PROLOG
Semerbak bunga lavender yang diletakkan di setiap sudut ruangan memberikan aroma khas, lampu-lampu ruang utama yang telah sekian lama tidak pernah menyala kini berpendar terang. Bara dari tungku perapian membuat kehangatan yang selama ini telah lenyap. Setelah sekian lama rumah besar itu tetap kokoh dalam balutan pepohonan lebat yang menjulang mencakar langit, bersembunyi dalam kegelapan malam dan bayangan matahari.
Gadis-gadis berbusana serba biru langit, para waitress, tengah sibuk melenyapkan debu-debu tebal dan sarang laba-laba yang berjaring dimana-mana. Tirai putih gading tersibak menutupi jendela-jendela panjang yang melekat di dinding seluruh ruangan, beberapa diantaranya bebercak kekuningan walau para waitress tengah mencucinya dengan sangat baik. Mereka -para waitress- kembali menjalankan tugasnya, profesi sementara yang diemban hanya ketika dibutuhkan.
Rumah tua itu mencoba dihidupkan kembali setelah lima tahun tak terjamah oleh sang pemilik, seorang pecinta sejarah yang kini telah menjadi bagian dari sejarah.
Dan, seorang pemilik baru akan berkunjung. Bukan karena ia seorang pecinta sejarah, melainkan takdir yang membuatnya menapaki rumah baru ditengah hutan belantara ini. Hadiah khusus untuk seorang pewaris.
Teng..teng..teng..teng,
Bel berdentang nyaring, menggema ke seluruh ruangan tanpa sekat, sebuah tanda. Para waitress mendengarnya, efek yang ditimbulkan cukup membuat hati mereka gugup.
Sebentar lagi.
Dengan mata menerawang menuju pusat rumah yang tersanggah dua tiang kayu bulat kokoh di tiap sisinya, ruangan yang bisa dilihat dari tiap sisi manapun dalam rumah tersebut, tangan-tangan kotor mereka mencoba menyelesaikan tugas dengan cepat. Merayapi segala sudut perabot usang dengan balutan kain yang mulai menghitam. Tatapan mereka jatuh kepada satu-satunya perabot yang tergantung dipusat ruangan, pusat bunyi yang mereka dengar tadi. Lima buah jam dinding besar berbentuk segitiga lancip, saling melekat satu sama lain hingga meruncing tajam di ujung bawahnya, membentuk satu kesatuan pentagonal yang kokoh. Angka-angka yang tercetak ditiap jam berisi pendar cahaya kuning, memperjelas jarum-jarum hitam pekat bergerak. Dan kini, jarum terpendek tengah menunjuk angka dua belas.
Di suatu sudut tembok lantai dua, satu pintu kayu yang tengah tertutup rapat mencoba bersembunyi dibalik tirai putih gading yang kini terikat kesamping. Seorang waitress berdiri mematung menghadap pintu, membisu di tengah kesibukan teman-temannya. Mata coklatnya menerawang menatap keheningan yang tengah berada didepannya, satu tangannya yang terbungkus kain bebercak hitam tengah mengelus-elus gagang pintu berkarat yang menempel pada daun pintu.
”apa yang kau lakukan Chia?”
Merasa namanya disebut, waitress tersebut berhenti mengelus gagang pintu. Ia pun menoleh memperhatikan gadis berpakaian seragam dengannya tengah menengok keheranan. Gadis bertubuh kurus itu mencoba mendekat, melirik gagang berkarat yang tengah diremas oleh Chia.
”entahlah, aku juga nggak tahu” Chia menggeleng, merasa tak yakin dengan kata-katanya. Keraguan tersirat jelas dalam matanya, namun tak ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkejaran dalam benak gadis mungil itu.
Waitress yang tengah berada di samping Chia tetap menatap lurus gagang pintu itu. Sekalipun menggosoknya dengan kain terus menerus tidak akan membuat karatan di sekujur gagang tersebut berkurang, bahkan engselnya sudah bisa dikata tidak mampu membuat pintu itu bergerak lagi. Karatan membuat pintu itu aus. ”dari dulu aku selalu ingin mengetahui apa yang berada di balik pintu ini,” gumamnya pelan.
Chia tak merespon perkataannya, hanya menerawang melihat gagang pintu yang tengah ia pegang. Pikirannya jauh berlarian, seorang pewaris kini menjadi hal yang menyita segala ruang dalam benaknya. Tak ada pikiran apapun yang lebih penting daripada mengetahui jelas siapa pemilik rumah tua ini. Baginya, tak ada yang bisa menyaingi pemilik terdahulu, lelaki yang telah ia anggap sebagai seorang ayah.
Batin Chia mengerang menyaksikan gambar seorang lelaki tua berada di benaknya, perpisahan yang jauh dari harapan telah membuat hatinya runtuh. Tak ada air mata yang bergulir di pelupuk matanya, ia sadar tidak akan ada gunanya untuk meraung-raung akibat kecelakaan itu. ’Hanya seorang Chia, tidak lebih dari seorang waitress. waitress yang tidak tampak di dunia nyata, tentu bukan menjadi hal penting’. Ia mencoba melihat kenyataan di balik seragam biru berendanya. Di dunia ini, tidak ada hal membahagiakan selain profesi sementara yang tengah ia jalankan ini.
”ayo kita ke bawah,” waitress yang tidak melihat respon baik pada teman se-profesi chia itu mencoba menyadarkannya, menepuk pundak kanannya ”nggak ada gunanya menatap gagang itu chia, tetap saja berkarat, aku sudah beberapa kali mencobanya”.
Chia akhirnya menatapnya kaku, bukan itu yang ingin dia ketahui. Waitress itu lalu berpaling, berjalan memunggungi chia menuju tangga besar berlapis karpet merah darah yang tersampir disudut lain lantai dua.
”Erin..” chia mencoba untuk memanggilnya, namun waitress bernama Erin itu tetap saja tidak berbalik. Tersinggung atau tidak peduli. Pikiran Chia yang selalunya jernih mulai bercampur dengan gangguan yang menjalari otaknya. Emosinya meluap-luap seiring keraguannya terhadap kedatangan seorang pewaris, ia takut akan ada yang berubah.
Ia tak menginginkan sedikitpun perubahan.
”Erin,” nada suara chia yang sirat akan kecemasan membuat Erin berhenti, ia pun berbalik. ”aa.. chia mencoba menelan ludah.. apa semuanya akan baik-baik saja? Pewaris itu..”
”maksudmu?” erin mendengus.
”apa ia tidak akan membuat kerusakan, membeberkan, dan bertindak lebih jauh? Kita bahkan belum pernah mengenalnya, kepribadiannya. Kita..”
Bunyi decitan keras tiba-tiba menghentakkan seluruh ruangan, diakhiri dentuman pelan dua daun pintu yang mencoba menyatu dengan dinding, meninggalkan celah kecil dari apitan tersebut. Setelahnya hanya terdengar ganasnya hujan, riuh yang tiada henti memecah keheningan.
Chia akhirnya menutup mulut, ia dan Erin segera menuju ke samping tiang untuk melihat ke arah pintu. Seseorang memasuki ruang utama, pijakan kakinya teredam gemerisik hujan di luar sana. Jaket kulit membungkus tubuh laki-laki bertubuh jangkung itu, berkilauan dengan air yang menetes-netes ditepinya. Ia lalu membuka tudung kepala yang sedari tadi menutupi kepalanya, tanpa ragu ia membeberkan pandangannya ke sekitaran lantai satu. Memperhatikan para waitress yang tengah berdiri mematung, lalu melihat lantai semen yang sepenuhnya bersih.
Segera ia melihat ke bawah, tempat dimana sepatu bootnya berpijak, lalu berbalik melihat jejak kaki besar penuh noda lumpur mulai dari teras rumah. Dengan rasa bersalah, lelaki itu berdehem pelan, lalu menatap ke arah waitress lagi. Tampak hening.
”sebelumnya, saya minta maaf” lelaki itu angkat bicara, tentu saja, respon dari lima waitress yang tengah berdiri di lantai satu hanya mengangguk. Tidak ada keberanian untuk marah pada seseorang yang membayar upah mereka.
Lelaki itu seketika mengarahkan pandangannya pada lantai dua yang menjorok ke depan, tampak dua waitress tengah terpaku melihatnya. Chia dan Erin merasa terpojok saat mata sipit laki-laki itu menatap mereka. Mata seorang atasan, serasa membakar tengkuk mereka hingga menegang. Hanya sekilas beberapa detik saja, lelaki itu pun berbalik, berjalan menuju pintu luar.
”Pak Mardi sebenarnya orang yang konyol” bisik Chia setelah ketegangan mencair. Erin yang mendengarnya hanya menggeleng-geleng, bukan karena atasannya, melainkan pada kata-kata yang terucap oleh rekan se-timnya.
”kau gila, kalau dia mendengarnya maka generasimu sebagai waitress akan terputus sudah” bisik Erin mengingatkan, gadis berkulit hitam manis itu menyapu keringatnya dengan lap kotor yang ia pegang.
”aku mengatakannya karena yakin ia tak mendengarnya” jawab Chia yakin, Erin hanya mengangkat bahu.
”anak-anak, saatnya berkumpul!”
Suara Pak Mardi mencoba bersaing dengan suara riuh hujan. ”beberapa menit lagi pewaris yang baru akan datang, kalian semua harus ikut menyambutnya!”
Chia mencoba mengutuk pikirannya, namun serasa ada benang kusut dalam otaknya hingga selalu berfikiran negatif. Ia mencoba menenangkan diri, mengikuti erin yang tengah berjalan menuruni tangga dengan terburu-buru.
”erin,” seru chia dengan panik.
”apa lagi?” wajah erin tampak kusut saat berbalik melihatnya, ia sungguh tidak merasa cocok dengan chia. Ia tidak iri melihat kondisi fisik darinya, tapi ia merasa chia identik dengan gadis ceplas-ceplos yang suka mendikte karakter orang lain. Kali ini Pak Mardi, bagaimana dengan si pewaris nanti. Menjauh dari Chia setidaknya akan mengurangi masalah pekerjaannya, ia yakin itu.
”tunggu aku,” bisik chia, ia kikuk melihat wajah Erin bengkok. ”ada yang ingin ku tanyakan.”
”apa?” tanya erin mantap.
”siapa nama pemilik baru rumah ini?”
”Mr.MARCEL, jangan bikin masalah, ingat itu” Erin akhirnya melangkah lebih cepat, meninggalkan chia yang tengah merasa bersalah. Namun di balik rasa bersalahnya itu, pikiran chia mulai menerawang pada ketakutan yang mulai menjamahnya.
---------------------------------------------------
-------------------------------------------
-------------------------------------------
1
Welcome to the new house, Mr. Marcel
Welcome to the new house, Mr. Marcel
Mobil melaju dengan lambat menembus jalan yang diselubungi kegelapan malam. Kesunyian jalan menjadi-jadi sesaat mobil telah melewati area perkotaan Jogjakarta, menikung suatu jalan sempit menanjak. Derasnya hujan membuat kepenatan yang tiada tara, pikiran yang tiada mencair membuat situasi makin mendingin. Marcel tengah duduk di jok penumpang Mercedes hitam, membisu meratapi nasib yang sulit dipercaya berubah drastis. Tudung jaketnya menutupi sebagian wajahnya yang tampak canggung tanpa alasan pasti.
”mungkin beliau ingin tuan melihat salah satu koleksinya”.
Seorang lelaki bertubuh jangkung berusia setengah abad mencoba menjelaskan alasan masuk akal yang dapat dijadikan patokan perjalanan mereka. Pak Arif, yang selama tiga puluh tahun hidupnya telah bekerja menjadi sopir keluarga Fredy kini telah menjadi salah satu orang yang tengah dilanda kesedihan. Keduanya tak memikirkan kecelakaan pesawat itu terjadi begitu cepat, menimpa dua orang yang terlibat amat dekat dengan kehidupan mereka.
****
1st Chapter oleh Peratiwi Desy
No comments:
Post a Comment