Monday, April 20, 2009

Korban Surat Kabar

Seorang pria yang diketahui bernama Kucai, rabu malam ditangkap polisi setelah diduga terlibat dalam pesta narkoba di sebuah kos-kosan bersama tiga orang rekannya. Saat ditangkap, Kucai dalam kondisi sadar, sementara tiga rekannya masih dalam pengaruh obat-obatan terlarang yang sepertinya dikonsumsi dalam dosis cukup besar. Polisi menduga Kucai adalah seorang bandar narkoba yang menyediakan barang haram tersebut untuk ketiga pemuda yang ternyata mahasiswa. Hingga berita ini diturunkan, polisi masih melakukan pemeriksaan.

Begitulah isi berita di sebuah koran lokal di Bogor. Berita yang seharian ini udah buat gue sangat sibuk menjawab telepon dan sms. Pagi-pagi sekitar jam setengah delapan, Onta, temen gue, udah nelpon. Suaranya panik, sedikit ngos-ngosan. Yang itu emang karena dia baru abis lari pagi.

“Cai! Itu beneran? Itu, bukan lu kan??” katanya.

Gue yang belom juga melek, gak ngerti apa yang diomongin sama si Onta. Gue maksain diri buat jawab.

“Ya iyalah, ini gue. Emang lu kira siapa?” kata gue, sambil putus-putus karena masih sambil merem.

“Serius? Gila lu Cai! Sejak kapan lu jadi bandar? Sekarang lu di mana nih?” Onta makin panik, dan gue makin pengen merem.

“Cai! Jawab gue dong!”

Klik.

Gue gak ngerti si Onta ngomong apa. Gue matiin hp. Tidur lagi. Gak lama si Onta nelpon lagi. Ngerasa terganggu, akhirnya gue bangkit dari kubur, mau nyekek si Onta. Nggaklah, bangkit dari kasur maksudnya.

“Lu kenapa sih Ta? Gue baru tidur abis subuh tadi. Lu ganggu gue aja!” kata gue sambil marah.

“Ya ampuuun…lu di kantor polisi sampe subuh? Kenapa lu gak minta tolong gue temenin atau apa gitu? Lu gak dipukulin kan?”

Wait, wait, wait. Ada yang aneh nih sama omongannya Onta. Kantor polisi?? Ooh, mungkin itu kata sandi untuk rutinitas kita maen kartu tengah malam, pikir gue cepet (dan sotoy). Harusnya dia mencari kata yang sedikit lebih keren. Sesuatu seperti, entahlah, bangau sakti, pisau terbang, awan dan angin. Oke jangan yang itu. Itu adalah julukan pendekar di film-film kungfu yang gue tonton. Yah, yang laenlah, asal jangan ‘kantor polisi’. Serem dengernya. Entar pas maen kartu bawaannya parno, takut ditangkep.

“Yaahh… kayak biasalah. Lepas baju, coret sana-sini, tampar sesekali… emang kenapa sih?? Kayak gak pernah maen aja…” Gue mulai bangun dan melihat penampilan gue di kaca. Persis orang baru bangun tidur (ya iyalah…)

“Suruh buka baju? Ditampar? Beneran?? Tapi…mereka gak ’maenin’ lu kan, kayak yang gue lihat di film-film??” Onta mengatakannya dengan hati-hati.

“Maen lah… Orangnya cuma dikit semalem…”
Di ujung sana hening. Gue ikutan diem.

“Cu…cu…ma sedikit kata lu?? Berapa Cai? Ya ampun. Satu aja udah kiamat buat gue! Gue gak percaya lu harus nanggung beban seberat itu sendirian Cai…”

Gue masih gak ngerti.

“Dasar brengsek! Jangan takut Cai, Entar gue sama temen-temen bakal patungan buat sewa pengacara. Sekalian tuntut aja orang-orang brengsek itu!” katanya lagi.

“????”

Gue bengong. Mencari hal-hal logis untuk bisa ngejelasin apa yang gue denger barusan. Kemungkinan pertama, gue salah denger. Gue masukin jari kelingking ke dalem kuping. Ya, kotoran kuping gue pasti udah sangat numpuk hingga bisa menghalangi (atau memantulkan kembali) setiap suara yang datang. Abis mandi nanti, gue harus bersihin kuping, janji gue dalam hati.

“Mereka gak boleh maen hakim sendiri gitu. Malah pake acara ‘maenin’ orang!!”

“???”

Oke, ternyata kotoran kuping gue belum sebanyak itu.

Kemungkinan kedua. Onta kesandung terus kejedug batu gede waktu lari pagi tadi. Dia lagi kena amnesia!

Asshole!!” Onta nyambung lagi.

Glek!

Dia masih bisa bersumpah serapah. Artinya dia masih baek-baek aja. Karena cuma amnesia yang bisa membuatnya ‘normal’ sekaligus melenyapkan obsesinya sama Eminem, sang maestro rap. Oke, salah juga.

Kemungkinan ketiga. Onta lagi ngajak gue latihan drama, karena dalam waktu dekat ada kelompok lingkar seni di fakultas yang mau menggelar pertunjukan teater.

Tapi… gue baru inget. Onta ikut klub para archer, bukannya grup teater.

Salah lagi.

Gue mulai kesel dengerin Onta, juga mulai kesel nyari-nyari kemungkinan.

“Lu kenapa sih Ta?!”

Dan terkuaklah cerita yang sebenernya.

“Anjrit lu Ta! Dari tadi lu nyangkain gue di tangkep polisi? Sinting! Gak mungkinlah!!”

Bla, bla, bla…panjang lebar gue maki-maki Onta. Pada akhirnya dia cuma ketawa. Gue gak tau karena lega apa karena geli ngebayangin gue ‘dikerjain’ polisi. Sialan!

Gak sampe di situ, satu persatu sms masuk menanyakan hal yang sama. Ga ada yang gue bales. Males!! Apalagi sms dari si Sonya, makhluk yang seringkali gak bisa dibedakan antara kepolosan dan kebodohannya itu.

Cai, knp siy ga blg klo pnya mslh?

Klo cm duit, kta2 bs bntu kok.

yaah, udh ky gni, mo gmn lg.

Tobat Cai, blm tlmbt. jgn tkut, kta msh ttp tmnmu.

Ntar aq sm ank2 pst nengokin km d pnjr. Yang sabar…

Ganbatte! Ciayou! Smangadh!! =D

Sinting!. Senak-enak jidat. Lu kira gue mau ujian, suruh semangat??

Begitulah. Cerita itu menjadi cukup penting sebagai langkah awal menceritakan diri gue. Check this out.

Nama gue Kucai. Tapi gue bukan salah satu dari anggota Laskar Pelangi, meski jelas, gue memiliki kesamaan dengan Kucai yang itu, kalo emang dia bener-bener susah diatur. Nama gue itu pemberian seorang senior lelaki waktu jaman ospek dulu (kalian akan tau lebih banyak soal ospek itu nanti). Dengan nama itulah gue lebih banyak dikenal di kalangan temen-temen, senior, maupun junior gue di kampus. Gue terdaftar sebagai mahasiswa tingkat empat yang ngambil jurusan kebaharian di sebuah universitas di Bogor

Gue berasal dari daerah di mana penduduknya sebagian besar mencari nafkah dengan memanfaatkan laut. Ya, artinya gue punya alasan dan motivasi cukup besar kenapa akhirnya memilih kebaharian sebagai jurusan yang gue ambil di universitas. Memajukan kelautan Indonesia pada umumnya, dan memajukan daerah gue sendiri pada khususnya. Gayanya gue…
Cukup dulu. Nanti, dengan sendirinya kalian akan mengenal gue dan temen-temen sinting gue lebih deket. Sampe ketemu di halaman berikutnya.

Next day.

Koran yang sama memuat kelanjutan berita penangkapan atas Kucai dan tiga rekannya. Begini bunyinya.

Kucai, yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus narkoba akhirnya dibebaskan. Kucai ternyata hanya seorang penjual sate keliling yang secara kebetulan berada di rumah itu untuk menagih hutang 3 porsi sate yang belum dibayar ketiga mahasiswa pada malam sebelumnya. Ia baru saja memasuki pintu rumah yang memang tidak terkunci, dan menemukan ketiga pemuda telah terbaring lemah karena overdosis, ketika tiba-tiba polisi datang dan melakukan penggerebekan. Saat ditanya bagaimana perasaan Kucai ketika akhirnya terbebas dari tuduhan tersangka, dengan mata berkaca-kaca Kucai mengatakan dirinya tak ingin lagi berjualan dan akan segera kembali ke kampung halamannya di Pemalang…

Najis!

Pantes aja dia mau pulang…

Maksud hati berjualan, malah disulitkan mahasiswa yang tukang ngutang.

Maksud hati menagih hutang, malah jadi korban salah sasaran…

Tiba-tiba gue merasa memiliki kesamaan dengan Kucai dari Pemalang. Gue ngerasa kita bak saudara atas dasar kesamaan nama Kucai, kesamaan sifat lugu (???), dan kesamaan nasib menjadi korban salah sasaran.

Kasihan Kucai…

Kasihan gue!!
***

1st Chapter oleh Trisna

No comments: