Friday, June 19, 2009

Prolog

PROLOG



Matahari terik menyengat lapisan kulit ariku. Beberapa pejalan kaki terdengar mengeluh tentang betapa panasnya hari ini. Mungkin pengaruh dari pemanasan global , ya, bumi ini makin tua. Dan Jakarta sebagai salah satu kota penyumbang polusi penyebab pemanasan global terbesar di Indonesia juga “puuuaaaanaaaaassssnyaaaaaaa minta ampun !”.

Aku berjalan malas menyusuri trotoar Jalan KH. Syafi’i yang penuh dengan debu dan asap kendaraan. Jadwal kuliah siang ini sama sekali tidak menarik minatku, Akuntansi Menengah, Laboratorium Auditing, dan Statistika Ekonomi. Weeks!! Seharian penuh dengan a-n-g-k-a? Siapa yang tahan? Aku? Kalau saja bukan terpaksa karena keinginan ayah, sejujurnya, tidak pernah kepikiran sama sekali menjadi mahasiswa jurusan akuntansi. ‘ Akuntansi itu selalu diperlukan sepanjang masa’, begitu katanya mencoba untuk membuatku memahami betapa pentingnya akuntansi sebagai penjamin hidup di masa depan. Parahnya bukan hanya beliau yang berpendapat demikian. Pak’de, Bu’de, bibiku, pamanku, semuanya mendukung keputusan beliau. Alhasil suaraku kalah melawan kumpulan suara manusia-manusia feodal itu.

Sejak kecil aku tidak pernah tertarik sama sekali dengan segala hal yang berbau angka. Memang kontras dengan ayahku yang kata orang adalah seorang akuntan hebat. Miring sedikit saja dari kupingnya seakan keluar pasal demi pasal PSAK(1) . Tidak seperti ayahku, aku lebih tertarik dengan benda-benda yang bisa mengeluarkan bunyi merdu, gambar-gambar yang bisa menghipnotisku dengan keunikan coretan warnanya, atau gerakan luwes para penari dan pemeran ketoprak di panggung rakyat yang biasa kutonton di Balai Seni Desa di kampung tempat nenekku tinggal.

Ayah sering membelikanku ‘KOMPAS’ untuk kubaca setiap berita keuangan yang ditulis. Maksudnya supaya aku mempelajari setiap istilah-istilah ekonomi yang dipakai dunia saat ini. Tetapi tidak ada yang membuatku tertarik dari berita ekonomi bahkan warna-warni kurva dan grafik IHSG(2) saja tidak menarik perhatianku. Bagian Bisnis dan Keuangan selalu kukembalikan ke rak koran di ruang tengah, sebaliknya bagian tentang Budaya dan Seni selalu kusimpan sebagai kliping. ‘Kamu nggak mungkin bisa makan dari seni, Ra.’ ucap bibiku suatu hari saat aku mencoba mencari pendukung untuk membujuk ayah supaya membolehkanku kuliah di jurusan seni atau design. Apakah kalian setuju dengan pendapatnya? Oke, mungkin kalian setuju. Tapi aku tidak setuju dengan pendapat itu. Bukan karena memang aku ingin sekali masuk sekolah seni atau sekolah design, tapi apa dia tidak pernah berpikir bahwa dengan seni pun kita bisa menembus dunia? Leonardo Da Vinci tidak akan terkenal tanpa Monalisanya, JK. Rowling tidak akan kaya dengan Harry Potternya, bahkan Gita Gutawa tidak akan digandrungi cowok-cowok tanpa suaranya . Dan tidak ayal jika suatu saat nanti, satu tahun kedepan atau sepuluh tahun kemudian aku bisa terkenal sebagai seniman seperti Slamet Raharjo atau Sutardji Colzoum Bahcri. Aku mulai membayangkan berada di arena yang hanya diterangi cahaya redup kemerahan, memainkan peran sebagai gadis berkerudung yang melantunkan sajak-sajak indah, sangat menjiwai dan para penonton bersemangat memberikan applause karena puas dengan atraksiku. Hehehe….

‘Aw, Sori!’ ucapku spontan.

‘Kalo jalan liat-liat dong!!!’ ceracau seseorang yang tanpa sengaja kutabrak saking berapi-apinya aku mengkhayal sambil berjalan tadi. Yang kutabrak langsung pergi sambil mendengus kesal.

Lamunanku tanpa terasa telah membawaku sampai di St. Tebet. Wew, kelihatannya ramai sekali hari ini. Berbagai jenis potongan manusia saling berjejalan di sepanjang peron.

‘Keretanya ketahan, Neng. Listriknya mati.’ ujar salah seorang bapak menjawab tanda tanya yang terpancar diwajahku.

‘Biasa, Indonesia. Kereta bekas juga dipake aja. Seneng barang-barang bekas kali ya orang-orang Indonesia?’ lanjutnya mencoba berkelakar.

gue nggak suka barang bekas, kok.’ ucapku, tentu saja dalam hati. Tidak tega menyela pendapat bapak tersebut yang sepertinya merupakan usaha untuk menghibur hatinya yang kesal karena kebrobrokan pemerintah dalam hal perkereta-apian. Jadi aku hanya menanggapinya dengan senyum simpul yang manis.

‘Kuliah, Neng?’

‘Iya.’

‘Dimana?’

‘UI.’

‘Jurusan?’

‘Akuntansi.’

‘Wah, Hebat! Jadi boss dong nanti kalau lulus. Akuntansi bagus itu, neng. Masa depan cerah. Apalagi lulusan UI. Hebat banget si eneng ini. Nanti anak bapak juga mau dikuliahin di Akuntansi juga. Soalnya kan pasti tiap tahun diperluin tuh. Tapi jangan di UI deh, mahal hehehe. Wah si eneng ini Hebat euy!’ komentarnya panjang dengan menekankan huruf ‘H’ untuk kata ‘hebat’. Menyebalkan.

Oke, sekali lagi orang berpendapat, Akuntansi itu ‘KEREN BANGET’. Dan aku adalah anak akuntansi, jadi aku termasuk orang ‘keren’. Hmm, cukup menghibur.

Kereta tidak juga muncul. Sudah satu jam aku menunggu dengan si-Bapak-Yang-Suka-Akuntansi-Berlogat-Sunda ini dan dia masih saja berceloteh tentang pentingnya akuntansi untuk jaman sekarang. Kadang kala diselingi komentar-komentar sinis tentang ketidakjujuran para pejabat pemerintah menyangkut keuangan negara. Kata-katanya yang mengalir tanpa hambatan itu tak ada satupun yang berhasil memasuki telingaku. Hanya sekedar manggut-manggut saja untuk menghargai presentasinya. Justru aku lebih tertarik memperhatikan informasi di sudut halaman koran yang sedang dipegangnya. Sesekali mataku terpaksa mengikuti gerakan tangannya mengayun-ayunkan koran untuk memastikan tulisan yang tertera di dalamnya.

“ Tarian Hutan “
June 6th, 2009
Lab. Musik dan Tari Condet,
20.30 wib
Koreografer by Drupadiwati

Pikiranku langsung menerawang ke sekumpulan penari-penari wanita dan pria yang berlenggak-lenggok elok sesuai irama musik etnic membawakan napas hutan belantara yang mistis. Darahku langsung berdesir, membayangkan aku duduk langsung menontonnya.

Ya, aku harus menontonnya.
-----------------------------

(1) Pedoman Standar Akuntansi Keuangan. Kamus tebal yang menjadi pedoman dalam melakukan pembukuan akuntansi.

(2) IHSG, Indeks Harga Saham Gabungan.

***


1st Chapter oleh Ratna Indahswari Muharja

No comments: