Monday, April 20, 2009

Jendela Kecil: Sedikit simponi

-

EnJoY LuMuT
The Curse Of Love

(Jangan dibaca sendiri!)


Jendela kecil : Sedikit Simfoni
Selalu menyenangkan bisa berlama-lama menghirup oksigen mesra alami di jurusan Agribisnis Universitas Hasanuddin. Belum lagi ditambah pemandangannya yang laksana kehidupan pangeran dan putri negeri dongeng melangkahkan kaki menuju istananya yang terletak pada hamparan rerumputan hijau menyejukkan dikelilingi pohon cemara dan palem yang berbaris indah tertudungi keteduhan beberapa pohon Ki Hujan yang sudah berusia puluhan tahun.

Fakultas Pertanian Unhas, istimewanya menjadi rahmat ekosistem terindukan saban harinya bagi para mahasiswa untuk belajar, bercengkrama dan bersua menyiul-nyiul mahasiswi cantik yang bagai semut-semut serengga naik turun berjalan beriringan tak putus-putusnya di pohon Angsana yang rindang.

Setiap generasi punya kisahnya sendiri-sendiri, kita tidak berhak menentukan dan mengatakan kalau cara, sistem, kenangan dan persepsi dalam era kita adalah yang terbaik untuk menyongsong masa-masa akan datang.

Kisah ini hanyalah salah satu warna saja dari jutaan spektrum memoar indah yang barangkali pernah menyinari relung-relung canda dalam satu sudut kalbu mahasiswa pertanian yang adakalanya terpatri riang dalam membagi asa di pertengahan Mei tahun 2004.

Kisah ini merasa perlu disenandungkan karena dapat dikatakan demikianlah adanya kejiwaan manusia, sebelum menceritakan sebuah peristiwa yang terjadi maka kita akan selalu mengira hal tersebut belumlah benar-benar nyata. Sebab itulah mungkin kita senantiasa mencintai seorang pendengar yang dapat dengan sabar tak mengiris tiap bulir kata-kata yang hendak meluncur lembut dari rona hati yang terdalam.

Nah, karena perhatian telah terasa seirama, maka dengan segala hatur kerendahan rasa hormat, pena ini meminta sedikit simfoni kesejukan anda untuk menikmati sebutir nuansa warna pelangi kehidupan yang pernah berkelumit di ranah Jurusan Agribisnis Universitas Hasanuddin.
---


1st Chapter oleh Faizal Rizal Z.

Read More ......

Novel Cinta Untuk Milki

-

Hujan masih saja turun menyelimuti kawasan kota Jakarta. Goresan kilat masih mewarnai langit hitam yang begitu pekat. Bunyi geledek masih saja terdengar begitu keras dan memekakan telinga. Hingga jam menunjukan pukul dua belas malam, hujan masih saja belum juga berhenti. Membuat seorang gadis yang duduk dimeja makan terlihat tak bersemangat. Harapannya untuk bisa bertemu orang yang ia sayangi pupus. Sepertinya ia tak datang malam ini.

Wajahnya nampak lesu. Ia bangkit dari tempat duduknya menuju kearah kamarnya. Makanan yang telah ia ciptakan beberapa jam yang lalu, terlihat dingin dan basi, dan ia tinggalkan begitu saja dimeja makan tanpa disentuh sedikitpun.

Milki, sudah mengganti baju tidurnya. Ia langsung menarik selimut dan pelan-pelan memejamkan mata. Pikiran-pikiran yang membuatnya seolah-olah tak bisa tidur, buru-buru ia hapus. Walau pada akhirnya matanya begitu sulit untuk dipejamkan.

Krek…Pintu terbuka

Lelaki paruh baya itu masuk. Milki pura-pura memejamkan matanya. Pelan-pelan ia mendekat dan mengecup kening putrinya. Dan membisikan kata-kata maaf. Ia tidak sadar kalau sebenarnya putrinya mendengar apa yang ia ucapkan.

Ayah langsung mematikan lampu dan bergegas keluar. milki membuka matanya ketika ayah yang sangat ia cintai sudah keluar dari kamarnya. Ia bangkit dan langsung mengambil foto yang berada dimeja belajarnya. Foto keluarga yang membuat ia selalu menangis, menitikan air mata, ketika memandang wajah kedua orang tuanya. Suasana masa lalu terbersit kembali dibenaknya.

Tiga tahun silam, ia harus menerima hal yang begitu pahit. Saat itu ayah dan ibunya tengah perjalanan pulang dari luar kota. Suasana hujan deras membuat mobil tak terkendali, dan kecelkaan itu membuat nyawa ibunda yang sangat ia cintai terenggut dan hanya ayahnya yang terselamatkan. Dan jika ia mengingat peristiwa ini, ia hanya bisa menangis. Ia tak bisa menyalahkan siapapun, karena ini sudah kehendak yang kuasa. Dan biar bagaimanapun juga, Milki harus menerima semua ini.hidup tanpa Ibu yang bisa menemani keluh kesahnya. Hidup dengan ayah yang selalu sibuk dengan pekerjaanya sehingga ia harus larut malam.

Terkadang ia begitu iri dengan semua teman-temannya. Pergi jalan-jalan satu keluarga seperti dulu. Saat keluarganya masihlengkap. Dan terakhir kalinya ketika ia masuk kesekolah menengah pertama faforit, dan jalan-jalan kedufan adalah hadiah terindahnya, tak perlu keluar kota, yang ia harapkan adalah pergi bersama orang-orang yang sangat ia cintai.

Dan kini, milki tidur dengan memeluk sebuah foto, foto keluarga yang membuat ia sadar, betapa sakitnya kehilangan orang-orang yang paling ia sayangi.
****

Pagi sudah menjelang. Milki sudah rapih dengan baju seragamnya. Ia langsung keluar menuju kearah meja makan untuk sarapan, dan ketika melihat kearah meja makan. Ayah yang ia harapkan bisa sarpan pagi ini bersama, nampaknya sudah tidak ada dimeja makannya. Yang tersisa hanya piring bekas makannya.

Milki mendekat kearah meja makan. Ia duduk dan langsung mengambil sehelai roti dan mengoleskan selai coklat diatasnya. Pelan-pelan ia memasukan kedalam mulutnya. Ia terhenti ketika melihat sebuah surat yang ditujukan untuknya dan langsung membukanya.

Milki, Maafin ayah. Semalam ayah ada pekerjaan yang belum terselesaikan lagi. ntuk itu ayah pulang larut malam. Ayah janji, jika ada waktu, ayah akan mengajak kamu makan bersama. Semalam ayah makan masakan kamu.

Bibir milki mengembang, ketika membaca kalau ayahnya memakan masakan yang ia ciptakan. Melirik kearah jam yang sudah pukul setengah tujuh, milki langsung menuju kearah mobil yang bertengger didepan, Mang Usep, sopir pribadinya langsung menyambutnya.

“Pagi Non Milki, udah siap berangkat!” sambut Mang Usep

“Pagi Mang Usep, Milki udah siap berangkat!”

Milki membuka pintu mobilnya. Dan seketika itu mobil melaju dengan kencangnya. Disepanjang perjalanan, Milki Cuma bisa melihat keadaan luar dengan tatapan kosong. Bahkan candaan Mang Usep disepanjang jalan, Cuma bisa ia balas dengan senyuman.

“Mang Usep!” panggil Milki

“Iya, Non”

“Tadi pagi Ayah berangkat jam berapa?”

“Oh Tuan, Non! Tuan berangkat jam setengah enam. Katanya ada banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan. Makannya ia datang pagi-pagi”

“Oh…” Milki hanya bisa ber-Oh

Tak terasa, gerbang sekolah sudah ada didepan. Milki langsung turun. disepanjang koridor kelas, ia berjalan sendiri. Pelan-pelan ia melirik kearah seorang cowok yang duduk dibangku pinggiran.

“Ngapain lo liat-liat gue! Ada yang salah sama diri gue!”

Milki buru-buru jalan tanpa menggubris cowok itu. Tanpa sadar kalau cowok yang tadi ia lihat mengikutinya dari belakang. Milki terus saja berjalan, dan ketika memasuki kelas, betapa kagetnya ia melihat cowok itu beridiri disebelahnya.

“Lo budek! Gue nanya, ada yang salah sama diri gue. Kenapa lo liatin gue kayak gitu!” ujar cowok itu menaikan nadanya

“Aku minta maaf, aku janji nggak bakal ngeliat kamu lagi!” ujar Milki setengah ketakutan, wajahnya mendadak pucat

cowok itu langsung pergi. Hati Milki terasa sedikit lega.
****


Bel tanda isitirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu. Milki masih saja diam didalam kelas. Tiba-tiba Kasih datang dan langsung duduk disebelahnya.

“Mil, Kekantin yuk! Gue nggak ada temennya nih! Lagian masa lo setiap istirahat dikelas aja.

Apa lo nggak takut. Gue sih nggak nuduh lo macem-macem, tapi seandainya ada barang anak kelas ini yang hilang, otomatis nanti yang dituduh yang ada dikelas inikan!” Ujar Kasih panjang lebar

Milki hanya membalas dengan senyum. Ia langsung bangkit dan mengisyaratkan kalau ia menerima ajakan Kasih.

Sepanjang koridor kelas. Keramaian terdengar begitu memekanan telingat. Murid-murid cewek lagi pada heboh kalau sekolah ini kedatangan murid baru yang Cakep. Tapi yang jelas berita itu tak membuat Milki ingin tahu, ia malah seolah-olah tidak ada apa-apa, dan tidak mau menanggapi berita hal itu. Beda dengan Kasih yang ikut kemakan berita.

“Ya ampun, kalo ada cowok cakep masuk disekolah ini. Gue bakal kecengin deh. Kangen nih punya pacar, abis lama jomblo” Ujar Kasih pada Milki, sedangkan Milki tak bereaksi. “Mil, Kayaknya lo belum pernah punya pacar deh. Apa lo nggak mau pacaran?” Tanya Kasih, yang membuat Milki jelas-jelas tambah tidak peduli. “Milki, Gue ngomong sama Lo!”

“Iya maaf, tadi kamu ngomong apa?”

“Ya ampun, Cape deh! Cantik-cantik ko lemot”

Milki hanya senyum-senyum menanggapinya.

Justru sesampainya dikantin, suasana begitu ramai. Milki berada diantara desakan orang yang memenuhi kantin. Sebuah peristiwa sepertinya sedang terjadi dikantin. Dari balik tubuh orang-orang yang berkunjung dikantin, Milki melihat ada keributan kecil yang terjadi antara Dua cowok. Jelas-jelas Milki tahu siapa cowok itu, salah satunya adalah Anggo, ketua geng nakal yang ada disekolah. Dan satu laginya, Milki jelas taka sing, cowok itu adalah cowok yang tadi pagi marah padanya lantaran Milki tak sengaja melihatnya.

“Lo pikir ini bangku nenek moyang lo!” Ujar cowok itu, Yang tak lain adalah Murid baru disekolah ini yang diberitakan Cakep sama anak-anak cewek yang bikin ulah

“Woi…tapi bangku masih banyak disini. Ini bangku milik gue sama anggota geng gue!” Ujar Anggo berapi-api

“Geng…Geng apa? lo piker dengan geng-gengan Lo itu lo bisa seenaknya merintah gue pindah-pindah duduk segala. Salah bung!”

“Sialan Nih anak ngelunjak. Berhubung gue nggak mau ribut disini, lo tunggu aja tanggal mainnya”

“Oke gue tunggu!”

Geng anggo mengalah, walau ia meras terinjak-injak. Apalagi disaksikan oleh semua mata yang tengah berada dikantin. Sedangkan Miko, ia malah dengan santainya memesan mie ayam.

Milki yang saat itu tengah berdiri diantara kerumunan orang, langsung mencari bangku. Dan kebetulan bangku yang kosong hanya tinggal dua dan bangku itu bersebelahan dengan Miko. Kasih yang nyalinya ciut, malah ninggalin Milki sendirian dengan alas an mau ketoilet.

“Lo ngapain dari tadi berdiri disitu!” Ujar Miko sinis, melihat Milki yang kebingungan antara mau duduk atau tidak

“Aku boleh duduk disini, soalnya bangku yang lain penuh” Ijin Milki

“Kalau mau duduk yah duduk aja, Nggak usah ijin-ijin segala. Lo piker ini bangku milik gue apa, ini bangku umum”

“Oh makasih!”

Milki langsung duduk. Ia melihat keseuruh arah, mencari-cari sosok kasih yang sampai detik ini belum juga nongol lagi. Sedangkan Miko, ia tengah menikmati makana yang baru saja datang.

“Lo nggak mesen?” Tanya Miko

“H…h…Nggak! Lagi nunggu temen dulu!” jawab Milki terbata-bata

“Yaudah sambil nunggu temen lo, kenapa nggak mesen aja!”

“Eh…i…iya!”

“Woi…lo kenapa, dari tadi ngomong kayak orang ketakutan?” Ujar Miko yang membuat Milki tersentak

“Ng…nggak!”
****


Ketika jam pulang, seperti biasa Milki meluangkan waktunya pergi kebelakang sekolah. Tapi pandangan ia tertuju kearah tempat yang selalu ia datangi dijam sekolah. Tempat yang biasa sepi, sekarang mendadak ada seseorang yang datang ketempat ini. Dan orang itu adalah, Miko. dan Milki melihat pemandangan yang menurutnya tidak lajim. Yakni ia melihat Miko tengah merokok.

“Lo ngapain kesini!” Ujar Miko dengan nada juteknya

“Aku biasa dateng kesini kalau jam pulang”

“Nggak usah alesan. Awas lo kalau lapor gue ngerokok, lo pasti berhadepan sama gue” ujar Miko

“Kamu nggak usah takut, aku nggak bakal peduli sama urusan orang orang lain.lagian itu hak orang. Aku nggak mau ikut campur!” Milki langsung ngeloyor pergi. semula niatnya pengen duduk santai dibelakang sekolah, yang ada ia malah berurusan dengan orang.

“Awas gue pegang omongan lo!” ujar Miko

Miko terus-terusan asik menyeruput rokoknya, tanpa sadar kalau ada orang lain yang melihatnya dari kejauhan.

Mang Usep yang tengah berdiri didepan mobil, heran melihat sikap Milki yang mendadak berubah jadi murung.

“Non kenapa?” Tanya Mang Usep

“Mang, aku mau cepet pulang!”

Mang Usep langsung buru-buru memasuki mobil.

Disepanjang perjalanan, Milki Cuma bisa nangis. Yang membuat mang usep heran. Apalagi nggak biasa-biasanya pulang sekolah nangis. Apa mungkin ada masalah? Pertanyaan itu menyelimuti pikiran Mang usep.

“Non, non kenapa? Pulang sekolah kok nangis?” Tanya Bibi

“Ada orang aneh disekolah, Bi!” Ujar Milki yang kemudian langsung masuk kedalam kamarnya.

Dikamar Milki langsung menaruh tasnya. Ia langsung tidur tanpa mengganti bajunya. Dan sepuluh menit kemudian, ia tidak sadar posisinya sekarang. Matanya sudah terlelap.
****



“Milki kemana, Sep!” Tanya Ayah pada Mang Usep

“Non Milki masih dikamarnya. Semenjak pulang sekolah Non Milki tidak keluar kamar, Tuan!” Jawab Mang Usep

“Apa ada masalah sama Milki?”

“Kurang tau tuan, tapi yang jelas tadi pulang dari sekolah Non Milki Nangis”

“Nangis!” Ayah kaget

Ayah lansgung memanggil bibi. Dan atas perintah ayah Bibi langsung keatas menemui Milki, yang saat itu tengah duduk dikamar dan masih mengenakan seragamnya. Wajahnya nampak terlihat sendu. Sepertinya kejadian tadi siang yang membuatnya kesal dan nangis belum juga bisa dilupakannya.

Milki langsung turun saat bibi bilang kalau ayahnya memanggilnya. Diruang tamu nampak ayah yang tengah duduk, dan ditemani Mang Usep yang beridiri. Sesampainya ruang tengah, Milki langsung duduk disebelah ayahnya.

“Milki, ayah denger tadi pagi kamu nangis. Emangnya ada masalah apa? kamu cerita sama ayah!” ujar ayah

“Nggak ayah, Nggak ada apa-apa. Milki baik-baik aja.” Jawab Milki berbohong

“Kalau kamu ada masalah, kamu cerita sama ayah. Apa kamu nggak suka sama sekolah baru kamu ini. Kalau kamu mau pindah, bilang aja sama ayah. Ayah bakal turutin apa yang kamu inginkan”

“Nggak ayah, Milki baik-baik aja”

Milki terpaksa bohong kalau ia sedang tidak ada masalah apa-apa. ia snegaja berbohong lataran takut ayahnya kepikiran, dan menyita pikirannya, dan ia juga tidak mau mengganggu konsentrasi kerja ayahnya lantaran karena masalah yang cukup sepele.

“Yaudah, kamu siap-siap! Sekarang masih jam delapan! Kita makan diluar”

Wajah Milki mendadak ceria.

“Gitu dong, anak ayah yang manis ini nggak boleh sedih! Yauda sana cepet ganti!”

Milki yang baru lari berapa langkah, harus membalikan badanya kembali.

“Milki, malem-malem kok kamu pake seragam!” ujar Ayah yang baru sadar

“Maaf ayah, Milki lupa. Tadi ketiduran!”
****

Hari ini berita baru tentang siswa skorsing beredar luas keseantero sekolah. Siswa yang kena skorsing tak lain adalah Miko. ia kena skorsing satu hari lantaran ketahuan merokok dihalaman belakang sekolah. Milki yang jelas-jelas tahu, Cuma bisa pura-pura tidak tahu. Lantaran ia tidak mau ikut campur dan ngomongin orang.

Dan hal yang mengejutkan lagi ialah, ada siswa yang melaporkan tingkah Miko kepada guru. Hal ini yang membuat Milki ikut harap-harap cemas, lantaran ia kemarin salah satu orang yang tahu Miko merokok dihalaman belakang. Walau pada kenyataanya Milki tidak tahu menahu soal lapor melaporkan.

Pada saat jam pulang sekolah, Miko sudah menunggu Milki didepan kelas. Dan seketika semua siswa sudah pulang, dan hanya tinggal Milki dikelas, Miko langsung masuk dan menemui. Jelas jantung Milki deg-degan, jangan sampai Miko menganggap Milki yang melaporkannya.

“Lo nyari masalah sama gue!” Ujar Miko setengah berapi-api

“Masalah apa?” Milki berusaha tenang

“Lo nggak usah pura-pura bego”

“Aku bener-bener nggak tahu”

“Lo kan yang ngelaporin gue sama guru Bp. Anjrit lo yah, kalau bukan cewek udah gue gampar”

“Kamu jangan asal Nuduh! Aku bener-bener nggak tahu”

Milki bangkit, dan berusaha keluar dari perangkap Miko. Hampir saja ia mendekati pintu, tiba-tiba badannya serasa kaku, lantaran ada orang yang memegang erat-erat dari belakang. Miko, cowok itu membalikan badan Milki hingga mereka saling berhadapan. Dan dengan perasaan tanpa dosa, Miko mendekatkan bibirnya tepat dibibir Milki, hingga saling beraduan. Milki berusaha berontak dengan isak tangisnya, dan Miko melepasnya. Milki buru-buru kabur sambil membawa tangis.

“Itu balasan buat cewek yang nyari masalah sama gue!” Ujar Miko setengah teriak

Dan untuk kedu kalinya dihari yang berturut-turut Mang Usep melihat Milki menangis. Jelas hal ini membuat Mang Usep cemas, lantaran ia sudah mendapat pesan dari Majikannya agar menjaga anak semata wayangnya.

“Non Milki, kenapa lagi non!”

Milki tak menjawab. Ia terus menangis sejadinya. Sepanjang perjalanan Milki terus-terusan menangis, sehingga membuat Mang Usep bingung dan kewalahan. Apa jadinya kalau sampai Majikannya tahu, mungkin ia juga bakal kena.

“Non…Non Milki cerita sama mamang, apa ada yang ganggu non Milki di sekolah?” Tanya Mang Usep cemas

“Nggak ada Mang, Mang Usep nggak usah takut, aku baik-baik aja kok”

“Lah kalau baik-baik aja, kenapa Non Milki nangis”
****


Miko tengah menghirup rokoknya sambil membaca majalah otomotifnya. Wajahnya nampak serius memandangi satu persatu gambar motor, tanpa memedulikan bacaannya.

Tiba-tiba seseorang masuk dari balik pintu kamarnya. Miko hanya melirik sejenak, dan kemudian ia tak menggubris kehadiran cowok yang usianya lebih tua darinya.

“Mik, kaka denger kamu bikin ulah lagi disekolah!” Ujar Adam seraya mendekat dan duduk disamping adiknya

Miko tak memedulikan. Ia masih asik sendiri.

“Mik, kaka nanya” ujar Adam menaikan nada suaranya

Miko menoleh “Sejak kapan lo ikut campur urusan gue. Mendingan lo urus aja diri lo sendiri. Lo aja belum tentu bener” Miko asal

“Justru itu Kaka ingin perbaikin diri. Kaka ingin jadi kaka yang baik buat kamu. Dan kita sama-sama hidup rukun”

“Sayangnya keinginan itu nggak bakal kewujud. Orang tua aja nggak pernah perduli sama anaknya, ngapain kita cape-cape berusaha jadi orang baik”

“Nggak ada yang cape Mik. Asal kamu tahu, sampai kapanpun kamu berusaha jadi anak badung supaya mamah perhatian, toh itu hasilnya nihil dan nggak bakal kewujud. Mamah sama papah sibuk sendiri-sendiri. Mereka nggak bakal perhatiin kita. Bukan berarti kita nyari-nyari perhatian dengan bersikap jadi anak badung. Toh kita kurang apa coba, hidup kita serba kecukupan, apa yang kita pengen bisa langsung kewujud, so…lebih baik kita ngelakuin hal positif kan dengan apa yang kita punya?”

“Sejak kapan lo pinter ceramah!”

“Sejak gue cape nyari sekolah buat lo!” ujar Adam kesal

“Maksud lo apa?”

“Kaka udah cape Mik, dari semenjak kamu SMP. Coba hitung sudah berapa kali kamu bikin ulah, sudah berapa kali kamu pindah sekolah. Dan itu merupakan tangung jawab dan beban kaka”

“Kalo lo ngerasa keberatan, lo nggak usah ikut campur urusan gue. Lo urus aja diri lo sendiri”

Adam bangkit. “Senakal-nakalnya Lo, sebadung-badungnya Lo, lo tetep adik gue, Mik!”

Adam pergi. Miki cuma mendengus kesal. Tumben-tumbenan ia mendapat ceramah dari kakanya. Ia nampak sudah tidak Mood lagi, dan memilih untu segera tidur. Dan baru saja ia mau melelapkan matanya, tiba-tiba tefon berdering.

Siapa malam-malam nelfon!ganggu orang aja! Miko bangkit. Ia meraih handphone yang berada dimeja komputernya.

“Halo!” ujar Miko mengawali

“Hai, Mik! Gimana rasanya kena skorsing satu hari enak kan” ujar orang dari sebrang

“Hei anjrit, Lo siapa! Bencong bener lo berani ngomong lewat telfon”

“Belagu juga lo yah, piyik! Ayam baru kemarin netes aja udah selangit gaya lo!” ujar orang dari sebrang yang tak lain adalah Anggo “Asal lo tau, berani berurusan sama gue, hidup lo nggak bakal tenang”

“Oke, Cong! Lo piker gue takut. Kalo lo cowok,lo nggak usah neror-neror gue segala, Ngomong aja langsung lo sama gue. Banci banget lo yah! Berani adu mulut”

“Lo nantangin gue, oke! Lo tunggu aja tanggalmainnya!”

Tut…tut…tut…

Telfon terputus. Dengan kesal Miko membanting Handphoennya. Ia nampak bingung, dari mana ia tahu nomor handphoennya. Padahal anak-anak satu sekolah barunya sekarang belum ada yang tahu. Semenjak pertama kali masuk SMU Trista ia belum pernah satu kalipun memberi tahuka nomor handphoennya pada siapapun, terkecuali pihak sekolah.

Pelan-pelan Miko berfikir. Ternyata orang yang ia sangka melaporkannya merokok, jelas-jelas bukan Milki. Miko terus-terusan berfikir, siapa saja orang yang pernah ribut sama dia, dan ia baru ingat kalau selama masuk SMU Trista, Cuma Geng Anggo lah yang pernah buat masalah sama dirinya. Miko hanya bisa menggigit bibir.
***


1st Chapter oleh Saiful Furkon

Read More ......

Intelegent Destiny

-

Pusat Intelijen Negara, Jakarta
26 Maret 2015…
Kondisi yang dirasakan oleh negara saat ini berubah drastis. Ini sudah terlihat dari segala sesuatu yang sudah terjadi. Bahkan Badan Intelijen Negara telah mengubah sistem perekrutan secara terbuka untuk mencari agen-agen khusus. Tapi seakan sistem perekrutan yang dilakukan hanya sia-sia. Meskipun setiap kasus yang dihadapi oleh para agen mampu dipecahkan secara sempurna, tanpa melakukan kesalahan sedikit pun, nyawa para agen tersebut menjadi ganti taruhannya.

Situasi penyerangan yang ditujukan pada markas besar pusat intelijen Indonesia masih belum berhenti. Markas menjadi porak-poranda, para pengkhianat negara itu ingin agar dapat menyingkirkan para agen khusus. Bahkan TNI datang untuk melindungi tempat itu.

“Apa-apaan ini! Mereka menyerang kita terus-menerus! Lagi pula, bagaimana mereka bisa tahu lokasi ini.”Angga tampak bingung dengan keadaan itu.

“Tapi… kalau diperhatikan mereka seperti bukan manusia. Mereka membunuh dengan cara yang mengerikan.” Dengan cemas Andin memperhatikan orang-orang itu lewat layar komputernya.

“Kita harus pergi dari sini! Andin, cepat amankan semua file rahasia dan juga identitas para agen! Angga, siapkan helikopter! Kita akan keluar melalui pintu darurat. Jangan sampai musuh menemukan kita!”

“Baiklah Andi!”

Para agen tersebut keluar dengan tergesa-gesa. Tapi pada saat semua agen sibuk dengan persiapannya masing-masing, seseorang memanggil Andi.

“Ma’af Tuan…, saya mohon ikutlah dengan saya sebentar!”

“Ada apa Reza?”

Andi tidak mendapatkan jawaban dari Reza. Andi mengikuti laki-laki yang tampak lebih muda darinya itu. Tapi Andi sudah memperhatikan sesuatu yang aneh di tangan Reza. Tangannya berlumuran darah, lalu Andi berkata,

“Reza, jangan-jangan kau…” Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, kepala Andi dipukul dari belakang dengan keras oleh seseorang dan dia jatuh tak sadarkan diri.


*****



23 hari kemudian…
Ogan, Suku yang Dilindungi, Sumatera Selatan

Pohon-pohon besar tumbuh lebat menutupi sebuah pedalaman Sumatera Selatan. Tampak Danau Jambu Rumbay yang dikelilingi pohon karet, pohon gelam, cempedak, dan kemang berdiri kokoh di tepiannya. Ditambah aliran air danau Jambu Rumbay yang membuat pantulan sinar terlihat gemerlap di permukaannya. Sedangkan jalan pedesaan mengapit tepian danau Jambu Rumbay.

Saat ini jalan desa sedang ramai, menyambut kedatangan beberapa ilmuwan asing dari Amerika. Mereka datang untuk melihat budaya asli Indonesia sekaligus melakukan suatu ekspedisi. Warga desa yang hanya terdiri tidak lebih dari 40 kepala keluarga itu juga sedang sibuk menyiapkan hari sambutan itu. Ibu-ibu warga desa itu pun sibuk menyiapkan makanan khas Sumatera yang lezat untuk disuguhkan kepada empat ilmuwan asing itu. Dan juga sembilan penari muda dan cantik-cantik yang berbusana adapt Aesan Gede, selindang mantra, Paksangkong, Dodot, dan Tangga sudah siap untuk menunjukkan adat tari tradisional mereka, Gending Sriwijaya.

Meisya, seorang gadis muda yang memandu para turis itu. Dia menemui para turis itu dengan mengenakan busana adat kebaya Jawa yang menunjukkan bahwa dia berasal dari pulau Jawa. Kebaya itu berwarna merah hati dan sanggulan di rambutnya membuat tampak lebih serasi. Selain itu, helaian kain beludru warna coklat sebagai bawahannya. Dengan fasih dia bercakap menggunakan bahasa Inggris dengan turis-turis itu. Meisya tampak senang sekali dengan pekerjaan itu. Meskipun dia datang dari Jawa, dia bangga karena sudah hidup dengan memiliki berbagai budaya di Indonesia.

Di sebuah teras rumah yang agak jauh dari keramaian, namun cukup jelas untuk menikmati acara yang dikerumuni banyak orang itu, tampak seorang laki-laki muda mengenakan kemeja putih berkerah yang dipadu dengan bawahan celana jeans hitam. Di lehernya melingkar sebuah kalung rantai yang selalu dipakainya. Laki-laki itu berdiri dengan memandang ke arah Meisya. Dialah Andi.

Setelah selesai dengan pekerjaannya, Meisya memandang ke arah Andi. Dia tersenyum melihat laki-laki itu, tapi Andi mengalihkan pandangannya ke arah Tari Gending Sriwijaya digelar. Kemudian Meisya menghampirinya.

“Tuan Andi…, apakah Tuan tidak mau bergabung dengan kami di sana? Marilah Tuan…!” Suaranya halus dan lembut, tapi Andi hanya menjawab,

“Aku tidak mau.”
Meisya mengerutkan keningnya, tapi dia mengerti akan laki-laki itu.

******

Hari telah menjadi gelap. Semua warga telah tertidur pulas meskipun ini masih pukul 08.00 malam. Mungkin mereka sudah lelah dengan kegiatan hari ini yang menyibukkan. Lagipula malam ini dingin karena hujan gerimis. Hanya ada beberapa orang yang masih terjaga, namun berdiam diri di rumah mereka masing-masing. Hanya ada suara rintik hujan yang mengisi keheningan malam itu. Di depan sebuah rumah kecil seperti pondok khas Sumatera terdapat beberapa pohon besar yang berjajar dan berdiri kokoh.

Namun suara dua insan yang agak jauh dari rumah penduduk, telah memecah keheningan malam itu, yaitu Andi dan Meisya. Saat ini Meisya sedang duduk berlutut agak jauh di belakang Andi yang berdiri tegak dan memakai sebuah jas panjang. Rambutnya basah karena hujan. Andi yang berwajah tampan itu tampak terdapat sekelibat kesedihan di matanya, yang mungkin sulit untuk diungkapnya. Sementara itu, Meisya yang mengenakan T-shirt berkerah tampak tidak dapat menahan air matanya yang terus mengalir di atas pipinya yang halus.

Di antara keduanya terdengar kalimat-kalimat yang memilukan keluar dari bibir Meisya.

“Tuan Andi…, saya mohon…, jangan pergi…!”

Andi tidak menjawab kalimat pertama yang diucapkan Meisya. Kepalanya tertunduk seperti memikul beban yang berat di pundaknya. Namun untuk yang kedua kalinya Meisya berkata,

“Saya mohon…, Tuan Andi…, jangan tinggalkan saya sendirian di sini…!” Kali ini kalimatnya semakin banyak. Gadis itu masih terus memohon tanpa ada rasa putus asa kepada Andi.

“Tuan Andi, saya mohon, jangan tinggalkan saya…! Saya berjanji Tuan akan bahagia hidup bersama saya di sini… Karena…” sejenak kalimatnya terhenti. Meisya tertunduk. Diam-diam air matanya menetes di atas tanah.

“Karena…sa,saya… mencintai Tuan Andi…! Saya mohon … Tuan! Tinggallah di sini bersama saya…! Saya berjanji akan selalu menyayangi Tuan Andi…” Meisya tidak mampu air matanya lagi, dia sangat sedih. Dalam hatinya dia ingin sekali lari kea rah Andi dan memeluk erat laki-laki yang dicintainya itu. Namun diamnya Andi seakan mencegahnya untuk melakukan itu.

Meisya mencintai Andi semenjak dia menemukan Andi dalam keadaan yang mengenaskan. Andi dijatuhkan dari bukit oleh seseorang. Tubuh Andi penuh luka, namun Meisya dan kakak laki-lakinya, Surya merawat Andi hingga sembuh.

Surya adalah seorang dokter muda di tempat terpencil itu. Dia datang di desa bersama Meisya saja. Keduanya adalah anak yatim piatu. Namun Surya adalah seorang dokter yang sabar dan cerdas.

Akhirnya bibir Andi bergerak,

“Ma’afkan aku… Aku… tidak bisa.”

Meisya yang dari tadi menunggu jawaban dari Andi semakin pilu mendengar kata-kata itu.
“Kenapa…?”

“Aku… bukanlah orang yang pantas untuk melakukan hubungan seindah itu bersamamu, Meisya…”

“Ta,tapi…, hati saya telah memilih Tuan…! Saya berjanji apapun yang terjadi saya akan mencintai Tuan…!” Meisya sudah tidak sabar. Dia beranjak dari duduknya, lari menuju kearah Andi. Namun dia masih belum memiliki keberanian untuk memeluk laki-laki yang yang dicintainya itu. Dia mengurungkan niatnya. Lalu dia terduduk lagi di belakang Andi. Dan pelan-pelan dia memegang kaki Andi.

“Saya tidak bisa hidup tanpa Tuan…! Saya berjanji akan melakukan apa saja untuk Tuan Andi, bahkan mengorbankan nyawa saya untuk Tuan.Tuan tidak akan menyesal bersama saya. Saya sangat mencintai Tuan…!” Tangis Meisya mulai menyesakkan nafasnya. Dia seakan tidak berdaya lagi untuk melakukan sesuatu. Kedua tangannya hanya memiliki sedikit kekuatan untuk menahan tubuhnya. Dia seperti bersujud pada Andi.

******

Pelan-pelan tubuh Andi berbalik ke arah Meisya. Dia duduk berjongkok di depan Meisya dan memandang wajah gadis itu yang masih dibasahi air mata. Meisya juga memandang Andi. Tapi kemudian dia menurunkan pandangannya dan tertunduk. Lalu jari-jari Andi memegang dagu Meisya dan mengangkat pelan-pelan, kemudian melepaskannya.

“Kau berjanji akan melakukan segalanya untukku?”

Meisya mengangguk.

“Kau berjanji tidak akan pernah menyesal mengatakan itu padaku?”

“Sa,saya berjanji…”

Keduanya diam sejenak. Andi pun kemudian menundukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian tiba-tiba tangan Andi menarik tangan Meisya.

“Kalau begitu… Ayo, ikut aku!”

Andi berdiri dari duduknya dan diikuti Meisya. Meisya hanya bisa diam menuruti ajakan Andi. Dia tidak mengerti maksud Andi. Dalam hatinya, dia ingin sekali bertanya, apa yang akan dilakukan Andi kepadanya. Dan apakah ini berarti Andi telah menerima cintanya?

Andi dan Meisya terus berjalan. Keduanya berjalan menyusuri pohon-pohon di tengah gerimis hujan. Meisya masih belum mengerti apa yang dipikirkan oleh Andi. Namun dia tidak mampu melontarkan pertanyaan pada laki-laki itu. Dia hanya diam sambil terus memandangi wajah Andi yang terlihat serius. Perjalanan mereka cukup lama juga.

Akhirnya keduanya sampai pada sebuah klinik kecil yang berada di antara rumah-rumah penduduk desa. Walaupun kecil, klinik itu terlihat bersih dan nyaman. Disekitarnya tampak beberapa pohon berdiri kokoh dan di pinggiran teras klinik itu banyak sekali ditumbuhi bunga-bunga kecil dengan berbagai warna. Tapi gelapnya malam memudarkan warna bunga-bunga itu.

Di depan pintu terlihat sosok dokter dengan pakaian putihnya. Dia keluar ketika melihat kehadiran Andi dan Meisya. Dialah Surya. Raut wajahnya juga terlihat seperti orang yang ingin bertanya, ada apa Andi dan Meisya datang ke sini malam-malam? Sejak Andi sudah sembuh total dia tidak pernah datang ke klinik. Dia hanya tinggal di rumah pondok bersama Meisya. Dan hanya ketika pulang dari kerjanya dia bisa bertemu dengan Andi. Dan sekarang Andi sudah berdiri di depannya

“Surya, aku ingin menikah dengan adikmu!” Kalimat seperti itu yang tiba-tiba saja keluar dari mulut Andi. Surya yang belum sempat menanyakan sesuatu, tampak tertegun mendengar kalimat itu. Begitu juga Meisya, selama perjalanannya menuju ke klinik Surya, dia penasaran.
“Aku minta izinmu untuk menikahi Meisya malam ini juga di sini.”

Kemudian Meisya tampak pasrah dengan Andi. Dia memandang wajah Andi. Lalu menurunkan pandangannya. Surya yang tadi tampak tidak mengerti dengan ucapan Andi masih melihat Andi yang tampak serius. Dia melihat ke arah adik perempuannya, Meisya, tapi Meisya tidak berani melihat mata kakaknya. Dia hanya menundukkan kepalanya. Lalu Surya pun menunduk dan menghela nafas panjang. Tampak dia sudah mengerti.

Surya memang sudah tahu kalau Meisya sangat mencintai Andi selama dia merawatnya. Wajar saja kalau adiknya telah jatuh cinta pada laki-laki itu. Karena Andi sudah tinggal satu atap bersama dengan Surya dan Meisya selama satu bulan untuk perawatan Andi. Meisya dengan sangat tekun dan bersabar merawat luka Andi hingga sembuh. Dan baru malam inilah Meisya mengungkapkan cintanya pada Andi. Surya yang selama ini melarang Meisya untuk mencintai Andi yang merupakan orang asing yang belum dikenalnya. Namun Meisya mencintai Andi sejak pertama kali bertemu.

Surya tidak juga menjawab satu kata pun. Kemudian Andi meninggalkan Surya dengan membawa Meisya. Dia meminta bantuan kepada beberapa penduduk desa di situ. Setelah beberapa persiapan kecil sebuah upacara pernikahan itu selesai Andi mengucapkan ijab dan qobulnya secara Islam, dan Surya sebagai wali dari Meisya. Meisya tidak pernah menduga ini akan terjadi dengan tiba-tiba. Dan tanpa satupun orang yang mengiranya.

*****

Tepat pukul 11.00 malam, suasana menjadi sepi. Yang tersisa hanyalah dingin yang ditinggalkan oleh hujan. Hanya terdengar lirih suara hewan malam yang mulai menemani, mengiringi orang-orang yang yang sedang tidur malam itu. Dari jauh pun hanya terlihat sedikit cahaya redup yang terpancar dari sebuah jendela. Jendela itu adalah milik sebuah pondok kecil yang terletak di antara pohon-pohon. Di sanalah Andi dan Meisya tinggal setelah pernikahan mereka yang seadanya itu dilaksanakan. Masih tetap pada hari yang sama, mereka berdua diam. Meisya duduk di atas sebuah ranjang dengan seprai kain sutra yang indah, dengan dihiasi renda-renda kecil di pinggirannya. Di depan Meisya, Andi berdiri memandangi Meisya. Meisya hanya bisa menunduk malu di depan suaminya itu.

“Sekarang aku sudah menjadi suamimu, Meisya…”

Meisya mengangguk pelan.

Kemudian Andi membuka jas dan kemejanya, lalu naik ke atas ranjang dan diikuti Meisya yang berada dalam pelukannya.

“Tu,tuan Andi, apakah Tuan akan setia pada saya seperti saya setia pada Tuan?”
“Tentu saja…”

Meisya tersenyum senang dan percaya pada Andi.

“Saya percaya Tuan tidak akan meninggalkan saya…”

Andi hanya diam. Dia terus mencurahkan kasih sayangnya pada istri tercintanya itu.

*****

Sekitar pukul 02.00 pagi hari yang masih gelap. Bahkan, ayam jantan pun belum berteriak membangunkan lelapnya orang tidur dini hari itu. Andi tiba-tiba terperanjat dari tidurnya. Dia melihat Meisya yang ada di sampingnya. Tidur Meisya pun juga sudah tidak nyenyak. Dia terbangun dari tidurnya.

“Tuan Andi, anda mau ke mana? Hari masih gelap…”

Andi terdiam agak lama. Dia berdiri membelakangi Meisya sambil mengenakan kemeja dan jasnya lagi.

“Ma’afkan aku, Meisya… Aku harus pergi sekarang.”

Meisya tidak percaya dengan kata-kata Andi.

“Mau ke mana…? Kalau mau pergi, saya juga diajak kan, Tuan?

Andi terdiam, seakan dia tidak mampu menjawab pertanyaan istrinya itu.

“Kalau begitu saya juga akan bersiap…” kata Meisya.

“Aku… tidak bisa mengajakmu. Ma’afkan aku… Meisya.” Andi menjawab dengan menutup matanya. Dia terpaksa mengatakan hal itu pada Meisya.

“Apa yang Tuan katakan? Saya istri Tuan…, saya ingin hidup bersama Tuan Andi apapun yang terjadi.”

Andi ingin mengatakan semuanya pada Meisya. Dia berjarak lebih dekat kepada istrinya itu.

“Dengarkan aku, Meisya…! Aku adalah orang negara. Aku bekerja untuk negara ini. Namun pekerjaanku…” Andi menghentikan kalimatnya.

“Kau ingat kan, pada saat kau menemukanku dulu? Tubuhku penuh luka. Kau bisa mati bersamaku…”

Meisya tampak mengerutkan keningnya dan meneteskan air matanya.

“Lalu… bagaimana dengan Tuan Andi? Tentunya Tuan dalam bahaya. Saya tidak ingin kehilangan Tuan…”

“Tidak! Kau harus tetap di sini. Ma’afkan aku, Meisya… Aku harus pergi sekarang.”

“Tuan…!”

Kemudian sebelum Andi pergi, dia melepaskan sebuah kalung rantai yang berlapis emas putih di lehernya. Dan memberikan kalung itu pada Meisya.

“Aku akan kembali ke sini Meisya. Percayalah…!” Setelah mengatakan hal yang menyedihkan Meisya, Andi berbalik, tapi baru beberapa langkah dia berhenti.

“Meisya, terima kasih atas segalanya… Dan aku mohon padamu, jagalah anak kita nanti…!” Andi mempercepat langkahnya dan pergi meninggalkan Meisya. Dia tidak menghiraukan teriakan Meisya di belakangnya. Meisya terus memanggilnya, berharap Andi akan kembali di pelukannya. Tetapi Andi juga menahan rasa itu semua di hatinya. Dia tidak ingin berbalik dan melihat Meisya yang ada di belakangnya. Kali ini Meisya tidak bisa menahan kepergian suaminya itu.

******


1st Chapter oleh Denny Natalia

Read More ......

Candle that Couldn’t Light

-

Aidan

Berapa banyak orang yang tahu kapan maut menjemputnya?

Beberapa mungkin mengetahuinya tepat pada akhir hidup mereka dan memberikan firasat. Sayangnya sebagian besar tidak.

Mungkin akan lebih baik kalau manusia tahu kapan kematiannya sendiri. Setidaknya, akan ada waktu untuk bersiap-siap. Untuk melakukan hal-hal favoritmu dulu sebelum kamu tak bisa bergerak. Untuk melihat serial kesukaanmu sebelum matamu terpejam. Atau mungkin untuk melakukan hal-hal yang melanggar hukum.

Kelihatannya bakal menyenangkan.

Aku sendiri berharap kalau kematian menjemputku, kuharap ia datang dengan jalan yang damai. Mati dalam tidur, misalnya. Mati dalam pelajaran biologi. Atau mungkin mati dalam pertandingan pertama Piala Dunia.

Seluruh stadion pasti akan geger.

Nyatanya sampai sekarang aku masih sehat walafiat. Aku masih bisa berenang bolak balik kolam renang atau berlari mengelilingi taman dengan satu kaki. Aku juga masih bisa menyalin peer matematika.

Tapi, meskipun Ms. Judy berusaha mati-matian untuk membunuhku dengan peernya yang bertumpuk itu, kelihatannya aku akan bisa bertahan hidup. Kalau tidak, bagaimana aku bisa melanjutkan ke kuliah? Kakak laki-lakiku, Aziman, sekolah di akademi kepolisian. Kakak perempuanku, Fathira, sekolah di fakultas fisika. Setidaknya, aku juga akan jadi sarjana.

Atau mungkin magister?

Atau bahkan profesor?

Aku tak mau menjadi botak.

Mungkin lebih baik mati sebelum masuk SMA. Sebelum semua yang kulihat dalam TV benar-benar menimpaku. Semua tentang kepala yang diceburkan ke dalam toilet dan semacamnya.

“Itu akan selalu jadi momen terindah semasa SMA”, kata Aziman.

Mengingat karena kepala orang lain yang diceburkannya, hal itu masuk akal juga.

Tapi bagi Fathira, SMA adalah pertaruhan. Semacam seleksi kehidupan, katanya. Yang kuat akan bertahan hidup, yang kalah akan punah. Atau dalam kata lain, semakin kamu banyak menjejalkan informasi dalam otakmu, semakin besar pula kesempatanmu untuk kuliah di tempat yang tepat.

“Aidan,” ujarnya, “baca bukumu.”

“Aidan,” ujarnya di hari yang lain, “kerjakan peermu.”

“Aidan,” ujarnya di hari yang lain lagi, “bersihkan kamarmu.”

Dia memang benar-benar kloning Mom.

Aku tahu kalau umur tumbuhan diketahui dari jumlah lingkaran tahun mereka. Satu lingkaran untuk setiap musim, dua lingkaran berarti satu tahun.

Tapi bagaimana mengetahui umur manusia?

Kau tidak bisa mengetahuinya dengan tepat, kau hanya bisa memprediksi. Kalau badanmu meninggi dengan cepat, berarti kamu berusia 12 sampai 18 tahun. Kalau kamu mulai bekerja, berarti usiamu 25 sampai 30 tahun. Kalau rambutmu memutih, umurmu lebih dari 50 tahun.

Tidak ada cara yang benar-benar pasti.

Selain menghitung jumlah lilin di kue ulang tahunnya.

Sama seperti kematian, tidak ada hitungan yang benar-benar akurat untuk mengetahuinya.

Sepupuku meninggal satu jam setelah lahir karena tubuhnya terlalu lemah untuk dunia ini. Di lain tempat, kakekku baru meninggal pada umur 87 tahun.

Artinya, manusia bisa mati kapanpun.

Aku bisa mati detik ini juga.

Atau besok.

Atau masih delapan puluh tahun lagi.

Yang jelas, kemarin aku masih hidup. Masih berkutat pada peer geometri Ms. Judy. Masih bermain bola dengan Aziman. Masih bisa menjilati es krim di Creamy’s. Masih harus menambal gigi.

Maut belum memutuskan untuk menjemputku kemarin. Kupikir, apakah dia masih mau memberiku kesempatan lain untuk hidup? Atau mungkin dia melupakanku?

Aziman akan sangat senang kalu maut benar-benar lupa padanya. Dia tahu bagaimana menikmati hidup; menyetir mobil ugal-ugalan, pulang pukul empat pagi, dan berbohong pada Mom dan Dad.

Menurutku malah kematian akan selalu mengingatnya.

“Aidan.”

“Apa?”

"Mau ikut?”

“Ke mana?”

“Hanya jalan-jalan.” Tapi aku tahu dia menjanjikan lebih. Mungkin balap gila-gilaan di pinggiran kota.

“Tidak bisa malam ini. Tapi besok mungkin bisa.”

“Tsk. Kau menyia-nyiakan kesempatan.”

Begitulah, Aziman selalu tahu apa yang paling baik untuknya. Dengan kata lain sesuatu yang paling buruk untuk Fathira.

Buruk juga bagi kami sekeluarga.

Kalau kau mencari kata kematian, kau akan menemukannya di depan kamus. Kalau kau kemudian mencari kata Fathira, kau tak akan menemukannya di buku yang sama. Sebab kematian dan Fathira adalah sesama magnet N bagi satu sama lain. Atau sesama magnet S.

“Aku masih mau hidup lama, bandel,” begitu jawabnya saat aku menanyakan pertanyaan favoritku:

Kau ingin mati seperti apa?”

Atau terkadang dia menjawab, “Jangan pernah ucapkan kata itu lagi.”

Aku pernah membaca diarynya:

Resolusi ulang tahun ke-16.
1. Masuk Cambridge sebagai murid baru terbaik.
2. Kuliah di fakultas fisika..
3. Menemukan teori partikel baru.
4. Memisahkan inti atom.
5. Menerima nobel di usia muda.
6. Tidak mati sebelum mampu meraih semuanya.
PS: Bahkan jika kau berhasil meraih semuanya, temukan cara untuk menunda kematian. Apapun itu.

Lihat?

Dia sangat jenius kan?

Atau malah sinting.

Karena bagaimanapun juga tak ada yang namanya menunda kematian. Kematian akan menghampirimu cepat atau lambat. Mungkin saja kedua kakakku tidak mengharapkan maut di usia muda, namun aku sangat mengharapkannya.

Kenapa ya?

Sejauh yang bisa kupikir, kurasa aku ingin merasakan bagaimana yang namanya mati.

Di TV, orang-orang mati lalu mereka hidup lagi entah sebagai mumi, zombie, atau roh bersayap yang menggelikan. Awalnya kupikir kalau kau baik, kau akan menjadi bagian dari roh-roh konyol itu, sedang kalau kau kebalikannya, maka kau akan bagian dari mayat hidup menjijikkan dan berlendir.

Aziman bilang itu keren. Fathira bilang itu bodoh.

Menurutku, itu bisa saja terjadi.

Aku pernah membunuh dua semut, setelah tanpa sengaja menindih mereka, namun aku tak melihat mereka bangkit dari kematian. Mungkin arwah mereka terlalu kecil.

Dunia memang penuh dengan ketidakpastian.

Kita tidak pernah tahu bagaimana rasanya mati, jadi kita tidak bisa memilih untuk mati cepat atau lambat. Kalau orang-orang yang telah mati, misalnya kakekku datang ke dunia ini lagi untuk memberitahuku sensasi kematian, tentu segalanya akan jadi lebih mudah.

Pilihan jawaban yang tersedia paling-paling:

“Kematian itu seperti naik roller coaster, cepat namun membuatmu ketagihan.”

Atau,

“Kematian itu seperti makan sepiring besar brokoli, sangat tidak menyenangkan.”

Kamu bisa saja memilih puluhan rasa dari ratusan rasa es krim yang dijual di Creamy’s. Kamu bisa saja memilih satu dari jutaan cewek di dunia ini. Tapi kamu hanya punya sedikit pilihan soal kematian.

Kupikir dulu Mom dan Dad keliru soal kata pertamaku. Dad selalu bangga karena aku menyebut “dad” sebagai kata pertamaku, sementara Aziman dan Fathira memilih “mom.”

Sekarang, aku yakin mereka salah.

Sebab aku menyebutkan “death”, bukan “dad”.
---


1st Chapter oleh Jacob

Read More ......

Control Chamber

-

Percayalah, butuh waktu lama untuk menyusun cerita soal makhluk-makhluk tak kasat mata ini. Mereka makhluk pemalu, penyendiri dan sangat sulit dijumpai dimana-mana. Mereka makhluk yang kuat dan kuno. Sejarah menyatakan mereka bahkan sudah ada sejak manusia ada. Tidak ada yang tahu mengenai darimana mereka berasal, molekul-molekul pembentuk ketakkasatmataan mereka dan bagaimana mereka memiliki energi yang begitu besar.

Setiap ras, suku bangsa dan kebudayaan memiliki nama yang berbeda untuk makhluk-makhluk ini. Pada zaman kejayaan yunani, mereka disebut dewa dan dewi. Zeus, Thor, Aphrodite, Hera, Hefestus hanyalah sebagian kecil dari mereka yang suka memunculkan diri di hadapan manusia sebagai bentuk kerja sama dengannya.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, di Mesir, mereka menjadi sesembahan. Amon Ra, Osiris, Anubis, Isis telah banyak dikenal masyarakat kebudayaan penuh ilmu pengetahuan itu. Hanya sebagian kecil dari manusia yang menyadari kalau Mesir Kuno mempelajari berbagai macam pengetahuan luar biasa tentang mumifikasi dan segala macam hal tentang piramid melalui makhluk-makhluk ini. Dan hampir seratus persen dari orang-orang minoritas itu, dianggap gila oleh komunitasnya.

Banyak orang menyebut mereka sebagai hantu. Sebuah pernyataan yang salah seratus persen. Mereka memang berasal dari satu bentuk yang sama, molekul mereka juga tidak jauh berbeda. Hanya saja hantu mengandung lebih dari delapan puluh persen energi negatif, sedangkan makhluk-makhluk ini seratus persen adalah energi positif bahkan bisa dikatakan netral. Persepsi manusia terkadang benar-benar melenceng seratus delapan puluh derajat.

Dalam kebudayaan lain, mereka disebut sebagai peri. Makhluk bersayap yang membantu banyak pekerjaan manusia. Bahkan dongeng-dongeng anak-anak pun banyak menyinggung mereka. Cinderella, Putri Salju, Jack dan Kacang Ajaib adalah beberapa yang menunjukkan keberadaan mereka sebagai makhluk yang menolong manusia dalam berbagai bentuk. Kurcaci, salah satunya, adalah gambaran yang paling konyol untuk menginterpretasikan makhluk-makhluk kuno ini.

Makhluk-makhluk ini kuat karena imortalitas—keabadiannya, dan juga karena sihirnya. Sihir mungkin kata yang paling mendekati untuk menjelaskan kekuatan mereka. Mereka mampu merubah cuaca, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, menciptakan dan merubah relief bumi, bahkan memanggil hujan es dan api.

Bagaimanapun, buku ini hanya bisa menjelaskan sebagian kecil dari lekuk-lekuk kehidupan mereka yang hebat—sebenarnya mereka bukan makhluk hidup yang solid. Lebih tepatnya, hanya bisa menceritakan satu dari ratusan kisah tentang mereka.

Bila kau masih belum percaya tentang keberadaan mereka bahkan setelah membaca buku ini, tunggulah hingga setengah jam sebelum matahari terbit di atap rumahmu. Saat matahari terbit dan kau merasakan angin berhembus kencang hingga mengibarkan pakaianmu, tarik nafasmu dalam-dalam dan rasakan hangatnya aura mereka.

Salah satu dari mereka mungkin sedang duduk menyaksikan matahari terbit bersamamu.
---------------------------------------------------------


Seorang penjaja koran—usianya tidak kurang dari dua puluh tahun—sedang berjalan di trotoar jalan raya. Kendaraan menghembuskan debu dan pasir ke wajahnya yang dilindungi oleh bayang-bayang topi lebar.

Siang itu berangin. Angin yang tidak menyejukkan memang, tapi di tempat inilah mungkin akan menciptakan sebuah cerita baru, membentuk jaringan kehidupan baru hingga beberapa tahun mendatang.

“Pak, korannya, Pak! Masih hangat! Masih hangat! Korupsi turun tiga puluh persen tahun ini, Pak! Bu, ini ada gosip artis-artis, Bu! Non yang cakep di sana, ada majalah fashion juga loo!!” cengir penjaja koran itu—Rudi namanya—kepada seorang mahasiswi yang sedang duduk di halte bus. Gadis itu hanya menolehnya sekilas, bukan karena ingin membeli majalah murahan itu, tapi karena merasa dipanggil. Tapi karena panggilan itu tidak begitu penting dibandingkan sakit kepala yang sedang dialaminya sekarang. Dia sudah tidak makan sejak pagi, wajahnya yang pucat membuktikan hal itu.

Busnya lama sekali sih? Lapar niihh… Pikir Yani, nama gadis itu. Sambil memijat perutnya yang lapar itu, Yani merasakan ada yang duduk di sebelahnya. Dia menoleh.

Loper ini tangguh juga, batinnya. Pasti dia ingin menawarkan korannya yang sudah basi itu.

Tangan Rudi terjulur, dalam genggamannya ada sepotong pisang goreng. Beberapa lagi ada dipangkuan Rudi. Yani menatap penjaja koran itu dan menelengkan kepalanya sedikit, tidak mengerti apa maksudnya.

“Eneng terlihat lapar dan tidak sehat, adik-adik saya di rumah membuatkan saya beberapa potong hari ini. Saya tidak masalah berbagi dengan Eneng,” ujar Rudi saat melihat tatapan tidak mengerti Yani.

“Oh, tidak usah, Bang,” jawab Yani. “Sebentar lagi teman saya datang untuk mengajak saya makan,” bohong Yani saat Rudi menyorongkan pisang goreng itu. Terlihat menggiurkan memang.

“Saya rasa teman Eneng itu tidak bisa datang, atau mungkin akan terlambat. Bukankah Eneng sudah menunggu sejak satu jam yang lalu?” Rudi tersenyum kecil. “Sudahlah, Neng. Tidak apa-apa. Pisang goreng ini nggak diracuni kok. Saya sudah makan beberapa, lihat?” ujar Rudi sambil menunjuk pipinya yang gembung.

Yani tersenyum kecil dan mengambil pisang goreng dari tangan Rudi.

Saat itulah tangan mereka bersentuhan, dan saat itulah terasa desirnya. Desir yang tak biasa, tak tergambarkan. Jantung Yani serasa turun dengan tiba-tiba ke perutnya yang lapar. Impuls-impuls elektrik di tubuhnya bergetar dengan cepat, menjalari setiap senti kulitnya, di mulai dari tempat mereka bersentuhan. Rudi juga merasakan dan bingung oleh hal yang sama.

Mereka berdua tersenyum. Tersipu dalam waktu bersamaan.

Beberapa puluh meter dari halte itu, di atap gedung pajak, seorang lelaki muda berkemeja putih dan bercelana jins dengan senjata penembak jitu—sniper—persis seperti yang ada di film-film barat, tersenyum puas. Rudi dan Yani tak menyadarinya, begitu pula orang-orang yang berlalu lalang di bawah gedung pajak itu. Tak ada satupun yang menengok ke atas dan terhenyak begitu melihat senjata kaliber besar itu. Bahkan Yani pun tak sadar, sebuah peluru sudah tertanam di tubuhnya. Hal itu bisa diterima. Kenapa?

Karena lelaki itu memang tidak dapat terlihat. Dia berada di dimensi yang berbeda dengan Rudi dan Yani.

Sambil mengangkat tangannya yang semula tertumpu pada pembatas gedung, dia melangkah menjauh dari pinggiran gedung, membiarkan pasangan di halte itu dalam kediaman yang akan mennumbuhkan sesuatu yang indah beberapa bulan lagi.

Lelaki muda itu mengangkat pergelangan tangannya dan melihat jamnya, matanya yang cokelat itu membulat, lalu berkata setengah berteriak,”Oh! Sudah jam makan siang! Semoga tidak terlambat untuk melapor!”

Lelaki itu lalu memejamkan matanya sejenak, berkonsentrasi membayangkan Pusat Komando. Lalu, secepat dia membayangkannya, perut dan dadanya terasa ditekan oleh tekanan dasar laut. Sepersekian detik kemudian, saat dia membuka matanya, pemandangan sudah berubah seratus persen.

Orang-orang, pria dan wanita, beberapa bahkan tampaknya masih berusia tidak lebih dari sepuluh tahun, dengan pakaian yang beragam, seperti warna kulit dan rambut mereka, berjalan cepat setengah terburu-buru di Bangsal Komando itu. Lebih dari separuhnya membawa senjata dari jenis bermacam-macam, bahkan seorang anak laki-laki berambut keriting membawa sesuatu yang tampaknya seperti C-4 di tangan kanan dan detonatornya di tangan lain. Benar-benar ruangan yang penuh dengan kesibukan.

Ting ting ting ting..

“Harap untuk Cupid dengan nomor profesi 1142-FF-X bernama Ralf untuk segera melapor ke bagian Administrasi segera..” Suara resepsionis bergema di seluruh Pusat Komando. Ralf mengangkat kepalanya untuk menjauhi kesibukan di Bangsal dan mendengarkan lagi ulangan panggilan itu.

Nomor 1142-FF-X? Bukankah itu nomorku? Oh…Tidak lagi..Tidak lagi..Apa aku terlambat?? Komandan akan sangat marah kali ini…

“Hai, Ralf! Bagaimana pasanganmu hari ini? Sudah mencapai kuota?” sapa seorang remaja dengan jas hitam dan rambut perak padanya.

“Yap! Aku mencapai kuotanya hari ini. Seratus tiga puluh orang! Sepertinya Komandan memberikan terlalu banyak padaku minggu ini,” jawabnya sambil lalu.

Ralf melangkah cepat seperti cupid-cupid lainnya di ruangan itu. Pikirannya berkecamuk. Bingung bagaimana menjelaskan keterlambatannya siang ini pada Komandan. Salah-salah dia bisa terkena masa percobaan. Itu hal terakhir yang diinginkannya selama dia sedang tes untuk lencana A-class Cupid-nya seperti hari ini.

Ya, Ralf adalah seorang cupid. Salah satu dari ribuan yang tersebar di seluruh dunia. Sampai beberapa minggu yang lalu sudah tercatat ada lebih dari lima belas ribu cupid. Cupid memang bukan seperti yang diceritakan mitos-mitos manusia. Cupid tidak lebih dari sebuah pekerjaan. Mereka disebut sebagai Angel’s Sniper—Malaikat Penembak Jitu. Satuan militer khusus yang bertugas membantu berjalannya Rencana Dunia, dalam hal ini dongeng manusia benar, cupid bertugas utuk menembakkan panah cinta.

Sejarah penggunaan panah ini sudah ada sejak mulai berkuasanya dewa dewi. Seiring dengan perkembangan jaman, panah tidak lagi efektif. Tidak bisa menembus baja. Pernah ada kasus saat seorang cupid mencoba menembakkan panahnya kepada seorang pria dalam bis, panahnya patah dan ujungnya—yang merupakan letak sihirnya—terpental dan malah menancap pada seorang anak kecil. Jadi kasus yang dibahas berbulan-bulan. Anak kecil itu jatuh cinta dan menikah dengan seorang wanita karir berumur tiga puluh tahun. Rencana Dunia terpaksa menyesuaikan, dan itu membutuhkan pengorbanan sekitar empat tahun. Komandan bermuka merah untuk waktu yang lama. Cupid yang bersangkutan sekarang mengawasi lalu lintas perhubungan Dunia Bawah.

Dan Ralf sekarang terancam akan menyusul perwira itu. Ditatapnya tajam pintu ruangan Kepala Administrasi seakan-akan pintu itulah yang akan menurunkan jabatannya. Sebutir peluh mengalir di tengkuknya. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu dan berhenti sebelum menyentuhnya.

“Masuk saja, Ralf.” Sebuah suara berat, sedikit serak terdengar dari balik pintu. Sepertinya komandan tidak terlalu senang. Selamat tinggal lencana, batin Ralf. Dia menelan ludahnya sendiri sebelum membuka pintu.

Seorang tinggi besar, dengan otot yang tampaknya dibentuk lewat pengalaman berperang pada masa Yunani masih berkuasa, duduk di atas kursi putar dengan kaki terangkat. Rambutnya yang cepak—menurut gadis-gadis kafe, seksi—dielus-elusnya dengan perlahan. Urat kemarahan terlihat di lehernya yang sepertinya tidak akan patah walaupun dihantam kereta. Ralf tertunduk lemas karena ditekan tatapan bosnya itu.

“Jadi, apa kau berhasil mendapatkan seratus tiga puluh orang?” tanyanya dengan tatapan yang mampu menghentikan peluru magnum. Ralf masih tertunduk tak berdaya, tapi dia mengangguk.

“Mana suaramu, Prajurit?! Aku tidak pernah mendidik seorang prajurit bisu!” bentak Komandan. Muka merah. Pertanda buruk bagi Ralf.

“Ya, Komandan. Seratus tiga puluh orang, lengkap tanpa terkecuali. Sehelai bulu sayap masing-masing sebagai tanda, sudah saya serahkan pada Fen dari Administrasi,” jawab Ralf sambil mengangkat kepalanya.

“Itu lebih baik. Berapa peluru yang kau gunakan dalam misi ini? Seratus tiga puluh orang, seharusnya maksimal seratus tiga puluh peluru. Berharaplah kau tidak membuang-buang peluru yang berharga itu. Harga sihir sedang naik, kau tahu,” lanjut Komandan.

“Seratus tiga puluh orang, aku menyelesaikannya dengan seratus dua puluh sembilan peluru,” jawab Ralf dengan bangga. Dia mengingat prestasinya. Dua orang dalam jarak seratus lima puluh meter, terhalang papan kayu. Satu peluru, satu tembakan, pof!pof! Dua burung tertangkap. One shot, two kill.

“Lumayan bagus, tapi kalau aku berada dalam posisimu, setidaknya aku akan menggunakan Margaret-ku untuk menyelesaikan semua dengan hanya tiga belas tembakan,” jawab Komandan dengan tersenyum. Margaret, automatic-machine-gun—senjata mesin otomatis—yang legendaris, ciptaan Komandan sendiri dan hanya ada satu-satunya di Dunia Bawah. Margaret adalah senjata favorit Komandan. Senjata api yang dapat menembakkan dua puluh peluru sihir per detik, membuat Komandan memenangkan sepuluh kali berturut-turut medali kepahlawanan “St.Valentine’s Bullets”.

Ralf hanya tersenyum mendengar kritikan itu. Sedikit meringis.

Komandan rupanya memahami cibiran di bibir Ralf,”Baiklah! Aku yakin kau akan lebih senang mendengarkan apa isi tugas terakhirmu sebelum mendapatkan medali A-class itu daripada kritikanku.”

“Tugas terakhirmu merupakan misi kelas S. Top secret. Hermes akan mengantarkan sebuah paket, kotak hitam dengan beberapa segel sihir di atasnya—kau tahulah, para Tetua terlalu paranoid. Jadi setelah ini aku hanya akan mengatakan kata kunci untuk membuka segelnya saja. Dimengerti, Prajurit?” jelas Komandan.

Ralf mengangguk pelan dan menelan liurnya.

“Kata kuncinya adalah Lumina,” ucap Komandan, setengah berbisik, walaupun kenyataanya hanya ada mereka berdua yang ada di ruangan itu. “Cukup jelas, Prajurit? Jangan pernah membuat catatan tentang kode itu, jangan pernah mengatakan apapun kepada siapapun apapun tentang misimu itu. Misi ini sangat berpengaruh pada Rencana Dunia. Sedikit kesalahan saja, dan akan kupastikan kau mengelap nisan ibuku,” jelas Komadan tajam. Benar-benar tajam.

“Ingat, jangan pernah tunjukkan dirimu pada manusia, mereka makhluk yang terlalu ingin tahu. Bukan urusan kita memang untuk iri pada mereka karena dianugerahi jiwa, fisik dan hati, tapi sebaiknya kau menahan diri untuk tidak berurusan dengan masalah-masalah mereka. Kita sudah cukup direpotkan dengan hanya mengurusi percintaan saja. Tidak perlu direpotkan dengan kehidupan politik atau apapun yang mereka lakukan. Ingat itu,” lanjutnya serius.

Ralf mengangguk sekali lagi. Dia dapat merasakan desiran di sayapnya yang terlipat. Dia merasakan ini akan menjadi sesuatu yang besar. Lebih dari sekadar urusan Rencana Dunia dan peluru-peluru cinta. Dia sadar kalau dia sudah menyanggupi misi ini, terlambat untuk mundur. Desiran itu, denyut itu, urat sayap cupid tidak pernah salah membaui masalah.

“Kau boleh pergi sekarang. Bagian Keuangan mulai menagihiku atas peluru-peluru yang hilang saat ditembakkan para amatiran. Pengeluaran macam ini hanya akan membuat kemunduran beberapa tahun untuk Rencana Dunia. Seharusnya para malaikat mata duitan itu melihat apa yang Divisi Pengembangan Teknologi dan Persenjataan lakukan. Kau tidak akan percaya kalau kukatakan Divisi itu sedang mencoba menciptakan gatling gun yang dapat menembak sendiri. Benar-benar penghinaan atas kemampuan kita,” omel Komandan dengan mengibaskan tangannya. Ralf berbalik dan melangkah keluar ruangan saat Komandan kelihatannya sudah berhenti berbicara.

“Satu hal lagi.”

Ralf berhenti dan menoleh Komandannya.

“Semoga berhasil,” jawab Komandan sebelum disibukkan dengan getaran proyektor hologram di mejanya. Pasti dari Bagian Keuangan.
---

Ralf menghidupkan shower Air Sucinya. Gemericik air membasahi tubuhnya.

Dapat dirasakannya, sihir Air Suci itu diserap setiap senti pori-pori kulitnya yang akan memproduksi ulang energi kehidupan, sihir dan akurasi tembakannya. Ralf menghela nafas panjang sebelum menghirup Limun Atlantisnya. Tak ada yang menandingi nikmatnya berendam di rumah setelah seharian bekerja.

Ngomong-ngomong soal betapa melelahkannya hari ini, Ralf merasa kasihan dengan para cupid jaman dahulu. Dipaksa menggunakan busur-busur dari Oak Surga, atau Mahoni Gelap, dengan persenjataan sebatas panah kayu yang ujungnya dipertajam dengan sihir, benar-benar sulit membayangkan jenis profesi ini mampu bertahan dan bahkan membentuk pasukan militer khusus seperti sekarang. Memang sih, kayu-kayu yang menjadi bahannya memang benar-benar kuat dan kualitas tinggi, tapi anak-anak panah itu tak akan pernah mencapai kecepatan dua ratus mil per jam seperti Sylphid-nya yang mampu memecahkan rekor kecepatan sewaktu masih di akademi. Lima ratus tiga puluh dua mil per jam. Bahkan Komandan berkeringat dingin saat melihat catatan waktu yang sempat dicatat mesin sebelum mesin itu pecah berantakan tertembak peluru Sylphid-nya.

Walaupun Komandan sering mengomel tentang barang-barang tak penting yang diciptakan Divisi Pengembangan Teknologi dan Persenjataan, ralf tetap bersyukur karena yang dia gunakan sekarang bukanlah sebatang kayu yang di antara ujungnya direntangkan tali, melainkan Sylphid-nya tersayang.

Sylphidnya itu semula adalah senjata sejenis Magnum 22 buatan manusia yang dimodifikasi sedimikian rupa olehnya sendiri hingga mampu menggunakan peluru kaliber sebesar lima puluh mili.

Tentu saja dengan bantuan dari Divisi Persenjataan. Sudah bertahun-tahun mereka mengembangan persenjataan cupid, tentu saja untuk mempermudah penugasan mereka. Cupid tak pernah punya keinginan untuk berperang seperti yang diinginkan divisi-divisi lain saat kebudayaan yunani memuja-muja mereka. Tugas mereka menembakkan peluru cinta, bagaimana mungkin mereka bisa berkelahi, ujar salah seorang Thor—para penempa gunung olympus yang legendaris, mereka biasanya kasar dan suka memaki.

Dengan banyak perkembangan di bidang persenjataan, muncul juga berbagai macam bentuk senjata jarak jauh dengan berbagai spesialisasi. Pistol, gatling gun, bazoka, shotgun, berbagai jenis machine-gun, bahkan yang dimanfaatkan untuk misi massal. Pernah salah seorang ilmuwan Divisi Persenjataan yang nyentrik meledakkan beberapa batang C-4 sihir di sebuah gedung pertemuan sebuah perusahaan besar. Beberapa bulan kemudian gedung itu kembali penuh dengan orang-orang yang sama, tetapi dengan alasan yang berbeda:pernikahan massal.
Setelah puas dengan showernya, Ralf berjalan menuju ke balkon dan menghirup secangkir kopinya. Saat dia akan duduk di kursi bundar yang nyaman, angin kencang berpusar di tengah-tengah udara antara balkonnya dengan langit. Pusarannya semakin kencang, tapi kemudian melemah. Saat angin itu benar-benar sudah hilang, seorang remaja berusia sekitar delapan belas tahun dengan pipi yang berbintik-bintik bekas jerawat, topi gunung dan tas pinggang besar dengan simbol sepasang sayap muncul. Remaja laki-laki itu mengangkat topinya dan berkata:
“Selamat sore, apa anda Tuan Ralf?”

Pria muda itu Hermes.

Ralf tersenyum kecil. Dia tidak akan pernah bosan dengan pertunjukan hermes ini. Mereka sebenarnya juga adalah jenis profesi, sama seperti Cupid dan Thor. Hanya saja, mereka benar-benar sekumpulan malaikat-malaikat elit. Dipilih langsung oleh Zeus—Komandan tertinggi kuadron malaikat. Hermes memiliki kecepatan dalam berpikir, bertindak, dalam memutuskan segala sesuatu, seorang hermes diharuskan tepat. Banyak divisi mengatakan kalau mereka seperti FBI di dunia manusia. Cepat, tangkas, cerdas dan jenius.

Hermes, seperti halnya jenis profesi malaikat lainnya, juga memiliki tugas-tugas tertentu. Mereka bertugas mengantarkan berita, paket, barang-barang dan dokumen-dokumen berharga pada orang yang tepat kapanpun, dimanapun. Untuk melakukannya, saat seorang malaikat diterima bertugas sebagai seorang hermes, malaikat itu akan diberi empat pasang sayap tambahan, sepasang Sleipneir—sepatu dewa yang mampu membuat pemakainya dapat melakukan lebih dari sekadar berpindah ruang. Semua malaikat diberi anugerah untuk berpindah ruang dalam waktu sepersekian detik. Tapi hermes tidak hanya itu, Sleipneir memberi mereka kemampuan untuk melintasi waktu.

Mengantarkan pesan memang terdengar sepele, tapi pada saat Perang Salib terjadi, banyak hermes yang gugur. Menurut mitos, kami malaikat memang seharusnya tidak bisa mati. Kami imortal. Tapi mitos tidak sepenuhnya benar. Kami bisa mati, saat terkena darah seorang yang berhati suci. Pada Perang Salib, banyak manusia berhati suci wafat dengan berbagai cara mengenaskan dan menciprati kurir-kurir dengan darah mereka. Banyak hermes mati ditempat hanya untuk mengantar pesan saat itu. Tentu saja, bagi mereka disediakan lencana kehormatan bagi pahlawan perang. Dan bagi yang masih hidup, mereka akan bisa menikmati berbagai fasilitas di Dunia Bawah yang tidak akan bisa disentuh oleh jenis profesi lain. Bagaimanapun, hermes yang gugur terbanyak hanya tercatat pada Perang Salib saja. Kenyataannya, hermes jarang sekali menjadi korban perang karena mereka memiliki Sleipneir yang membuat mereka dapat kabur dari tempat yang berbahaya secepat mungkin. Seorang hermes juga diwajibkan memiliki pengetahuan tentang titik koordinat, membaca peta, menemukan tempat-tempat tersembunyi dan lain sebagainya.

Dulu, saat baru sampai di Dunia Bawah, Ralf sangat berharap untuk bisa diterima menjadi seorang hermes. Menurutnya akan keren sekali menjadi hermes. Mengantarkan berbagai paket ke seluruh dunia. Melihat bagian-bagian dunia yang tak pernah didatanginya pasti akan mengasyikkan. Tapi saat mencapai ujian masuk ketiga, Ralf tersudut. Dia ditugaskan untuk mengantarkan paket pada seorang penguji di dalam makam Tutankhamen. Di tengah perjalanan, Ralf salah membaca koordinat posisi penguji. Dia tersesat. Pengujinya, yang tidak mendapatkan kabar dari pusat, menunggu selama sekitar dua bulan. Saat itu juga Ralf masuk daftar hitam dan tidak diijinkan mencoba ujian masuk akademi hermes lagi.

“Ya, aku Ralf. Apa kau hermes yang mengantarkan misi berikutnya?” tanya Ralf tidak sabar. Dia benar-benar penasaran, misi kelas S apa yang diberikan Komandan padanya. Lalu tersenyum kecut karena teringat kemungkinan yang akan diterimanya bila dia gagal menyelesaikan misi ini tepat pada waktunya. Dia belum siap kalau harus mengelap makam ibu Komandan.

Hermes itu mengangguk kecil. Wajahnya serius. Kebanyakan dari mereka memang begitu.

“Surat penugasan untuk mencapai lencana A-class Cupid, atas nama Cupid First Quadron, Cupid Commander Friss. Surat penugasan ini ditujukan kepada Capt. Rapid Ralfadoz, B-class Cupid. Boleh saya mendengar kata kuncinya, Tuan?” hermes itu menjalankan prosedurnya, tersenyum dan mengangkat sebelah alisnya.

Ralf mengangguk, “Lumina.”

“Siap mencapai A-class rupanya, eh, Ralf?” tambahnya.

“Yap. Sedekade lebih aku mengejar penugasan ini. Ini yang terakhir, Zep,” jawab Ralf sambil menepuk bahu Zephyr.

“Aku tahu kita tidak bisa menua, tapi sepertinya imortalitas tidak bisa menghilangkan efek pekerjaan bukan? Kau tampak lebih tua, Zep,” tambah Ralf. Dan dia benar. Dulu, saat terakhir bertemu di tes ketiga ujian masuk hermes, Zephyr terlihat ceria bahkan dengan bintik-bintik jerawatnya. Sekarang dia menjadi lebih mirip dengan malaikat-malaikat tua senior-seniornya sedivisi. Dahinya berkerut, senyum sedikit menghilang dari sudut bibirnya.

Zephyr adalah seorang kawan lama Ralf. Mereka masuk ke Dunia Bawah bersamaan, sempat tinggal di bawah atap yang sama, luntang-lantung di jalanan Dunia Bawah bersama sambil mencari pekerjaan.

“Yah, kau tahu sebenarnya aku ingin sekali menjadi cupid. Cupid memang pekerjaan yang sepertinya sedikit menyenangkan daripada sekadar berpindah-pindah ruang dan waktu, tapi kau tahulah kemampuanku. Aku tidak terlalu berbakat dalam tembak-menembak. Alih-alih menembak gadis berusia tujuh belas tahun agar jatuh cinta, aku malah menembak seorang kakek dengan jarak terpaut lima meter dari target. Insiden Pisa yang menyedihkan. Aku turut bersedih untuk pria yang dinikahi kakek itu. Yah, paling tidak mereka berdua saling mencintai,” mata Zephyr menerawang kejadian bertahun-tahun lalu, saat dia gagal menyelesaikan ujian masuk terakhirnya di depan menara Pisa.

Ralf tersenyum kecut, aku mau saja bertukar denganmu, teman.

“Jadi, ini misi terakhirmu. Laksanakan dengan baik ya! Jadilah A-class untukku. Dan aku berjanji akan jadi hermes yang baik untukmu. Kita saling memenuhi impian masing-masing,” lanjutnya.

“Ya, kemana kau setelah ini? Kalau kau tidak terlalu sibuk, mari makan denganku sebentar. Aku sedang membuat roti bakar di dapur,” undang Ralf sambil menyeruput kopinya.

“Oh, maafkan aku, Kawan. Tapi aku harus segera ke Jepang jaman Edo. Seorang Aphrodite kita terluka saat sedang menulis laporan untuk Divisi Pengobatan. Harus sesegera mungkin membawakannya obat. Aneh kan, perawat malah harus dirawat,” jawab Zephyr dan tersenyum sedikit.

“Baiklah kalau begitu, lain kali kala sempat, kita bisa pergi ke Coffe Palace bersama!” ujar ralf setengah berteriak. Entah Zephyr mendengarnya apa tidak. Dia sudah berderu di balik angin yang berpusar sebelum menghilang dan meninggalkan ralf bersama rasa kagumnya pada para hermes. Dia akan memberikan apapun untuk bisa kembali ke Jepang jaman edo. Pasti akan sangat seru menyaksikan perang samurai saat itu, pikir Ralf.

Setidaknya itulah yang dia pikirkan sekarang. Harusnya dia membuka suratnya sekarang. Harusnya Ralf tidak lupa pada surat penugasannya yang kini tergeletak di kursi bundar lainnya di balkon. Ralf harusnya tahu dia tidak ingin baru akan memekik pelan karena terkejut esok paginya saat dia membuka dan membaca isi surat penugasan itu.

Tapi Ralf baru akan terkejut besok pagi karena menemukan bahwa surat itu ternyata akan segera disusul oleh sebuah paket kubus seukuran delapan genggaman tangan.

Esoknya, Ralf juga akan sadar, bahwa intuisi sayapnya benar.

Dia sedang berada dalam masalah besar.
---


1st Chapter oleh Miftah Afif Mahmuda

Read More ......

Korban Surat Kabar

-

Seorang pria yang diketahui bernama Kucai, rabu malam ditangkap polisi setelah diduga terlibat dalam pesta narkoba di sebuah kos-kosan bersama tiga orang rekannya. Saat ditangkap, Kucai dalam kondisi sadar, sementara tiga rekannya masih dalam pengaruh obat-obatan terlarang yang sepertinya dikonsumsi dalam dosis cukup besar. Polisi menduga Kucai adalah seorang bandar narkoba yang menyediakan barang haram tersebut untuk ketiga pemuda yang ternyata mahasiswa. Hingga berita ini diturunkan, polisi masih melakukan pemeriksaan.

Begitulah isi berita di sebuah koran lokal di Bogor. Berita yang seharian ini udah buat gue sangat sibuk menjawab telepon dan sms. Pagi-pagi sekitar jam setengah delapan, Onta, temen gue, udah nelpon. Suaranya panik, sedikit ngos-ngosan. Yang itu emang karena dia baru abis lari pagi.

“Cai! Itu beneran? Itu, bukan lu kan??” katanya.

Gue yang belom juga melek, gak ngerti apa yang diomongin sama si Onta. Gue maksain diri buat jawab.

“Ya iyalah, ini gue. Emang lu kira siapa?” kata gue, sambil putus-putus karena masih sambil merem.

“Serius? Gila lu Cai! Sejak kapan lu jadi bandar? Sekarang lu di mana nih?” Onta makin panik, dan gue makin pengen merem.

“Cai! Jawab gue dong!”

Klik.

Gue gak ngerti si Onta ngomong apa. Gue matiin hp. Tidur lagi. Gak lama si Onta nelpon lagi. Ngerasa terganggu, akhirnya gue bangkit dari kubur, mau nyekek si Onta. Nggaklah, bangkit dari kasur maksudnya.

“Lu kenapa sih Ta? Gue baru tidur abis subuh tadi. Lu ganggu gue aja!” kata gue sambil marah.

“Ya ampuuun…lu di kantor polisi sampe subuh? Kenapa lu gak minta tolong gue temenin atau apa gitu? Lu gak dipukulin kan?”

Wait, wait, wait. Ada yang aneh nih sama omongannya Onta. Kantor polisi?? Ooh, mungkin itu kata sandi untuk rutinitas kita maen kartu tengah malam, pikir gue cepet (dan sotoy). Harusnya dia mencari kata yang sedikit lebih keren. Sesuatu seperti, entahlah, bangau sakti, pisau terbang, awan dan angin. Oke jangan yang itu. Itu adalah julukan pendekar di film-film kungfu yang gue tonton. Yah, yang laenlah, asal jangan ‘kantor polisi’. Serem dengernya. Entar pas maen kartu bawaannya parno, takut ditangkep.

“Yaahh… kayak biasalah. Lepas baju, coret sana-sini, tampar sesekali… emang kenapa sih?? Kayak gak pernah maen aja…” Gue mulai bangun dan melihat penampilan gue di kaca. Persis orang baru bangun tidur (ya iyalah…)

“Suruh buka baju? Ditampar? Beneran?? Tapi…mereka gak ’maenin’ lu kan, kayak yang gue lihat di film-film??” Onta mengatakannya dengan hati-hati.

“Maen lah… Orangnya cuma dikit semalem…”
Di ujung sana hening. Gue ikutan diem.

“Cu…cu…ma sedikit kata lu?? Berapa Cai? Ya ampun. Satu aja udah kiamat buat gue! Gue gak percaya lu harus nanggung beban seberat itu sendirian Cai…”

Gue masih gak ngerti.

“Dasar brengsek! Jangan takut Cai, Entar gue sama temen-temen bakal patungan buat sewa pengacara. Sekalian tuntut aja orang-orang brengsek itu!” katanya lagi.

“????”

Gue bengong. Mencari hal-hal logis untuk bisa ngejelasin apa yang gue denger barusan. Kemungkinan pertama, gue salah denger. Gue masukin jari kelingking ke dalem kuping. Ya, kotoran kuping gue pasti udah sangat numpuk hingga bisa menghalangi (atau memantulkan kembali) setiap suara yang datang. Abis mandi nanti, gue harus bersihin kuping, janji gue dalam hati.

“Mereka gak boleh maen hakim sendiri gitu. Malah pake acara ‘maenin’ orang!!”

“???”

Oke, ternyata kotoran kuping gue belum sebanyak itu.

Kemungkinan kedua. Onta kesandung terus kejedug batu gede waktu lari pagi tadi. Dia lagi kena amnesia!

Asshole!!” Onta nyambung lagi.

Glek!

Dia masih bisa bersumpah serapah. Artinya dia masih baek-baek aja. Karena cuma amnesia yang bisa membuatnya ‘normal’ sekaligus melenyapkan obsesinya sama Eminem, sang maestro rap. Oke, salah juga.

Kemungkinan ketiga. Onta lagi ngajak gue latihan drama, karena dalam waktu dekat ada kelompok lingkar seni di fakultas yang mau menggelar pertunjukan teater.

Tapi… gue baru inget. Onta ikut klub para archer, bukannya grup teater.

Salah lagi.

Gue mulai kesel dengerin Onta, juga mulai kesel nyari-nyari kemungkinan.

“Lu kenapa sih Ta?!”

Dan terkuaklah cerita yang sebenernya.

“Anjrit lu Ta! Dari tadi lu nyangkain gue di tangkep polisi? Sinting! Gak mungkinlah!!”

Bla, bla, bla…panjang lebar gue maki-maki Onta. Pada akhirnya dia cuma ketawa. Gue gak tau karena lega apa karena geli ngebayangin gue ‘dikerjain’ polisi. Sialan!

Gak sampe di situ, satu persatu sms masuk menanyakan hal yang sama. Ga ada yang gue bales. Males!! Apalagi sms dari si Sonya, makhluk yang seringkali gak bisa dibedakan antara kepolosan dan kebodohannya itu.

Cai, knp siy ga blg klo pnya mslh?

Klo cm duit, kta2 bs bntu kok.

yaah, udh ky gni, mo gmn lg.

Tobat Cai, blm tlmbt. jgn tkut, kta msh ttp tmnmu.

Ntar aq sm ank2 pst nengokin km d pnjr. Yang sabar…

Ganbatte! Ciayou! Smangadh!! =D

Sinting!. Senak-enak jidat. Lu kira gue mau ujian, suruh semangat??

Begitulah. Cerita itu menjadi cukup penting sebagai langkah awal menceritakan diri gue. Check this out.

Nama gue Kucai. Tapi gue bukan salah satu dari anggota Laskar Pelangi, meski jelas, gue memiliki kesamaan dengan Kucai yang itu, kalo emang dia bener-bener susah diatur. Nama gue itu pemberian seorang senior lelaki waktu jaman ospek dulu (kalian akan tau lebih banyak soal ospek itu nanti). Dengan nama itulah gue lebih banyak dikenal di kalangan temen-temen, senior, maupun junior gue di kampus. Gue terdaftar sebagai mahasiswa tingkat empat yang ngambil jurusan kebaharian di sebuah universitas di Bogor

Gue berasal dari daerah di mana penduduknya sebagian besar mencari nafkah dengan memanfaatkan laut. Ya, artinya gue punya alasan dan motivasi cukup besar kenapa akhirnya memilih kebaharian sebagai jurusan yang gue ambil di universitas. Memajukan kelautan Indonesia pada umumnya, dan memajukan daerah gue sendiri pada khususnya. Gayanya gue…
Cukup dulu. Nanti, dengan sendirinya kalian akan mengenal gue dan temen-temen sinting gue lebih deket. Sampe ketemu di halaman berikutnya.

Next day.

Koran yang sama memuat kelanjutan berita penangkapan atas Kucai dan tiga rekannya. Begini bunyinya.

Kucai, yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus narkoba akhirnya dibebaskan. Kucai ternyata hanya seorang penjual sate keliling yang secara kebetulan berada di rumah itu untuk menagih hutang 3 porsi sate yang belum dibayar ketiga mahasiswa pada malam sebelumnya. Ia baru saja memasuki pintu rumah yang memang tidak terkunci, dan menemukan ketiga pemuda telah terbaring lemah karena overdosis, ketika tiba-tiba polisi datang dan melakukan penggerebekan. Saat ditanya bagaimana perasaan Kucai ketika akhirnya terbebas dari tuduhan tersangka, dengan mata berkaca-kaca Kucai mengatakan dirinya tak ingin lagi berjualan dan akan segera kembali ke kampung halamannya di Pemalang…

Najis!

Pantes aja dia mau pulang…

Maksud hati berjualan, malah disulitkan mahasiswa yang tukang ngutang.

Maksud hati menagih hutang, malah jadi korban salah sasaran…

Tiba-tiba gue merasa memiliki kesamaan dengan Kucai dari Pemalang. Gue ngerasa kita bak saudara atas dasar kesamaan nama Kucai, kesamaan sifat lugu (???), dan kesamaan nasib menjadi korban salah sasaran.

Kasihan Kucai…

Kasihan gue!!
***

1st Chapter oleh Trisna

Read More ......