Sunday, April 19, 2009

Sian Insima

I. Tragedi di Lorong Pksha Lima Belas


Celestial Laumborgh, adalah wanita paling sempurna di negeri ini. Semua warga Kahiangan mengenal dia. Bukan karena dia putri pertama Jenderal Besar Kastell. Tetapi lebih karena Celestial adalah seorang wanita yang sangat cantik dan sangat pintar. Aku dengar dia memiliki peran besar dalam pengaturan taktik perang melawan Suku Gruss di pegunungan Laindsch, yang berakhir dengan kemenangan gemilang pada pihak kami. Oleh karena itu, bersaing dengan dia, sama saja dengan mengibarkan bendera putih sebelum pertandingan dimulai. Sebab bagaimanapun dan atas nama alasan apa pun, aku tidak mungkin bisa memenangkan hati Dunill Famsbestellen, jika seorang Celestial sudah terlebih dulu memberi tahu semua orang di Kahiangan kalau dirinya memuja Dunill Famsbestellen.

“Ayolah…. Jangan menyerah begitu. Kamu seperti bukan seorang Durskalien saja,” kata Fabex, sambil tertawa. Aku tahu dia mencoba memberi aku semangat. Dan aku menghargai usahanya itu. Walau pun tampak sekali ada sinar keraguan yang kental di mata Fabex.

“Sudahlah Fabex. Jangan membicarakan hal tidak penting itu lagi. Kita harus bergegas. Perayaan sebentar lagi dimulai. Sayuran ini harus sudah masuk dapur sebelum Herskus selesai memberi pidato,” kataku sambil mengangkat dua keranjang besar sayuran berwarna-warni di depan kami. Karena ceroboh, aku menyenggol jamban tempat air mata peri yang baru saja kami pakai untuk membersihkan semua sayuran. Air suci itu muncrat dan mengenai ujung sisi kiri rokku. Fabex buru-buru mengeluarkan sapu tangan perak hati untuk menyeka taburan cahaya bening di ujung rokku.

“Hati-hati Insima. Kamu bisa membuat kita dimarahi Herskus. Aku tidak mau dihukum lagi membersihkan seluruh perpustakaan istana, seperti tempo hari.”

Fabex meletakkan sapu tangan perak hati di tangannya. Butiran cahaya itu berjalan pelan dan akhirnya mengumpul di tengah-tengah sapu tangan. Fabex membawa sapu tangannya ke atas jamban dan mengalirkan air suci itu pelan-pelan. Beberapa titik cahaya menetes turun dan kembali menumpul di jamban, membentuk sebuah bola bening besar. Setelah bola suci itu terbentuk, Fabex meletakkan sapu tangan perak hati ke atas jamban. Ujung sapu tangan yang jika ditautkan dapat membentuk hexagonal itu, Fabex tindihkan ke bawah jamban. Lalu, dengan hati-hati Fabex mengangkat jamban dan meletakkannya di atas Rak Batu Permata yang ada di pojok barat ruang pembersihan sayuran untuk keluarga kerajaan.

“Ayo,” kata Fabex sambil berjalan lebih dulu. Dia juga membawa dua keranjang besar sayuran. Aku mengikutinya.

Kami berjalan pelan-pelan ke arah barat, arah terbitnya matahari yang besar. Karena hari sudah agak siang, matahari yang besar atau biasa kami sebut Sheela sudah mulai merambat ke atas. Sedangkan matahari kecil yang terbit dari tenggara, dan kami sebut dengan nama Sheeka, sudah mulai tenggelam di langit barat laut yang berwarna biru kehijau-hijauan.

Dapur Istana Lima terletak di selatan ruang pertemuan para pegawai rumah tangga istana yang bangunannya terbuat dari batu marmer dua warna. Kami tidak boleh terlihat oleh Herskus yang sedang memimpin rapat pegawai istana itu, jadi begitu sampai di Gerbang Bunga Melanti, kami berjalan memutar ke selatan dan masuk ke lorong Pksha Lima Belas. Padahal sebenarnya aku lebih suka mengambil jalan di taman.

Sebagaimana jalan kecil yang dibuat dari batu sungai Pksha, lorong Pksha Lima Belas juga adalah jalan khusus untuk para pegawai. Bentuknya bagus di luar tapi agak jelek di dalam. Selain itu juga pengap dan agak gelap. Kata Herskus, sengaja dibuat demikian, agar para pegawai berjalan cepat-cepat.

“Insima!” teriak Fabex. Dia mendadak berhenti dan aku hampir menabraknya. Aku langsung menggerutu panjang pendek. “Sssst…. Lihat….” kata Fabex sambil memukulkan sikunya ke lenganku. Aku mengikuti arah pandang Fabex dan melihat ke sebuah lubang kecil di sisi timur lorong. Lubang-lubang ini baru dibuat lima tahun lalu, sejak Raja Kukshin berkuasa. Dimaksudkan sebagai jendela udara dan untuk mengurangi penggunaan kristal untuk penerang lorong. Lubang ini begitu kecil sehingga aku dan Fabex harus berdesakan. Namun begitu menangkap bayangan yang sedang dipelototi oleh Fabex aku segera memaksakan diri untuk menguasai lubang itu untukku saja.

Nafasku tiba-tiba sesak dan jantungku berdetak kencang sekali. Dunill Famsbestellen nampak tampan sekali dalam seragam prajuritnya yang berwarna biru, putih dengan ikat pinggang warna merah yang besar. Di tangan Dunill ada sebuah pedang sepanjang 50 cm. Aku tahu kalau di sisi kiri pedang dari perak hati itu, ada dua sudut kerutan akar bunga Lantofila yang diukirkan pada dekat bagian pangkal pedang. Lambang ini adalah lambang kesatuan Lantofila dan juga tanda kepangkatan Dunill, yaitu pemimpin tingkat dua dengan jumlah pasukan di bawahnya sebanyak lima ribu prajurit. Kali ini, Dunill tidak membawa senjata andalannya, Panah Bintang Lima Busur Saxikaya.

Dunill tampak gelisah. Dia mondar mandir ke utara dan selatan berulang kali. Rambut ikalnya yang sebahu dimainkan oleh angin dan membuat wajah pria pujaan hatiku itu menjadi lebih tampan.

“Heiiiii….” Teriak Fabex keras sekali. Aku terlonjak dan buru-buru cemas kalau Dunill akan bisa mendengarku. Jadi aku refleks berjongkok dan mematung agak lama. Suara Fabex yang terkekeh tidak aku perdulikan.

Setelah beberapa saat berlalu dan tidak terjadi apa-apa, aku berdiri pelan-pelan. Mataku melotot pada Fabex.

“Kamuuuuu…..” kataku geram. “Kalau sampai Dunill melihat kita bagaimana?”

Bukannya berhenti tertawa, Fabex justru terkekeh. Aku ingin mencubitnya, tetapi kedua tanganku membawa dua keranjang besar sayuran.

“Kamu menyebut namaku?” sebuah suara lelaki terdengar agak jauh.

Fabex berhenti tertawa. Aku juga tidak bergerak. Bersama-sama kami meloleh ke lubang di timurku. Dan Dunill Famsbestellen nampak sedang menatapku!!

Aku terpaku. Tiba-tiba aku merasa seperti kembali disengat oleh ulat listrik dari sungai Pksha, dan seluruh tubuhku jadi panas dingin tidak menentu. Aku juga merasakan pijar-pijar listrik di ujung kedua tanganku.

“Insima!!!” Teriak Fabex tiba-tiba. Dia melihat panik pada keranjang bawaanku. Aku ikut menunduk dan tersentak. Tanpa sadar aku terdorong ke belakang dan melemparkan dua keranjang yang aku pegang. Kedua keranjang itu berputar di udara. Rangkaian listrik yang mengalir dari tubuhku masih berpendar-pendar dan membuatnya bercahaya. Tepat sebelum sayuran-sayuran berceceran di lantai, Fabex bertindak. Kedua tangan sahabatku itu terjulur ke udara dan mengarah pada kedua keranjang. Akibatnya, benda-benda yang melayang di udara itu berhenti di udara. “Insima cepat!” bentak Fabex.

Dengan tergopoh, aku segera mendekati benda-benda itu. Pertama-tama aku meraih kedua keranjang. Lalu cepat-cepat menata sayuran ke dalamnya. Setelah semua beres, aku meletakkan keranjang di lantai.

Fabex menghela nafas panjang, “Huh… hampir saja…. “ Tubuhku ikut kembali tenang dan pindar kehijauan yang merupakan efek getaran listrik yang mengalir di seluruh tubuhku mereda dan kemudian sama sekali menghilang.

“Kalian….”

Demi mendengar suara bernada rendah itu, aku dan Fabex segera panik lagi. Kami saling melihat lalu serentak menoleh pada Dunill, yang sejenak tadi kami lupakan. Mulut pemuda tampan itu masih ternganga.

“Dunilllll…..” Tiba-tiba sebuah suara lembut terdengar dari arah belakang Dunill. Suara perempuan.

Dunill menoleh. Wajah Ratu Saxi nampak di celah kecil antara kepala Dunill dengan jendela lorong. Dunill menggumamkan sahutan atas panggilan ratu. Lalu kembali menoleh pada kami dengan cepat. Ekspresi wajahnya sudah berubah menjadi lebih cerah.

Lalu katanya pelan, “Aku harus pergi sekarang. Tapi, berjanjilah kalau kalian akan menemui aku sore nanti di sini. Tepat di tempat ini. Ya?” Dunill tidak menunggu kami menyahut. Dia segera berlari pergi. Sebelum melompati parit kecil yang memagari dinding lorong, Dunill kembali berpaling.

Dadaku berdetak semakin cepat demi melihat pemuda pujaan hatiku itu tersenyum. Ini senyumnya untukku yang pertama. Sebelumnya kalau dia tersenyum pada kami, selalu saat kami berjalan di belakang Maxokyu, kepala pelayan urusan dapur, atasan kami. Dan saat itu, selalu ada pelayan-pelayan lain.

Fabex menyenggolku. Aku menoleh. Wajah Fabex nampak cemas.

“Jangan tersenyum!” kata Fabex sambil melambaikan tangan di mukaku. Aku buru-buru mengatupkan bibir dan menutupinya dengan tangan. Aku tidak sadar kalau sudah bertingkah sangat konyol. Fabex pasti akan menggunakan kejadian ini sebagai bahan ejekan selama satu minggu ke depan.

“Kamu jangan senang begitu!” katanya lagi. Melihat kerutan di keningnya yang putih dan halus, aku segera ingat pada persoalan genting di depan kami.

“Ooo kita terlambat! Herskus pasti akan marah besar!!! Kita bisa dihukum….” ucapku panik.

“Bukan itu….” Fabex menyentakkan kaki kanannya ke lantai. Wajahnya berang. Lalu dengan suara amat pelan tapi dengan segala penekanan seperlunya, Fabex meneruskan, “Apa kamu tidak sadar kalau… Dunill… baru saja melihat kekuatan kita….” Mata Fabex melotot besar sekali. Gadis yang suka berdandan ini, hanya melotot pada keadaan gawat. Terakhir, waktu kami harus berlari dari prajurit angkatan Xiangsaus lima minggu lalu. Saat itu kami baru saja, secara tidak sengaja membakar persediaan Serbuk Makanan Bertuah di gudang kota keramat Vixma.

“Betulll….” Jawabku tidak kalah pelan. “Menurutmu… apakah Dunill akan membenciku kalau tahu aku seorang QiPus?”

“Bukan itu Bodoooh….” kata Fabex geram. “Bagaimana kalau Dunill melaporkan kita?”

“Oh…. Menurutmu dia akan melakukan itu?”

“Aku tidak tahu. Aku tidak tahu dia termasuk golongan mana.”

“Terus…. Kita harus bagaimana?”

Fabex diam sebentar. Dahinya berkerut lebih hebat. “Kita pergi dari sini.”

“Apa?! Tidak. Aku tidak mau.”

“Aku juga tidak mau Insima. Tapi kita tidak punya pilihan. Mereka akan menangkap kita!”

“Tapi belum tentu Dunill akan melaporkan kita. Siapa tahu dia pembela QiPus?”

“Pembela QuPux atau Qipus itu bukan masalah penting sekarang. Dunill prajurit. Dia harus melaporkan semua yang dia ketahui pada atasannya. Dan kalau atasannya sampai melapor pada Jenderal Kastell, masalahnya akan runyam…. Kamu tidak mau dikucilkan ke Cua-Cua kan?”

Mendadak mataku memanas. Aku ingin menangis. “Dunill tidak akan melakukannya. Apa… apa kamu tidak dengar kalau tadi dia mengajak kita kencan nanti sore?”

“Itu bukan kencan Insima! Itu jebakan!”

“Tidak…. Bukan…. Tidak mungkin…. Dunill tidak akan berbuat begitu!”

“Oh ya? Dan bagaimana kamu bisa berkata begitu? Apa kamu begitu mengenalnya? Kalian sudah pernah bicara berapa kali? Baru tadi kan? Kamu tahu apa tentang dia? Apa kamu tahu di mana dia lahir? Atau di mana dia menghabiskan waktu senggangnya? Kesukaannnya? Hal-hal yang dia takuti? Kamu tidak tahu apa-apa tentang dia Insima! Sadarlah! Lagipula, bukankah kamu tahu kalau Celestial menyukainya? Apa menurutmu kamu bisa bersaing dengan Celestial?”

“Tapi… kamu kan bilang kalau aku se….”

“Aku bohong Insima! Kamu tahu aku bohong.” Fabex memelankan suaranya. Dia pasti benar-benar berfikir kalau aku sangat bodoh. Wajahnya berubah kuatir, “Kamu tahu kan kalau aku hanya berusaha menyenangkan hatimu?” Aku mengangguk pelan. Aku tergugu dan tangisku menjadi.

Fabex memandangku. Sinar matanya melunak. Dia mendekat. Lalu membelai rambutku pelan. Sambil membetulkan letak bunga Singhoma yang terjalin rapi dengan rambutku, Fabex berkata, “Kamu akan menemukan pria yang lebih baik Insima. Percayalah. Kamu cantik dan baik. Banyak pria baik yang akan menyukaimu. Tapi, untuk bisa begitu, kamu harus tetap hidup. Jadi, kita harus pergi sekarang….”

Aku baru akan membuka mulut, ketika Fabex kembali berkata, “Aku juga yakin Dunill orang baik dan aku juga sangat suka tempat ini, tapi kita benar-benar tidak punya pilihan lain Sayang…. Ya?”

Lama kami terdiam.

Hingga akhirnya, aku pun mengangguk pelan.

“Ayo!!!” Fabex meraih tanganku dan segera bergegas. Tepat ketika kami akan sampai di ujung lorong dan kembali bertemu dengan Gerbang Bunga Melanti, kami mendengar langkah bergegas di belakang kami. Kami menoleh.

Di ujung lorong yang lain, lima sosok tubuh berjubah berkilauan berjalan cepat. Jubah-jubah seperti itu hanya dimiliki oleh pelayan golongan tinggi dan golongan ningrat yang kaya.

Aku dan Fabex saling melihat. Tanpa diperintah dua kali, kami segera mempercepat langkah.

“He!!! Kalian!!! Berhenti!!” sebuah suara terdengar menggema dari ujung lorong. Kami bukannya berhenti. Justru berlari. Orang-orang itu juga berlari. Kami berlari makin cepat. Mereka juga semakin bergegas.

“Fabex! Lemparkan mereka!!!” teriakku tiba-tiba. Fabex menurut. Dia berlari sampai di ujung jalan. Lalu berhenti dan menempelkan bahu pada tembok ruang pustaka pegawai. Setelah memejamkan mata sebentar, Fabex menjulurkan tangan ke arah lima orang pengejar kami.

Tidak berapa lama kemudian, terdengar teriakan dan suara tubuh berdebum. Disusul dentang logam membentur lantai. Aku melongok dan melihat kelima pengejar kami berjatuhan.

“Insima! Giliranmu!” teriak Fabex. Aku mengangguk dan bergeser ke depan.

Aku sudah hampir melemparkan lisrik berwarna hijau yang menari-nari di jemariku ketika tiba-tiba seseorang mendadak muncul di depanku. Lelaki berambut putih panjang dengan baju putih kemilau dan jubah serta perhiasan mahal itu menempelkan tangan kanannya ke kedua telapak tanganku dan menggenggamnya erat.

Aku berusaha menyentakkan genggamannya tapi tidak bisa. Dan sebelum aku bisa berbuat lebih banyak, aliran listrik di kedua tanganku mendadak hilang. Bahkan, aku seperti tidak merasakan aliran apapun di seluruh tubuhku.

“Diamlah! Jangan bikin masalah,” kata lelaki itu. Dan sebelum aku bisa menjawabnya, lelaki itu sudah menghilang lagi. Tahu-tahu dia ada di dekat kelima tubuh yang bergelimpangan di lantai. Lelaki itu menyapukan tangannya di udara kosong di dekat mereka berlima. Aku sempat melihat cahaya keperakan muncul dari tangannya, sebelum aku mendengar bisikan, “Mereka akan lupa pada apa yang terjadi. Kembalilah bekerja dan lupakan semua kejadian ini. Jangan bikin masalah lagi.”

“Fab… kamu….” Aku menoleh. Berharap menemukan sahabatku itu terkaget-kaget karena bisa bertemu QiPus sehebat lelaki itu. Tapi, aku justru jadi lebih kaget. Fabex jatuh pingsan di belakangku. Tubuhnya tergolek lemah di lantai seperti orang tidur.

Aku kembali menoleh ke arah Gerbang Bunga Melanti, dan kembali terkejut. Kelima bangsawan yang tadi berjatuhan di lantai itu kini sedang berjalan memasuki Gerbang Bunga Melanti. Mereka berbicara dan tertawa-tawa riang. Seolah, tidak pernah mengalami kejadian aneh apa pun. Lelaki berbaju putih itu sudah tidak ada.

Tubuhku mendadak lemas. Aku bingung. Tidak tahu harus bagaimana. Selama ini aku selalu mendengarkan Fabex. Fabex selalu pintar membuat keputusan dan memilih hal yang harus kami lakukan. Sedangkan kini, Fabex justru sedang pulas. Aku tidak akan heran kalau saat bangun nanti Fabex akan lupa dengan semua kejadian yang barusan kami alami.

Siapa lelaki itu? Dia kawan atau lawan? Apakah aku harus tetap pergi atau kembali ke dapur dan bekerja? Kenapa kelima bangsawan itu mengejar kami? Kenapa hanya aku yang sadar dan ingat semua kejadian ini? Apa Dunill mengkhianatiku? Apa yang harus aku lakukan? Kepada siapa aku harus bertanya untuk mendapatkan keputusan yang tepat?
Apa yang harus aku lakukan?*****


1st Chapter oleh Fitri Hartati

No comments: