Monday, April 20, 2009

Intelegent Destiny

Pusat Intelijen Negara, Jakarta
26 Maret 2015…
Kondisi yang dirasakan oleh negara saat ini berubah drastis. Ini sudah terlihat dari segala sesuatu yang sudah terjadi. Bahkan Badan Intelijen Negara telah mengubah sistem perekrutan secara terbuka untuk mencari agen-agen khusus. Tapi seakan sistem perekrutan yang dilakukan hanya sia-sia. Meskipun setiap kasus yang dihadapi oleh para agen mampu dipecahkan secara sempurna, tanpa melakukan kesalahan sedikit pun, nyawa para agen tersebut menjadi ganti taruhannya.

Situasi penyerangan yang ditujukan pada markas besar pusat intelijen Indonesia masih belum berhenti. Markas menjadi porak-poranda, para pengkhianat negara itu ingin agar dapat menyingkirkan para agen khusus. Bahkan TNI datang untuk melindungi tempat itu.

“Apa-apaan ini! Mereka menyerang kita terus-menerus! Lagi pula, bagaimana mereka bisa tahu lokasi ini.”Angga tampak bingung dengan keadaan itu.

“Tapi… kalau diperhatikan mereka seperti bukan manusia. Mereka membunuh dengan cara yang mengerikan.” Dengan cemas Andin memperhatikan orang-orang itu lewat layar komputernya.

“Kita harus pergi dari sini! Andin, cepat amankan semua file rahasia dan juga identitas para agen! Angga, siapkan helikopter! Kita akan keluar melalui pintu darurat. Jangan sampai musuh menemukan kita!”

“Baiklah Andi!”

Para agen tersebut keluar dengan tergesa-gesa. Tapi pada saat semua agen sibuk dengan persiapannya masing-masing, seseorang memanggil Andi.

“Ma’af Tuan…, saya mohon ikutlah dengan saya sebentar!”

“Ada apa Reza?”

Andi tidak mendapatkan jawaban dari Reza. Andi mengikuti laki-laki yang tampak lebih muda darinya itu. Tapi Andi sudah memperhatikan sesuatu yang aneh di tangan Reza. Tangannya berlumuran darah, lalu Andi berkata,

“Reza, jangan-jangan kau…” Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, kepala Andi dipukul dari belakang dengan keras oleh seseorang dan dia jatuh tak sadarkan diri.


*****



23 hari kemudian…
Ogan, Suku yang Dilindungi, Sumatera Selatan

Pohon-pohon besar tumbuh lebat menutupi sebuah pedalaman Sumatera Selatan. Tampak Danau Jambu Rumbay yang dikelilingi pohon karet, pohon gelam, cempedak, dan kemang berdiri kokoh di tepiannya. Ditambah aliran air danau Jambu Rumbay yang membuat pantulan sinar terlihat gemerlap di permukaannya. Sedangkan jalan pedesaan mengapit tepian danau Jambu Rumbay.

Saat ini jalan desa sedang ramai, menyambut kedatangan beberapa ilmuwan asing dari Amerika. Mereka datang untuk melihat budaya asli Indonesia sekaligus melakukan suatu ekspedisi. Warga desa yang hanya terdiri tidak lebih dari 40 kepala keluarga itu juga sedang sibuk menyiapkan hari sambutan itu. Ibu-ibu warga desa itu pun sibuk menyiapkan makanan khas Sumatera yang lezat untuk disuguhkan kepada empat ilmuwan asing itu. Dan juga sembilan penari muda dan cantik-cantik yang berbusana adapt Aesan Gede, selindang mantra, Paksangkong, Dodot, dan Tangga sudah siap untuk menunjukkan adat tari tradisional mereka, Gending Sriwijaya.

Meisya, seorang gadis muda yang memandu para turis itu. Dia menemui para turis itu dengan mengenakan busana adat kebaya Jawa yang menunjukkan bahwa dia berasal dari pulau Jawa. Kebaya itu berwarna merah hati dan sanggulan di rambutnya membuat tampak lebih serasi. Selain itu, helaian kain beludru warna coklat sebagai bawahannya. Dengan fasih dia bercakap menggunakan bahasa Inggris dengan turis-turis itu. Meisya tampak senang sekali dengan pekerjaan itu. Meskipun dia datang dari Jawa, dia bangga karena sudah hidup dengan memiliki berbagai budaya di Indonesia.

Di sebuah teras rumah yang agak jauh dari keramaian, namun cukup jelas untuk menikmati acara yang dikerumuni banyak orang itu, tampak seorang laki-laki muda mengenakan kemeja putih berkerah yang dipadu dengan bawahan celana jeans hitam. Di lehernya melingkar sebuah kalung rantai yang selalu dipakainya. Laki-laki itu berdiri dengan memandang ke arah Meisya. Dialah Andi.

Setelah selesai dengan pekerjaannya, Meisya memandang ke arah Andi. Dia tersenyum melihat laki-laki itu, tapi Andi mengalihkan pandangannya ke arah Tari Gending Sriwijaya digelar. Kemudian Meisya menghampirinya.

“Tuan Andi…, apakah Tuan tidak mau bergabung dengan kami di sana? Marilah Tuan…!” Suaranya halus dan lembut, tapi Andi hanya menjawab,

“Aku tidak mau.”
Meisya mengerutkan keningnya, tapi dia mengerti akan laki-laki itu.

******

Hari telah menjadi gelap. Semua warga telah tertidur pulas meskipun ini masih pukul 08.00 malam. Mungkin mereka sudah lelah dengan kegiatan hari ini yang menyibukkan. Lagipula malam ini dingin karena hujan gerimis. Hanya ada beberapa orang yang masih terjaga, namun berdiam diri di rumah mereka masing-masing. Hanya ada suara rintik hujan yang mengisi keheningan malam itu. Di depan sebuah rumah kecil seperti pondok khas Sumatera terdapat beberapa pohon besar yang berjajar dan berdiri kokoh.

Namun suara dua insan yang agak jauh dari rumah penduduk, telah memecah keheningan malam itu, yaitu Andi dan Meisya. Saat ini Meisya sedang duduk berlutut agak jauh di belakang Andi yang berdiri tegak dan memakai sebuah jas panjang. Rambutnya basah karena hujan. Andi yang berwajah tampan itu tampak terdapat sekelibat kesedihan di matanya, yang mungkin sulit untuk diungkapnya. Sementara itu, Meisya yang mengenakan T-shirt berkerah tampak tidak dapat menahan air matanya yang terus mengalir di atas pipinya yang halus.

Di antara keduanya terdengar kalimat-kalimat yang memilukan keluar dari bibir Meisya.

“Tuan Andi…, saya mohon…, jangan pergi…!”

Andi tidak menjawab kalimat pertama yang diucapkan Meisya. Kepalanya tertunduk seperti memikul beban yang berat di pundaknya. Namun untuk yang kedua kalinya Meisya berkata,

“Saya mohon…, Tuan Andi…, jangan tinggalkan saya sendirian di sini…!” Kali ini kalimatnya semakin banyak. Gadis itu masih terus memohon tanpa ada rasa putus asa kepada Andi.

“Tuan Andi, saya mohon, jangan tinggalkan saya…! Saya berjanji Tuan akan bahagia hidup bersama saya di sini… Karena…” sejenak kalimatnya terhenti. Meisya tertunduk. Diam-diam air matanya menetes di atas tanah.

“Karena…sa,saya… mencintai Tuan Andi…! Saya mohon … Tuan! Tinggallah di sini bersama saya…! Saya berjanji akan selalu menyayangi Tuan Andi…” Meisya tidak mampu air matanya lagi, dia sangat sedih. Dalam hatinya dia ingin sekali lari kea rah Andi dan memeluk erat laki-laki yang dicintainya itu. Namun diamnya Andi seakan mencegahnya untuk melakukan itu.

Meisya mencintai Andi semenjak dia menemukan Andi dalam keadaan yang mengenaskan. Andi dijatuhkan dari bukit oleh seseorang. Tubuh Andi penuh luka, namun Meisya dan kakak laki-lakinya, Surya merawat Andi hingga sembuh.

Surya adalah seorang dokter muda di tempat terpencil itu. Dia datang di desa bersama Meisya saja. Keduanya adalah anak yatim piatu. Namun Surya adalah seorang dokter yang sabar dan cerdas.

Akhirnya bibir Andi bergerak,

“Ma’afkan aku… Aku… tidak bisa.”

Meisya yang dari tadi menunggu jawaban dari Andi semakin pilu mendengar kata-kata itu.
“Kenapa…?”

“Aku… bukanlah orang yang pantas untuk melakukan hubungan seindah itu bersamamu, Meisya…”

“Ta,tapi…, hati saya telah memilih Tuan…! Saya berjanji apapun yang terjadi saya akan mencintai Tuan…!” Meisya sudah tidak sabar. Dia beranjak dari duduknya, lari menuju kearah Andi. Namun dia masih belum memiliki keberanian untuk memeluk laki-laki yang yang dicintainya itu. Dia mengurungkan niatnya. Lalu dia terduduk lagi di belakang Andi. Dan pelan-pelan dia memegang kaki Andi.

“Saya tidak bisa hidup tanpa Tuan…! Saya berjanji akan melakukan apa saja untuk Tuan Andi, bahkan mengorbankan nyawa saya untuk Tuan.Tuan tidak akan menyesal bersama saya. Saya sangat mencintai Tuan…!” Tangis Meisya mulai menyesakkan nafasnya. Dia seakan tidak berdaya lagi untuk melakukan sesuatu. Kedua tangannya hanya memiliki sedikit kekuatan untuk menahan tubuhnya. Dia seperti bersujud pada Andi.

******

Pelan-pelan tubuh Andi berbalik ke arah Meisya. Dia duduk berjongkok di depan Meisya dan memandang wajah gadis itu yang masih dibasahi air mata. Meisya juga memandang Andi. Tapi kemudian dia menurunkan pandangannya dan tertunduk. Lalu jari-jari Andi memegang dagu Meisya dan mengangkat pelan-pelan, kemudian melepaskannya.

“Kau berjanji akan melakukan segalanya untukku?”

Meisya mengangguk.

“Kau berjanji tidak akan pernah menyesal mengatakan itu padaku?”

“Sa,saya berjanji…”

Keduanya diam sejenak. Andi pun kemudian menundukkan kepalanya. Beberapa saat kemudian tiba-tiba tangan Andi menarik tangan Meisya.

“Kalau begitu… Ayo, ikut aku!”

Andi berdiri dari duduknya dan diikuti Meisya. Meisya hanya bisa diam menuruti ajakan Andi. Dia tidak mengerti maksud Andi. Dalam hatinya, dia ingin sekali bertanya, apa yang akan dilakukan Andi kepadanya. Dan apakah ini berarti Andi telah menerima cintanya?

Andi dan Meisya terus berjalan. Keduanya berjalan menyusuri pohon-pohon di tengah gerimis hujan. Meisya masih belum mengerti apa yang dipikirkan oleh Andi. Namun dia tidak mampu melontarkan pertanyaan pada laki-laki itu. Dia hanya diam sambil terus memandangi wajah Andi yang terlihat serius. Perjalanan mereka cukup lama juga.

Akhirnya keduanya sampai pada sebuah klinik kecil yang berada di antara rumah-rumah penduduk desa. Walaupun kecil, klinik itu terlihat bersih dan nyaman. Disekitarnya tampak beberapa pohon berdiri kokoh dan di pinggiran teras klinik itu banyak sekali ditumbuhi bunga-bunga kecil dengan berbagai warna. Tapi gelapnya malam memudarkan warna bunga-bunga itu.

Di depan pintu terlihat sosok dokter dengan pakaian putihnya. Dia keluar ketika melihat kehadiran Andi dan Meisya. Dialah Surya. Raut wajahnya juga terlihat seperti orang yang ingin bertanya, ada apa Andi dan Meisya datang ke sini malam-malam? Sejak Andi sudah sembuh total dia tidak pernah datang ke klinik. Dia hanya tinggal di rumah pondok bersama Meisya. Dan hanya ketika pulang dari kerjanya dia bisa bertemu dengan Andi. Dan sekarang Andi sudah berdiri di depannya

“Surya, aku ingin menikah dengan adikmu!” Kalimat seperti itu yang tiba-tiba saja keluar dari mulut Andi. Surya yang belum sempat menanyakan sesuatu, tampak tertegun mendengar kalimat itu. Begitu juga Meisya, selama perjalanannya menuju ke klinik Surya, dia penasaran.
“Aku minta izinmu untuk menikahi Meisya malam ini juga di sini.”

Kemudian Meisya tampak pasrah dengan Andi. Dia memandang wajah Andi. Lalu menurunkan pandangannya. Surya yang tadi tampak tidak mengerti dengan ucapan Andi masih melihat Andi yang tampak serius. Dia melihat ke arah adik perempuannya, Meisya, tapi Meisya tidak berani melihat mata kakaknya. Dia hanya menundukkan kepalanya. Lalu Surya pun menunduk dan menghela nafas panjang. Tampak dia sudah mengerti.

Surya memang sudah tahu kalau Meisya sangat mencintai Andi selama dia merawatnya. Wajar saja kalau adiknya telah jatuh cinta pada laki-laki itu. Karena Andi sudah tinggal satu atap bersama dengan Surya dan Meisya selama satu bulan untuk perawatan Andi. Meisya dengan sangat tekun dan bersabar merawat luka Andi hingga sembuh. Dan baru malam inilah Meisya mengungkapkan cintanya pada Andi. Surya yang selama ini melarang Meisya untuk mencintai Andi yang merupakan orang asing yang belum dikenalnya. Namun Meisya mencintai Andi sejak pertama kali bertemu.

Surya tidak juga menjawab satu kata pun. Kemudian Andi meninggalkan Surya dengan membawa Meisya. Dia meminta bantuan kepada beberapa penduduk desa di situ. Setelah beberapa persiapan kecil sebuah upacara pernikahan itu selesai Andi mengucapkan ijab dan qobulnya secara Islam, dan Surya sebagai wali dari Meisya. Meisya tidak pernah menduga ini akan terjadi dengan tiba-tiba. Dan tanpa satupun orang yang mengiranya.

*****

Tepat pukul 11.00 malam, suasana menjadi sepi. Yang tersisa hanyalah dingin yang ditinggalkan oleh hujan. Hanya terdengar lirih suara hewan malam yang mulai menemani, mengiringi orang-orang yang yang sedang tidur malam itu. Dari jauh pun hanya terlihat sedikit cahaya redup yang terpancar dari sebuah jendela. Jendela itu adalah milik sebuah pondok kecil yang terletak di antara pohon-pohon. Di sanalah Andi dan Meisya tinggal setelah pernikahan mereka yang seadanya itu dilaksanakan. Masih tetap pada hari yang sama, mereka berdua diam. Meisya duduk di atas sebuah ranjang dengan seprai kain sutra yang indah, dengan dihiasi renda-renda kecil di pinggirannya. Di depan Meisya, Andi berdiri memandangi Meisya. Meisya hanya bisa menunduk malu di depan suaminya itu.

“Sekarang aku sudah menjadi suamimu, Meisya…”

Meisya mengangguk pelan.

Kemudian Andi membuka jas dan kemejanya, lalu naik ke atas ranjang dan diikuti Meisya yang berada dalam pelukannya.

“Tu,tuan Andi, apakah Tuan akan setia pada saya seperti saya setia pada Tuan?”
“Tentu saja…”

Meisya tersenyum senang dan percaya pada Andi.

“Saya percaya Tuan tidak akan meninggalkan saya…”

Andi hanya diam. Dia terus mencurahkan kasih sayangnya pada istri tercintanya itu.

*****

Sekitar pukul 02.00 pagi hari yang masih gelap. Bahkan, ayam jantan pun belum berteriak membangunkan lelapnya orang tidur dini hari itu. Andi tiba-tiba terperanjat dari tidurnya. Dia melihat Meisya yang ada di sampingnya. Tidur Meisya pun juga sudah tidak nyenyak. Dia terbangun dari tidurnya.

“Tuan Andi, anda mau ke mana? Hari masih gelap…”

Andi terdiam agak lama. Dia berdiri membelakangi Meisya sambil mengenakan kemeja dan jasnya lagi.

“Ma’afkan aku, Meisya… Aku harus pergi sekarang.”

Meisya tidak percaya dengan kata-kata Andi.

“Mau ke mana…? Kalau mau pergi, saya juga diajak kan, Tuan?

Andi terdiam, seakan dia tidak mampu menjawab pertanyaan istrinya itu.

“Kalau begitu saya juga akan bersiap…” kata Meisya.

“Aku… tidak bisa mengajakmu. Ma’afkan aku… Meisya.” Andi menjawab dengan menutup matanya. Dia terpaksa mengatakan hal itu pada Meisya.

“Apa yang Tuan katakan? Saya istri Tuan…, saya ingin hidup bersama Tuan Andi apapun yang terjadi.”

Andi ingin mengatakan semuanya pada Meisya. Dia berjarak lebih dekat kepada istrinya itu.

“Dengarkan aku, Meisya…! Aku adalah orang negara. Aku bekerja untuk negara ini. Namun pekerjaanku…” Andi menghentikan kalimatnya.

“Kau ingat kan, pada saat kau menemukanku dulu? Tubuhku penuh luka. Kau bisa mati bersamaku…”

Meisya tampak mengerutkan keningnya dan meneteskan air matanya.

“Lalu… bagaimana dengan Tuan Andi? Tentunya Tuan dalam bahaya. Saya tidak ingin kehilangan Tuan…”

“Tidak! Kau harus tetap di sini. Ma’afkan aku, Meisya… Aku harus pergi sekarang.”

“Tuan…!”

Kemudian sebelum Andi pergi, dia melepaskan sebuah kalung rantai yang berlapis emas putih di lehernya. Dan memberikan kalung itu pada Meisya.

“Aku akan kembali ke sini Meisya. Percayalah…!” Setelah mengatakan hal yang menyedihkan Meisya, Andi berbalik, tapi baru beberapa langkah dia berhenti.

“Meisya, terima kasih atas segalanya… Dan aku mohon padamu, jagalah anak kita nanti…!” Andi mempercepat langkahnya dan pergi meninggalkan Meisya. Dia tidak menghiraukan teriakan Meisya di belakangnya. Meisya terus memanggilnya, berharap Andi akan kembali di pelukannya. Tetapi Andi juga menahan rasa itu semua di hatinya. Dia tidak ingin berbalik dan melihat Meisya yang ada di belakangnya. Kali ini Meisya tidak bisa menahan kepergian suaminya itu.

******


1st Chapter oleh Denny Natalia

No comments: