
June 6th, 2009
Lab. Musik dan Tari Condet,
20.30 wib
Koreografer by Drupadiwati

Pikiranku langsung menerawang ke sekumpulan penari-penari wanita dan pria yang berlenggak-lenggok elok sesuai irama musik etnic membawakan napas hutan belantara yang mistis. Darahku langsung berdesir, membayangkan aku duduk langsung menontonnya.

Ya, aku harus menontonnya.
-----------------------------

(1) Pedoman Standar Akuntansi Keuangan. Kamus tebal yang menjadi pedoman dalam melakukan pembukuan akuntansi.

(2) IHSG, Indeks Harga Saham Gabungan.

***


1st Chapter oleh Ratna Indahswari Muharja

Read More ......

Tuesday, June 16, 2009

25 Days Angel

-

Unpredictable Beginning..


6 Juli 2007
18:00

“kita makan malam di CAT’z yuk Ra! Kamu ga ada schedule terbang kan hari ini?? ” ajak ka’Jasmine, yang selalu menggiringku untuk makan malam di restaurant favoritnya-CAT’z. Ka’Jasmine adalah kakak sepupuku, aku biasa memanggilnya ka’Jas. dia seorang wanita modern dan tegar yang baru saja bercerai dari suami keduanya yang berkebangsaan Spanyol.

“aduh ka, aku lagi males banget keluar rumah” jawabku males-malesan.

“ayo dong ra.., aku mau ketemu relasi nih tapi males sendirian” rayu ka’ Jas dengan suara mendayu-dayu “kamu boleh makan apa aja deh” tambahnya.

Dengan badan gontai aku melangkah malas menuju kamar mandi setelah menutup telfon dari ka’Jas. Semenjak satu bulan yang lalu putus dari Daniel-pria yang sudah menjadi pacarku selama 2 tahun- aku jadi sering merasa malas untuk keluar rumah. Hubunganku dengan Daniel sangat mendalam. Daniel sangat mencintai aku, begitu juga denganku.kami hampir saja menikah Namun orang tua Daniel tidak merestui hubungan kami karena pekerjaanku sebagai pramugari. mereka menginginkan calon menantunya menjadi ibu rumah tangga dan sayangnya aku tidak bisa mengindahkan keinginan mereka karena selain aku memang tidak ingin menjadi ibu rumah tangga yang hanya berdiam diri dirumah,aku masih terikat kontrak dua tahun kedepan dengan maskapai tempat aku bekerja.pada akhirnya aku dan Daniel memutuskan untuk berpisah Walaupun terasa sangat menyakitkan. Ka’ Jas tahu benar perasaanku, itulah sebabnya dia tidak pernah membiarkan aku larut dalam ke-tidak-aktifan-ku pasca putus dari Daniel.


20:05
di CAT’z
Kami langsung menuju Table yang sudah di-Reserved ka’ Jas sebelumnya dan langsung memesan makanan. selang beberapa menit kemudian teman relasi ka’Jasmine pun tiba. sementara mereka langsung terlibat pembicaraan bisnis, aku mengamati sekelilingku. Suasananya cukup ramai, banyak sekali executive muda yang sedang menikmati makan malam selepas pulang kantor, atau hanya sekedar bersantai bersama teman-teman mereka. Dan yang paling terlihat jelas pada restaurant ini adalah banyak sekali orang asing yang berada disetiap sudut ruangan, mengingat memang CAT’z adalah International resto&longue.

Sebagai wanita normal berusia 27 tahun aku sempat tertegun melihat wajah-wajah tampan para eksmud dan bule-bule yang berada disana. Aku menghabiskan sepotong fish&chips sambil tetap memperhatikan orang-orang disekitarku.

----


Selesai ka’Jasmine meeting dengan relasinya, dia mengajakku menuju CAT’z Lounge yang berada digedung yang sama, namun berada diruangan yang berbeda. Disana tampak lebih ramai daripada restaurantnya. Terdengar suara dentuman keras yang ditimbulkan dari musik yang sedang dimainkan sebuah group band internasional yang anggotanya orang-orang berkulit hitam.

“mau duduk dimana Ra??” Tanya ka’Jasmine.

“terserah.. dimana aja” jawabku pasrah.

“cari meja deket panggung yuk, katanya band yang lagi main ini bagus loh ra” ajak ka’ jasmine sedikit berpromosi.

“di ujung situ aja ka’..” kataku sambil menunjuk meja yang berada diujung tepat didepan panggung.

Ini sudah kali ke empat aku ikut ka’Jas ke CAT’z Lounge. Namun kali ini terasa agak aneh. Mungkin karena suasana hatiku yang masih ‘melow’ pasca putus cinta dengan Daniel ditambah suasana yang begitu riuh diruangan ini. Aku mendapati banyak sekali wanita-wanita Indonesia yang berpasangan dengan pria asing. Mereka terlihat begitu bahagia dan bergembira. Hatiku tiba-tiba merasa sepi ditengah keramaian. Pikiranku melayang… andai saja aku masih bersama Daniel pasti aku bisa terlihat bahagia seperi wanita-wanita itu.

“woy! Disini bukan tempat ngelamun!” teriak ka’ Jas memecah lamunanku.

“eh… nggak kok..” jawabku agak sedikit kaget.

“liat tuh bandnya keren banget! walaupun orang kulit hitam tapi mereka manis-manis ya..” canda ka’ jas sambil tertawa renyah berusaha membuatku tersenyum.

“iya keren, lagu yang dibawain juga TOP 40” sahutku berusaha membuatnya senang.

----


Aku meneguk segelas whiskey-cola yang dipesan ka’ Jasmine untukku, sambil memandangi dengan seksama para anggota band itu. Mereka terdiri dari lima orang laki-laki dan satu orang perempuan sebagai vokalis utamanya. ketika aku sedang tertegun menikmati irama musik, tiba-tiba salah satu dari mereka tersenyum padaku.

“Ra! Pemain gitarnya senyumin kamu tuh!”

“iya aku lihat….yah.. namanya juga pemain band, kan harus senyum sama semua orang..”

“iya tapi dari tadi aku perhatiin dia ngeliatin kamu terus Tiara!!” ka’Jasmine berbicara penuh antusiasme yang tinggi.

“biarin aja ka’ dia kan punya mata untuk melihat” entah kenapa jawabanku jadi ketus.
Dari pada kelamaan disenyumin sama anggota band itu dan terlalu banyak memikirkan Daniel, aku mengajak ka’Jas turun ke dance floor.

“akhirnya tergoda juga buat nge-dance??” ledeknya.

“dibandingin mikirin yang ga penting mendingan seneng-seneng aja sekarang iya kan?” kataku meyakinkan. Aku berusaha keras untuk bersenang-senang bersama ka’Jasmine tanpa embel-embel Daniel dikepalaku.


----


aku dan ka’Jasmine kembali ke-table, dan para pemain band pun rehat sejenak, sementara itu digantikan musik dari Dj yang ga kalah serunya. Selang beberapa waktu kemudian……………..

“hello…..” sapa sesosok pria berkulit coklat sawo matang agak kemerah-merahan, berwajah manis dan bertubuh tinggi besar.

“hai…” balasku dengan perasan kaget yang luar biasa, karena ternyata yang menyapaku adalah salah satu personel band yang barusan saja tampil. Tepatnya….. pemain gitar yang dari tadi tersenyum padaku.

“how are you?my name is blake. Blake Adams” Tanya-nya sambil menyodorkan tangan memperkenalkan diri.

“Tiara” jawabku singkat sambil membalas jabatan tangannya.
Ka’Jas hanya tercengang melihat kenyataan bahwa pria itu benar-benar menghampiri dan menyapaku.

Pria yang bernama Blake itu bertanya apakah aku baik-baik saja.karena ia memperhatikanku dari atas panggung, dan katanya wajahku terlihat payah.

“No, really im ok” jawabku meyakinkannya.

“ok Tiara,enjoy your time, nice to meet you, I have to go back on stage” jawabnya tersenyum sambil berjalan menjauh dari meja-ku menuju panggung.
Belum sempat aku tersadar dari ‘shock’ akibat perkenalan dengan pria yang bernama Blake itu. Tiba-tiba………….. ia berjalan cepat kembali kearahku. Dengan sangat mengagetkan untuk kedua kalinya! Dan meminta nomor handphoneku.
WHAT….!!!!

“Sorry I cant” jawabku tanpa pikir panjang. parahnya lagi aku langsung begegas melarikan diri menuju kamar mandi, Meninggalkan ka’Jasmine dan Blake (yang sudah pasti penuh tanda Tanya…..)

----


Ka’ jas menyusulku ke kamar mandi, ia mengatakan padaku bahwa ia merasa aneh dengan sikapku. “kan Cuma minta nomer telfon doank ra?” Tanya ka’ jas.

“tapi aku ga bisa,……….”

“Daniel?” ka’ jas mengerutkan wajahnya.

“he-eh” aku mengangguk.

“ya ampun ra, cowo ini minta no handphone, bukannya mau ngawinin kamu!” ia memegang pundakku.“udahlah Ra jangan dipikirin terus, sekarang kita balik lagi ke table yuk, aku ajak kamu kesini untuk bersenang-senang, bukan untuk sedih-sedihan gini..” ka’Jas menyemangati aku.

“did I do something wrong?? Do I scared you?” Tanya Blake dengan raut wajah cemas.

“sorry its not your fault, its all about me” terangku padanya.

“Tiara im sorry for anything that might happened to you but, would you please give me your number, I have no longer time,my shows waiting and we can talk later” blake tetep kekeuh meminta no ponselku dengan penuh harap dan terburu-buru.

Akhirnya aku memberinya juga, dan setelah Blake selesai tampil diatas panggung. aku dan ka’Jas langsung bergegas pulang Karena waktu sudah menunjukan pukul 2 dini hari. ka’Jas mengantarku pulang ke apartemen. Aku memasuki ruang tidur ku dengan perasaan gamang, disambut dengan segelas teh yang dibuatkan bibi-yang masih terjaga menungguku pulang (karena aku lupa memberinya kabar).

▪▪



1st Chapter oleh Amrita H.I.

Read More ......

Sunday, June 14, 2009

He's Back

-

[One]


He's Back!

MALAM yang dingin…

Angin malam menusuk tulang. Sang kepala keluarga, Takeshima Takuya, duduk di sofa empuk yang berada di ruangan itu. Sedangkan, sang ibu rumah tangga, Takeshima Yuri, duduk di sofa yang dekat penghangat sambil meminum teh panas untuk menghangatkan dirinya. Kurumi yang masih berumur 2 tahun duduk di samping Yuri dan menonton TV yang sedang menayangkan kartun kesukaannya. Masih pertengahan bulan Januari.

“Dingiinnn…!!!” erang Miruku yang buru-buru berlari mendekati penghangat ruangan.

“Oh! Ayolah, Miru!” tawa Jun, saudara kembar Miruku.

“Masa begini saja sudah kedinginan!” ledek Jun sambil memainkan remote TV yang disertai erangan Kurumi karena channel yang sedang ditontonnya diganti Jun.

“Aku kan sensitif, Jun!” gerutu Miruku.

“Sudahlah, Jun, Miruku… Kita kan baru melewati tahun baru. Masa baru awal tahun baru kalian sudah berantem?” lerai Yuri sebelum Jun mengeluarkan semburan kata-kata ledekan lagi.

“Tapi…” lanjut Jun. “Ah, sudahlah!” dia memasang mimik cemberut.

Miruku dan Kurumi tertawa melihatnya. Sesaat kemudian, Miruku berjalan menuju dapur dengan mengenakan sandal Cinnamoroll kesukaannya.

“Miru!” Jun berteriak.

Miruku berpaling ke adik kembarnya itu. “Apa?”

“Tolong buatkan aku teh ya?” katanya sambil menyunggingkan senyum termanisnya.

“Ugh…” keluh Miruku. “Baiklah…”

“Thanks!” katanya.

“You're welcome.”

***

“Haah…” keluhku sambil menuangkan teh ke mug favoritku dan mug favorit Jun. “Kenapa aku tidak dapat menolak Jun, ya?”

“Itu artinya kau kakak yang baik, Miruku.”

Aku berpaling ke arah sumber suara, ibu. “Oh, mama.” kataku. “Mama ingin tambah teh-nya lagi, ya? Sini kubantu,” kataku seraya mengambil mug dari tangan ibu.

Aku sedang menuangkan teh ke mug ibu ketika terdengar lagu Nightmare yang dinyanyikan oleh Snow, yah... aku memang fans berat sama anime Jigoku Shoujo, sampai-sampai seluruh soundtrack anime itu aku miliki semua, complete, gitu lo...

“Ah, ponselku!” aku menaruh teko teh yang tadi kupegang di meja. Mama mengambil alih untuk menuang teh yang tadi belum selesai kutuang. “Maaf,” kataku. Sebelum mengangkat teleponku, aku melihat layarnya, Nishizaki Kazehiko.

“Moshimoshi? Nishizaki-kun?” kataku.

“Takeshima-san? Bisakah kau menemuiku sekarang?”

“Apa?!” aku menjerit sambil mencari sosok mama. Dia telah pergi menuju ruang utama. “Tapi sekarang sudah…” aku melirik jam tanganku. “Jam 10 malam… Memangnya ada masalah apa?”

“A… Ada yang ingin kubicarakan,”

“Mengapa tak bicarakan sekarang saja??” sahutku sambil menyesap tehku.

Hening sejenak.

“Halo?” kataku. “Kau masih di sana?”

Tuut… Tuut…

Sambungan terputus.

“Ada-ada saja!” kataku. Aku memegang mugku dan berjalan menuju ruang utama. Di sana mama menatapku penasaran.

“Dari siapa, Miruku?” tanyanya.

“Dari teman,” sahutku.

“Teman laki-laki atau perempuan?” tanya Jun.

“Teman laki-laki,” kataku. “Memangnya kenapa?”

“Oh… kukira Mika-san… Jadi, Siapa dia?” katanya. Mika-san itu salah satu dari BF-ku…

“Em... Itu lo… BF-mu, Nishizaki-kun.”

“Oh… Kaze-kun… Kenapa dia meneleponmu??”

“Ih?? Kok aku merasa seperti pencuri diinterogasi polisi, ya?” kataku, tapi aku menjawab pertanyaan adikku juga. “Dia bilang mau bicara sesuatu sama aku dan dia mau ketemuan sekarang, tapi aku bilang sekarang sudah jam 10 malam, jadi aku menolaknya…”

“Terus??” desak Jun, jawabanku masih belum memuaskannya.

“Terus…. Aku tanya kok ngak sekarang saja bilangnya, terus sambungannya putus deh…”

“Yaahhh… Kok kamu putusin, sih??? Lagi seru tuh!!”

“Lagi seru apaan??! Lagian dia yang putusin kok! Bukan aku! Huh! Ngasal nuduh aja kamu! Aku mau tidur dulu!”

Aku memberi hormat kepada papa dan mama yang sedang tersenyum melihatku dan Jun berargumen. “Selamat tidur, pa, ma.”

“Selamat tidur, Miruku. Tolong antar Kurumi ke tempat tidurnya juga ya.”

“Baiklah, ma,” kataku. “Yuk, Kurumi.”

“Ya, kak.”

Aku dan Kurumi menuju lantai dua tempat kamarku dan kamar-kamar lainnya berada. Rumah kami memang termasuk cukup besar. Keluarga kami pun termasuk keluarga kaya, sehingga aku, Jun, dan Kurumi bersekolah di St. Garden yang seluruh muridnya kaya-kaya, namanya St. Garden karena orang yang mendirikannya sangat menyukai tanaman, awalnya sih mau dikasih nama St. Green, tapi diganti, habis kurang keren sih... Yah… memang aku kagum sih… kepada papa dan mama yang menikah muda, tetapi berhasil menghidupi kita, bahkan menjadi salah satu keluarga yang paling dihormati. Menurutku papa-mamaku adalah pasangan paling perfect deh... di dunia...

Aku menggandeng Kurumi menuju kamarnya dan kemudian aku menuju kamarku sendiri.Aku menggosok gigi dan setelah itu, aku menuju tempat tidurku. Mataku tertuju pada sosok cowok di foto yang dipajang di mejaku.

“Sudah lama sekali ya…” kataku sambil memegang foto itu. “Kikuya-kun.”

***

Aku mengingat kembali masa 1 tahun yang lalu, ketika aku kelas SMP 3. Kasuga Kikuya adalah murid baru di kelasku. Ia tampan dan tinggi. Tak heran jika banyak anak perempuan yang menyukainya, tak terkecuali aku.

Aku tak berani mendekatinya karena aku tak percaya diri. Sampai suatu hari, ia memanggilku ke halaman belakang sekolah yang sepi, dan memintaku untuk jadi pacarnya. Aku bingung sekali harus menjawab apa.

Akhirnya aku bertanya, “Mengapa aku?” Dia mengatakan dengan polosnya, “Karena menurutku, kau itu paling lucu dibandingkan cewek-cewek lain.”

“Lucu?” kataku heran, merasa tersinggung.

“Ah…” katanya. “Maksudku… Ehm… Manis…” katanya sambil menutup mukanya yang sekarang semerah tomat.

Aku heran. Ternyata dia bisa malu juga, pikirku.

“Jadi, apa jawabanmu?” tanyanya dengan wajah merah padam.

Aku yakin sekarang wajahku juga merah padam, “Ya,” jawabku.

Sejak saat itu, aku dan Kikuya-kun berpacaran, meski hubungan kami harus berlanjut sampai hubungan jarak jauh. Keluarganya pindah ke Amerika karena ada urusan pekerjaan, tentu saja Kikuya-kun ikut pergi juga.

Tetapi, Kikuya-kun berkata,”Aku akan kembali 1 tahun lagi. Pasti. Tunggulah aku.”

“Baiklah, akan kutunggu.”

***

Tunggulah aku.

Aku mengingat-ingat kata-kata itu, kemudian tersenyum sendiri.

“Aku tak sabar lagi, Kikuya-kun.”

Ya, bulan depan akan tepat 1 tahun, dan dia akan pulang, pikirku.

Tiba-tiba, pintu kamarku terbuka. “Miruku? Kau bicara pada siapa?” tanya Yuri.

“Oh… Tidak kok… Aku hanya berbicara sendiri. Ha…ha…”

Yuri menghela napas. “Sudahlah, lekaslah tidur…”

“Baik, ma.”

Pintu kembali tertutup. Aku naik ke ranjangku dan menggegam foto itu sampai aku tertidur lelap.

***


Aku membenamkan wajahku ke syal dan mengeratkan mantel hijau ku. Setiap kali aku bernapas, muncul uap-uap putih. Yah… memang masih dingin. Salju-salju putih mulai turun sejak tengah malam kemarin. Sekarang, tumpukan salju-salju putih menggunung di jalan-jalan sekitar.

Sebelum beranjak dari rumah, aku telah gugup. Yah, hari ini aku akan mengungkapkan perasaanku pada Takeshima Miruku. Tapi, mengapa orangnya sendiri belum muncul-muncul juga? Apa dia terlambat bangun?, pikirku. Kutarik kembali pikiranku itu setelah aku melihat sosok gadis berambut hitam panjang yang kukenali sebagai Takeshima-san.

Di pintu gerbang Taman Gransy, taman yang biasanya dikunjungi Takeshima-san sebelum pergi ke sekolah, Takeshima menoleh ke kiri-kanan seperti mencari sosok seseorang. Barulah aku sadar kalau bangku tempat aku duduk dihalangi oleh air mancur yang terdapat di pusat taman itu. Baru ketika aku berencana untuk beranjak berdiri, aku melihat siluet berkacamata hitam mengilat, sepertinya kacamata miliknya itu barang bermerek. Aneh juga, ada yang memakai kacamata di saat-saat dingin seperti ini.

Aku melihat ekspresi Takeshima-san berubah ketika melihat cowok berkacamata hitam tadi. Ekspresi Takeshima -san bukan heran atau canggung, tetapi ekspresinya seperti bertemu orang yang dicintainya. Takeshima-san berlari ke arah cowok tadi dan memeluknya.

“Kikuya-kun! Bukankah bulan depan baru kau akan pulang? Kenapa tidak meneleponku? Gimana kabarmu? Sehat-sehat saja kan? Kamu selingkuh, ngak?” tanya Takeshima-san.

Aku kaget sekali. Selingkuh? Itu pacarnya?? Kenapa Jun tak pernah cerita padaku kalau ternyata Takeshima sudah punya pacar?, berbagai pertanyaan muncul di benakku.

“Satu-satu dong pertanyaannya!” sahut cowok tadi sambil tertawa. “ Bingung nih!”

“Wah! Suaramu jadi beda ya?!” kata Takeshima-san. “Jadi rendah.”

“Tentu saja!” kata cowok tadi riang.

“Kamu tidak berubah,” kata Takeshima-san.

“Ada kok. Aku tambah tinggi,” cowok itu mencoba bercanda.

“Bukan secara fisik, tau…” sahut Takeshima -san. ”Ah! Nishizaki-kun!” Cowok tadi langsung berpaling mengikuti tatapan Takeshima-san, ke arahku. “Kok bisa ada di sini?” tanyanya.

“Err....” aku kehilangan kata-kata.

“Lalu? Apa yang ingin kau bicarakan semalam?” tanya Takeshima-san.

Aku jadi canggung. Tak mungkin aku mengungkapkan perasaanku di depan orang yang tak kukenal, apalagi yang kucurigai sebagai pacarnya Takeshima-san, kan? Gimana ya? Hmmm…

“Nishizaki-kun?”

“Ah… Eh… Itu… Hari ini kau ada ekskul pagi, er… buat ambil nilai! Semalam wali kelas kita baru memberitahuku bahwa yang ikut ekskul desainer, hari ini ada ekskul tambahan, ya, gitu!” ya ampun… Moga-moga dia percaya, hanya itu yang terpikir olehku.

“APA???!!! Oh, iya! Kenapa sekarang baru diberitahu sih? Sekarang kan uda jam 07.55?! Mana ekskulnya jam 08.00 lagi! Tau gini, aku naik mobil saja!!” teriakannya membuatku tersentak, percaya juga dia.

Dia berkata kepada cowok tadi, “Kikuya-kun! Nanti aku baru telepon kamu! Sampai nanti!” Kemudian dia berlari cepat-cepat keluar dari taman, menuju stasiun.

Setelah Takeshima-san pergi, cowok tadi pun sepertinya langsung ingin meninggalkan taman itu, tetapi langsung kucegah. Apa yang kulakukan?? Dia menatapku sebentar dengan kacamata hitam yang baru dipakainya itu, lalu berkata, “Ada apa?”

“Er… Kita kan belum kenalan… Aku Nishizaki Kazehiko,” kataku sambil mengulurkan tanganku, berencana untuk menjabat tangannya.

“Kasuga Kikuya,” katanya tanpa menghiraukan tanganku yang masih terangkat di udara, dan berjalan pergi. Tidak sopan banget, pikirku. Ah, sudahlah! Sekarang aku harus menemui Jun untuk meminta penjelasan tentang cowok tadi.

Aku mengambil kunci mobilku, dan dengan kecepatan angin, aku mengendarai mobil sport-ku menuju rumah keluarga Takeshima.

----------------------------------------


1st Chapter oleh Felicia Jesslyn

Read More ......

Cinta Itu Kamu

-

1


Di sebuah taman yang berada di belakang SMA Putih.

“Yen, kita putus aja ya?” ucap Drey perlahan tapi pasti.

Arlen terpaku. Menatap cowok yang sangat ia sayangi dengan pandangan kosong. Ia tak mampu berkata apa-apa. Hanya setetes air mata jatuh mewakili perasaannya saat ini. Sesuatu yang tak mau terpikirkan oleh pikirannya, tiba-tiba terjadi.

“Kkk..kenapa?” tanya Arlen pelan sambil menyeka air matanya cepat.

“Gue ngerasa–“ Drey menggantungkan ucapannya. “Gue…mulai sayang sama cewek lain, Yen.”

Arlen menghela napas. Menahan segala emosinya. “Siapa?”

“Ada.”
“Siapa?” ulang Arlen nggak puas.

Drey nggak langsung menjawab. Pandangannya beralih ke suatu arah. Arlen mengikuti pandangan Drey. Setelah menoleh, perasaan Arlen semakin hancur.

“Maafin gue, Yen. Gue nggak ada maksud–”

“Nyakitin perasaan gue?” potong Arlen cepat.

Drey mengangguk samar.

“Sejak kapan lo pindah hati, Drey?” tanya Arlen dengan suara bergetar.

“Sejak–.”

“Kenapa lo bisa sayang sama dia, Drey?” potong Arlen dengan mata berkaca-kaca.

“Gue mulai bosen sama lo. Lo nggak bisa perhatian lebih ke gue. Lo tuh terlalu cuek, Yen. Gue nggak tahan harus dicuekin lo mulu. Sedangkan Tya perhatian banget sama gue,” ucap Drey perlahan tapi pasti.

“Ohh, gitu? Hhhhhhh…Ya mau gimana lagi? Gue cuma bisa pasrah lo pindah ke lain hati,” ucap Arlen datar. “Semoga lo bahagia deh!” lanjut Arlen sebelum meninggalkan Drey di tempat itu.

● ● ●

“Yen…Ayen sayang…bangun dong…udah siang nih…ntar kamu telat sekolah loh!” ucap seorang wanita sambil mengelus rambut anaknya.

“Ayeeeeen…” ulang wanita itu agak keras.

Namun hal itu tak membuat anaknya bergeming sedikit pun.

“Ayeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeennnn banguuuuuuuunnn!!!” teriak wanita itu akhirnya.

GEDUBRAK!!! Anak gadis itu pun terbangun meskipun dengan kepala di lantai dan kaki menjuntai ke atas. Mengenaskan.

“Ayen bangun, Mah!” ucap anak gadis itu dengan mata sayu nan bengkak.

“Mata kamu kenapa? Kok bengkak gitu? Kamu abis berantem ya?” tanya Mama Arlen sambil memegang pipi anaknya.

Arlen buru-buru mengalihkan pandangannya dan bergegas menuju toilet. Melihat itu, wanita itu keluar kamar anaknya dan menuju dapur. Biasalah…membuatkan sarapan untuk anak-anak terkasih dan tersayang.

Di dalam toilet, Arlen menyalakan shower yang sukses mengguyur tubuhnya. Di sela air shower yang mengalir, air mata pun ikut konvoi di wajah Arlen. Setelah samar-samar mendengar suara Mamanya dari dapur, ia pun buru-buru sabunan, mematikan shower dan handukan.

“Kakak kamu mana sih? Lama bener mandinya!” ucap Mama pada seorang laki-laki berbaju SMP yang udah nangkring di meja makan, kursi makan lebih tepatnya.

“A’u ah, Mah. Palingan dia lagi meratapi nasib gara-gara diputusin sama pacarnya!”

“Hah? Emang kakak kamu udah punya cowok?” tanya Mama berlagak syok.

“Biasa aja dong, Mah, tampangnya. Masa Mama lupa sih sama cowok yang sering ke rumah?”

“Emm…siapa ya? Oh Mama tau. Si Kyo temen kakak kamu dari TK itu kan?”

“Yaelah, Mama…bukan!!! Itu loh, yang naik mobil BMW warna item!”

“Mama nggak pernah perhatiin tuh!”

“Ya udahlah. Capek jelasin sama Mama.”

“Oh kamu capek? Kalo gitu kamu berangkat sekolah jangan naik motor, biar si Gito yang anter. Oke??” sahut Mama nggak nyambung.

Tangan kanan Wicky terangkat dan menempel di jidatnya. Cape deeeeeh! Saat ia akan menyantap roti yang sudah diracik dengan ramuan terdasyatnya, tiba-tiba satu tangan meraihnya. Tanpa merasa bersalah si pencuri berjalan menjauhinya.

“Ayen brangkat, Mah!” ucap si pencuri.

“Ayeeeeenn!!! Tuh roti gue bikin selama lima belas menit, tau nggak??” jerit Wicky nggak terima rotinya diambil gitu aja.

“Enggak tau tuh! Makasih ya! Daaaaa…” sahut Arlen sambil melambaikan tangannya.

“Liat tuh si Ayen, Mah! Tega banget sama aku!”

“Ya kamu bikin lagi kenapa sih?? Kakak kamu itu kan sekolahnya lebih jauh dari sekolah kamu!”

“Ah, Mama! Ayen mulu yang dibela!”

“Kamu ini udah berapa puluh juta kali sih mesti dibilangin, kalo manggil kakak kamu mesti pake ‘Kak’! Masa manggil cuma namanya doang?! Udah ah, capek ngomong sama kamu!” sahut Mama membalas ucapan Wicky beberapa saat yang lalu.

Alhasil, kini Wicky mengolesi rotinya dengan tampang manyun semanyun-manyunnya.

“Ngapain manggil si nenek tuwir pake titel ‘kak’? Nggak akan pernah!” gumam Wicky.

● ● ●

Di dalam kelas, Arlen nggak begitu bersemangat. Kepalanya di letakkan di meja. Ia pun menutup matanya. Baru saja ingin terbang ke alam mimpi, tiba-tiba satu gebrakan di meja membuat badannya kembali tegak. Seluruh siswa di kelas itu pun kontan memandang ke arah bangku Arlen yang berada di pojokan.

“Kamu mau tidur apa ngikutin pelajaran saya??” tanya Pak Dinar, sang guru Fisika.

“Eee…ee…ya ikut pelajaran Bapak lah!” sahut Arlen seraya tersenyum garing.

“Tapi kenapa kamu tidur??”

“Tadi itu saya…” Arlen garuk-garuk pipi, gogok-gosok hidung. “Eng…saya tadi lagi ngambil pulpen saya yang jatuh, Pak! Jadi keliatan lagi tidur deh!” lanjutnya.

“Trus mana pensilnya? Sudah ketemu?”

“Eng…udah kok, Pak!” sahut Arlen cepat.

“Ya sudah, sekarang semuanya kembali perhatikan saya,” ucap Pak Dinar sambil kembali ke depan kelas.

Arlen menghela napas lega. Lega banget. Saat matanya bertemu dengan mata Kyo yang duduk pojokan yang lain, Arlen nyengir. Kyo hanya geleng-geleng kepala.

Kriiiiiiiiiiiingngngngngng…Bel pelajaran pun berakhir. Membuat seluruh siswa gembira tak terlukiskan. Oke, berlebihan. Saat Arlen lagi membereskan buku-bukunya, Finda yang duduk di sampingnya duluan ke kantin, Kyo datang menghampiri.

“Napa sih lo? Biasanya lo semangat waktu jam Pak Dinar.”

“Nggak tau nih, Kyo. Gue ngerasa bete aja. Nggak mood!”

“Gara-gara?”

Arlen menghela napas dan menggeser letak pantatnya agar menghadap Kyo.

“Kemaren Drey mutusin gue.”

“Hah??? Masa sih? Yang bener???” sahut Kyo syok.

“Yaiyalah! Masa yaiya sih?” sahut Arlen gemes.

“Serius niiih!?” ucap Kyo nggak percaya.

“Gue empatrius!” sahut Arlen sambil mengangkat keempat jarinya.

“Emang masalahnya kenapa sih, heh?”

Arlen tak langsung menjawab. Ia diam sejenak. “Dia udah sayang sama cewek laen.”

What? Siapa sih, Yen?”

“Lo tau kan si Widya anak cheers itu? Yang kegatelan itu? Yang kaya cacing kepanasan kalo udah Drey main basket?!”

“Ooh…yang ‘ntu! Kok bisa sih?”

“Ya mana gue tau?! Udah ah, muales baaanget gue ngebahasnya! Kita ke kantin aja nyok! Laper gue!”

Sok atuh!”

Keduanya pun berjalan beriringan menuju kantin. Persahabatan yang mereka jalin udah berjalan sejak TK. Kenapa cowok secuek Kyo bisa sahabatan sama cewek secuek Arlen? Kan mereka sama-sama cuek? Ah, repot amat! Ya gara-gara punya kesamaan itulah mereka bisa sahabatan! Gyeeeeerrr…bukan gara-gara itu kok mereka bisa sahabatan.

Waktu mereka masih ingusan di TK, yaeyalah masa di SMA? Mereka ketemu waktu si Arlen jatuh dari ayunan karena saking tingginya. Nah, jatuhnya tuh oke banget! Nggak sakit! Ya soalnya dia nimpa si Kyo yang lagi asyik-asyiknya duduk di taman.

Kontan si Kyo marah-marah. Ngomel ampe mulutnya berbusa. Dengan cueknya si Arlen memasukkan permen lolipop miliknya ke mulut Kyo. Dan si Kyo pun berhenti ngomel. Dia malah asyik ngemut permen. Setelah abis lolipop yang ada di mulut, eh si Kyo dengan cueknya minta lagi.

“Lo pikir gue pabrik permen, apa? Beli sendiri dong!” ucap Arlen sambil berkacak pinggang.

“Nggak ada yang bilang lo pabrik permen tuh!” sahut Kyo cuek.

“Lo anak siapa sih? Kok nyebelin banget!?”

“Anak Mama Papa gue lah! Masa anak kambing??”

“Nggak ada yang bilang lo anak kambing tuh!” balas Arlen sambil berlalu.

Ucapan Arlen bikin Kyo keki. Ia tersenyum sendiri. Baru kali ini ia nemuin anak seumuran yang mirip dengannya. Entah kenapa, Kyo menyusul Arlen. Dan mulai hari itu, persahabatan pun terjadi.

● ● ●

Arlen berjalan menuju rumahnya sambil ngemut permen lollipop. Di tengah jalan, tiba-tiba seragamnya terciprat oleh air yang berada di jalan akibat melintasnya sebuah mobil mewah. Kontan Arlen syok dan langsung berteriak memaki si pengendara mobil sambil mengusap-usap seragamnya yang kotor.

“Sialan! Padahal besok masih dipake nih seragam! Ancriiiit! Susah ilang, lagi ah!” dumelnya sampe mulutnya monyong.

Mobil mewah tadi tiba-tiba sudah ada di sampingnya. Tapi Arlen tak mempedulikannya. Setelah putus asa karena seragamnya nggak bersih-bersih, ia melanjutkan perjalanannya.

“Hei! Tunggu!” ucap seorang cowok yang keluar dari mobil.

Arlen berhenti melangkah. Cowok itu menghampiri Arlen.

“Sori. Lo nggak papa kan?” tanya cowok itu dengan tampang perhatian.

Arlen meliriknya tajam. Namun setelah melihat tampang cowok tadi, lirikannya menumpul. Apa siiih…???

“Nggak papa. Lain kali diulang lagi ya?!” sahut Arlen cuek.

“Ya…sori. Gue tadi lagi SMSan. Jadinya nggak liat jalan.”

“Owh, gitu?! Emang lo nggak tau ya kalo di sini tuh dilarang main hape saat mengendara?!” ucap Arlen datar.

“Emang ada peraturannya gitu?” sela tuh cowok.

“Ya ada dong!”

“Kata siapa?”

“Ya kata gue lah! Masa kata paman becak? Kan yang tadi ngomong gue!”

Cowok itu tertawa pelan. Alis Arlen terangkat satu. Ya ampyun…senyumnya…nggak kuku deyh… batin Arlen centil.

“Kenapa ketawa? Lucu ya?” tanya Arlen jaim.

“Yah, dikit. Oh iya, lo nggak papa kan kalo gue tinggal? Soalnya gue buru-buru mau les bimbel.”

“Heh, emangnya lo siapa gue? Pertanyaan yang aneh!”

“Ya udah kalo gitu, sekali lagi sori ya udah bikin seragam lo jadi kotor.”

“Iye, iye!”

“Gue duluan ya…Arlen,” ucap cowok itu sambil menghampiri mobilnya.

“Weh? Darimana lo tau nama gue? Kenalan aja belum!”

Telunjuk cowok itu menuju seragam Arlen. Sambil tersenyum, cowok itu masuk ke dalam mobilnya dan melesat pergi. Arlen memperhatikan seragamnya. Sret! Matanya menatap bedge di dada kanan seragamnya. Pantesan! Dia liat nama gue di seragam! Payah banget sih gue! Sempet mikir gue tuh terkenal banget!

Arlen menatap mobil silver yang menjauh itu. Tampangnya cakep banget! Wajah tipe korea, lagi! Ya ampyun…Delicious banget deh! batin Arlen sambil tersenyum. Namun tak lama senyumnya hilang. Idih! Kok gue jadi kecentilan gini sih? Iiiiihh!!!

● ● ●

Arlen menatap langit-langit kamarnya yang dicat papan catur sambil merentangkan tangannya di atas kasur. Diliat dari tampangnya sih, kayaknya lagi mikir ini anak. Tapi ternyata pikirannya kosong. Dia sendiri aja bingung pengen mikir apaan.

“Yen, dipanggil mama tuh! Disuruh makan!” ucap Wicky di depan pintu kamar Arlen.

“Iya, ntar gue makan juga. Tapi nggak sekarang,” sahut Arlen dari dalam kamar.

Wicky langsung meninggalkan kamar Arlen setelah mendengar ucapan kakaknya itu. Ia kembali duduk di kursi makan bersama mama dan papanya.

“Kakak kamu mana?” tanya Papa pada Wicky.

“Katanya ntar aja makannya. Dia lagi males.”

“Tumben males. Biasanya kalo udah jam segini udah nangkring di meja makan,” ucap Papa heran.

“Ayen baru aja putus dari pacarnya, Pah!” ucap Wicky sambil menyendokkan nasi ke dalam mulutnya.

“Kata siapa?” tanya Arlen yang tau-tau udah berdiri di belakang Wicky. “Sok tau lo!” lanjut Arlen sambil menoyor kepala adiknya.

“Ya gue taulah! Gue kan punya indera keenam,” sahut Wicky pede.

“Penting ya dibahas sekarang?” sahut Arlen gondok.

“Udah, udah. Hobinya kok berantem di meja makan sih? Udah lanjutin makannya!” ucap Mama menengahi.

Wicky mencibir ke arah Arlen. Namun wajah Arlen pura-pura nggak tau. Dia lgi males ngeladenin adiknya yang super duper sangat nyebelin itu.

---------------------

1st Chapter oleh i'm not perfect

Read More ......

Friday, June 5, 2009

Silver Land - The Beginning

-

Bab I
Di Ambang Kegelapan



Hujan deras mengguyur seluruh Padang Wuste tanpa ampun, begitu derasnya hingga tanah-tanah tercungkil dari akar-akar rerumputan hijau Padang Wuste, menyebabkan tanah berlubang dimana-mana dan cacing-cacing keluar dari tempat persembunyian mereka. Namun tetap saja cacing-cacing tidak seberuntung siapapun yang membenci hujan malam ini, karena hujaman air hujan yang tajam dan merusak tanah itu langsung saja membelah tubuh lembut-berlendir mereka menjadi dua.

Akan terjadi sesuatu disini.

Lédgard duduk tenang di atas kuda putihnya yang justru terlihat sangat tidak menikmati suasana hujan ini. Hewan itu menghentakkan kakinya berulang kali dan meringkik pelan dengan nada gelisah. Lédgard menarik tali kekang kuda itu, mengelusnya pelan.

“Tenanglah sedikit,” gumamnya.

Seolah mendengar gumaman penunggangnya yang tentu saja terganggu oleh derasnya suara air hujan yang mengguyur kepalanya, kuda itu menghentikan hentakan kakinya dan berdiri tenang. Dan setelah memastikan bahwa tunggangannya sudah benar-benar tenang, dia menegakkan punggungnya, menggenggam erat pedang di sarungnya.

Laki-laki itu menyipitkan matanya, berusaha keras menatap ke seberang padang yang gelap. Sementara di seberang sana, sejauh dia bisa melihat, berdiri sebarisan Ragma dengan membawa golok panjang bergagang hitam kasar, menatap lawan mereka dengan pandangan buas sekaligus menjijikkan. Mereka berpostur tinggi besar dengan sisik-sisik berlendir menutupi tubuh mereka sebagai pengganti kulit lembek manusia. Sepasang tanduk muncul di dahi mereka, tanduk yang sangat beruntung jika bisa diperoleh para tukang sihir sebagai bahan pembuat Tongkat Pemantra Hitam, karena Ragma jelas tidak mau memberikan tanduk mereka secara cuma-cuma, walau disodori sepuluh mayat manusia sekalipun. Dan itu memberi alasan bahwa Ragma tidak memihak pada siapapun. Mereka akan membunuh dan memakan siapapun—apapun—kalau lapar, kawan mereka sekali pun.

Tapi kini mereka berdiri di belakang Vradlér, Putra Api.

“Berpihakkah mereka pada Vradlér?” Hérsh, pasukan infanteri, menggumam sendiri. Ia tidak terlalu bodoh untuk tahu bahwa Ragma tidak mudah diajak bersekutu, tapi...

“Kalau aku tewas, Lédgard, tolong rawat anakku...”

“Tanpa mengurangi rasa hormat, Yang Mulia, tapi itu adalah kata-kata paling buruk yang pernah terlontar dari seorang raja.”

“Oh, buruk, menurutmu? Meskipun kemungkinan itu bisa saja terjadi? Kupikir kau pernah mengajakku berpikir realistis...”

“Realistis dalam menghadapi kenyataan yang sudah terjadi, Yang Mulia! Dan apakah menurut Yang Mulia, kematian yang Anda khawatirkan itu sudah terjadi?”

Selama beberapa saat, Vraez Eben diam.

“Yang Mulia?”

“Aku hanya mencoba untuk menebus kesalahanku.”

Lédgard tertegun. Kata-kata itu terdengar menakutkan, bahkan Lédgard tidak beruaha untuk menyangkal bahwa Vraez Eben merasakan kegentaran. Ini pertama kali-nya dalam hidup, Lédgard melihat rajanya berwajah muram.

“Anak yang bahkan belum lahir itu bukan kesalahan Anda, Yang Mulia...”

“Bahkan kalau nantinya dia harus menanggung apa yang telah diperbuat ayahnya dulu? Kau mengerti kan, akhirnya, Lédgard? Aku melakukan semua ini hanya untuknya, untuk Sabrina, dan untuk tanahku Landv. Dan aku akan tetap melakukannya walaupun itu adalah hal terakhir yang bisa kulakukan.”

Lédgard menatap pria yang bahkan tingginya hanya setelinganya ini, tapi entah kenapa ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya lebih besar dan tinggi darinya. Vraez Eben tak pernah menunjukkan kelemahannya pada siapapun, bahkan pada istrinya pun tidak, kecuali dengan Lédgard. Vraez Eben terlalu mempercayainya, bahkan mungkin jika seandainya Vraez Eben memiliki nyawa kedua yang harus dijaga, dia pasti akan mempercayakan Lédgard untuk menjaganya, alih-alih menyimpannya sendiri. Lédgard merasa ngilu.

Tak tahukah dia kalau aku ini jauh lebih hina darinya?

Tiba-tiba saja bunyi deras hujan seperti teredam oleh suara yang muncul di kepalanya. Dia tahu apa yang terjadi. Vraez Eben mencoba untuk membesarkan hatinya dan seluruh pasukannya tanpa harus berteriak-teriak.

“Ini aku,” suara itu terdengar berat dan tidak terdengar ramah di telinga Lédgard, namun anehnya, membuatnya merasa sangat nyaman. “Kalian adalah orang-orang paling berani yang pernah berperang bersamaku. Apapun yang terjadi, aku sangat bangga bisa berada disini bersama kalian. Hanya satu yang ingin kukatakan, jangan berperang demi namaku, tapi berperanglah demi tanah kalian, demi Tanah Landv.”

Lédgard melihat dengan penuh kesulitan ke belakangnya, dia melihat begitu banyak wajah-wajah keras yang begitu khawatir, bahkan ketakutan. Mereka gelisah, mereka mengatupkan rahang dengan keras hingga terlihat dua tonjolan yang amat mencolok di pipi mereka, mereka melihat ke segala arah, mereka mengerjapkan mata berkali-kali, mereka mencengkram dada masing-masing, mereka berusaha keras menggigit bibir agar tidak terganggu dengan gemeletuk gigi mereka yang menggigil kedinginan, mereka menunduk dan sama sekali tidak menatap ke depan mereka, ke seberang padang...

Lédgard menegakkan kepalanya, melihat sosok di sampingnya menoleh ke arahnya, membiarkan Lédgard menatap sepasang sinar mata yang terpancar dari kegelapan wajah yang terselimuti helm bajanya. Sekali lagi, pria itu mendengar suara di telinganya, suara yang kali ini hanya bisa didengar olehnya.

“Apa kau selalu bersamaku, dan Tanah Landv?”

Tangan Lédgard mencengkram erat. “Kohri torkh asholén.”

Hingga kematian menjemputku.

Di seberang sana, geraman Ragma berubah menjadi lolongan tertahan ketika sosok hitam tinggi maju dan berdiri di atas karang hitam yang seolah mencuat keluar dari tanah. Topeng menutupi wajahnya, jubah hitamnya terjuntai di belakang, nyaris menyentuh karang. Tunggangannya, makhluk hitam menyerupai kuda jantan besar, namun memiliki kaki bercakar serta sepasang sayap kelelawar di masing-masing sisi makhluk itu. Surainya yang panjang menjuntai ke sisi kanan, sesekali bergerak sendiri. Makhluk itu meringkik mengerikan ketika Vradlér, penunggangnya, mengeluarkan pedang dari sarungnya dan mengangkatnya tinggi melewati kepalanya. Lolongan Ragma seketika membahana memecah kebisingan hujan deras yang seolah ingin mengacau perang itu. Lédgard melirik Vraez Eben sekali lagi, dan dia melihat tangan sang raja menggenggam tali kekangnya kuat-kuat hingga urat-urat tangannya menonjol keras.

Lédgard mencabut dan mengangkat pedang dari sarungnya, mengikuti pemimpinnya, Vraez Eben, dan diikuti oleh pasukan pedang di belakangnya. Jantung Lédgard berdegup kencang, dia menyadari bahwa perang ini baru akan berhenti jika kematian mendatangi salah satu dari kedua pemimpin yang berseberangan itu.

“Sahabatku,” Lédgard mendengar suara itu hanya ditujukan padanya. Dia menoleh, menatap Vraez Eben. “Seingatku, kau pernah menceritakan padaku tentang perang besar antara kaum Vadaar dengan para Gorgh di Hutan Gorgh.”

“Ya, Yang Mulia. Perang paling hebat yang pernah hamba dengar, saat para Ksatria Langit melawan para raksasa yang jumlahnya jauh lebih banyak.”

“Apa yang terjadi dengan mereka semua?”

“Tewas, Yang Mulia, semuanya.”

Vraez Eben mengacungkan pedangnya lurus-lurus ke arah seberang, punggungnya bergetar dan, diiringi raungan ganas tunggangannya, berseru lantang, “Demi Tanah Landv!”, lalu menghentakkan tali kekang dan maju.

Teriakan dan genderang perang menggema ke seluruh penjuru Padang Wuste saat masing-masing kedua belah pihak bergerak menuju tengah padang, memulai perang yang akan menentukan kemenangan dan kekalahan. Derap langkah kuda-kuda ke tengah padang, teriakan prajurit-prajurit serta lolongan Ragma yang memecah keheningan ganjil penuh kewaspadaan segera bergenti menjadi dentingan besi ketika pedang mereka beradu.

Lédgard menyapu sebarisan pasukan Vradlér dan dua tebasan yang menjatuhkan lima manusia dan memenggal kepala salah satu di antara mereka. Prajurit infanteri berlari di belakangnya, berusaha melawan Ragma sementara ujung tombak mereka bersentuhan dengan lengan Ragma yang keras, menimbulkan suara dentingan dalam yang nyaris mementalkan tombak mereka. Hérsh, salah satu prajurit infanteri itu, tidak putus asa, dia mengecoh perhatian Ragma dengan menjatuhkan golok panjang mereka, dan ketika Ragma menatap goloknya yang jatuh dengan tatapan bodoh tapi murka, Hérsh menusuk perut Ragma yang terbuka.

Lédgard tak menyadari, sementara dia bertarung dengan lima Ragma sekaligus dari atas kudanya, salah satu dari makhluk itu tiba-tiba menggigit kudanya. Lédgard terjungkal dari kudanya, jatuh menghantam mayat pasukannya. Kudanya, masih meringkik kesakitan, diserbu oleh para Ragma. Lédgard jatuh menghantam mayat pasukan infanterinya. Dia mengambil pedang milik pasukannya itu, tapi ketika dia membalikkan tubuh, dia melihat Ragma yang tadi menggigit kudanya nyaris menggigit kepalanya. Lédgard melolong, pedangnya terlepas dari tangannya. Dia menahan leher Ragma yang begitu tamak hendak memangsanya. Lédgard kehabisan napas, dia berusaha keras meraih pedang atau apapun yang bisa digunakannya sebagai senjata. Tapi tiba-tiba Ragma itu melolong, lalu ambruk. Lédgard melihat ada pedang yang tercabut dari dada makhluk itu. Ternyata itu milik Hérsh.

“Anda tidak apa-apa, Tuanku?” Hérsh mengulurkan tangannya, dan Lédgard segera menyam-butnya dengan cepat, menandakan bahwa dia tidak apa-apa.

Vraez Eben menghentakkan tali kekangnya lebih cepat, sementara pedang di tangannya menebas kepala musuh-musuhnya satu persatu. Dia mengayunkan pedangnya di atasnya, ‘mengusir’ ratusan anak panah yang mengarah padanya dengan kejelian yang luar biasa untuk membedakan antara busur milik musuh dengan busur pasukannya. Ia sekali lagi menghentakkan tali kekangnya, dan secara ajaib tunggangannya membawanya terbang.

Makhluk ini bukan tunggangan biasa, namun ia juga bukan unicorn. Dia meraung seganas leopard raksasa, setenang pancaran lembayung di barat Landv yang tak terlihat, namun sekejam chimaera penghuni Hutan Gorgh. Dia yang tidak bersayap, terbang diatas gerumulan makhluk yang menutupi hijau rerumputan padang serta menyerap seluruh keindahan alam. Dan ketika terbang di atas sana, mereka melihat pasukan musuh yang semakin banyak tersebar di belakang kepemimpinan Vradlér, berjejal di balik tebing jurang, berlari liar melintasi lebatnya hutan dengan kecepatan yang luar biasa ke tengah padang menggantikan kawannya yang tewas. Tapi, tidak sedikit juga Ragma yang dengan ganas dan sadisnya menyerbu manusia atau Ragma yang tewas, merobek sisik bangkai Ragma, menggigit leher manusia hingga darah mereka menyembur deras, lalu menyantap mereka.

Pertarungan yang tidak seimbang, begitulah semua orang pikir jika mereka bisa melihat dari atas jejalan makhluk-makhluk mengerikan itu yang seolah-olah menetas dari bebatuan tebing. Vraez Eben menghentakkan tali kekang dan mereka terbang ke atas hutan. Tunggangannya menukik tajam ke atas tebing, berputar menghindari lesatan anak panah yang mengarah padanya. Makhluk itu membuka mulutnya dan diiringi raungan ganas, semburan api keluar dari mulutnya, menyembur ke arah tebing dan membakar semua yang ada disitu hingga hangus menjadi abu. Api itu bahkan tidak padam di bawah derasnya hujan. Para Ragma meraung kesakitan, mereka berlarian dan merosot ke tebing lalu berlari tak tentu arah sambil melolong tidak karuan, menubruk apa pun yang menghalangi jalan mereka. Api itu menjalar ke tubuh lain saat mereka bertubrukan, dan mereka pun ikut terbakar.

Tandukan keras ke perut Silber, makhluk penyembur api itu, seketika membuyarkan setitik kecil kemenangan yang baru saja diperoleh. Semburan api dari mulut Silber langsung terhenti dan ia nyaris terjatuh dalam kobaran api yang dibuatnya sendiri. Vraez Eben mengepit kedua kakinya ke tubuh Silber dan makhluk itu memutar tubuhnya ke atas sambil meraung ganas. Ia terbang secepat mungkin memburu makhluk yang telah menanduknya.

Vradlér dan Vorzug, tunggangannya, terbang berputar di atas Vraez Eben. Saat melihat Silber dan penunggangnya terbang mendekati mereka, Vorzug menukik tajam ke arah Silber diiringi ringkikan mengerikan yang keluar dari moncong kudanya. Bersamaan Vradlér dan Vraez Eben mencabut pedang masing-masing dan terjadilah pertarungan udara yang sengit. Pedang mereka beradu dengan kerasnya hingga beberapa kali bunga api terpercik keluar bagaikan pijar bintang merah jika kau melihatnya dari bawah. Tunggangan mereka menghindar dan mencoba mencari celah kelemahan lawan, seolah sangat mengerti apa yang tuan mereka inginkan. Napas bengis tersembur keluar dari hidung Vradlér setiap kali dia bergerak, bola matanya memerah dan membelalak saat pedang mereka beradu. Di antara nafsunya akan pertarungan serta naluri untuk menang, Vradlér mengacungkan pedangnya ke atas dan meraung, “Zolgorz!” tepat ketika Vraez Eben mengayunkan pedangnya.

Kejadian itu berlangsung sangat cepat, tak ada yang mampu melihat dan menceritakannya secara terperinci, begitu pula saat ini. Vradlér memanggil petir dengan mantra hitam, dan petir itu menyambar Vraez Eben. Vraez Eben menjerit, pedangnya yang terayun mengenai dada Vradlér bersamaan dengan petir yang menyambar. Silber meraung, merasakan kesakitan yang luar biasa, dan dengan satu kerlingan mata, semua prajurit Landv menyaksikan pemimpin mereka jatuh.

Eben!” Lédgard meraung marah dan berlari mendekat ke titik kira-kira Vraez Eben akan terjatuh. Ia menebas apa pun yang menghalangi jalannya dengan membabi buta, melompati puluhan mayat dan bangkai Ragma, dan berteriak penuh kesengsaraan saat melihat Vraez Eben dan Silber jatuh tidak ke hutan, namun ke dalam Jurang Torkh—Kematian—yang bahkan seekor naga pun akan mati membusuk di dalamnya. Dengan murka dia menebas kepala Ragma yang nyaris menerkam lehernya.

Kegelapan mengerikan dan hawa pengap seketika berhembus meniup dataran Padang Wuste seiring jatuhnya sang Penguasa Matahari. Para Ragma melolong penuh kemenangan, Vorzug meringkik mengerikan. Hérsh menatap kekalahan mereka dengan penuh keputusasaan, dan jatuh berdebum di tanah saat Ragma menyergapnya dan menggigit lehernya.

***


1st Chpater oleh Fitri Aprilia Pratiwi

Read More ......