Sunday, August 30, 2009

Pertama Kalinya

-

BAB 1
Pertama Kalinya


LEA mendesah, menatap layar televisi di depannya dengan pandangan penuh damba. Terpukau menatap wajah seorang pria yang sedang tersenyum di balik layar kaca. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, dia bertanya-tanya, bagaimana pria setampan Soma Saidan bisa lahir ke dunia? Wajahnya benar-benar seperti malaikat. Begitu sempurna, tak bercela. Dengan memandangnya saja, dia merasa sedang berada di surga.

Lea...

Itu suara Kenneth, manajernya, yang sudah berkali-kali memanggilnya, untuk segera bersiap-siap berangkat ke acara pemberian penghargaan (award), yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional.

Kenneth sendiri sudah sangat rapi. Rambutnya yang hitam kelihatan basah, disisir ke belakang. Dia, seperti biasanya, kelihatan amat tampan. Apalagi dengan setelan hitam Armani- yang dikenakannya sekarang. Dia benar-benar sangat sempurna. Tapi, menurut Lea, tanpa mengenakan jas pun Kenneth sudah cakep dari sananya. Dia tetap akan kelihatan menawan, bahkan kalau memakai kaus compang-camping sekali pun. Wajahnya yang mirip Ari Wibowo saat muda, tidak menjamin dia bisa kelihatan jelek.

Kid, kalau kita tidak berangkat sekarang, dijamin kita pasti terlambat sampai di sana.” Kenneth memperingatkan lagi.

Kid—Nak’ adalah panggilannya pada Lea, yang usianya memang sepuluh tahun di bawahnya.
Lea bergeming, menatap televisi di ruang tamu, dengan kedua tangan menopang dagunya di atas meja. Tidak ada suatu pun yang bisa mengganggunya, saat dia sedang menonton aktor idolanya, Soma Saidan.

Kenneth mendesah, mengeluarkan decak jengkel. Dengan tak sabar, dia menyambar remote yang tergeletak di atas meja tamu, dan mematikan televisi di depannya. Menurutnya, itu tindakan paling tepat untuk membuat Lea berhenti menonton, dan bersiap-siap berangkat.

Lea ganti berdecak. Tubuhnya langsung ditegakkan, dan kepalanya mendongak ke arah Kenneth. Kedua matanya mendelik tajam.

“Kenapa sih kau menggangguku?” katanya memberengut. Matanya yang besar mengejap-ngejap.

Kenneth memasukkan satu tangannya ke saku celana hitamnya. Mengembuskan napas pelan, dan menatap Lea yang masih memelototinya dengan kepala dimiringkan.

“Aku tahu kau sangat menyukai Soma, sehingga membuatmu agak... aneh,” kata Kenneth, menyindir. Lea menyipitkan matanya. “Tapi, apa dia juga harus membuatmu telat datang ke acara MTV” (dia mengangkat tangan kirinya, memandang arlojinya) “kira-kira dua jam lagi?” katanya, sambil menatap Lea dengan kedua alisnya terangkat.

Lea terperanjat, dengan panik bergegas bangun dari lantai. “Sori!” serunya, seraya menyambar sepatu hitamnya dan memakainya cepat-cepat.

Lea sudah didandani sangat cantik oleh Hera, hairdresser dari SATU Entertainment, yang sudah lebih dulu berangkat ke lokasi acara, untuk mempersiapkan kostumnya di sana; dia mengenakan gaun hitam berbentuk cube yang memperlihatkan bagian pundaknya yang kecil mulus. Bagian roknya, agak mengembang, dengan bahan transparan bertumpuk. Membuatnya kelihatan sangat imut. Rambutnya ikal panjangnya, yang hitam kemerahan, terjurai di punggungnya.

Kenneth bersedekap, memerhatikan Lea yang susah payah memasukkan kakinya ke dalam sepatu hak tingginya.

“Jadi,” kata Kenneth, “apa kita bisa berangkat sekarang?”

Lea tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala saja. Dia terlalu tegang untuk bicara, meski hanya ‘ya’ atau ‘tidak’.

“Oke, berangkat kalau begitu,” kata Kenneth, berjalan lebih dulu menuju pintu apartmentnya. Sementara Lea masih berdiri di ruang tamu, sambil menenangkan dirinya selama beberapa waktu. Dia baru berjalan ke pintu, setelah Kenneth berteriak memanggilnya dengan suara jengkel

Sudah satu harian ini Lea diliputi ketegangan yang luar biasa. Jantungnya sudah berdegup kencang mulai dari dia bangun tidur pagi ini. Perutnya mual, kepalanya pusing, membuatnya jadi tidak bersemangat melakukan apa pun. Dia juga mudah sekali kaget, karena terlalu banyak bengongnya. Tingkat kegugupannya semakin meningkat pada sore hari, menjelang penampilan perdananya bersama Brody, yang akan disiarkan langsung di acara ‘MTV Indonesia Television Award’ yang akan berlangsung malam ini. Rasa tegangnya itu, agak terobati saat dia melihat wajah Soma Saidan, aktor Bollywood tampan kesayangannya.

“Apa mereka akan... menyukai kami, Ken?” tanya Lea pada Kenneth yang duduk di sebelahnya, di dalam mobil Mercedez yang mengantarkan mereka. “Aku takut sekali mereka melempari aku dan Brody dengan telur...”

“Kalau kau tidak mau mereka melemparimu dengan telur. Menarilah dengan baik,” kata Kenneth, tidak berusaha menghibur Lea sama sekali. “Jangan terlalu tegang, Lea. Itu tidak baik.”

Lea mencibir. Bagaimana mungkin dia tidak tegang? Sejak serial drama “A Wedding’s Song For Christian”—Lagu Pernikahan Untuk Christian yang dibintanginya bersama Brody ditayangkan satu setengah bulan lalu di salah satu stasiun televisi swasta, dan langsung booming, ini adalah kali pertama mereka berdua muncul di depan publik (para penonton setia “Wedding’s Song”, penggemar, bahkan—yang paling dikhawatirkan Lea—selebriti tanah air). Menunjukkan wajah asli mereka, setelah membuat penasaran dan kesal para pengejar berita, yang berlomba-lomba mendapatkan foto mereka secara langsung.

Seluruh pemeran “Wedding’s Song”, mulai dari Lea dan Brody (yang merupakan pemeran utama serial drama tersebut), sampai dengan Din dan Anggita, yang adalah pemeran pendukung utama, memang tidak diperkenankan oleh manajemen SATU Entertainment, rumah produksi baru—dan juga manajemen artis—yang menggarap pengerjaan serial drama tersebut, untuk mengekspos diri di depan publik, terutama di depan kamera wartawan gosip, demi membangun image eksklusif, dan juga menjaga agar mereka tak tersentuh oleh gosip-gosip aneh. Selain itu, SATU juga tidak memperbolehkan mereka semua, untuk menghadiri pesta-pesta selebriti atau acara lainnya tanpa persetujuan resmi.

Sejauh ini Lea, Brody, Din atau Anggita tidak keberatan dengan semua larangan dan peraturan tersebut. Mereka toh tidak terlalu gila popularitas. Apalagi, tanpa harus sibuk berkoar-koar mempromosikan diri, pundi-pundi uang terus mengalir masuk ke rekening mereka di Bank (keempat-empatnya telah dikontrak oleh beberapa produk pakaian ternama selama setahun penuh), dan publik ternyata menyukai mereka yang seperti itu. Kemisteriusan para pemeran “Wedding’s Song”, membuat mereka semakin penasaran. Dan rasa penasaran itu amat menguntungkan. Selain membuat Lea, Brody, Din, dan Anggita semakin ngetop, situs khusus SATU Entertainment juga jadi kebanjiran pengunjung. Pekerjaan pun berdatangan ke rumah produksi kecil tersebut, menyebabkan mereka menjadi Production House paling populer hanya dalam waktu satu setengah bulan, setelah “Wedding’s Song” tayang. Mengalahkan rumah produksi lain, yang telah ada sebelum mereka.

Bisa dibilang, strategi mereka luar biasa sukses.

Mulai dari penyebutannya saja, SATU Entertainment dengan tegas menyatakan kalau “Wedding’s Song’ bukanlah sinetron, melainkan serial drama.

Episodenya juga tidak sebanyak sinetron, yang terdiri dari beratus-ratus episode, yang berlangsung setahun penuh—bahkan lebih dari itu, melainkan hanya terdiri dari tiga puluh episode dan habis tayang kira-kira hanya dalam waktu tujuh bulan saja. Ceritanya juga sangat berbeda. Tidak berbelit-belit; berisi tangis dan penderitaan yang berlebihan, melainkan lebih santai—tapi tetap serius, dan romantis. Tokoh yang ditampilkan pun tidak banyak. Hanya bercerita seputar empat tokoh utama saja, agar tidak melenceng dari alur cerita.

Tidak hanya ceritanya yang menarik, lagu soundtrack-nya—terdiri dari lima lagu, yang diciptakan sendiri oleh penata musik SATU Entertainment—juga sangat diminati masyarakat. Dan saat ini paling banyak diunduh dari internet, serta dijadikan nada sambung pribadi.

Benar-benar sangat berbeda dengan sinetron, yang soundtrack-nya biasanya diambil dari lagu-lagu milik grup band atau penyanyi yang sedang booming.

Namun, seperti yang telah diketahui semua orang, dampak positif dari suatu hal akan selalu diiringi oleh dampak negatif. Dan dampak negatif itu, sayangnya memilih untuk menghampiri Lea—dan juga Brody, yang akibat ketenaran dadakannya, diharuskan menampilkan sebuah pertunjukkan yang menurut semua tim kreatif SATU Entertaiment, akan menjadi pertunjukkan paling memukau dan fenomenal yang pernah ada—Lea berpikir, tentu saja akan amat sangat fenomenal kalau dia dan Brody dilempari telur di atas panggung nanti. Kalau saja tidak karena rasa hormat luar biasa pada semua tim SATU Entertaiment, dia pasti akan menolak mentah-mentah permintaan mereka untuk melakukan pertunjukkan tidak meyakinkan ini.

Meski pun “Wedding’s Song” tidak dinominasikan menjadi salah satu penerima award, karena masih terbilang baru, namun karena kesuksesan serial tersebut, membuat pihak MTV secara khusus mengundang semua tokoh utamanya untuk hadir ke acara penghargaan itu. Mereka juga meminta Lea dan Brody, untuk mempersembahkan sebuah pertunjukkan khusus, yang bisa dinikmati oleh para undangan lain dan juga pemirsa televisi. Permintaan itu langsung disetujui oleh pihak SATU Entertainment.

Permintaan inilah yang akhirnya membuat Lea dan Brody, harus tersiksa selama satu bulan penuh.

Awalnya semuanya setuju kalau Lea dan Brody akan bernyanyi saja. Tapi tiba-tiba saja, salah seorang tim kreatif rumah produksi—menurut Lea terlalu kreatif sampai hilang akal—mengusulkan agar Lea dan Brody, untuk menampilkan sebuah pertunjukkan yang lain dari yang lain. Dan dia mengusulkan keduanya untuk menyanyi sekaligus menari. Dan ternyata banyak yang mendukung.

Meskipun agak keberatan, tapi karena di desak oleh banyak pihak, termasuk Kenneth, Lea dan Brody akhirnya setuju dan santai-santai saja. Sampai akhirnya, orang itu menyebutkan lagu dan tarian apa yang harus mereka bawakan.

“Kalian harus menyanyikan lagu dari Chrisye. Ada satu yang cocok banget. Musiknya sangat etnik-modern. Keren banget—kalau ditarikan. Ini akan... spektakuler sekali. Yang lain kan sudah sering nari hip-hop, tapi kalian... Kalian akan membuat semua orang tersenyum, dengan ethnic-cathcy-traditional-modern. Kalian bisa pakai batik, dan menarikan tarian tradisional. Kalian akan jadi yang pertama,” kata staf tim kreatif tersebut yang dipanggil dengan sebutan Iting, yang rambutnya memang keriting—Lea berencana menggundulinya saja setelah itu—dengan penuh semangat.

Lagi-lagi usulnya disetujui dan mendapatkan dukungan besar, kecuali dari Lea dan Brody—tentu saja, yang sama sekali tidak bisa menolak.

Jadi selama dua bulan penuh, di bawah instruksi koreografer wanita pendatang baru, bernama Farah yang galak luar biasa—yang tampaknya sanggup menelan Lea dan Brody bulat-bulat bila mereka melakukan kesalahan, mereka berdua dengan sangat serius berlatih menari dan juga menyanyi, walaupun tulang sudah hampir remuk, dan suara berubah serak seperti burung gagak.

Tarian pengiring yang harus mereka bawakan campuran antara gerakan tarian Jawa-Bali-Jaipong yang dipadu dengan gerakan tari modern. Kedengaran agak sulit memang, tapi ternyata, setelah berkali-kali latihan dan ditarikan, menyenangkan juga. Gerakannya juga tidak susah-susah amat, sehingga Brody tidak kesulitan mengikutinya.

Farah juga meminta, supaya Lea dan Brody, menunjukkan ekspresi wajah yang sesuai dengan lagu itu. Agar pertunjukannya lebih teatrikal, seperti tari India, gitu.

Ini yang agak sulit, karena menambah PR (Pekerjaan Rumah) mereka berdua. Dan Farah tidak mau tahu, meskipun Lea atau Brody mimisan sekali pun, mengatakan kalau mereka tidak bisa melakukan itu. Membuat Lea mengatasinya, dengan sering nonton film India, hanya untuk mencari referensi ‘mimik’ dan ekspresi yang bagus. Dan dari menonton itulah, akhirnya membuatnya lebih mengenal Soma Saidan. Aktor India asal Indonesia, yang telah tujuh tahun aktif berakting di industri perfilman Bollywood. Dia juga mendapatkan Best Promising Actor tahun lalu, di festival film Cannes, Perancis dalam filmnya yang berjudul ‘Hai Zindegi – Oh Hidup’. Sampai saat ini, Soma tinggal di New Delhi, India. Dan tampaknya cukup dia cukup disegani di sana.

Di sini, di Indonesia, meskipun banyak yang menyebutnya tidak nasionalis, banyak wanita mengidolakannya—termasuk Lea. Di mata mereka, Soma bagaikan dewa yang turun dari langit. Wajahnya yang luar biasa tampan, diimbangi dengan tubuhnya yang luar biasa seksi; tinggi dan atletis. Bola matanya hijau (jelas dia menggunakan lensa kontak), dengan alis hitam-tebal yang melengkung sempurna. Rambutnya gelap dan berkilauan, tebal dan lurus. Dibiarkan agak panjang, dan selalu ditata acak-acakan—rambut bagian depannya selalu mencuat ke atas.

Semua orang membicarakannya. Semua wartawan di sini mengejar beritanya. Meskipun dia berada di belahan bumi lain yang beratus-ratus mil jauhnya dari tanah air.

Sebelum melihatnya dengan saksama, Lea sebetulnya bertanya-tanya, apa sih kelebihan cowok ini, sampai semua cewek tergila-gila? Tapi sekarang dia juga jadi sangat menggemarinya. Dan cukup bahagia, dengan hanya melihat wajahnya melalui layar kaca.

“Ya... kami dalam perjalanan. Tenang saja, okay,” kata Kenneth jengkel pada Brody, yang sudah kesekian kalinya menelepon ke ponselnya, bertanya dimana posisi mereka sekarang—Lea dan Brody harus berada dalam satu mobil, saat menginjak karpet merah nanti; formalitas biasa, agar wartawan dapat mengabadikan foto mereka dengan mudah—dan memberitahu Kenneth kalau dia sudah berada di hotel tempat mereka berjanji untuk bertemu, yang berada tidak jauh dari gedung tempat acara diadakan. “Kami baru akan masuk ke halaman hotel,” kata Kenneth lagi, sambil melongokkan kepala, melihat melalui kaca depan. Sementara Lea, hanya diam, menggoyang-goyangkan kakinya.

Lea sudah tidak bisa tenang sekarang. Terus-terusan berpikir mengenai kesuksesan penampilannya? Takut, kalau aksi panggungnya dan Brody, malah membuat penonton kecewa. Dan akhirnya, menertawakannya. Dia juga bertanya-tanya, apakah semua aktor dan aktris lainnya akan menyukainya dan juga Brody, mengingat mereka berdua adalah orang-orang yang tidak mempunyai pengalaman akting atau pernah bekerja di industri hiburan sama sekali.

Kalau dilihat dari sejarahnya, semua orang yang memerankan tokoh di dalam serial Wedding Song, mulai dari Lea, Brody, Din, kecuali Anggita, memang tidak ada yang pernah berkecimpung di dunia glamor itu sedikit pun. Buta sama sekali. Bahkan sampai sekarang, keempatnya masih seperti merasa bermimpi bisa berakting di depan kamera; apalagi telah menyelesaikan syuting serial Wedding Song sejak enam bulan lalu.

Menurut tim kreatif SATU Entertainment yang menggagas konsepnya, hal tersebut akan membuat kemasan serial drama ini menjadi lebih segar—punya cita rasa berbeda. Karena itu, mereka memilih untuk mencari orang-orang biasa, dari kehidupan biasa, yang memiliki penampilan dan kualitas akting yang luar biasa di luar industri hiburan.

Lea sendiri (yang merasa akting dan penampilannya biasa-biasa saja), tadinya hanya seorang gadis biasa, yang bekerja sebagai sekretaris di perusahaan garmen kecil di daerah Kuta, Bali. Dia direkrut oleh Kenneth—yang sekarang menjadi manajernya dan Brody—tanpa sengaja, saat sedang duduk sendirian di pantai Kuta menjelang matahari terbenam. Tanpa berpikir dulu, Lea langsung menolak. Mengira Kenneth adalah laki-laki cabul yang mengajaknya untuk bermain di film porno. Apalagi, Kenneth langsung mendatanginya tiba-tiba saja, dan tanpa basa-basi lebih dulu langsung mencecarnya dengan pertanyaan, “apa kau mau main di serial drama?”. Untungnya, Kenneth mengabaikan penolakannya. Dan dengan serius menjelaskan maksudnya. Tidak membiarkannya pergi.

Sedangkan Brody, selain tampan (berkulit coklat, rambut coklat, mata coklat, (semuanya coklat) dan berwajah agak bengal) dia adalah dokter umum di sebuah rumah sakit di Jakarta – Lea mengira dia sedang bergurau waktu dia memberitahu profesinya sebagai seorang Dokter. Tidak kelihatan sih.

Saat sedang bertugas malam, dia tiba-tiba kedatangan pasien pria yang baru mengalami kecelakaan motor. Tangannya terluka cukup parah, dan mengeluarkan banyak darah, sehingga mengharuskannya untuk menjahitnya segera. Angga, yang adalah sutradara ‘A Wedding’s Song For Christian’, sedang dalam pengaruh obat bius dan dalam kondisi mabuk, saat tiba-tiba menawarkan Brody, yang sedang berkonsentrasi menjahit lukanya, peran ‘Kenan’, tokoh utama di serial “Wedding’s Song”. Sama seperti Lea, dia juga langsung menolak. Tidak mengindahkan tawarannya. Dia baru menanggapi dengan serius, waktu Angga datang lagi dua hari kemudian, dan secara resmi memperkenalkan diri, kemudian menawarkan peran tersebut sekali lagi pada Brody.

“Bagaimana aku bisa percaya kata-kata orang mabuk?” kata Brody, saat bercerita.

Sedangkan Din (oh, Din), yang memerankan tokoh Christian, selalu mengingatkan Lea pada Tio Pakusodewo saat muda. Begitu menarik, tenang dan dewasa—semua orang di set “Wedding’s Song” menyebutnya Kapon—diambil dari nama ‘Al Capone’, karena sikap dinginnya. Meskipun sudah berusia tiga puluh tiga tahun dan sudah menikah, penampilannya luar biasa oke. (Dan seksi, menurut Lea)

Din adalah seorang manajer di salah satu Bank ternama di Jakarta. Temannya, Andara, yang adalah direktur SATU Entertainment, yang menawarinya peran ‘Christian’. Yang langsung diterimanya dengan alasan coba-coba. Namun, dia langsung menolak berakting lagi setelah syuting “Wedding’s Song” selesai. Dengan alasan, ingin berkonsentrasi pada pekerjaannya—padahal semua orang tahu, kalau Anya, istrinya, yang melarangnya (dia selalu menemani Din saat syuting), setelah menyaksikan syuting adegan ciuman bibirnya dengan Lea, yang lumayan mesra.

Anggita—Lea tidak pernah ingin berdiri berlama-lama di sebelahnya, karena merasa tidak selevel—tidak ada kata apa pun lagi, yang bisa menggambarkan dirinya, selain kata ‘cantik’. Dia selalu terlihat memukau, kapan pun dilihat (bahkan saat sedang cemberut). Di “Wedding’s Song”, dia berperan sebagai Tasya, tunangan Christian, yang digambarkan amat cantik, berkulit putih pualam, berambut coklat lurus berkilau, dan bermata biru. Dan penampilannya, ya, memang asli seperti itu. Dia mendapatkan mata birunya dari ibunya yang asli Jerman. Tapi, meskipun mukanya ‘bule’, cara bicara dan sikapnya sangat Indonesia, karena dia lahir di Jakarta. Dan selama dua puluh tiga tahun tetap di Jakarta. Dia satu-satunya yang punya latar belakang showbiz, karena dia adalah seorang model majalah papan atas. Meskipun namanya tidak terlalu dikenal.

Sama seperti Din, Anggita juga tidak ingin berakting lagi. Karena dia ingin lebih fokus sebagai model dan peragawati. Syuting “Wedding’s Song” di Bali enam bulan lalu, membuatnya tidak bisa mengikuti beberapa sesi pemotretan yang menurutnya penting.
Namun, meskipun memang tidak ada pengalaman sama sekali, publik dan sineas banyak yang memuji akting mereka di serial itu. Apalagi wajah keempatnya, terlihat sangat atraktif di depan kamera. Tidak membosankan sama sekali.

Semua penonton sangat menyukai mereka. Menunggu-nunggu wajah mereka di depan layar televisi setiap Minggu sore. Terutama Lea dan Brody, pemeran utama “Wedding’s Song”.

Sekarang, Mercedes perak yang membawa Lea dan Kenneth, telah sampai di depan teras lobi hotel bintang lima, tempat Brody menunggu. Tanpa berlama-lama, Kenneth membuka pintu dan turun dari mobil untuk menjemput Brody. Dia dan Brody akan bertukar mobil. Brody akan berkendara bersama Lea, sedangkan Kenneth akan naik di mobil lain, mengikuti dari belakang.

Ternyata bukan hanya Brody yang menunggu di hotel tersebut, melainkan beberapa artis lain seperti—Lea merasa sangat tidak percaya diri—Nia Mardani (cantik sekali, bagaikan bidadari) bersama pacarnya, yang adalah anak konglomerat ternama di Indonesia; Luna Inaya (mata Lea mencari-cari Aril, vokalis band Peter Cup, yang adalah kekasih Luna, yang tidak tampak dimana pun).

Luna sedang bicara dengan Dude Herdino (yang ternyata lebih cakep dilihat langsung—meskipun kulitnya agak pucat) dan beberapa artis lain, yang terlihat amat ‘wah’ malam ini. Mereka semua bersinar-sinar dan sangat memesona, mengintimidasi siapa pun yang mendekat; sehingga akan memutuskan menjauh, sebelum mencemari mereka dengan ketidaksempurnaan.

Saat melihat Kenneth, beberapa di antara mereka, langsung melihat ke arah mobil. Bahkan Baim Ong (ternyata tubuhnya tidak terlalu tinggi; walau pun memang tampan), tanpa malu-malu membungkukkan badannya dan memiringkan kepalanya, untuk melihat ke dalam mobil melalui kaca pintu belakang yang—Lea bersyukur—gelap, sehingga Baim segera menegakkan tubuhnya lagi, dan kembali berbicara dengan seorang wanita cantik, yang Lea tidak tahu siapa namanya, sambil menunjuk-nunjuk ke arah Mercedes perak yang dinaikinya.

Brody tampaknya menunggu di dalam lobi. Mungkin dia, sama seperti Lea, merasa tidak percaya diri, berdiri bersama para selebriti terkenal itu. Lea melihat Kenneth berjalan dengan cepat memasuki lobi hotel, setelah menyapa beberapa orang artis yang dikenalnya. Saat dia kembali, dia berjalan bersebelahan dengan Brody, yang wajahnya separo-tegang, separo-bergairah. Kedua lengan jas hitamnya digulung sebatas siku. Dasi hitamnya dibiarkan longgar di atas kemeja putihnya. Tapi dia sama sekali tidak jelek, bahkan terlihat lebih tampan dari yang pernah dilihat Lea. Rambut coklatnya berantakan dia atas kepalanya.

Mata Lea spontan bergerak ke leher kirinya, dan dia langsung terkekeh, melihat tato naga berwarna hitam yang masih dipertahankan Brody sampai sekarang.

Tato itu sebenarnya hanya tato temporer, yang harus dibuat oleh Brody, saat memerankan ‘Kenan’. Tapi ternyata dia jadi sangat menyukainya, karena banyak orang berpendapat kalau dia kelihatan amat menarik dengan tato itu tergambar di lehernya (lebih macho, istilahnya). Dia bermaksud untuk membuatnya jadi permanen, tapi Lea dengan sangat memaksa mengatakan, agar Brody memikirkannya masak-masak terlebih dulu. Bukannya bagaimana, tapi karena tato naga itu, tergambar memanjang dari leher sampai ke dadanya. Apa dia tahan ditusuk-tusuk jarum sepanjang itu? Belum tentu juga, hasilnya jauh lebih bagus daripada yang temporer. Jadi sebelum memutuskan, Brody memilih untuk tetap memperbarui tato temporernya.

Melihat Brody, semua artis cantik dan tampan itu berpaling. Memandangnya dengan ekspresi yang tidak dapat dimengerti—Lea bersyukur dia tidak berada di sana. Brody, dilihat dari tampangnya, jelas-jelas memilih untuk segera menyingkir daripada dipandangi seperti itu. Dia mempercepat langkah menuju mobil, sedangkan Kenneth berjalan santai di belakangnya, tidak merasa terganggu dengan pandangan menilai yang menyerbu.

“Hei,” Brody menyapa Lea, yang langsung merapatkan diri ke pintu, begitu dia membuka pintu di sebelahnya, bermaksud menyembunyikan diri agar orang di luar tidak melihat sosoknya. Begitu melihat Lea, Brody tertegun. Matanya bergerak dari atas ke bawah, memperhatikannya.

Lea mengernyit. “Kenapa? Aku kelihatan jelek ya? Make up-ku terlalu tebal? Bajuku aneh?” Dia mulai terkena serangan panik. “Atau... kurang apa, gitu?”

Brody terkekeh. Kedua matanya menyipit naik. “Tenanglah Lea. Kau...” Dia menggelengkan kepala, masih memandangnya, “sempurna,” Bibir Lea membuka sedikit, masih tidak mengerti.

Brody tersenyum menenangkan dan berkata lembut. “Kau cantik.”

Pipi Lea memerah. Pujian Brody berarti sangat besar untuknya. Setidaknya percaya dirinya kembali sedikit-sedikit.

Thanks...” gumam Lea pelan, membalas senyum Brody.

Mereka bertukar pandang hening sejenak, sampai Kenneth melongokkan kepala ke dalam untuk melihat mereka berdua.

“Kalian oke?” Dia bertanya, memandang bergantian Lea dan Brody, yang balas memandangnya tanpa ekspresi dan tidak menjawab. “Sepertinya baik-baik saja...” gumamnya. “Aku akan ada di mobil di belakang kalian.”

Terdengar suara klakson dari mobil di belakang. Itu mobil Andara, direktur SATU Entertaiment; seorang wanita cantik, bertubuh semampai, yang penampilannya mengudang rasa hormat. Lea dan Brody menoleh, melihat melalui kaca belakang, sama-sama melempar cengiran, meskipun sangsi Andara melihatnya. Sementara itu, di belakang Honda City Andara, beberapa mobil mewah: Mercedes, BMW, Jaguar dan lain-lain sudah mengantri di belakangnya; menjemput para artis lain yang kini bergegas menghampiri jemputannya masing-masing.

Kenneth buru-buru menutup pintu. Memukul atap mobil dua kali, memberi isyarat pada supir di depan Lea untuk menjalankan mobil. Setelah itu dia berlari ke belakang dan naik ke atas Honda City, sementara Mercedes perak yang membawa Lea dan Brody melaju pelan meninggalkan halaman hotel.

Lea merasa perutnya mual lagi. Ketegangan menyeruak memenuhi sel-sel otaknya, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Dan sekarang, dia merasa tangan dan kakinya gemetar. Brody tampaknya juga merasakan hal yang sama. Dia berkali-kali menarik napas panjang, dan mengembuskannya pelan-pelan. Kakinya digoyang-goyangkannya ke atas dan ke bawah, untuk mengalihkan kegugupannya. Dia tidak bicara sama sekali.

“Dok...” panggil Lea pada Brody (‘Dok’ dari kata Dokter). “Kau tidak mau... betulin... dasi?” tanyanya beberapa saat kemudian, saat jarak mobil mereka tinggal beberapa meter lagi dari MTV Head Quarters—Markas Besar MTV.

“Aku,” Dia berdehem kikuk, “lebih nyaman begini...” katanya, seraya menunduk melihat dasinya yang longgar. Dengan gugup dia bicara lagi pada Lea, ekspresinya memelas. “Please,... jangan suruh aku untuk...”

“Oke,” kata Lea buru-buru, sambil menganggukan kepala. “Jangan cemas... Aku tidak akan bilang apa-apa lagi.” katanya, mengarahkan kepalanya lurus ke depan. Namun, tidak sampai dua detik dia kembali bicara pada Brody. “Tapi,... kau tetap ganteng kok, Dok. Bahkan lebih ganteng dari Dude dan Baim tadi,” katanya, berusaha menghibur, seakan saja itu akan membuat Brody lebih tenang.

Shut up, Lea,” Diamlah, Lea, desisnya, menatap lurus ke kaca depan mobil. Dahinya berkerut kuat sekali.

Beginilah mereka. Dua orang ‘mendadak artis’, yang tiba-tiba mencuri perhatian masyarakat dan media—para artis lain juga, tentu saja, melihat cara pandang mereka saat di hotel tadi. Dan sekarang akan bersiap-siap melangkah melewati karpet merah. Menghadiri salah satu acara paling bergengsi di dunia hiburan tanah air; tanpa mengetahui bagaimana reaksi orang-orang saat melihat mereka nanti.

“Huuuhhh...” Brody mengembuskan napasnya perlahan dan keras, saat mobil berbelok ke halaman gedung besar—halaman MTV Headquarters.

Perut Lea serasa anjlok. Dia menggosok-gosok tangannya seperti orang yang kedinginan, lalu menempelkannya ke kedua pipinya. Kemudian mencoba bernapas teratur.
“Mudah-mudahan Din dan lainnya sudah di sana,” gumamnya penuh harap. Kakinya, sama seperti Brody, kini bergoyang-goyang cepat ke atas dan ke bawah. “—atau Kenneth, gitu. Supaya kita nggak kelihatan bego, berdua-duaan di sana.”

Mobil mereka bergerak lambat, mengantri bersama mobil lain yang berbaris di depan. Meskipun begitu, jeda waktu yang lumayan lama itu—karena para artis tentu saja, akan berfoto-foto lebih dulu di depan kendaraannya, sebelum berjalan melalui karpet merah—malah membuat Lea merasa lebih tegang dari sebelumnya. Dia berharap semua ini cepat berlalu; dia turun bersama Brody, tersenyum, dan langsung masuk ke dalam gedung. Tidak menunggu dengan perasaan tidak nyaman seperti ini.

Tepat pada saat itu, handphone di dalam tas tangan Lea berbunyi. Dan dia segera mengambilnya buru-buru.

“Kenneth...” Dia memberitahu Brody, yang memandang cemas ke arahnya. Lea cepat-cepat menekan tombol ‘ok’ dan menempelkan handphone ke telinganya.

“Ken?” sapanya. “Kau dimana?”

Aku yang seharusnya bertanya begitu?!” balasnya setengah berteriak. Ramai sekali di belakangnya. Seperti sedang ada keributan; kedengaran orang berteriak-teriak, memanggil-manggil entah siapa; suara tepukan, jeritan, bercampur dengan suara musik yang berdentum-dentum. “Kalian dimana?! Aku sudah duluan sampai!. Din, Anggita, dan yang lain sudah di dalam!

“Benarkah?!” Lea terlonjak kegirangan di kursinya. Lalu cepat-cepat berkata lagi. “Kami sudah sampai kok. Mobil kami stuck di belakang BMW putih,” katanya, tidak kalah keras. Dia menjulurkan kepala, melihat melalui kaca depan, ke BMW putih di depan mobil mereka, yang tampaknya tidak bergerak sedari tadi. “Kau dimana?”

Oke. Aku tunggu di depan.” kata Kenneth, tidak menjawab pertanyaan terakhir Lea. Langsung menutup teleponnya.

Lea menurunkan handphonenya, dan memasukannya kembali ke tas tangannya.

“Dia dimana?” tanya Brody, yang sedang melap keringat di dahinya dengan sapu tangan, kelihatan sangat kepanasan. Padahal AC di dalam mobil luar biasa dingin.

“Dia sudah sampai,” jawab Lea, memejamkan mata. Berkonsentrasi menghilangkan rasa gugup yang melandanya.

Mobil sudah berjalan lagi, dan lebih cepat dari sebelumnya.

“Din, Anggita, dan juga yang lainnya juga sudah sampai. Dan Kenneth bilang dia akan menunggu kita di depan.” katanya lagi, masih dengan mata terpejam.

“Kau baik-baik saja kan, Lea?” tanya Brody, saat melihatnya.

Lea membuka mata perlahan, kemudian menoleh memandang Brody. “Ya. Harus kan?” katanya. “Mana boleh kelihatan panik di depan wartawan dan orang-orang itu.”

Brody mendengus tersenyum, dan menganggukan setuju. Mereka berdua berpandangan getir sejenak, kemudian kembali melihat ke depan, melalui kaca depan mobil yang bersih. Mobil BMW putih di depan mereka ternyata membawa Meriam Belina. Aktris senior, yang tetap cantik dan tetap eksis hingga sekarang. Dan yang paling diidolakan oleh Lea.

“Meriam Belina...” gumam Lea, dengan mata membulat. “Itu—Meriam Belina,” ulangnya lagi, dengan suara seperti melamun.

Dia memandang terpana Meriam yang terlihat luar biasa mencengangkan dalam kebaya merah ketat dan transparan, berlapis longtoso sewarna di dalamnya. “Cantik...” gumamnya lagi.

Meriam Belina, tampaknya tidak berlama-lama membiarkan wartawan mengambil fotonya. Dia, dengan anggun, segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam, ditemani seorang pria setengah baya, yang bertubuh tinggi besar. Lea tidak mengenalnya sama sekali.

This is it.”Ini saatnya, Brody berbisik pada Lea, yang tidak menyadari kalau Mercedez mereka sudah melaju pelan ke depan, menggantikan posisi BMW yang tadi berhenti tepat di depan karpet merah. Matanya masih terpancang ke punggung Meriam Belina. “Lea.” Dia memanggilnya lagi.

Lea tersadar, dan buru-buru menatap wajah Brody. Menganggukan kepala dan tersenyum bersamaan dengannya.

“Kau siap?” tanya Brody. Menatap matanya lekat-lekat.

Lea mengangguk, dan membiarkan Brody meraih wajahnya dengan satu tangan, kemudian mengecup pipinya sekali, serta mengucapkan kata ‘semoga beruntung’ yang pelan.

Pintu mobil di samping Brody, dibuka oleh pria berjas hitam yang bertubuh tinggi besar. Brody segera memalingkan tubuhnya, dan bergeser ke pinggir, turun dari mobil. Kamera segera menghampiri. Kilatan blitz menyerbu. Orang-orang berteriak histeris memanggil namanya; para gadis memekik keras, para wartawan yang berdiri di luar karpet merah meneriakkan namanya—“Broddyyyy...... lihat sini!”—sambil mengacung-ngacungkan kamera masing-masing, bermaksud mengambil fotonya. Brody tersenyum, melambaikan tangan tinggi-tinggi ke sekelilingnya. Dan berdiri, dengan pose tegap yang sempurna. Dia segera dihampiri oleh Kenneth, yang segera dipeluknya dengan erat, seakan-akan sudah bertahun-tahun tidak dilihatnya.

Lea, sementara itu, menggeser tubuhnya pelan-pelan ke arah pintu yang membuka. Berharap penuh, kalau para kru kamera masih memfokuskan lensanya pada Brody. Tapi ternyata tidak, karena sekarang mereka semua ada di depannya. Brody sudah memutar tubuhnya ke arah mobil, menjulurkan tangan untuk membantu Lea turun. Kilatan blitz mengepung, kamera tepat di depan wajahnya, dan dia hanya bisa meringis tersenyum.

Brody jauh lebih baik menghadapi semua ini daripada Lea. Dia kelihatan tenang, seperti sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Padahal, beberapa menit lalu, dia sama tegangnya dengan Lea.

Leaaaaaa!!!...” pekik orang-orang di sekelilingnya, begitu dia turun dari mobil. “LEAAA!!!...
Lea menegakkan tubuh. Berdiri di sebelah Brody, dan melihat berkeliling. Semua yang ada di depan matanya sekarang begitu bersinar. Begitu gemerlap. Dia bagaikan dikelilingi bintang yang berkerlap-kerlip. Indah sekali.

Teriakan orang-orang yang memanggil-manggil namanya—“LEAAAA!!! I love you!!!”—membawa perasaan yang luar biasa di dalam dirinya. Semacam euphoria. Membuatnya bersemangat, tersanjung dan gembira bersamaan. Dia merasa sedang berdiri di puncak dunia. Dan orang-orang di bawahnya sedang mengelu-elukannya, karena berhasil mencapainya. Tanpa ragu, Lea tersenyum lebar, melambaikan tangannya pada semua orang. Membuat mereka semakin histeris—bahkan ada salah satu gadis yang pingsan karenanya. Kaki Lea seakan terangkat, perutnya terasa tertarik ke atas.

Sejenak kemudian, Kenneth menepuk pundaknya, membuatnya kembali menapak bumi. Lea menengadahkan wajah untuk memandangnya. Dan tersenyum pada Kenneth, ketika dia mengecup lembut keningnya.

“Ayo, Kid. Kita harus segera ke dalam...” Kenneth berbisik di telinganya.

Lea menurut, dan memutar tubuhnya menghadap pintu masuk yang amat luas, yang terbuka lebar di depannya. Pintu masuk tersebut tidak kalah elegan; dihiasi kain merah dan emas mengkilat di atas ambangnya. Balon-balon merah, perak dan emas bertebaran di lantai, dan berterbangan di sekeliling karpet merah.

Mereka berjalan bertiga dengan bibir mengembang lebar; Kenneth di tengah-tengah sedangkan Brody dan Lea, berjalan di sebelah kiri dan kanannya. Kamera tetap mengarah pada mereka, blitz tetap berkilatan di depan wajah ketiganya.

“Syukurlah. It’s over,”—Semuanya selesai. Brody kelihatan sangat lega, berjalan di samping Kenneth dan Lea yang menimpali dengan anggukan, melewati ambang pintu.

“Itu baru tahap pertama,” Kenneth berkata, sambil merangkul Lea. Lea melirik padanya, sedangkan Brody memalingkan wajah menatapnya, mengernyitkan alis. Sam sekali tidak mengerti. “This is the worst...” Ini yang paling sulit, kata Kenneth lagi, mengedikkan kepala ke arah depan.

Lea mengikuti arah pandangan Kenneth, dan dia langsung menahan napas, bersamaan dengan Brody yang segera menghentikan langkahnya. Wajahnya seakan membeku, mulutnya membuka sedikit.


***

1st Chapter oleh Putu Indar Meilita

Read More ......

Chia dan Pondok Mithologis

-

PROLOG


Semerbak bunga lavender yang diletakkan di setiap sudut ruangan memberikan aroma khas, lampu-lampu ruang utama yang telah sekian lama tidak pernah menyala kini berpendar terang. Bara dari tungku perapian membuat kehangatan yang selama ini telah lenyap. Setelah sekian lama rumah besar itu tetap kokoh dalam balutan pepohonan lebat yang menjulang mencakar langit, bersembunyi dalam kegelapan malam dan bayangan matahari.

Gadis-gadis berbusana serba biru langit, para waitress, tengah sibuk melenyapkan debu-debu tebal dan sarang laba-laba yang berjaring dimana-mana. Tirai putih gading tersibak menutupi jendela-jendela panjang yang melekat di dinding seluruh ruangan, beberapa diantaranya bebercak kekuningan walau para waitress tengah mencucinya dengan sangat baik. Mereka -para waitress- kembali menjalankan tugasnya, profesi sementara yang diemban hanya ketika dibutuhkan.

Rumah tua itu mencoba dihidupkan kembali setelah lima tahun tak terjamah oleh sang pemilik, seorang pecinta sejarah yang kini telah menjadi bagian dari sejarah.
Dan, seorang pemilik baru akan berkunjung. Bukan karena ia seorang pecinta sejarah, melainkan takdir yang membuatnya menapaki rumah baru ditengah hutan belantara ini. Hadiah khusus untuk seorang pewaris.

Teng..teng..teng..teng,

Bel berdentang nyaring, menggema ke seluruh ruangan tanpa sekat, sebuah tanda. Para waitress mendengarnya, efek yang ditimbulkan cukup membuat hati mereka gugup.

Sebentar lagi.

Dengan mata menerawang menuju pusat rumah yang tersanggah dua tiang kayu bulat kokoh di tiap sisinya, ruangan yang bisa dilihat dari tiap sisi manapun dalam rumah tersebut, tangan-tangan kotor mereka mencoba menyelesaikan tugas dengan cepat. Merayapi segala sudut perabot usang dengan balutan kain yang mulai menghitam. Tatapan mereka jatuh kepada satu-satunya perabot yang tergantung dipusat ruangan, pusat bunyi yang mereka dengar tadi. Lima buah jam dinding besar berbentuk segitiga lancip, saling melekat satu sama lain hingga meruncing tajam di ujung bawahnya, membentuk satu kesatuan pentagonal yang kokoh. Angka-angka yang tercetak ditiap jam berisi pendar cahaya kuning, memperjelas jarum-jarum hitam pekat bergerak. Dan kini, jarum terpendek tengah menunjuk angka dua belas.

Di suatu sudut tembok lantai dua, satu pintu kayu yang tengah tertutup rapat mencoba bersembunyi dibalik tirai putih gading yang kini terikat kesamping. Seorang waitress berdiri mematung menghadap pintu, membisu di tengah kesibukan teman-temannya. Mata coklatnya menerawang menatap keheningan yang tengah berada didepannya, satu tangannya yang terbungkus kain bebercak hitam tengah mengelus-elus gagang pintu berkarat yang menempel pada daun pintu.

”apa yang kau lakukan Chia?”
Merasa namanya disebut, waitress tersebut berhenti mengelus gagang pintu. Ia pun menoleh memperhatikan gadis berpakaian seragam dengannya tengah menengok keheranan. Gadis bertubuh kurus itu mencoba mendekat, melirik gagang berkarat yang tengah diremas oleh Chia.
”entahlah, aku juga nggak tahu” Chia menggeleng, merasa tak yakin dengan kata-katanya. Keraguan tersirat jelas dalam matanya, namun tak ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkejaran dalam benak gadis mungil itu.

Waitress yang tengah berada di samping Chia tetap menatap lurus gagang pintu itu. Sekalipun menggosoknya dengan kain terus menerus tidak akan membuat karatan di sekujur gagang tersebut berkurang, bahkan engselnya sudah bisa dikata tidak mampu membuat pintu itu bergerak lagi. Karatan membuat pintu itu aus. ”dari dulu aku selalu ingin mengetahui apa yang berada di balik pintu ini,” gumamnya pelan.

Chia tak merespon perkataannya, hanya menerawang melihat gagang pintu yang tengah ia pegang. Pikirannya jauh berlarian, seorang pewaris kini menjadi hal yang menyita segala ruang dalam benaknya. Tak ada pikiran apapun yang lebih penting daripada mengetahui jelas siapa pemilik rumah tua ini. Baginya, tak ada yang bisa menyaingi pemilik terdahulu, lelaki yang telah ia anggap sebagai seorang ayah.

Batin Chia mengerang menyaksikan gambar seorang lelaki tua berada di benaknya, perpisahan yang jauh dari harapan telah membuat hatinya runtuh. Tak ada air mata yang bergulir di pelupuk matanya, ia sadar tidak akan ada gunanya untuk meraung-raung akibat kecelakaan itu. ’Hanya seorang Chia, tidak lebih dari seorang waitress. waitress yang tidak tampak di dunia nyata, tentu bukan menjadi hal penting’. Ia mencoba melihat kenyataan di balik seragam biru berendanya. Di dunia ini, tidak ada hal membahagiakan selain profesi sementara yang tengah ia jalankan ini.

”ayo kita ke bawah,” waitress yang tidak melihat respon baik pada teman se-profesi chia itu mencoba menyadarkannya, menepuk pundak kanannya ”nggak ada gunanya menatap gagang itu chia, tetap saja berkarat, aku sudah beberapa kali mencobanya”.

Chia akhirnya menatapnya kaku, bukan itu yang ingin dia ketahui. Waitress itu lalu berpaling, berjalan memunggungi chia menuju tangga besar berlapis karpet merah darah yang tersampir disudut lain lantai dua.

”Erin..” chia mencoba untuk memanggilnya, namun waitress bernama Erin itu tetap saja tidak berbalik. Tersinggung atau tidak peduli. Pikiran Chia yang selalunya jernih mulai bercampur dengan gangguan yang menjalari otaknya. Emosinya meluap-luap seiring keraguannya terhadap kedatangan seorang pewaris, ia takut akan ada yang berubah.
Ia tak menginginkan sedikitpun perubahan.

”Erin,” nada suara chia yang sirat akan kecemasan membuat Erin berhenti, ia pun berbalik. ”aa.. chia mencoba menelan ludah.. apa semuanya akan baik-baik saja? Pewaris itu..”

”maksudmu?” erin mendengus.

”apa ia tidak akan membuat kerusakan, membeberkan, dan bertindak lebih jauh? Kita bahkan belum pernah mengenalnya, kepribadiannya. Kita..”

Bunyi decitan keras tiba-tiba menghentakkan seluruh ruangan, diakhiri dentuman pelan dua daun pintu yang mencoba menyatu dengan dinding, meninggalkan celah kecil dari apitan tersebut. Setelahnya hanya terdengar ganasnya hujan, riuh yang tiada henti memecah keheningan.

Chia akhirnya menutup mulut, ia dan Erin segera menuju ke samping tiang untuk melihat ke arah pintu. Seseorang memasuki ruang utama, pijakan kakinya teredam gemerisik hujan di luar sana. Jaket kulit membungkus tubuh laki-laki bertubuh jangkung itu, berkilauan dengan air yang menetes-netes ditepinya. Ia lalu membuka tudung kepala yang sedari tadi menutupi kepalanya, tanpa ragu ia membeberkan pandangannya ke sekitaran lantai satu. Memperhatikan para waitress yang tengah berdiri mematung, lalu melihat lantai semen yang sepenuhnya bersih.

Segera ia melihat ke bawah, tempat dimana sepatu bootnya berpijak, lalu berbalik melihat jejak kaki besar penuh noda lumpur mulai dari teras rumah. Dengan rasa bersalah, lelaki itu berdehem pelan, lalu menatap ke arah waitress lagi. Tampak hening.

”sebelumnya, saya minta maaf” lelaki itu angkat bicara, tentu saja, respon dari lima waitress yang tengah berdiri di lantai satu hanya mengangguk. Tidak ada keberanian untuk marah pada seseorang yang membayar upah mereka.

Lelaki itu seketika mengarahkan pandangannya pada lantai dua yang menjorok ke depan, tampak dua waitress tengah terpaku melihatnya. Chia dan Erin merasa terpojok saat mata sipit laki-laki itu menatap mereka. Mata seorang atasan, serasa membakar tengkuk mereka hingga menegang. Hanya sekilas beberapa detik saja, lelaki itu pun berbalik, berjalan menuju pintu luar.
”Pak Mardi sebenarnya orang yang konyol” bisik Chia setelah ketegangan mencair. Erin yang mendengarnya hanya menggeleng-geleng, bukan karena atasannya, melainkan pada kata-kata yang terucap oleh rekan se-timnya.

”kau gila, kalau dia mendengarnya maka generasimu sebagai waitress akan terputus sudah” bisik Erin mengingatkan, gadis berkulit hitam manis itu menyapu keringatnya dengan lap kotor yang ia pegang.

”aku mengatakannya karena yakin ia tak mendengarnya” jawab Chia yakin, Erin hanya mengangkat bahu.

”anak-anak, saatnya berkumpul!”
Suara Pak Mardi mencoba bersaing dengan suara riuh hujan. ”beberapa menit lagi pewaris yang baru akan datang, kalian semua harus ikut menyambutnya!”

Chia mencoba mengutuk pikirannya, namun serasa ada benang kusut dalam otaknya hingga selalu berfikiran negatif. Ia mencoba menenangkan diri, mengikuti erin yang tengah berjalan menuruni tangga dengan terburu-buru.

”erin,” seru chia dengan panik.

”apa lagi?” wajah erin tampak kusut saat berbalik melihatnya, ia sungguh tidak merasa cocok dengan chia. Ia tidak iri melihat kondisi fisik darinya, tapi ia merasa chia identik dengan gadis ceplas-ceplos yang suka mendikte karakter orang lain. Kali ini Pak Mardi, bagaimana dengan si pewaris nanti. Menjauh dari Chia setidaknya akan mengurangi masalah pekerjaannya, ia yakin itu.

”tunggu aku,” bisik chia, ia kikuk melihat wajah Erin bengkok. ”ada yang ingin ku tanyakan.”

”apa?” tanya erin mantap.

”siapa nama pemilik baru rumah ini?”

”Mr.MARCEL, jangan bikin masalah, ingat itu” Erin akhirnya melangkah lebih cepat, meninggalkan chia yang tengah merasa bersalah. Namun di balik rasa bersalahnya itu, pikiran chia mulai menerawang pada ketakutan yang mulai menjamahnya.

---------------------------------------------------
-------------------------------------------


1
Welcome to the new house, Mr. Marcel


Mobil melaju dengan lambat menembus jalan yang diselubungi kegelapan malam. Kesunyian jalan menjadi-jadi sesaat mobil telah melewati area perkotaan Jogjakarta, menikung suatu jalan sempit menanjak. Derasnya hujan membuat kepenatan yang tiada tara, pikiran yang tiada mencair membuat situasi makin mendingin. Marcel tengah duduk di jok penumpang Mercedes hitam, membisu meratapi nasib yang sulit dipercaya berubah drastis. Tudung jaketnya menutupi sebagian wajahnya yang tampak canggung tanpa alasan pasti.

”mungkin beliau ingin tuan melihat salah satu koleksinya”.

Seorang lelaki bertubuh jangkung berusia setengah abad mencoba menjelaskan alasan masuk akal yang dapat dijadikan patokan perjalanan mereka. Pak Arif, yang selama tiga puluh tahun hidupnya telah bekerja menjadi sopir keluarga Fredy kini telah menjadi salah satu orang yang tengah dilanda kesedihan. Keduanya tak memikirkan kecelakaan pesawat itu terjadi begitu cepat, menimpa dua orang yang terlibat amat dekat dengan kehidupan mereka.

****

1st Chapter oleh Peratiwi Desy

Read More ......

Asam Manis Hidup Seorang Cewek (Gemuk)

-

PERTAMA



Kupalingkan wajahku pada sosok yang dari tadi mengejar dan memanggil-manggil namaku. “Tunggu dong, Phytt. Capek nih, lari-lari,” ucap Rico tersenggal-senggal. “Sori banget, Ric. Gue buru-buru, harus ngejar deadline mading, soalnya,” kataku secepat mungkin. Aku langsung berlari ke tempat parkir sepeda. Rico masih mematung, mungkin masih mencoba mencerna kata-kataku. Aku tersenyum memikirkan mimik Rico jika sedang berpikir, muka kosong dan keliatan bloon. Tapi tetap cakep, secara dia Indo gitu. Gimana tidak cakep coba?

Ricardo Rahardian William, yang lebih suka dipanggil Rico, adalah satu-satunya cowok yang kupercaya bisa menjadi sahabatku. Dia tulus. Dia mau bersahabat dengan cewek gemuk kaya aku. Emang, aku tinggi, tapi tetap saja gemuk. Walaupun tinggi tubuhku lumayan bisa menyembunyikan kegemukanku, aku tetap saja gemuk di mata teman-temanku. Tapi itu bukan masalah besar bagiku, aku punya segudang ide untuk membalas ejekan teman-temanku.

Rico baik dan ramah sekali padaku saat di kelas VII SMP dulu. Kami bersahabat sampai saat ini. Bahkan dia mendaftar di SMU yang sama denganku hanya karena dia ingin melindungi aku dari anak-anak nakal di SMU yang aku pilih. Kami sangat cocok satu sama lain. Mampu mengimbangi kekurangan masing-masing. Rico anaknya asyik, kalau sama teman yang lain pendiam dan kelihatan misterius dan terkesan cool. Tapi kalau sudah sama aku, sumpah, cerewetnya itu lho! Kebangetan tahu tidak seh...

Sejak kita berdua merasa cocok, kita jadi dekat dan jadi sahabat. Kalau sudah dengan dia, aku juga langsung nyerocos, tidak merasa malu ataupun gengsi. Kita curhat ya curhat saja. Masalah cinta, pelajaran, hobi. Apa saja. Dia tidak pernah sekalipun menyebarkan rahasiaku meskipun hanya hal sepele. Aku pun juga begitu. Kalau aku butuh solusi dari masalah yang kuhadapi, aku langsung mengadu padanya setelah sebelumnya mengadu pada tempat curhat nomor satuku, Mas Akbar.

Ayah Rico berasal dari California, sedang Ibunya asli Betawi. Tapi Rico tidak terlihat seperti keturunan Betawi walau logatnya gue-lo. Kalau sedang libur sekolah, Rico selalu pergi ke rumah kakeknya di Los Angeles, California. Setelah aku dan dia jadi sahabat dan aku juga sudah cukup dekat dengan keluarga Rico, Rico selalu mengajak aku dan Mas Akbar ke rumah kakeknya di California. Karena orang tuaku mengijinkan, aku dan Mas Akbar sih senang-senang saja. Ke California gitu lho, dibayarin lagi. Siapa yang tidak mau?

Tapi aku bersahabat dengan dia bukan karena materi, tentu saja. Dia tipe sahabat yang aku banget. Cowok tapi pengertian, beruntung lah cewek yang kejatuhan cintanya nanti. Sekarang sih dia masih jomblo, tapi aku curiga ada seseorang di California yang padanya telah tertambat hati Rico. Yah, semoga saja kalau itu benar, Rico akan segera mengenalkannya padaku. Sudah seperti calon mertua saja, aku ini.

Kupacu sepedaku lebih kencang. Aku harus segera memfotokopi artikel-artikel mading untuk arsip. Aku menuju tempat fotokopi paling dekat dengan sekolahku, SMU 5000, Jakarta. SMU Goceng, begitu sekolahku biasa dipanggil.

“Aduh, pake tutup segala. Tempat yang lain di mana ya?” kataku waktu melihat tempat fotokopi itu tutup. Langsung kukayuh lagi sepedaku, mencari tempat fotokopian yang lain. Jakarta yang panas, macet, dan berpolusi tak mencegahku mencari tempat fotokopi meskipun hanya dengan berkendara sepeda.

Kutemukan sebuah tempat fotokopi setelah mengayuh sepeda selama dua puluh menit. “Mbak, ini tolong difotokopi, rangkap satu aja,” aku menyerahkan artikel-artikel itu pada karyawan tempat itu. Aku duduk di kursi tunggu. Kubuka tasku dan kuambil sebotol air mineral. Kuminum perlahan sambil memperhatikan keramaian jalan raya. Mataku menangkap sesosok cowok. Rupanya Gigan, teman sekelasku yang sering masuk BK (Bimbingan dan Konseling) tapi malah dijadikan ketua kelas oleh teman-temanku. Entah apa yang aku dan teman-temanku pikirkan saat pemilihan ketua kelas. Dia memang kadang lucu dan sering membuat kami sekelas tertawa melihat konyolnya tingkah Gigan. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa Gigan anak berandal. Merokok dan mabuk. Banyak yang bilang begitu.

Aku pernah melihatnya hang-out dengan dua orang temannya. Waktu Gigan melihatku, dia rada malu-malu. Aku dan seorang temanku pun sedang hang-out, waktu itu. Kedua teman Gigan, yang aku tidak kenal, mulai merokok. Gigan tidak ikut merokok. Seorang teman Gigan bertanya padanya, aku tidak dapat mendengarnya karena mereka berbisik. Gigan menjawab pelan sambil melihat ke arahku. Teman Gigan itu pun ikut melihat ke arahku, lalu berkata “Biarin aja,” aku langsung tahu kalau mereka membicarakanku. Kuduga mereka bertanya mengapa Gigan tidak ikut merokok.

“Ini dek,” suara sang karyawan menyadarkanku dari lamunan. “Oh, berapa mbak?” aku merogoh saku rok seragamku. “Seribu lima ratus,” katanya seraya membetulkan kertas-kertas yang berantakan di meja. Kusodorkan uang lalu mengucapkan terimakasih padanya.

Kembali kulalui jalan raya yang panas dan ampek. Karena tak tahan dengan panas, aku memilih jalan alternatif menuju sekolahku. Lumayan, tidak terlalu panas dan berpolusi. Saat itulah aku dihadang tiga orang berandal yang sering nongkrong di dekat situ. “Cewek gendut, bagi duit!” bentak cowok berkulit hitam dan kekar. “Apa salah saya? S.. Saya nggak punya duit,” ucapku lemas. “Alah, bohong lo! Masa cewek gendut kaya lo kagak punya duit. Pasti punya tuh, kalo kagak punya, dari mana lo makan? Dari badan lo keliatan kalo lo makannya banyak,” sahut salah satu rekannya yang bersuara cempreng. “Bener ntu,” sambung cowok yang bertampang sangar. Mereka terbahak mendengar itu. Hatiku panas namun mana mungkin aku membalas para preman ini?

“Phytta? Lo ngapain di sini?” aku mencari sumber suara itu. Tak jauh dari situ, kulihat Gigan berdiri masih memakai seragam sekolahnya. “Lo kenal ama die, Gan?” si Hitam bertanya pada Gigan. Gigan mengangguk sambil berjalan ke arahku. Aku mengernyitkan dahi. Kok Gigan kenal sama para preman ini? Apa Gigan salah satu dari mereka? Terus nasibku gimana nih jadinya? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepalaku.

“Dia temen sekelas gue. Kalian apain Phytta?” tanya Gigan kepada mereka bertiga. “Tenang aje, kagak kite apa-apain kok. Tadi emang kite palak, tapi belum dikasih ma die,” jelas si Hitam, menyeringai. “Lo nggak pa-pa kan, Phytt?” Gigan terlihat khawatir. Baru sekali aku melihatnya seperti itu. Dahiku makin berkerut. Gigan menyadarinya lalu dengan tiba-tiba raut wajahnya berubah netral.

“Gue nggak pa-pa kok, Gan. Thanks, lo datang di saat yang tepat,” kataku seraya menyipitkan mata pada para preman itu. “Mau pulang?” tanya Gigan padaku. “Enggak, mau ke sekolah. Mau nyelesaiin mading gue,” jawabku pelan. “Gue temenin yuk, ntar kalau dihadang preman lagi gimana?” katanya jenaka. Gigan tidak pernah seperti ini padaku kalau di sekolah. Aku heran dengan perubahan sifat Gigan yang drastis. Kuterima tawarannya.

“Gue boncengin lo ya?” tanyanya padaku. Aku bengong. Nih anak sarap ya? Ngapain dia boncengin aku? Dia kan punya sepeda sendiri. “Lo gimana seh? Lo kan punya sepeda sendiri. Kalo lo boncengin gue, bisa kejungkir sepeda gue!” sewotku. “Hahaha.. Phytta.. Phytta..,” Gigan tertawa. “Eh, malah ketawa. Nggak ada yang lucu!” seruku padanya. Tawanya mulai berhenti. “Iya juga ya? Nggak ada yang lucu. Phytt, lo nggak usah khawatir. Gue bisa boncengin lo kok. Sepeda gue biar aja ditinggal di sini, ya nggak, Ben?” Gigan berkata pada si Hitam. Si Hitam mengangguk senang. “Tapi..,” kata-kataku terputus melihat isyarat dari Gigan.

Terpaksa aku turuti kemauan Gigan. “Bener lo bisa? Nggak jatuh kan?” tanyaku gelisah. “Tenang, gue pasti bisa!” Gigan mengambil alih sepedaku yang memang bisa untuk berdua. Aku membonceng di belakangnya. “Berangkat!” serunya. Dia mengayuh sepedaku. Ternyata dia memang bisa memboncengkan aku. “Lo tuh nggak berat kok, Phytta. Buktinya gue bisa boncengin lo,” kata Gigan padaku. Aku hanya tertawa. Senang juga sih, diboncengin Gigan. Siapa cewek yang nolak Gigan? Cuma aku mungkin. Dia bukan tipeku. Tahu kan dia kaya gimana? Tapi tetap saja aku senang, baru kali ini aku diboncengin cowok, selain Mas Akbar dan Rico. Naik sepeda lagi! So sweet.. Pasti lebih sweet kalau sama Arka. Ah, Arka..

****

Arka. Dia teman sekelasku waktu SMP begitu pula sekarang di SMU. Dia cowok aneh dan unik, kalau menurut pandangan teman-temanku. Dia usil, suka caper, gokil, lucu, dan rada jorok. Suka basket dan jadi cadangan di tim inti sekolah. Anaknya lumayan gaul sih, tapi dia itu abnormal. Tidak bisa diam kalau sedang di kelas. Suka mengusili dan menggoda cewek-cewek di kelasku. Yah, pokoknya dia itu unique deh!

Entah mengapa aku bisa menaruh rasa padanya, Rico sampai heran bukan main. “What?! Lo suka sama anak abnormal itu?? Apa sih yang bisa dibanggakan dari dia? Paling cuma jago basketnya aja, ya kan?” protesnya padaku waktu aku curhat dengan dia. Kujawab kalau mungkin ini yang namanya tulus. Kita tidak melihat dari luarnya saja. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku sendiri juga bingung kenapa aku sampai suka Arka. Serius, aku tidak berkehendak seperti ini. Arka itu cuek kalau sama yang namanya cinta. Kata Tiffa, teman dekatku dan sahabat Arka di SD, pernah ada cewek yang naksir dia. Nama cewek itu Diyya. Sewaktu Arka ulang tahun, Diyya memberi Arka kado, dan coba tebak apa yang dilakukan Arka pada kado Diyya. Arka membuang kado itu ke tempat sampah! Bayangkan bagaimana perasaan Diyya. Juga waktu Valentine, sama seperti tadi, Arka membuang coklat dari Diyya, lagi-lagi ke tempat sampah. Setelah Tiffa menasihati Arka, Arka baru mau mengambilnya. Namun Arka tidak memakannya secuilpun. Arka malah membagikan coklat itu pada teman-temannya. Sebagai seorang cowok, dia parah banget ya? Pasti sakit, melihat cowok yang kita suka berbuat seperti itu pada kita.

Aku tidak akan pernah memberi tahu Arka betapa aku sayang padanya. Aku tidak mau seperti Diyya. Aku takut Arka menjauhiku seperti dia menjauhi Diyya waktu SD dulu. Lebih baik aku tetap menyimpan rasa ini. Kecuali jika ia juga punya perasaan yang sama. Memang kelihatannya tidak mungkin, tapi kita boleh berharap kan?

Aku naksir Arka sejak kelas IX. Sudah hampir setahun aku memendam ini semua. Tiffa, Rico, dan Nera salut padaku atas kesabaranku menanti Arka yang kemungkinan besar tidak akan pernah membalas perasaanku. Aku senang walau hanya bisa mengamati Arka dari jauh. Aku senang bisa cukup dekat dengan dia. Bagiku itu semua sudah cukup. Aku tidak terlalu berharap bisa jadian dengan Arka. Karena aku sadar diri. Aku gemuk dan tidak terlalu cantik, dan itu jelas bukan kriteria cewek Arka. Tapi Tiffa terus mendukungku dan menyemangati aku. Kata Tiffa, semua itu mungkin.

“Phytta? Lo dengerin gue ngggak?” Gigan menyadarkanku dari lamunan. “Ap.. Apa? Sori, gue nggak denger, Gan. Jalannya rame banget,” aku berbohong. “Tadi gue tanya, lo udah punya pasangan buat pelajaran Kesenian belum?” tanya Gigan. “Oh, belum. Lo mau jadi partner gue?” tawarku karena aku memang belum punya pasangan untuk menyanyi duet pada pelajaran Kesenian. “Gue juga belum punya. Gue mau jadi partner lo,” jawabnya mantap. “Oke. Udah ada rencana mau nyanyi apa?” tanyaku seraya membuka handphoneku yang bergetar karena ada pesan masuk.


From: Arka
Wah.. Ad yg lg pcrn ne. Romantis bgt, pke speda sgala.. Cihuy!

Hah?? Arka? Di mana dia? Dia pasti ada di dekat-dekat sini. Kucari dia, namun tidak kutemukan Arka. Tumben amat dia SMS aku. Biasanya kalau bukan dia yang SMS duluan, dia tidak bakal balas SMSku. Menyebalkan. Jarang sekali dia SMS aku. Baru dua kali selama di SMU! Dan ini baru yang ketiga kalinya! Aku takjub. Hatiku berbunga-bunga. Tentu saja, bagaimana tidak senang kalau cowok yang kita sukai kirim SMS kepada kita?

Ada pikiran gila yang baru saja melintas di kepalaku. Arka jealous sama Gigan. Jangan tertawa! Aku kan sudah bilang kalau itu pikiran gila. Tapi mungkin itu benar. Buktinya, Arka yang amat sangat jarang kirim SMS padaku, baru saja mengirimi aku SMS dan itu hanya karena melihat aku diboncengkan Gigan! Jelas aku jadi kege-eran. Hehe..

To: Arka
Mksd lo?? Gue ma Gigan kn cm tmn. Yee.. :p
Kutunggu balasan dari Arka seraya mengobrol dengan Gigan tentang lagu yang akan kita berdua nyanyikan pada pelajaran Kesenian minggu depan. “Gue suka lagu A Whole New World. Itu lho, soundtracknya film Aladdin,” kata Gigan padaku. “Wah, iya. Itu aja, gue juga suka lagunya,” jawabku bersemangat. “Ayo, coba nyanyi bareng,” ajak Gigan.

Gigan mulai menyanyi. “I can show you the world. Shining, shimmering, splendid. Tell me, princess, now when did. You last let your heart decide? I can open your eyes. Take you wonder by wonder. Over, sideways and under. On a magic carpet ride. A whole new world. A new fantastic point of view. No one to tell us no. Or where to go. Or say we're only dreaming,” suara Gigan memaksaku ikut bernyanyi.

“A whole new world. A dazzling place I never knew. But when I'm way up here. It's crystal clear. That now I'm in a whole new world with you. Unbelievable sights. Indescribable feeling. Soaring, tumbling, freewheeling. Through an endless diamond sky,” sambungku ceria.

****

“Enak ya, pacaran?” Raras menyambutku dengan sinis. “Sori, Ras. Tempat fotokopi yang biasanya tutup, terpaksa gue nyari. Udah gitu dapetnya jauh lagi!” aku nyengir. “Kasihan Phytta. Tadi dia juga sempat dihadang preman lho,” Gigan mendukung ceritaku. “Oke, oke. Gue percaya. Ayo, cepetan. Keburu deadline nih,” Raras berbalik menuju kelas ekskul mading, lalu dengan sigap kembali menghadap Gigan dan menambahkan, “Gan, mending lo tinggalin cewek lo deh. Kita agak lama nih, soalnya.”

“Siapa sih yang jadi cewek Gigan?” sewotku. Aku melotot padanya lalu memandang Gigan minta dukungan. Gigan yang menangkap pandanganku langsung menyahut. “Iya. Phytta bukan cewek gue kok,” Gigan agak salah tingkah. “Oh, kirain. Habis mesra banget sih, boncengan naik sepeda berdua. Siapa yang nggak ngira kalau kalian pacaran, hayo?” Raras tersenyum nakal. Aku cemberut.

Handphoneku bergetar. Balasan dari Arka rupanya.

From: Arka
Btw, lo dah pnya prtner buat Kesenian blm?

Apa-apaan ini? Apa Arka bermaksud menawariku jadi partnernya? Ah, tidak mungkin. Cuma khayalanku saja. Arka tidak mungkin mau jadi partnerku.

To: Arka
Udah, td Gigan nawarin gue. B’hubung gue blm pny partner, y gue trma aj. Mank knp?
Aku harap-harap cemas menanti jawaban darinya. Aku, tentu saja berharap Arka tanya begitu karena dia naksir aku. Pede sekale.. Tapi sepertinya tidak mungkin ya?

“Bye semua,” aku melambai pada teman-teman di ekskul mading. Mereka membalas tak kompak. Kuambil sepedaku yang tadi kuparkir di lapangan sekolah. Kutemukan Gigan di bangku dekat sepedaku. “Gigan, lo ngapain masih disini?” tanyaku, tak dapat menyembunyikan keterkejutanku. Gigan bangkit dari bangku. “Ya nungguin lo lah, ngapain lagi?” jawabnya santai. Aku melongo. Gigan? Nungguin aku? Yang benar saja!

“Kurang kerjaan banget sih lo, nungguin gue segala,” kataku mengernyitkan dahi. “Kalau gue nggak nungguin lo, gue pulang sama siapa dong?” jawabnya tanpa rasa bersalah. Gubraks!! Lututku lemas mendengarnya. Gigan, Gigan. Lo tuh ye..

“Mas Akbar? Phytta pulang bawa martabak bantal kesukaan Mas Akbar nih!” seruku, meletakkan sebungkus martabak yang masih hangat di meja tempat kami biasa makan. “Oke. Ntar mas makan deh!” Mas Akbar balas berteriak dari kamarnya. Aku merebahkan diri di kasur tempat aku dan Mas Akbar bermalas-malasan sambil menonton televisi. “Fiuh,” aku menghapus keringat yang menetes dari dahiku.

“Itta, sholat dulu,” Mas Akbar mengingatkanku. “Tadi udah di musholla sekolah,” jawabku sambil berjalan ke kamarku. Aku bersiap-siap mandi ketika ada seseorang yang mengetuk pintu kos-kosanku dan Mas Akbar. “Biar aku yang buka,” kataku pada Mas Akbar yang asyik dengan notebooknya. Mas Akbar mengangguk padaku.

“Ya?” aku membuka pintu. “Hey, Itta,” sapa seseorang yang tadi mengetuk pintu. “Choco? Ayo masuk,” aku mempersilakan sahabatku itu masuk. “Oh, iya,” Rico mengikutiku. “Ayo duduk, nih ada martabak bantal spesial. Di makan, Ric,” kubuka bungkus martabak itu lalu kusodorkan pada Rico. Aku beranjak dari sofa untuk membuat minum, tamu harus dihormati.

Kuletakkan nampan berisi dua gelas es sirup dan sepiring kue kering. “Makan, Ric,” aku mengambil sepotong martabak. Rico ikut mengambil satu. “Tadi, Arka cerita ma gue kalau lo pacaran sama Gigan. Beneran nggak sih?” tanya Rico. Aku hampir tersedak mendengar itu. “Siapa yang pacaran sama Gigan? Ngaco deh, Arka itu. Tadi tuh gue emang diboncengin Gigan, tapi kita nggak pacaran kok. Lagian siapa yang suka sama Gigan? Lo kan tau kalau gue sukanya sama Marty,” jelasku panjang lebar.

Marty adalah nama samaran untuk Arka. Kenapa Marty? Aku ambil nama itu dari salah satu tokoh film animasi Madagascar dan nama tokoh di film Back To The Future. Madagascar, tahu kan? Itu lho, empat binatang dari kebun binatang di New York. Ada Alex si Singa, Melman si Jerapah, Gloria si Kuda Nil, dan Marty si Zebra. Marty itu tingkahnya konyol dan aneh, makanya aku dapat ide untuk nama samaran Arka dari situ. Memang mirip sih. Kalau Marty dari film Back To The Future itu adalah cowok sahabat seorang ilmuwan yang membuat mesin waktu. Menurutku Marty di film Back To The Future itu cute dan cool.

Rico manggut-manggut mendengar ceritaku. “Gue kira lo beneran jadian, makanya gue buru-buru kesini. Gue kira lo lupain gue, masa lo jadian gue nggak dikasih tau? Ternyata cuma salah paham,” kata Rico. Aku dan Rico tertawa bersama. Entah apa yang kami tertawakan. Kuteguk es sirup milikku, Rico meniruku.

Kami bercanda seru sore itu, ditambah humor segar dari Mas Akbar yang sesekali menyambung aku dan Rico. “Itta, besok malam minggu kita jalan ke mall ya?” ajak Rico. Itta merupakan panggilan sayang dari Rico dan Mas Akbar untukku. Lucu kan, nama panggilanku? Sebagai ganti, kalau aku sedang sayang sama Rico, aku panggil dia Choco. Karena dia suka sekali dengan yang namanya coklat. Mirip nama anjing temanku saja.

“Oke, Choco sayang,” jawabku geli sembari mencubit pipinya yang kemerah-merahan khas bule. Dia cemberut namun segera saja dia tertawa. Aku ikut tertawa. “Dasar gila,” Mas Akbar yang baru keluar dari kamarnya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kami. Tawa kami malah semakin keras.

****

Rico sedang memainkan topi kesayangannya saat aku masuk kelas. “Pagi, Choco!” ku tepuk pundaknya. Rico menoleh padaku dan tersenyum manis. “Pagi juga, Itta. Tumben amat lo berangkat pagi, biasanya balapan ama bel masuk,” kata Rico sambil nyengir. “Phytta gitu lho,” balasku sambil menepuk dada. Jarak sekolahku dengan kos-kosanku memang tidak terlalu jauh, jadi aku selalu nanggung kalau berangkat sekolah. Kadang sampai terlambat dan harus membuang sampah yang ada di sekolah karena hal tersebut.

“Hey, cari apaan?” sapa seorang cowok yang berdiri di belakangku waktu aku sedang mencari buku bacaan di perpustakaan sekolah. Rupanya Arka. Jantungku berdegup kencang, namun aku bisa menyembunyikan perasaanku dengan memasang muka ngapain-lo-tanya-tanya. “Gue lagi cari pupuk urea,” kataku pura-pura bete. “Ditanyain serius malah kaya gitu,” kata Arka agak sewot. Aku memicingkan mataku. “Oh, gue baru tau kalau lo itu bisa serius,” balasku sengit, pura-pura tentu saja.

“Ya, bisa lah. Gini-gini gue kan cowok, harus bisa serius dong,” kata Arka berwibawa. Aku kagum, baru sekali ini aku melihat Arka seperti ini. Aku tersenyum dalam hati. “Wah, udah mau masuk nih. Gue pergi dulu ya,” kutepuk bahu Arka seraya berjalan keluar. Di pintu perpustakaan, aku berhenti dan berbalik ke arah di mana Arka berdiri. “Gue seneng lo bisa serius kaya tadi, beneran,” aku tersenyum lalu segera berjalan cepat keluar dari perpustakaan, terlalu takut untuk tahu reaksi Arka.

****


1st Chapter oleh Faradienna Raushan Fikri
http://faradienna.wordpress.com

Read More ......

Thursday, August 13, 2009

Semua Karna Cinta

-

B A B 1


Waktu itu adalah pertengahan bulan Agustus, dan pagi hari masih penuh dengan kabut karena memang masih jam tujuh kurang. Terlihat cewek berambut hitam dengan gaya ekor kuda membawa ransel warna hitam berstrip merah dan ada pin bergambar karakter Bleach, Ichigo Kurosaki dan Rukia Kuchiki berlari dengan semangat. Dia berhenti tepat di depan pintu yang ada lambang di atasnya : X 2. cewek itu melihat kanan dan kirinya. Sesudah memastikan bahwa nggak ada orang sama sekali, dia tersenyum puas. Cewek itu mengambil satu kursi dan duduk di depan pintu.

Menit demi menit berlalu. Cewek ini sudah dilanda kebosanan. Dari duduk tenang, dia berdiri, dan duduk menyamping. Setelah itu dia berdiri lagi dan duduk menghadap punggung kursi. Masih tidak ada orang yang datang, dan kabut mulai menghilang.

Cewek itu mendengus keras, mengambil sapu dan mulai membersihkan lantai. Sambil menyanyi dan menari sedikit, dia menyapu lantai kelas yang penuh dengan debu sendirian.

“Astaga!!!” Seru seorang cewek dekat pintu. “Aku nggak salah lihat nih?! Rin menyapu padahal bukan waktu piketnya!!!”

“Norak,” jawab Rin, menatap cewek itu. Cewek yang hampir sama tinggi dengannya, dengan potongan rambut bob dan kacamata tanpa bingkainya yang lonjong. “Memangnya kenapa kalau aku nyapu kelas ini? Nggak boleh? Kamu saja yang kerjakan, Nova.”

“Lho, kok marah. Aku Cuma nanya aja. Rin yang dari dulu disuruh giliran piketnya kabur, sekarang dengan sukarela menyapu. Jadi curiga nih, jangan-jangan jangan-jangan...”

“Diem, cerewet!”

“Marah lagi. Bagaimana dengan masa MOS, paling cepat terlambat 5 menit kan?”

“Jangan ingatkan aku sama kegiatan konyol kayak gitu.”

“Apanya yang kegiatan konyol?” Terdengar suara cowok memotong obrolan dua cewek ini. Begitu mereka menoleh, terlihat cowok tinggi, berkulit coklat dan senyum yang ramah. “MOS kan gunanya supaya kalian nggak kaget tiba-tiba muncul di sekolah ini. Kalian jadi kenal sama sekolah ini.”

“Kak Ronald!” Seru mereka berdua serempak. Rin sepertinya shock, dan Nova langsung berlari menghampiri cowok bernama Ronald itu.

“Kak, kapan aku bisa jadi anggota OSIS?” Tanya Nova serius. Raut wajah Ronald terihat kebingungan.

“Gimana ya... rasanya agak susah...”

“Ron, jangan main-main! Kamu ini hobinya ngerjain orang saja.” Kata seorang cewek yang suaranya lembut dan senyumnya manis. Rambutnya hitam lembut dan panjangnya sebahu. Memakai bando warna orange, dan tubuhnya semampai.

“Nadine, kamu ini cerewet juga.” Kata Ronald kesal. “Kamu.... Nova kan, yang waktu MOS juga nanya-nanya?”

“Iya,” jawab Nova semangat. Matanya terlihat berbinar.

“Kamu ikut aja dulu rapat-rapat OSIS, soalnya ketua OSIS ini,” kata Nadine menunjuk Ronald.

“Nggak bisa diandalin.”

“Udah ah! Ayo kita ke kelas.” Kata Ronald meraih tangan Nadine dan pergi dari situ. Rin mendekati Nova.

“Siapa sih, cewek itu?”

“Lho, kamu nggak tahu?” Tanya Nova balik. Rin merengut.

“Kak Nadine itu Sekretaris OSIS. Dia itu idola para cowok di sini tahu nggak? Cantik, tubuh yang langsing dan tinggi, pintar, cekatan dan baik. Pokoknya sebagai cewek, sempurna deh!” Kata Nova lagi. Rin terdiam, kayaknya dia nggak suka dengan mereka berdua. Nova berpikir itu pasti karena Ronald yang menegurnya tadi. Rin kan nggak suka dikomentari.

Rin termasuk wajah baru paling populer di angkatan anak kelas 1. cantik, jago olahraga, gayanya cool, dan meskipun sering telat dan jarang belajar, nilainya selalu bagus. Itu semua kelebihannya dan selain sering telat dan jarang belajar, mungkin kejelekannya Cuma berjudi. Yap. Berjudi. Rin punya hobi berjudi dari kecil sampai dijuluki Dewi Judi. Dan dia mendapatkan gelar itu karena dalam berjudi, dia selalu mendapat untung dari menang kalahnya. Entah bagaimana bisa seperti itu.

Bagaimana dengan Nova sendiri? Bisa dibahas nanti, soalnya Nova pelit dalam berbagai sisi. Jadi kalau bertanya padanya dan orang lain, semua pasti sia-sia. Yah, mungkin bukan pasangan yang komplit, tapi mereka akrab. Sangat akrab, karena mereka saling mengerti dan tahu keadaan diri masing-masing.

“Jadi, rumahmu hari ini masih penuh bunga?” Tanya Nova waktu istirahat pertama. Muka Rin langsung kusut waktu dengernya. Nova tersenyum.

“Iya. Kenapa? Senang? Nggak peduli dengan perasaanku? Astaga...”

“Aku nggak bilang gitu kok! Tapi bukannya dia keren?” Kata Nova lagi.

“Nova, kita udah bahas ini berkali-kali dan kau sudah lihat wajahnya berkali-kali dan melihat tingkahnya berkali-kali dan... dan... dan kamu masih bilang dia keren sampai sekarang!!?? Apa sih, yang kamu liat dari Joe aneh itu?” Tampang Rin sudah mulai putus asa. Nova hanya bisa tersenyum. Senyuman misterius. Nova memang misterius.

“Ini sudah seminggu loh. Kira-kira dia bakal datang nggak ya? Jangan-jangan sudah pindah?”

“Mungkin. Kayaknya sih, udah pindah.”

“Jangan dong!! Kita aja belum lihat bagaimana wajahnya?”

Sebuah gosip yang menarik, tapi kita ngomongin soal apa sih? Cewek dan cowok itu begitu ngotot dengan pendapatnya masing-masing.

“Kamu nggak tahu? Wajar sih. Ada seorang murid yang sampai sekarang selalu absen di kelas kita. Sebenarnya nggak ada masalah dengan dia, tapi cowok itu penuh gosip. Ini semua karena guru-guru yang panik melihat absennya sampai sekarang. Ada yang bilang dia anak orang kaya, anak jenius, anak ini dan anak itu.” Jawab Nova waktu ditanya.

“Kalau Cuma dua hal itu gosipnya, kenapa semua murid jadi heboh?” Tanya Rin bingung. Dia mempermainkan sendoknya.

“Yah, dia nggak sekedar kaya. Tapi superduper kaya. Entah dia itu anak direktur perusahaan raksasa atau bahkan mungkin sebenarnya pangeran negeri antahberantah. Da kita bicara soal keuntungan berteman dengan orang superkaya, dan mungkin juga berkuasa. Uang bisa menggerakkan segalanya, kalau aku harus ingatkan kata dalam kamusmu.”

“Dalam kamusku, uang dicari dengan tangan sendiri. Kalau aku mencari uang dengan berteman, aku nggak mau dekat denganmu. Paling tidak, berjudi membuatku berpikir.”

“Berjudi itu tidak bagus. Seberapa besar keberuntunganmu kurasa nggak akan bisa menaklukan judi.”

“Judi bukan Cuma beruntung, honey. Itu membuatmu berpikir secara kalkulasi. Perhitungan yang tepat membuatmu nggak akan pernah kalah. Well, kalau misalnya taruhanku salahpun aku nggak rugi. Aku juga nggak memakai taruhan uang.”

“Kau nanti bakal kena batunya. Sekarang, kita masuk dulu. Bell sudah bunyi. Guru killer itu bakal masuk hari ini.”

“Guru Fisika? Yang benar saja.”

“Diamlah.”

Beberapa menit berlanjut. Semua orang dilanda kebosanan sampai waktunya mulai absen. Semua hadir kecuali... “Aryo? Aryo Dwiyanakusuma? Lagi-lagi tidak ada ya?” Guru mulai putus asa lagi. Rin cekikikan. Namanya kayak nama wayang banget. Orangnya kayak apa ya?

“Tidak ada suratnya pak! Alpa!” Sahut sekretaris.

“Tunggu!! Saya di sini pak!! Saya di sini!!” Teriak seseorang dari jendela. Semua orang terpana melihatnya. Di jendela lantai 3, ada seorang anak melambai dengan entengnya!!! Kayaknya dia memanjat pohon di samping sekolah dan memakai pondasi sekolah menuju jendela. Langkahnya ringan, dan berdiri tegap di hadapan pak guru yang sudah kena gejala serangan jantung.

Sesaat, Rin juga terpana. Tapi dia cepat menguasai diri. Tinggi, berkulit putih, berwajah tampan, sorot mata yang kuat dan ceria. Sepertinya dia orang yang cuek.

“Ka, ka, kamu!!! Kenapa masuk lewat jendela!!!??” Tanya pak Guru itu.

“Iya pak!! Eh, maksud saya... saya nggak bisa masuk gedung. Jadi saya masuk lewat jendela pak!” Jawab cowok itu.

Sekedar info, gedung sekolah ini adalah sekolah yang bentuknya segi empat dan mengelilingi lapangan besar. Nggak ada satupun jalan keluar masuk gedung kecuali pintu depan.

“Gotcha!!” Gumam Rin kesenangan. Nova langsung menangkap gelagat nggak bagus. Rin berjudi lagi?

“Judi? Nggaklah...” Jawab Rin. Mereka lagi dalam perjalanan pulang. “Nggak sempat. Aku Cuma bilang kalau anak itu bakal datang hari ini. Si Antok itu nggak percaya. Untung aja dia nggak taruhan, pasti dia kalah sekarang.”

“Darimana kamu tahu dia bakal datang hari ini?” Tanya Nova heran.

“Karena hari ini sudah seminggu. Anak itu pintar kan? Kurasa tidak akan bisa dia memperpanjang bolosnya dengan alasan ‘aku ditipu’ kalau lewat dari seminggu.”

Dengan kata lain, Rin juga nggak bisa memperkiran kapan sebenarnya si Aryo ini turun. Makanya dia nggak masang taruhan. Dasar Rin, apanya yang nggak sempat? Pikir Nova.

“Rin, kayaknya hari ini dia bakal datang. Si Joe itu.” Kata Nova mengingatkan.

“Bisa nggak sih, nggak nyebutin namanya sekali aja? Nanti dia da...”

“Aku datang!!! My honey!!!” Suara yang riang terdengar membahana. Kelopak bunga mawar berhamburan, dan muncul cowok dengan membawa buket bunga mawar yang besar!!!

Rin langsung diam karena shock, sedangkan Nova menantikan apa yang terjadi.

“Kau merindukanku, my honey?” Tanya cowok itu mendekat dengan gerakan yang genit. Rin serasa mau muntah darah.

“Nggak ada yang merindukanmu, dasar bodoh!!” Pukulan telak mengenai pipi Joe dengan mantap. Cowok itu terlempar dan sukses menghantam tanah.

“Rin!!! Tinjumu yang penuh cinta seperti biasa membuatku jatuh cinta lagi!!” Kata Joe di tengah kesakitannya.

“Dasar genit, narsis, brengsek, nggak ada kapok-kapoknya!!!” Rin benar-benar jengkel. Sepertinya kalau Joe berbuat sesuatu lagi, bakal di hajar habis-habisan.

“Sudah Rin, biarkan saja dia. Rumahmu sudah dekat kan?” Kata Nova.

“Nggak bisa!! Aku sudah capek!! Tiap sore dia selalu saja datang menghadangku dijalan dengan buket bunganya yang super besar itu!! Selalu saja ngomong sembarangan, kayak orang yang nggak punya otak, dan sekarang, dia bawa bunga mawar!!! Aku paling nggak suka bau mawar yang pekat!!! Kali ini, dia harus dihajar sampai ngerti!!!” Rin betul-betul sudah habis kesabaran.

“Kali ini beda, honey.” Kata Joe dengan nada serius. Rin mendelik, agak heran dengan perubahan mendadak dari Joe, si tukang lawak. Joe berlutut dihadapan Rin, dan menatap mata Rin tanpa berkedip seraya mengambil sesuatu dari sakunya. Sesaat, Rin merasa jantungnya berdebar karena itu. “Kupersembahkankan padamu, puisi cinta!!!”

BUMM!!! Hancur semua adegan penuh makna beberapa detik tadi!!!

Ambulans meninggalkan rumah besar, dan Rin bernapas lega memperhatikan ambulans itu menghilang di persimpangan jalan. Paling tidak, untuk beberapa hari, tidak ada bunga dan orang konyol seperti Joe.

“Walah, walah... kamu kirimkan Joe ke rumah sakit lagi? Baru seminggu yang lalu dia sembuh dari patah tulang gara-gara kamu tabrak sampai motor itu disita sama ayahmu.” Terdengar komentar seorang gadis di meja makan. Rin berusaha mengacuhkannya.

“Kak Hana... kalo denger gosip itu yang bener! Salah dia sendiri muncul tiba-tiba dengan kostum aneh dan balon warna-warni!” Kata Rin membela diri. Sepupu Rin yang sudah kuliah semester 4 itu hanya tersenyum.

“Dia itu serius, Rin. Dia betul-betul suka sama kamu meski kalian awalnya dijodohkan. Nggak rugi berteman dengannya.”

“Kenapa sih, semua orang membela si norak itu! Kenapa nggak kalian aja yang dijodohkan dengan dia!!” Gerutu Rin kesal.

“Itu artinya kamu nggak kenal Joe, Rin. Cobalah berteman dengannya, dia baik kok. Kalian mungkin soulmate yang sudah ditakdirkan dari dulu.” Kata kak Hana lembut. Sama seperti Nova, senyum kak Hana penuh arti.

“Soulmate?” Ulang Rin heran dengan nada meremehkan. “Mana ada yang seperti itu? apalagi kalau dengan si norak Joe.”

Rin masuk ke kamar, meninggalkan kak Hana yang kebingungan. Yah, sepertinya Rin seorang anak gadis tomboy, cool, dan nggak ada sisi feminimnya sama sekali. Dia sama sekali nggak percaya dengan yang namanya cinta. Padahal, semua sependapat kalau dulu Rin itu anak yang manis. Sejak dia diganggu Gerombolan Siberat, eh, preman smp, Rin langsung belajar beladiri dan menjadi anak yang tangguh dan mandiri.

Rin dan Aryo ternyata piket membersihkan kelas. Sebenarnya ada lima orang, tapi 3 orang lainnya tidak bisa datang, dan baik Rin dan Aryo sudah dapat peringatan. Mereka kali ini nggak bisa mangkir. Rin mengerjakan tugasnya dengan penuh semangat. Dia kepengen cepat pulang, karena nggak ada Nova yang nemenin dia pulang, dan Rin punya firasat bakal terjadi hal gawat kalo tetap bersama cowok bernama Aryo itu. Setelah memastikan semuanya beres, Rin dan Aryo mengembalikan buku ke perpustakaan.

Aryo bersiul-siul kencang. Sepanjang pengamatan Rin, Aryo si anak superdung yang kaya ini, kelakuannya betul-betul cuek. Kurang ajar sama guru, seenaknya, suka ngegodain orang. Pokoknya nggak beres.

“Loh, Rin. Sendirian?” Tanya Nadine begitu melihat Rin di perpustakaan.

“Eh, nggak. Ada si Aryo di luar. Dia katanya nggak suka masuk perpus.” Jawab Rin gugup. Ronald yang bersama Nadinepun langsung menoleh begitu melihat Rin yang datang.

“Mana Nova? Biasanya kalian pulang bareng?” Tanya Ronald.

“Dia nggak bisa, sudah dijemput keluarganya. Ada acara katanya.” Jawab Rin kaku. Ronald meneruskan pekerjaannya. Nggak ada orang lain selain mereka di perpus.

“Oh gitu. Ya sudah. Taruh aja buku-bukunya di meja resepsionis. nanti aku dan Ronald yang membereskannya.” Kata Nadine memasukkan sesuatu ke kantongnya.

“Hah? Aku juga?” Tanya Ronald nggak percaya. Nadine mendelik, Ronaldpun terdiam.

“Apa? Mau protes? Kan kamu udah janji mau temani aku sore ini.” Kata Nadine setengah mengancam. Ronald mau protes lagi.
“Aku pulang dulu.” Potong Rin tiba-tiba. Tanpa banyak berkata dia langsung berlari keluar. Begitu keluar, terlihat Aryo yang sudah mengambil tasnya.

“Ayo, kuantar pulang.” Kata Aryo dingin.

“Hah?”

“Sudah mau sore, nih.” Kata Aryo. “Memangnya kamu mau pulang sendirian sore-sore begini? Biar kuantar, supaya bisa lebih tenang.”

Rin agak ragu, tapi lalu tangannya ditarik paksa. “Aku Cuma piket berdua denganmu hari ini,” kata Aryo. “Kalo ada apa-apa, aku pasti yang ditanyai.”

Akhirnya Rin menurut. Dia langsung naik ke motor besar yang dikendarai Aryo, sesuatu yang nantinya akan disesalinya.

* * *

Setelah berada di kamar mandi selama berjam-jam, dengan suara yang bakal membuat orang nggak bisa makan, Rin ambruk di tempat tidurnya. Mengingat kembali bagaimana liarnya Aryo mengendarai motor, membuat Rin kembali mual. Rin merasa rohnya masih tertinggal di sekolah gara-gara itu. Laju nggak tanggung-tanggung, menyelip sembarangan, dan nggak melewatkan lampu hijau sedetikpun!!! Memangnya lagi balapan F1?!

Tapi yang membuat Rin heran, adalah pertanyaan Aryo sesudah mereka sampai di rumah.

“Nadine bareng Ronald di perpustakaan ya?”

“I, iya.” Jawab Rin gemetaran, pijakannya lambung.

“Terang aja sih, hari ini kan mereka piket di perpustkaan.”

Ngapain si Aryo repot-repot masalah piketnya kak Nadine? Dia Cuma panggil nama, nggak ada tambahan kaknya. Dia juga ngotot nggak mau masuk perpus. Apa yang dihindarinya? Pikir Rin bingung, sampai dia teringat kejadian di perpus tadi.

Jangan-jangan...

Kita bahas masalah itu nanti, soalnya sekarang ada bom waktu yang mau meletus.

Di pagi hari yang cerah, menjelang siang yang panas, bertebaranlah anak-anak SMU yang beristirahat. Ada yang di kelas, duduk-duduk di koridor, dan di kantin. Seperti Rin yang lagi asyik minum, tiba-tiba dikejutkan segerombolan cewek-cewek yang langsung memenuhi kantin.

“Rin!! Rin!! Ada berita heboh!!!” Teriak mereka. Rin langsung kesedakan. Untung aja ada Nova yang menolongnya. Setelah sukses mengatur napas, Rin bertanya pada cewek-cewek itu.

“Tiba-tiba ada orang-orang yang masuk ke sekolah ini bawa spanduk, kamera TV, karangan bunga dan macam-macam lagi!!”

“Terus apa hubungannya denganku?” Tanya Rin. Firasatnya makin jelek aja hari ini.

“Soalnya di spanduk itu ada namamu!!!” Jawab mereka serempak. Terdengar suara soundsystem yang bergema di sekolah. Rin langsung berlari ke luar.

Ternyata benar. Joe, sudah keluar dari rumah sakit. Setelah beberapa hari nggak kelihatan dan terhapus dari memory Rin, muncul dengan kehebohan!! Spanduk pink dengan tulisan besar “I LOVE YOU” norak dengan nama Rin, karangan bunga lagi, dan sekarang Joe dengan micnya yang luarbiasa ribut, bertambah nyaring begitu melihat Rin.

Wajah Rin benar-benar merah padam. Bingung dan malu. Bingung karena terlalu mendadak, malu karena semua orang melihat dia (masih ingat, lagi istirahat gitu loh). Semua koridor penuh dengan anak-anak yang antusias melihat tayangan live yang menyatakan cinta ini.

“Apa-apaan sih, kamu Joe!!! Norak tau!!!” Marah Rin mendekati Joe.

“Apa boleh buat. Waktu kudengar kamu bersama cowok lain, aku nggak bisa tenang. Kelihatannya dia cowok di sekolah ini. Jadi, untuk memastikan semua orang tahu kalau aku benar-benar suka, aku merencanakan ini. Lihat, bahkan aku membawa kru kamera.”

Bodoh, stupid, idiot!! Bikin malu!! Rin luarbiasa marah, apalagi mendengar riuh penonton yang bersorak di sekelilingnya ini.

“Aku nggak bisa!! Sudah kubilang ini mustahil!! Aku nggak suka sama kamu!!!” Teriak Rin, supaya semua orang denger.

“Tapi kamu juga nggak suka orang lain kan? Aku masih ada kesempatan!!” Teriak Joe yang langsung disambut gemuruh tepuk tangan.

Rin terjepit. Tapi pandangannya beralih. Tampak Ronald datang dengan susah payah untuk menenangkan suasana. Rin langsung mendapat ide gila!!

“Aku sudah punya pacar.” Kata Rin memelankan suaranya. “Dia pemalu, jadi kami merahasiakannya selama ini.”

“Apa?!” Teriak Joe menggema melalui mic. Semua orang berbisik, tidak mengerti apa yang terjadi. “Si, siapa?” Tanya Joe. Dan Ronaldpun semakin mendekat.

“Aku nggak mau buat dia malu. Lihat saja apa yang kulakukan, dan kau pasti ngerti!” Bisik Rin. Ronald sudah berada di antara mereka.

“Hey, kau...”

“Lihat!” Seru Rin meraih lengan Ronald. Semua orang terdiam, Joe juga. Rin memeluk lengan itu erat-erat. Joe lemas dan terduduk. “Sudah ngerti kan?”

“Apa-apaan kalian ini.” Kata Ronald meraih lengan Joe, membantunya berdiri. “Kamu dapat ijin dari siapa sih, bikin gempar sekolah saja. Ayo ikut ke ruang kepala sekolah dan jelaskan semua!” Ronaldpun menggiring Joe pergi. Rin masih memeluk lengan itu. Rin tertegun.

Kak Ronald bersama Joe ada di sana. Terus... lengan siapa yang kupeluk ini?

“Mau sampai kapan meluk-meluk lengan orang?” Tanya suara jahil yang paling dibenci Rin. Ternyata... lengan Aryolah yang dipegang terus dari tadi!!

Gosip tersebar luas... rupanya ada yang mendengar percakapan hari itu, dan membuat pusing Rin tujuh keliling.

“Wah... nggak tahu ya. Gara-gara Joe bilang kamu sama cowok lain, dan kamu yang meluk-meluk lengan cowok itu sembarangan, makanya semua orang berasumsi begitu.” Komentar Nova yang nggak membantu. “Tenang aja, Joe itu kan cowok yang pantang menyerah. Nanti dia pasti kembali lagi. Dan kalau waktu itu kamu terima, kamu bisa bebas dari gosip ini.”

“Kamu itu... menghibur atau mengancam sih?” Tanya Rin jengkel. Dan itu belum seberapa.

Rin baru tahu, kalau ternyata Aryo itu anggota OSIS yang paling beken, kedua setelah Ronald. Meskipun tidak aktif, Aryo sudah terbiasa menggantikan Ronald disaat darurat, seperti anggota bayangan. Pantas saja waktu itu Aryo ikut bersama Ronald. Dan... itulah mengapa, nyawa Rin jadi terancam.

“Mungkinkah kalau idolanya preman, penggemarnya juga preman?” Tanya Rin. Nova menggeleng, nggak tahu. Rin dihina-hina, dapat surat ancaman, dikerjain, dan masih banyak lagi! Penggemar Aryo sadis ih!

“Aryo!! Kamu harus tanggungjawab ini!!! Masa punya penggemar sadis semua!!!” Protes Rin begitu ada kesempatan. Sehabis pulang sekolah, Rin menyeretnya ke halaman dekat perpus. Halaman angker yang penuh dengan pohon-pohon tua dan besar. Nggak ada yang di sana kalau sudah sore. “Kamu tahu, sudah beberapa hari ini aku hampir tertimpa barang dari atas, ditabrak motor, di dorong ke tengah jalan, itu semua kerjaan penggemarmu tahu!”

“Apaan? Bukannya kamu yang meluk-meluk lengan orang?” Tanya Aryo balik.

“Tapi kan awalnya gara-gara kamu mengantarku waktu itu!”

“Itu kan Cuma...”

“Cuma apa!! Kenapa sih, aku harus jadi korban kejahilan penggemarmu, padahal kamu suka cewek lain?”

“Sama siapa?”

“Kamu suka sama kak Nadine kan? Kamu ngantarin aku karena disuruh kak Nadine kan? Pantesan aneh, orang kayak kamu yang biasanya cuek bebek mau ngantar sampai begitu ngototnya. Begitu pulang, tanya-tanya soal kak Nadine segala. Kamu waktu itu ngotot nggak mau masuk kelas gara-gara nggak mau liat kak Ronald kan?”

“Kau!!”

“Kak Ronald itu meskipun supel dan ramah sama semua orang, nggak pernah ada cewek yang sanggup dekat dengannya karena dia nggak pernah niat pacaran. Cuma kak Nadine aja yang akrab dengannya sampai sekarang, makanya kamu...”

“Jangan cerewet!! Kamu sendiri, sebenarnya suka sama Ronald kan?” Balas Aryo memotong kata-kata Rin yang seketika jadi kaku.

“Kamu... jangan sembarangan...” Kata Rin gemetaran.

“Aku tahu semuanya.” Kata Aryo tersenyum penuh kemenangan.

Ba... bagaimana berandal ini bisa tahu?!!! Jeritan batin Rin yang malang, tidak bisa berkelit lagi.

* * * *


1st Chapter oleh Y.E. Bungan Margaret

Read More ......

Monday, August 3, 2009

Detektif 17 tahun

-

Di suatu malam yang sepi, ada seorang anak remaja sedang berjalan menelusuri jalan yang penuh dengan kegelapan. Tiba tiba ada seseorang yang bertubuh ceking dengan ekspresi bagaikan orang habis ditabok seribu mak mak kehabisan sale di supermarket. Tiba tiba ia menyapa,

“eh sini bagi duit, bandel loe ye malem malem kelayapan!!! Dasar tuyul, sini serahin dompet loe!!!”

“ampun bang….ampun”

dalam hati anak itu berkata “mampus mana nih pasukan? katanya siap siaga, siap kentut iya. Udah dompet gw ketinggalan lagi EBLE EBLE dah kalo gini”

langsung preman itu menghentak “binatang loe!! Mane!! Apa mau gua gibeng”.

(karena memakai bahasa yang terlalu formal itu sangat tidak keren dan membosankan maka sehabis ini formatnya diganti dari formal ke informal)

“toneng,toneng,toneng” suara mobil polisi mendekat. (suara mobil polisi apa mobil jenasah ya???*^%$&)

“Angkat tangan!!!”

Akhirnya datang juga tuh pasukan polisi dari divisi 78….langsung aja gw keluarin pistol gw (Ciieehhh pistol megang pisang aja lepas)

Gw bilang dah “diam di tempat”

Eh premannya jawab “eh elo masih kecil aja sok sokan nodong pake pistol! Mainan aja dikira ga tao…”

“berisik loe!!!” langsung dah gw pukul perutnya biar muntaber sekalian.

“mampus loe, ga tau siapa gw sih bwahahaha!!! ” langsung deh gw laporan sama kepala operasi di tempat.

“lapor pak!! Kondisi sudah terataskan….satu dari banyak preman yang rajin beroperasi disini bisa ditangkap”

Eh gua sampe lupa jelasin nama gua sendiri. Nama gua Aji (ga perlu tau nama lengkap gw dah terlalu Basa basi). Gw kerja di kepolisian bagian detektif, dan dengan bangganya gw adalah salah satu detektif yang paling jago dalam penyamaran BWAHAHAHAHA!!! Kenapa?? Karena walaupun gw sekarang berumur 37 tahun, tampang gw masih kaya 17 tahun (jadi masih bertampang polos dan imut imut hehehe). Tapi sayangnya pekerjaan gw juga banyak deritaannya. Jadi inget dulu waktu investigasi kasus “penyerangan banci terhadap remaja” bah gw disuruh nyamar di jalan yang banyak bancinya. Kagak ngeri ape, mending gw ditabokin Bapak, Ibu, Bapak, Adik, Bapak, Kakak, Bapak, Nenek, Bapak, kakek, Bapak, Nenek dan kakek moyang dah daripada ditampar banci.(kayaknya cukup banyak pengalaman ditampar bapak) Terus belom lagi kasus tawuran antar sekolah, bah malahan ujung ujungnya gw bingung malah ikut tawuran (daripada digebukin dua belah pihak). Tapi di setiap hal yang ga enak pasti ada yang enak. Kaya waktu gw lagi investigasi jadi murid di salah satu sekolah, kalo gw lagi suka sama cewek disitu, gw pacarin deh hehe (never ending young deh haha). belom lagi kaya pengalaman dulu waktu ngerokok di WC, nyolong contekan, bolos sekolah, pokoknya the best dah. Yang jelas gw enjoy aja dengan kehidupan gw yang sekarang ini. Gw selalu berdoa “ya tuhan, terima kasih atas wajah yang imut imut ini ya tuhan. Semoga wajah saya yang sangat special ini tetap dapat membantu membahagiakan hidup saya. AMIN”. (doa itu ga boleh munafik)

Cukup buat background gw, sekarang kembali ke cerita. Setelah peristiwa penangkapan preman itu berlangsung, gw langsung dipanggil buat menghadapi atasan di kantor. Langsung deh dengan motor bebek gw beraksi (kenapa motor bebek?? Kerenan dikit kek….jawabannya, karena kebanyakan anak SMA orang tuanya pada pelit….anaknya dikasih motor gembel alesan masih baru punya kendaraan dan karena gw suka nyamar jadi anak SMA jadi gw kebagian deh naik motor beginian) setelah gw sampe di tempat, langsung deh buru buru naro helm, naro jaket langsung deh ke lantai dua tempatnya si bos garong (maksudnya bos gw yang mukanya hidung belang hehehe)

“tok tok tok” gw ketuk pintunya.

“masuk”

“Detektif Aji siap menerima tugas baru!!” dengan tegas perkasa gw bilang (walaupun males gw…Jujur)

“ Gini Ji, kita dapet laporan kalo ternyata di SMA Mentari Terbenam (sekolah elit ceritanya) ada seorang anak penjual narkoba terbesar di Indonesia dan buronan polisi nomor.1”

Dalam hati gw ngomong “hehehe lama ga kembali ke sekolah lagi udah 5 bulan, tapi berat juga ya selidikin anak mafia… Setan kambing guling!!”

“nah ini tugas kamu sebagai detektif yang sudah lama kami andalkan di bagian penyilidikan. Kebetulan identitas anaknya pun belum diketahui, sepertinya ayah dari anak itu sudah menyogok bagian sekolah untuk tidak buka mulut. Yang jelas nama ayah dari anak itu adalah Prajoko Subowo. Kasus ini pemerintah pun ikut ambil bagian, mereka menyiapkan dana yang cukup besar untuk saya minum kopi…eh eh maaf maksud saya membantu kasus ini. Mulai besok kamu akan tinggal di tempat mewah yang tadinya rumah dinas pejabat dan diberikan satu unit motor sport imprott (ya ampun ngeja import aja salah)

Wah wah keren neh bisa tinggal di tempat mewah dapet motor lagi hehehe, bebek selamat tinggal. Wah gw harus makasih neh ma si bos garong “Baik pak, siap laksanakan!!! Dan terima kasih atas kepercayaan bapak terhadap saya”. Langsung gw menuju pintu keluar sambil senyum iblis dikit hehehem.

Baru aja keluar tujuh langkah, eh gw ketemu cantik a.k.a bunga mawar polwan. Gw heran nama cantik tapi polwan ya membingungkan. Langsung deh nyapa gw:

“woii JI!! Gimana tugas loe kemaren?? Gw kira mampus loe digebukin preman”

“wossettt gw hahahaha anak dewa gini mana bisa gw disentuh manusia kaya begituan”

“dewa apaan loe!!! Dewa tuyul” (disini pada manggil gw tuyul karena tampang gw masih kaya anak kecil)

“cerewet banget sih lo! Bilang aja kangen dengan getaran asmara gw hahaha”

“Sial loe, tuyul aja budak dukun hahaha!!! Eh Ji laper neh gw makan nasi uduk bu Perez yuk”

(kenapa namanya bu perez??? Karena ibu2nya ngefans ma Julia Perez”

“eh sialan loe nyuri garis kalimat gw yang sangat keren…..makan nasi uduk yuk”

“ah cerewet lo yulll!!! makan yuk ah”

“ok lah, siapa takut emang gw monster takut keluar”

Ngomong ngomong, sebenernya gw dari dulu suka ma cantik, tapi gara gara gw udah temenan lama dulu sama dia bahkan dari kecil (jamannya ga tau bedanya cowok ma cewek) jadinya gimana yah. Susah deh….dari dulu kalo salah satu dari kita ada masalah ya saling bantu, dari masalah pekerjaan sampe masalah pribadi. Dia gabung di kepolisian setahun lebih muda dari gw jadi bisa dibilang gw seniornya dial ah hehehe. Sebenernya ada alas an kenapa dia gabung di kepolisian. Orang tuanya tewas sama kriminal pada waktu rumahnya dirampok. Dia salah satu orang yang selamat karena sewaktu itu dia lagi dirumah neneknya. Gw jadi inget waktu dia pertama kali tau tentang orang tuanya tewas, pada waktu itu dia main kerumah gw pamerin boneka hadiah dari ibunya gara gara dapet rangking di kelas. Dia dianterin neneknya yang sehabis itu berbincang bincang serius dengan orang tua gua. Diem diem sehabis kita main diatas kita diem diem dengerin di tangga deket ruang tamu. Ternyata neneknya cantik ngomong kalo orang tuanya cantik udah tewas. Langsung dia buru buru kembali kerumahnya, waktu itu gw ikutin dia gara gara takut kenapa napa. Setelah sampe rumahnya dia liat ada mobil ambulance dan polisi sedang mengangkut jenasah. Langsung cantik berlari menorobos polisi walaupun dilarang untuk mecari tau siapa dibalik kain putih itu….setalah dibuka dia terkejut setelah tau bahwa itu adalah orang tuanya sendiri. Dan dari situ gw liat bonekanya yang tadinya dia pegang erat jatuh dengan seketika. Sampe sekarang ga ada satu orangpun kerabat cantik yang nanya soal background orang tuanya, karena udah gua kasih tau supaya jangan buat dia sedih lagi. Sungguh sangat menyedihkan, gw janji bakal nemenin dan buat dia seneng terus, gw pingin jadi boneka yang dulunya bisa buat dia tersenyum.

Kembali ke cerita, di warung bu perez tempat gw dan cantik makan siang bareng. Oh ya, warung bu perez ntuh udah beroperasi dari dulu di samping tempat gw kerja jadi bisa diartikan termasuk keluarga kepolisian deh. Tempatnya sih rame kebanyakan juga kalo enggak polisi supir taxi yang makan, tempatnya yah sederhana lah (namanya juga warung) tapi behh kualitasnya makanan di hotel serasa makanan babi kalo dibandingin dengan nasi uduk special ala bu perez (kaya gw pernah makan di hotel aja, SOOOKK). Namanya dulu ganti ganti, dulu waktu jamannya Rhoma Irhama disukain namanya jadi bu Irama, waktu ngefans ma inul jadi nasi ibu daristha, sekarang perez ntar apa dah…ganti muluan. Dan yang unik lagi tuh, kalo makan disana suka diiringin lagu dandut remix euy (goyang bang hahaha). Udah ah gw laper balik ke cerita lagi. Akhirnya kita kedapetan tempat duduk (maklum rame jam makan siang). Langsung deh memesan makanan sambil berbasa basi ria…..

“bu, gimane bu usahanya makin rame aje nih…haha biasa bug w ma cantik pesenannya nasi uduk special, yang punya saya tambain jengkol ma sambel yang banyak ya bu…oh ya, buat minuman….hmmm pesen soda sedih deh bu haha ”

“yoi mas, hehehe iya dong siapa dulu yang jual BU PEREZ bu suharti mah ga ada apa apanya hahaha….ada ada aja mas mas soda sedih mana ada atuh, aneh pisan….ada juga soda gembira haha”

“bahh kumaha atuh, ya saya taulah Cuma ada soda gembira….just kidding…hehe yang cepet ya bu laper neh haha”

“sippppp mas!!”

Sambil nunggu gw ngobrol ngobrol deh ma si cantik

“tik”

“oy…napa??”

“loe gimana tadi ngatur jalan waktu lampu merah rusak di jalan bulungan indah?”

“yah biasa lah, Cuma kesel aja mentang mentang muka gw cantik secantik nama gw yah biasa ada om om resek ga tau diri suka godain gitu lah, belom tau aja gw sabuk item”

“hahaha derita loe itu sih hahaha” tiba tiba ada tangan yang menggumpal mengenai pipi gw yang imut imut….

BRAKKKKKK (tinjuan kekesalan cantik yang mengenai gw sampe terpental dari kursi)

“waduh sakit tau, dari kecil loe demen banget mukulin gw hahaha”

“rasain loh, lama lama hidungloe gw tonjokin sekalian biar kaya babi!!!.....eh gw denger denger loe dapet tugas baru ya suruh ngawasin anak anak di sekolah elit….tapi apa ga bahaya, elo kan bahasa inggris nya Cuma bisa YES ma NO aja”

“wosseettt, jangankan bahasa inggris sekarang bahasa binatang aja gw kuasain bwahahaa loe lupa siapa gw…..gw kan anak dewa, apa sih yang ga w bisa….btw, kok loe bisa tau??”

“siapa dulu dong, cantik!! Hahahaha dapet informasi dari cowok cowok di kepolisian mah urusan kecil haha….enak dong lo?? gw denger bisa tinggal di tempat mewah ma dipinjemin motor keren. Padahal dari dulu pemerintah ga segitu ikut campur tangan deh, apalagi keluarin segitu banyak dana buat ni kasus.”

“ hahaha iya lah terserah loe, tau deh yang cantik cuit cuit dah. Tapi kayaknya kali ini kasusnya bakalan susah….gw mana tau pergaulan elit kaya gimana, dari dulu gw disuruh selidikin kebanyakan SMA negeri paling pol swasta itupun juga ga banyak beda, belom cara gayanya dan cara bicaranya…..bah ribet pisan euy, apa kate mak gw ntar ya??? gw bisa tinggal di tempat mewah hehehe walaupun Cuma bentaran sampe kasus selesai.”

“derita loe itu sih hahahaa….gw cuma bisa bilang SEMOGA SUKSES dan jangan lupa traktiran terus menerus haha…tapi soal anak pengedar itupun masih misterius, kepolisian berusaha nyari data ga ketemu ketemu bahkan sudah diselidikin secara mendetail.”

“tik gw heran deh, loe polwan doing kok bisa tau banyak informasi hahaha jadi detektif aja loe sekalian.” (gw yakin sebagian yang baca juga bingung, tapi siapa peduli hahaha.)

Akhirnya nasi uduknya udah jadi ditambah soda sedihnya hehe. Sip deh gw ma cantik makan dulu hehe. Setiap gw makan ada aja orang yang aneh aneh cara makannya, ada yang makan sambil ngerokok (makan dulu atuh baru ngerokok), ada yang makan lauknya duluan sampe abis baru nasinya dan ada juga yang kebalikannya, ada yang makan kaya ga niat (makanan kayaknya diutak atik aja), ada yang makan sambil main sms (neh polisi lebay banget udah gede mainnya smsan mulu….sambil makan lagi). Kalo gw mah ga usah ditanya, makan sebersih nyuci piring dan dengan kecepatan turbo bwahahaha!!!

Setelah gw makannya selesai gw siap siap kembali ke rumah gw, mesti siap siap kemas kemas buat besok. Sambil naik motor bebek gw (sekalian pamitan buat besok ma motor gw ni) menerobos kemacetan di daerah metropolitan ini. Waktu gw dijalan kadang kadang sering banget gw liat kriminalitas dimana mana. Ada bapak bapak, anak anak, ibu ibu, ataupun cewek remaja. Waktu itu gw denger “TOLONG!!!” eh tapi dari bapak bapak….sayang banget gw lagi keburu buru jadi ga gw tolongin deh. Sampai akhirnya gw udah mau nyampe rumah eh tiba tiba ada suara “TOLONG!!!” kali ini bah yang minta tolong cewek cewek SMA baru pulang sekolah kayaknya. KURANG AJAR!!! Langsung deh gw ambil slayer merah gw, gw iketin di leher biar kaya superhero hehehe dengan helm tertutup. Sehabis motor gw gw umpetin (maklum motor jelek, ga kaya satria baja hitam….belalang tempur) langsung deh gw siap beraksi.

Oh ya mungkin kebanyakan dari pembaca mau nanya, kenapa gak langsung aja hajar?? Yah karena gw asset kepolisian yang sangat berharga. Identitas gw ga boleh ketawan sebagai polisi kecuali di daerah kepolisian itu sendiri. Makanya gw sok belaga jadi superhero kadang kadang. Membela kaum yang lemah dan blablabla…..gua ga senaif itu kali hahahaha. Lanjut deh, akhirnya gw nemuin abang abang sate yang lagi kipas kipasin satenya gw bilang aja:

“bang, ni 10.000 tolong kipasin sampe asepnya banyak bang!!” (abang satenya bengong gitu tapi diturutin deh dikipasin asap yang banyak.”

(Hehehe, akhirnya special effect yang sangat keren tercipta untuk pembukaan)

Lanjut lagi ke cerita, gw udah siap jadi pahlawan kesiangan. Di dialog ini kriminalitas atau pelaku gw namain “binatang”

Binatang: sini deh, siang siang gini masok jalan jalan keluar…panas kan mendingan sama abang abang ni ke tempat sejukan gini. (sambil mengeluarkan pisau)

Betina remaja: ah apain sih TOLOONNNGGG!!!(kok naskahnya rada lebay ya)

Tiba tiba ada asap yang mengumpal secara misterius (kok rada bau sate ya) sambil seseorang memakai helm hitam dan jaket kulit hitam dan tidak lupa kain di lehernya yang bergerak mengikuti angin keluar dengan gagahnya…

Pahlawan: STOOOPPPP!!!!!

Binatang: siapa KAMU!!!!

Pahlawan: dimana ada kriminalitas di kegelapan, ada matahari yang menyinari…..SAYA ADALAH uhuk uhuk (sial bau asapnya nyengat banget) SAYA ADALAH PAHLAWAN KE..SI..YA..NGAN.

Pahlawan kesiangan: ibu pernah berkata “bagaikan singa yang hanya berani dengan kambing” artinya: kaum kuat yang hanya berani dengan yang lemah. Sangat tidak jantan…..BINATANG MATI KAMUU!!!!

Binatang: SIni maju kamu pahlawan kesiangan bwahahaha!!!

Dengan cepatnya, pahlawan kesiangan melompat sambil berputar bagaikan burung dara baru dilepas dari sangkarnya. Terjangan demi terjangan dari musuh tidak hentinya menghadang. Tetapi pahlawan kesiangan menangkis terjangan demi terjangan dengan jurus “Taman Lawang”. Dan sampai akhirnya pahlawan kesiangan mengeluarkan skill terakhirnya yang sangat dahsyat “Pukulan muntah berak” (BWAWAWAWAWWWW)langsung semua binatang pada kacir setelah perutnya ditonjokin…(gua jamin tuh kena muntaber bwahahaha)

Pahlawan kesiangan: Selama matahari di siang hari ditutupi oleh polusi kejahatan….kebenaran harus ditegakkan…..saya adalah pahlawan kesiangan.

Langsung cewek cewek SMAnya pada terpaku paku sambil bilang “makasih, pahlawan kesiangan keren deh” sambil diciumin helm gw bwahaha. (Ternyata sudah jam 3 sore mampus!!! Mesti siap siap neh)

Pahlawan kesiangan: kalian berhati hatilah dijalan, kejahatan bukan muncul karena ada kemauan tetapi karena ada kesempatan WASPADA, WASPADALAH!!!! (sambil gua lari cepet ngacir ambil motor sambil ganti kostum)

Akhirnya sampe dirumah juga haha cape gila hari ini. Langsung deh gw menuju kamar gw setelah markirin motor, nggak lupa gw ngasih makanan ke tikus tikus gw hehehe (bukan tikus putih….tikus item). Neh Kiki Momo, makanan special (sambil gw tarok makanan basi dikasih temen gw yang kerja di supermaket . Gila udah makin gede aja y aloe pade, untung aja loe diketemukan oleh orang yang sangat keren dan baik hati kayak gw….kalo enggak gw bebasin loe bedua dari lem tikus, udah dilindes mobil loe dijalan sama kaya keluarga apa temenloe. Coba mana ada yang mau pelihara tikus got di rumah, ada juga orang pada ngeluarin dari rumah.

Gua bentar lagi kayaknya mau pindah rumah neh, tapi kayaknya gw ga bisa bawa kalian deh. Maklum tinggal di rumah mewah, mana mungkin ada tikus got di rumah mewah. Jadi habis ini kalian gw bebasin yah, ati ati nanti kalo dijalan. Kalo mau rampok makanan jangan di rumah rumah, di supermarket tuh yang banyak tempat ngumpetnya hehe. Sedih juga ya, gw ninggalin tuh dua tikus. Ga tau kenapa, gara gara mereka hidup gw jadi rame aja. “cit cit cit cit cit, ngedubrak..ngedubruk” udah dua bulan gw pelihara kalian. Udah segede bagong hahaha….ga kebayang neh tar pindah rumah, namanya rumah besar dan mewah mana ada suara suara alami lagi, jadi sepi deh.

Barang apa aja ya yang gw bawa, pakaian udah, celana udah, Helm dan Jaket sakti gw juga udah….kok kayaknya ada yang lupa ya….apa yah….oh ya ROKOK SAKTI...

(DIOBOK OBOK, AIRNYA DIOBOK OBOK ZEETTTT ZEETTTT) ringtone hape gw tuh tanda ada panggilan. Siapa ya lagi sibuk gini telpon, woeeh bos garong.

“Iya pak”

“Ji, cepat ke Elite mall sekarang!!”

“ada apa pak”

“sudah datang saja, persiapan segala macem ntar aja selesain”

“siap pak!!” (wah gw ga tau neh maksudnya apa, langsung aja deh gw berangkat ke sana)

Setelah nyampe kesana, eh ada si cantik ma si Bos. Kok tumben ga pake seragam sama ga ada pasukan ada apa ya.

Aji: siap pak!! Ada apa bapak memanggil saya untuk kesini?

Bos Garong: haha karena kamu besok sudah dalam penyamaran, kamu boleh pilih pakaian apa saja yang kamu suka. Dan cantik di sini akan membantu kamu memilihkan pakaian.

(dalam hati cantik “males banget, dapet kagak…repot iya. Kenapa coba bukan yang lain”)

Bos Garong: dan ini ada beberapa majalah pesyen anak muda masa kini (pesyen….?? Fashion kali) silahkan cek dulu pakaian apa yang lagi ngetrend dan cocok untuk anak pelajar ekonomi menengah keatas.

Aji: terima kasih pak!! Yuk tik cabut kita!

Setelah pergi meninggalkan bapak garong, gw ma tika duduk dulu di café sambil baca majalah.

“tumben loe bisa nongkrong di café” (Cantik ngejek)

“hahaha sekali sekali ah, telaktiran gw juga neh hehehe ga papalah mahal…..apa ga kebanyakan duit segini buat pakaian, palingan satu pakaian 15.000”

“busset…loe kira tempat pasar tempat loe beli pakaian harganya segitu”

“bah tenang aja kali, duit segini mah ga gampang abis (yang dimaksud 5 juta). Tapi ngomong ngomong, pemerintah niat banget ya sampe buat pakaian aja sampe ada dana 5 jutaan. Bukannya lagi krisis ekonomi juga ya”

“ ah elah loe, dapet untung malah protes!! Enak loe bisa beli…nah gua ngecez doing disini. neh majalahnya yuk kita liat ” (ada lima majalah disitu, loh kok ada majalah syur satu??? )

“tik, ni majalah syur kok ada disini. ya ampun loe mau goda iman gw”

“kurang ajar loh! Bukan punya gw tau, jangan jangan……”

(di waktu yang bersamaan, si bos garong lagi sibuk nyari sesuatu dirumahnya “majalah tadi kemana ya satu”)

Sehabis gw dapet ide pakaian apa yang gw beli, langsung deh kita cari pakaian di tempat tempat shopping. Gw beli banyak jaket, sepatu olahraga dan formal, jam tangan import macem macem deh hehe….seneng banget deh gw hari ini.

“oh ya tik??”

“napa?”

“gw boleh beli cerutu ga?? Cerutu kan juga gaya orang kaya”

“ENGGAK!! Loe kira beli cerutu penting apa buat anak SMA…bodoh lo!!” sambil jewer telinga gw

“ya maaf”

Sehabis itu gw jalan keluar deh dari mol, sambil bawa beberapa pakaian. Di jalan gw sama cantik juga ngobrolin sesuatu.

“ooi ji!!”

“nape??”

“bos tadi bilang ma gw, kalo mulai besok gw ga bisa sering ketemu lo”

“kenapa?? Dari dulu perasaan selama penyelidikan gw boleh boleh aja ahh”

“ yang ini beda Ji, loe tinggal di kawasan mewah, terus ni juga kasusnya serius jadi gw mesti jaga jarak deh”

“hmmm gitu, kok ngomong ngomong ekspresii loe jadi rada sedih gitu..hehe..kenapa takut ya kehilangan getaran asmara gw hahaha”

“BRAAAKKKKK” tinjuan maut kembali lagi di pipi gw.

“GR loh hahaha, gw Cuma kesel aja ga ada yang bisa gw ejekin apa gw aniaya lagi”

“sial lo ahh, sakit tau!! Nama doang cantik….kelakuan….”

“KELAKUAN APA?!!”

“eh kucing lewat, meongggg”sambil mengalihkan pembicaraan.

“oh ya sama bos bilang tuh loe besok suruh dateng pagi ke kantor dan jangan Tanya kenapa sama gw…cape neh”

“iya iya ah, cerewet banget sih”

Udah deh akhirnya sampe di parkiran motor, gua boncengin cantik sampe kerumahnya baru deh gw kerumah gw sendiri….sampe rumah beres beres bentar terus tidur deh.

ESOK HARI KEMUDIAN

(Tininit Tininit Tininit)Suara alarm…

Huuuaaammmmm…..sreettttt (nyedot iler gw pagi pagi)

cicicit cicicit cit (suara kiki momo) hoeh udah pada bangun juga loe pada. haha….mandi dulu ah….eh eh anduknya dimana ya….oh ya udah dimasukkin…yaudah deh ga usah mandi aja hehe toh masih wangi. Mau olahraga pagi ah biar seger (baru keluar pintu), kok dingin banget ya?? Ah tidur aja lagi dehh……..



1 JAM KEMUDIAN

Hooookkk hooookkkk Berhenti kamu….Binatang kamu….pahlawan kesiangan keren deh ah (ngorok sambil ngelindur+ mulutnya monyong monyong dikit ciumin guling)

1 jam kemudian (lagi)

Ahhh sial udah jam 7 ya…..bentar lagi ahh…..ngeanntuuuuukkkkkk…..

1 jam kemudian (lagi dan lagi)

AHHHHHHHHH SIALLLLLL GW telat ke kantor…..ahhhhhhhhhh (langsung keluar pintu ke jalan tampa disadari……..Cuma dengan kaus kutang dan celana dalam) eh eh mampus (anak yang lagi disuapin di jalan sama ibunya langsung muntah) ARRRRGGGHH!!!!!! (balik masuk rumah sambil pake pakaian dan siap berangkat) aRRRRRRGGHHHH langsung naik motor….tunggu….tunggu ROKOK KETINGGALAN ARRRRGGGGHHHHH!!! Ga abis abis deh lanjut deh ke berikutnya.

Akhirnya nyampe juga gw di kantor hehe, beh pas lagi waktunya Cuma telat 23 detik hahaha (jangan Tanya gw ya pembaca bisa cepet nyampe kayak gitu). Ah kira kira gw mau dikasih apa ya?? Apa penjelasan tugas ya?? Gw ketok ketok dulu ah pintunya Bos Garong

(TOk tok tok)

“masuk”

“misi pak”

“sini Ji, silahkan duduk.”

“misi kamu dimulai hari ini, saya akan menjelaskan tugas tugas yang akan kamu dapat”

  1. Selediki siapa anak dari Prajoko Subowo si pengedar buronan no.1
  2. Jika kamu berhasil menemukan, selidiki latar belakangnya, dan seputar keterangan yang dapat membantu investigasi.
  3. Jangan coba coba pacarin anak muda lagi. Dikira saya ga tau apa
  4. tutupi penyamaran kamu, belajarlah menjadi anak orang mampu, pelajari cara mereka berbicara dan topiknya.
  5. Pelayan di tempat kamu yang barupun tidak tau kalau kamu polisi. Jadi ingat ini, JANGAN BUKA INFORMASI KEPADA SIAPAPUN….
  6. Kursus privat setiap hari dalam sebulan untuk bahasa INGGRIS. (dalam hati gw, harusnya bos juga tuh)

“saya juga telah menyediakan alat alat yang akan membantu kamu beradaptasi”

  1. KTP, STNK PALSU!! (disitu tercatat kamu masih 17 tahun)
  2. IJASAH PALSU!! (untuk masuk lebih mudah)
  3. Tape rekorder dalam jacket (dimasukkan di jacket dan dapat mendengarkan omongan dengan jelas)
  4. Pulpen SOS (kalo dipencet atasnya 3 kali secara berurutan dan cepat akan mengirimkan sinyal SOS ke kantor polisi di dekat sekolah dan rumah)
  5. Motor Caratan 200 tipe Racing yang sudah disediakan di belakang parkiran(ati ati bawanya, harganya 450 jutaan itu)
“semua sudah selesai. Detektif Aji selamat bertugas!!!!”

“SIAP PAK”

----------

1st Chapter oleh Alexsander Han

Read More ......