[One]
“Dingiinnn…!!!” erang Miruku yang buru-buru berlari mendekati penghangat ruangan.
“Oh! Ayolah, Miru!” tawa Jun, saudara kembar Miruku.
“Masa begini saja sudah kedinginan!” ledek Jun sambil memainkan remote TV yang disertai erangan Kurumi karena channel yang sedang ditontonnya diganti Jun.
“Aku kan sensitif, Jun!” gerutu Miruku.
“Sudahlah, Jun, Miruku… Kita kan baru melewati tahun baru. Masa baru awal tahun baru kalian sudah berantem?” lerai Yuri sebelum Jun mengeluarkan semburan kata-kata ledekan lagi.
“Tapi…” lanjut Jun. “Ah, sudahlah!” dia memasang mimik cemberut.
Miruku dan Kurumi tertawa melihatnya. Sesaat kemudian, Miruku berjalan menuju dapur dengan mengenakan sandal Cinnamoroll kesukaannya.
“Miru!” Jun berteriak.
Miruku berpaling ke adik kembarnya itu. “Apa?”
“Tolong buatkan aku teh ya?” katanya sambil menyunggingkan senyum termanisnya.
“Ugh…” keluh Miruku. “Baiklah…”
“Thanks!” katanya.
“You're welcome.”
“Haah…” keluhku sambil menuangkan teh ke mug favoritku dan mug favorit Jun. “Kenapa aku tidak dapat menolak Jun, ya?”
“Itu artinya kau kakak yang baik, Miruku.”
Aku berpaling ke arah sumber suara, ibu. “Oh, mama.” kataku. “Mama ingin tambah teh-nya lagi, ya? Sini kubantu,” kataku seraya mengambil mug dari tangan ibu.
Aku sedang menuangkan teh ke mug ibu ketika terdengar lagu Nightmare yang dinyanyikan oleh Snow, yah... aku memang fans berat sama anime Jigoku Shoujo, sampai-sampai seluruh soundtrack anime itu aku miliki semua, complete, gitu lo...
“Ah, ponselku!” aku menaruh teko teh yang tadi kupegang di meja. Mama mengambil alih untuk menuang teh yang tadi belum selesai kutuang. “Maaf,” kataku. Sebelum mengangkat teleponku, aku melihat layarnya, Nishizaki Kazehiko.
“Moshimoshi? Nishizaki-kun?” kataku.
“Takeshima-san? Bisakah kau menemuiku sekarang?”
“Apa?!” aku menjerit sambil mencari sosok mama. Dia telah pergi menuju ruang utama. “Tapi sekarang sudah…” aku melirik jam tanganku. “Jam 10 malam… Memangnya ada masalah apa?”
“A… Ada yang ingin kubicarakan,”
“Mengapa tak bicarakan sekarang saja??” sahutku sambil menyesap tehku.
Hening sejenak.
“Halo?” kataku. “Kau masih di sana?”
Tuut… Tuut…
Sambungan terputus.
“Ada-ada saja!” kataku. Aku memegang mugku dan berjalan menuju ruang utama. Di sana mama menatapku penasaran.
“Dari siapa, Miruku?” tanyanya.
“Dari teman,” sahutku.
“Teman laki-laki atau perempuan?” tanya Jun.
“Teman laki-laki,” kataku. “Memangnya kenapa?”
“Oh… kukira Mika-san… Jadi, Siapa dia?” katanya. Mika-san itu salah satu dari BF-ku…
“Em... Itu lo… BF-mu, Nishizaki-kun.”
“Oh… Kaze-kun… Kenapa dia meneleponmu??”
“Ih?? Kok aku merasa seperti pencuri diinterogasi polisi, ya?” kataku, tapi aku menjawab pertanyaan adikku juga. “Dia bilang mau bicara sesuatu sama aku dan dia mau ketemuan sekarang, tapi aku bilang sekarang sudah jam 10 malam, jadi aku menolaknya…”
“Terus??” desak Jun, jawabanku masih belum memuaskannya.
“Terus…. Aku tanya kok ngak sekarang saja bilangnya, terus sambungannya putus deh…”
“Yaahhh… Kok kamu putusin, sih??? Lagi seru tuh!!”
“Lagi seru apaan??! Lagian dia yang putusin kok! Bukan aku! Huh! Ngasal nuduh aja kamu! Aku mau tidur dulu!”
Aku memberi hormat kepada papa dan mama yang sedang tersenyum melihatku dan Jun berargumen. “Selamat tidur, pa, ma.”
“Selamat tidur, Miruku. Tolong antar Kurumi ke tempat tidurnya juga ya.”
“Baiklah, ma,” kataku. “Yuk, Kurumi.”
“Ya, kak.”
Aku dan Kurumi menuju lantai dua tempat kamarku dan kamar-kamar lainnya berada. Rumah kami memang termasuk cukup besar. Keluarga kami pun termasuk keluarga kaya, sehingga aku, Jun, dan Kurumi bersekolah di St. Garden yang seluruh muridnya kaya-kaya, namanya St. Garden karena orang yang mendirikannya sangat menyukai tanaman, awalnya sih mau dikasih nama St. Green, tapi diganti, habis kurang keren sih... Yah… memang aku kagum sih… kepada papa dan mama yang menikah muda, tetapi berhasil menghidupi kita, bahkan menjadi salah satu keluarga yang paling dihormati. Menurutku papa-mamaku adalah pasangan paling perfect deh... di dunia...
Aku menggandeng Kurumi menuju kamarnya dan kemudian aku menuju kamarku sendiri.Aku menggosok gigi dan setelah itu, aku menuju tempat tidurku. Mataku tertuju pada sosok cowok di foto yang dipajang di mejaku.
“Sudah lama sekali ya…” kataku sambil memegang foto itu. “Kikuya-kun.”
Aku mengingat kembali masa 1 tahun yang lalu, ketika aku kelas SMP 3. Kasuga Kikuya adalah murid baru di kelasku. Ia tampan dan tinggi. Tak heran jika banyak anak perempuan yang menyukainya, tak terkecuali aku.
Aku tak berani mendekatinya karena aku tak percaya diri. Sampai suatu hari, ia memanggilku ke halaman belakang sekolah yang sepi, dan memintaku untuk jadi pacarnya. Aku bingung sekali harus menjawab apa.
Akhirnya aku bertanya, “Mengapa aku?” Dia mengatakan dengan polosnya, “Karena menurutku, kau itu paling lucu dibandingkan cewek-cewek lain.”
“Lucu?” kataku heran, merasa tersinggung.
“Ah…” katanya. “Maksudku… Ehm… Manis…” katanya sambil menutup mukanya yang sekarang semerah tomat.
Aku heran. Ternyata dia bisa malu juga, pikirku.
“Jadi, apa jawabanmu?” tanyanya dengan wajah merah padam.
Aku yakin sekarang wajahku juga merah padam, “Ya,” jawabku.
Sejak saat itu, aku dan Kikuya-kun berpacaran, meski hubungan kami harus berlanjut sampai hubungan jarak jauh. Keluarganya pindah ke Amerika karena ada urusan pekerjaan, tentu saja Kikuya-kun ikut pergi juga.
Tetapi, Kikuya-kun berkata,”Aku akan kembali 1 tahun lagi. Pasti. Tunggulah aku.”
“Baiklah, akan kutunggu.”
Tunggulah aku.
Aku mengingat-ingat kata-kata itu, kemudian tersenyum sendiri.
“Aku tak sabar lagi, Kikuya-kun.”
Ya, bulan depan akan tepat 1 tahun, dan dia akan pulang, pikirku.
Tiba-tiba, pintu kamarku terbuka. “Miruku? Kau bicara pada siapa?” tanya Yuri.
“Oh… Tidak kok… Aku hanya berbicara sendiri. Ha…ha…”
Yuri menghela napas. “Sudahlah, lekaslah tidur…”
“Baik, ma.”
Pintu kembali tertutup. Aku naik ke ranjangku dan menggegam foto itu sampai aku tertidur lelap.
Aku membenamkan wajahku ke syal dan mengeratkan mantel hijau ku. Setiap kali aku bernapas, muncul uap-uap putih. Yah… memang masih dingin. Salju-salju putih mulai turun sejak tengah malam kemarin. Sekarang, tumpukan salju-salju putih menggunung di jalan-jalan sekitar.
Sebelum beranjak dari rumah, aku telah gugup. Yah, hari ini aku akan mengungkapkan perasaanku pada Takeshima Miruku. Tapi, mengapa orangnya sendiri belum muncul-muncul juga? Apa dia terlambat bangun?, pikirku. Kutarik kembali pikiranku itu setelah aku melihat sosok gadis berambut hitam panjang yang kukenali sebagai Takeshima-san.
Di pintu gerbang Taman Gransy, taman yang biasanya dikunjungi Takeshima-san sebelum pergi ke sekolah, Takeshima menoleh ke kiri-kanan seperti mencari sosok seseorang. Barulah aku sadar kalau bangku tempat aku duduk dihalangi oleh air mancur yang terdapat di pusat taman itu. Baru ketika aku berencana untuk beranjak berdiri, aku melihat siluet berkacamata hitam mengilat, sepertinya kacamata miliknya itu barang bermerek. Aneh juga, ada yang memakai kacamata di saat-saat dingin seperti ini.
Aku melihat ekspresi Takeshima-san berubah ketika melihat cowok berkacamata hitam tadi. Ekspresi Takeshima -san bukan heran atau canggung, tetapi ekspresinya seperti bertemu orang yang dicintainya. Takeshima-san berlari ke arah cowok tadi dan memeluknya.
“Kikuya-kun! Bukankah bulan depan baru kau akan pulang? Kenapa tidak meneleponku? Gimana kabarmu? Sehat-sehat saja kan? Kamu selingkuh, ngak?” tanya Takeshima-san.
Aku kaget sekali. Selingkuh? Itu pacarnya?? Kenapa Jun tak pernah cerita padaku kalau ternyata Takeshima sudah punya pacar?, berbagai pertanyaan muncul di benakku.
“Satu-satu dong pertanyaannya!” sahut cowok tadi sambil tertawa. “ Bingung nih!”
“Wah! Suaramu jadi beda ya?!” kata Takeshima-san. “Jadi rendah.”
“Tentu saja!” kata cowok tadi riang.
“Kamu tidak berubah,” kata Takeshima-san.
“Ada kok. Aku tambah tinggi,” cowok itu mencoba bercanda.
“Bukan secara fisik, tau…” sahut Takeshima -san. ”Ah! Nishizaki-kun!” Cowok tadi langsung berpaling mengikuti tatapan Takeshima-san, ke arahku. “Kok bisa ada di sini?” tanyanya.
“Err....” aku kehilangan kata-kata.
“Lalu? Apa yang ingin kau bicarakan semalam?” tanya Takeshima-san.
Aku jadi canggung. Tak mungkin aku mengungkapkan perasaanku di depan orang yang tak kukenal, apalagi yang kucurigai sebagai pacarnya Takeshima-san, kan? Gimana ya? Hmmm…
“Nishizaki-kun?”
“Ah… Eh… Itu… Hari ini kau ada ekskul pagi, er… buat ambil nilai! Semalam wali kelas kita baru memberitahuku bahwa yang ikut ekskul desainer, hari ini ada ekskul tambahan, ya, gitu!” ya ampun… Moga-moga dia percaya, hanya itu yang terpikir olehku.
“APA???!!! Oh, iya! Kenapa sekarang baru diberitahu sih? Sekarang kan uda jam 07.55?! Mana ekskulnya jam 08.00 lagi! Tau gini, aku naik mobil saja!!” teriakannya membuatku tersentak, percaya juga dia.
Dia berkata kepada cowok tadi, “Kikuya-kun! Nanti aku baru telepon kamu! Sampai nanti!” Kemudian dia berlari cepat-cepat keluar dari taman, menuju stasiun.
Setelah Takeshima-san pergi, cowok tadi pun sepertinya langsung ingin meninggalkan taman itu, tetapi langsung kucegah. Apa yang kulakukan?? Dia menatapku sebentar dengan kacamata hitam yang baru dipakainya itu, lalu berkata, “Ada apa?”
“Er… Kita kan belum kenalan… Aku Nishizaki Kazehiko,” kataku sambil mengulurkan tanganku, berencana untuk menjabat tangannya.
“Kasuga Kikuya,” katanya tanpa menghiraukan tanganku yang masih terangkat di udara, dan berjalan pergi. Tidak sopan banget, pikirku. Ah, sudahlah! Sekarang aku harus menemui Jun untuk meminta penjelasan tentang cowok tadi.
Aku mengambil kunci mobilku, dan dengan kecepatan angin, aku mengendarai mobil sport-ku menuju rumah keluarga Takeshima.
He's Back!
Angin malam menusuk tulang. Sang kepala keluarga, Takeshima Takuya, duduk di sofa empuk yang berada di ruangan itu. Sedangkan, sang ibu rumah tangga, Takeshima Yuri, duduk di sofa yang dekat penghangat sambil meminum teh panas untuk menghangatkan dirinya. Kurumi yang masih berumur 2 tahun duduk di samping Yuri dan menonton TV yang sedang menayangkan kartun kesukaannya. Masih pertengahan bulan Januari.MALAM yang dingin…
“Dingiinnn…!!!” erang Miruku yang buru-buru berlari mendekati penghangat ruangan.
“Oh! Ayolah, Miru!” tawa Jun, saudara kembar Miruku.
“Masa begini saja sudah kedinginan!” ledek Jun sambil memainkan remote TV yang disertai erangan Kurumi karena channel yang sedang ditontonnya diganti Jun.
“Aku kan sensitif, Jun!” gerutu Miruku.
“Sudahlah, Jun, Miruku… Kita kan baru melewati tahun baru. Masa baru awal tahun baru kalian sudah berantem?” lerai Yuri sebelum Jun mengeluarkan semburan kata-kata ledekan lagi.
“Tapi…” lanjut Jun. “Ah, sudahlah!” dia memasang mimik cemberut.
Miruku dan Kurumi tertawa melihatnya. Sesaat kemudian, Miruku berjalan menuju dapur dengan mengenakan sandal Cinnamoroll kesukaannya.
“Miru!” Jun berteriak.
Miruku berpaling ke adik kembarnya itu. “Apa?”
“Tolong buatkan aku teh ya?” katanya sambil menyunggingkan senyum termanisnya.
“Ugh…” keluh Miruku. “Baiklah…”
“Thanks!” katanya.
“You're welcome.”
***
“Haah…” keluhku sambil menuangkan teh ke mug favoritku dan mug favorit Jun. “Kenapa aku tidak dapat menolak Jun, ya?”
“Itu artinya kau kakak yang baik, Miruku.”
Aku berpaling ke arah sumber suara, ibu. “Oh, mama.” kataku. “Mama ingin tambah teh-nya lagi, ya? Sini kubantu,” kataku seraya mengambil mug dari tangan ibu.
Aku sedang menuangkan teh ke mug ibu ketika terdengar lagu Nightmare yang dinyanyikan oleh Snow, yah... aku memang fans berat sama anime Jigoku Shoujo, sampai-sampai seluruh soundtrack anime itu aku miliki semua, complete, gitu lo...
“Ah, ponselku!” aku menaruh teko teh yang tadi kupegang di meja. Mama mengambil alih untuk menuang teh yang tadi belum selesai kutuang. “Maaf,” kataku. Sebelum mengangkat teleponku, aku melihat layarnya, Nishizaki Kazehiko.
“Moshimoshi? Nishizaki-kun?” kataku.
“Takeshima-san? Bisakah kau menemuiku sekarang?”
“Apa?!” aku menjerit sambil mencari sosok mama. Dia telah pergi menuju ruang utama. “Tapi sekarang sudah…” aku melirik jam tanganku. “Jam 10 malam… Memangnya ada masalah apa?”
“A… Ada yang ingin kubicarakan,”
“Mengapa tak bicarakan sekarang saja??” sahutku sambil menyesap tehku.
Hening sejenak.
“Halo?” kataku. “Kau masih di sana?”
Tuut… Tuut…
Sambungan terputus.
“Ada-ada saja!” kataku. Aku memegang mugku dan berjalan menuju ruang utama. Di sana mama menatapku penasaran.
“Dari siapa, Miruku?” tanyanya.
“Dari teman,” sahutku.
“Teman laki-laki atau perempuan?” tanya Jun.
“Teman laki-laki,” kataku. “Memangnya kenapa?”
“Oh… kukira Mika-san… Jadi, Siapa dia?” katanya. Mika-san itu salah satu dari BF-ku…
“Em... Itu lo… BF-mu, Nishizaki-kun.”
“Oh… Kaze-kun… Kenapa dia meneleponmu??”
“Ih?? Kok aku merasa seperti pencuri diinterogasi polisi, ya?” kataku, tapi aku menjawab pertanyaan adikku juga. “Dia bilang mau bicara sesuatu sama aku dan dia mau ketemuan sekarang, tapi aku bilang sekarang sudah jam 10 malam, jadi aku menolaknya…”
“Terus??” desak Jun, jawabanku masih belum memuaskannya.
“Terus…. Aku tanya kok ngak sekarang saja bilangnya, terus sambungannya putus deh…”
“Yaahhh… Kok kamu putusin, sih??? Lagi seru tuh!!”
“Lagi seru apaan??! Lagian dia yang putusin kok! Bukan aku! Huh! Ngasal nuduh aja kamu! Aku mau tidur dulu!”
Aku memberi hormat kepada papa dan mama yang sedang tersenyum melihatku dan Jun berargumen. “Selamat tidur, pa, ma.”
“Selamat tidur, Miruku. Tolong antar Kurumi ke tempat tidurnya juga ya.”
“Baiklah, ma,” kataku. “Yuk, Kurumi.”
“Ya, kak.”
Aku dan Kurumi menuju lantai dua tempat kamarku dan kamar-kamar lainnya berada. Rumah kami memang termasuk cukup besar. Keluarga kami pun termasuk keluarga kaya, sehingga aku, Jun, dan Kurumi bersekolah di St. Garden yang seluruh muridnya kaya-kaya, namanya St. Garden karena orang yang mendirikannya sangat menyukai tanaman, awalnya sih mau dikasih nama St. Green, tapi diganti, habis kurang keren sih... Yah… memang aku kagum sih… kepada papa dan mama yang menikah muda, tetapi berhasil menghidupi kita, bahkan menjadi salah satu keluarga yang paling dihormati. Menurutku papa-mamaku adalah pasangan paling perfect deh... di dunia...
Aku menggandeng Kurumi menuju kamarnya dan kemudian aku menuju kamarku sendiri.Aku menggosok gigi dan setelah itu, aku menuju tempat tidurku. Mataku tertuju pada sosok cowok di foto yang dipajang di mejaku.
“Sudah lama sekali ya…” kataku sambil memegang foto itu. “Kikuya-kun.”
***
Aku mengingat kembali masa 1 tahun yang lalu, ketika aku kelas SMP 3. Kasuga Kikuya adalah murid baru di kelasku. Ia tampan dan tinggi. Tak heran jika banyak anak perempuan yang menyukainya, tak terkecuali aku.
Aku tak berani mendekatinya karena aku tak percaya diri. Sampai suatu hari, ia memanggilku ke halaman belakang sekolah yang sepi, dan memintaku untuk jadi pacarnya. Aku bingung sekali harus menjawab apa.
Akhirnya aku bertanya, “Mengapa aku?” Dia mengatakan dengan polosnya, “Karena menurutku, kau itu paling lucu dibandingkan cewek-cewek lain.”
“Lucu?” kataku heran, merasa tersinggung.
“Ah…” katanya. “Maksudku… Ehm… Manis…” katanya sambil menutup mukanya yang sekarang semerah tomat.
Aku heran. Ternyata dia bisa malu juga, pikirku.
“Jadi, apa jawabanmu?” tanyanya dengan wajah merah padam.
Aku yakin sekarang wajahku juga merah padam, “Ya,” jawabku.
Sejak saat itu, aku dan Kikuya-kun berpacaran, meski hubungan kami harus berlanjut sampai hubungan jarak jauh. Keluarganya pindah ke Amerika karena ada urusan pekerjaan, tentu saja Kikuya-kun ikut pergi juga.
Tetapi, Kikuya-kun berkata,”Aku akan kembali 1 tahun lagi. Pasti. Tunggulah aku.”
“Baiklah, akan kutunggu.”
***
Tunggulah aku.
Aku mengingat-ingat kata-kata itu, kemudian tersenyum sendiri.
“Aku tak sabar lagi, Kikuya-kun.”
Ya, bulan depan akan tepat 1 tahun, dan dia akan pulang, pikirku.
Tiba-tiba, pintu kamarku terbuka. “Miruku? Kau bicara pada siapa?” tanya Yuri.
“Oh… Tidak kok… Aku hanya berbicara sendiri. Ha…ha…”
Yuri menghela napas. “Sudahlah, lekaslah tidur…”
“Baik, ma.”
Pintu kembali tertutup. Aku naik ke ranjangku dan menggegam foto itu sampai aku tertidur lelap.
***
Aku membenamkan wajahku ke syal dan mengeratkan mantel hijau ku. Setiap kali aku bernapas, muncul uap-uap putih. Yah… memang masih dingin. Salju-salju putih mulai turun sejak tengah malam kemarin. Sekarang, tumpukan salju-salju putih menggunung di jalan-jalan sekitar.
Sebelum beranjak dari rumah, aku telah gugup. Yah, hari ini aku akan mengungkapkan perasaanku pada Takeshima Miruku. Tapi, mengapa orangnya sendiri belum muncul-muncul juga? Apa dia terlambat bangun?, pikirku. Kutarik kembali pikiranku itu setelah aku melihat sosok gadis berambut hitam panjang yang kukenali sebagai Takeshima-san.
Di pintu gerbang Taman Gransy, taman yang biasanya dikunjungi Takeshima-san sebelum pergi ke sekolah, Takeshima menoleh ke kiri-kanan seperti mencari sosok seseorang. Barulah aku sadar kalau bangku tempat aku duduk dihalangi oleh air mancur yang terdapat di pusat taman itu. Baru ketika aku berencana untuk beranjak berdiri, aku melihat siluet berkacamata hitam mengilat, sepertinya kacamata miliknya itu barang bermerek. Aneh juga, ada yang memakai kacamata di saat-saat dingin seperti ini.
Aku melihat ekspresi Takeshima-san berubah ketika melihat cowok berkacamata hitam tadi. Ekspresi Takeshima -san bukan heran atau canggung, tetapi ekspresinya seperti bertemu orang yang dicintainya. Takeshima-san berlari ke arah cowok tadi dan memeluknya.
“Kikuya-kun! Bukankah bulan depan baru kau akan pulang? Kenapa tidak meneleponku? Gimana kabarmu? Sehat-sehat saja kan? Kamu selingkuh, ngak?” tanya Takeshima-san.
Aku kaget sekali. Selingkuh? Itu pacarnya?? Kenapa Jun tak pernah cerita padaku kalau ternyata Takeshima sudah punya pacar?, berbagai pertanyaan muncul di benakku.
“Satu-satu dong pertanyaannya!” sahut cowok tadi sambil tertawa. “ Bingung nih!”
“Wah! Suaramu jadi beda ya?!” kata Takeshima-san. “Jadi rendah.”
“Tentu saja!” kata cowok tadi riang.
“Kamu tidak berubah,” kata Takeshima-san.
“Ada kok. Aku tambah tinggi,” cowok itu mencoba bercanda.
“Bukan secara fisik, tau…” sahut Takeshima -san. ”Ah! Nishizaki-kun!” Cowok tadi langsung berpaling mengikuti tatapan Takeshima-san, ke arahku. “Kok bisa ada di sini?” tanyanya.
“Err....” aku kehilangan kata-kata.
“Lalu? Apa yang ingin kau bicarakan semalam?” tanya Takeshima-san.
Aku jadi canggung. Tak mungkin aku mengungkapkan perasaanku di depan orang yang tak kukenal, apalagi yang kucurigai sebagai pacarnya Takeshima-san, kan? Gimana ya? Hmmm…
“Nishizaki-kun?”
“Ah… Eh… Itu… Hari ini kau ada ekskul pagi, er… buat ambil nilai! Semalam wali kelas kita baru memberitahuku bahwa yang ikut ekskul desainer, hari ini ada ekskul tambahan, ya, gitu!” ya ampun… Moga-moga dia percaya, hanya itu yang terpikir olehku.
“APA???!!! Oh, iya! Kenapa sekarang baru diberitahu sih? Sekarang kan uda jam 07.55?! Mana ekskulnya jam 08.00 lagi! Tau gini, aku naik mobil saja!!” teriakannya membuatku tersentak, percaya juga dia.
Dia berkata kepada cowok tadi, “Kikuya-kun! Nanti aku baru telepon kamu! Sampai nanti!” Kemudian dia berlari cepat-cepat keluar dari taman, menuju stasiun.
Setelah Takeshima-san pergi, cowok tadi pun sepertinya langsung ingin meninggalkan taman itu, tetapi langsung kucegah. Apa yang kulakukan?? Dia menatapku sebentar dengan kacamata hitam yang baru dipakainya itu, lalu berkata, “Ada apa?”
“Er… Kita kan belum kenalan… Aku Nishizaki Kazehiko,” kataku sambil mengulurkan tanganku, berencana untuk menjabat tangannya.
“Kasuga Kikuya,” katanya tanpa menghiraukan tanganku yang masih terangkat di udara, dan berjalan pergi. Tidak sopan banget, pikirku. Ah, sudahlah! Sekarang aku harus menemui Jun untuk meminta penjelasan tentang cowok tadi.
Aku mengambil kunci mobilku, dan dengan kecepatan angin, aku mengendarai mobil sport-ku menuju rumah keluarga Takeshima.
----------------------------------------
1st Chapter oleh Felicia Jesslyn
No comments:
Post a Comment