Friday, June 5, 2009

Impian dan Dia

Hari Minggu pagi, Kristopher mengendarai mobil menuju ke sebuah gereja yang biasa ia datangi bersama keluarganya. Sayangnya, ayah dan ibunya sedang berada di luar negeri untuk masalah pekerjaan. Alhasil, kini ia ditemani adik perempuannya yang centilnya setengah mati. Sedari tadi tak henti-hentinya ia menyisir rambut ikalnya. Sebenarnya, mereka sudah agak telat untuk datang kebaktian pagi ini, dikarenakan adiknya berdandan semanis mungkin tadi pagi. Ternyata gadis berumur 8 tahun itu sudah mengerti bagaimana berdandan dan memakai pakaian yang modis dan enak dilihat. Kristopher hanya mengeleng-gelengkan kepala ketika ia melihat adik disebelahnya terus-terusan menyisir rambutnya. Parkiran gereja tampak dipenuhi banyak mobil yang terparkir rapi. Nampaknya Kristopher mendapat PR lebih untuk mencari parkiran yang kosong. Inilah akibatnya bila datang terlambat, terlambat sedikit saja tak ada parkiran menanti. Seorang satpam gereja menunjukan parkiran kosong di bawah pohon besar. Kristopher memakirkan mobilnya.

”Maria pake sepatu sebentar ya, kak?” kata adik kecilnya sembari mengambil sepatu dibawah jok mobil yang didudukinya.

Wajah Kristopher sedikit asam ketika melihat keleletan adiknya. ”Cepet Maria sayang, kita ini udah telat!”

Ketika Maria telah memakai sepatunya, seketika Kristopher menarik tangan adiknya dan mengunci pintu mobil.


”Selamat Datang..” sapa Cietta pada pengunjung cafe dimana ia bekerja. Pengunjung siang ini lumayan banyak, meja hampir semua terisi penuh. Nampaknya Cietta dan karyawan lain sibuk mondar-mandir kesana-kemari untuk membawakan makanan pesanan pengunjung. Disudut cafe, Sunyi duduk manis menunggu pesanannya datang. Ia melihat menu-menu yang ada, sembari menunggu Cietta mengantarkan makanan pesanannya.

Chicken Fillet dan Strawberry Juice, silakan tuan putri..” kata Cietta menaruh makanan pesanan Sunyi dan duduk di kursi kosong dihadapan Sunyi.

”Makasih bencong, eh lo gapapa duduk-duduk pas lagi kerja gini?” tanya Sunyi sambil membuka tutupan sendok dan garpu.

”Tenang aja, semua pesanan udah dianter kok”

”Oh pantes lo main duduk aja”

“Eh mana tuh si tempe bacem?”

”Biasa, lagi gereja dia, tapi katanya dia mau kesini juga, mau ngicipin menu di tempat kerja lo”

”Tapi masa jam segini dia belom dateng juga? Biasanya juga acaranya udah selesaikan?”

”Ya gatau gue, mungkin macet kali dijalan?” kata Sunyi sambil menikmati pesanannya. ”Enak, cong!”

”Hehe, iya dong. Seneng deh gue, makin hari makin banyak yang dateng ke cafe ini, jadi gue bisa dapet tips lebih banyak deh” kata Cietta bermimik licik.

”Ih bencong, dasar lo yah, tabung tuh entar gaji lo, jangan dipake buat modal binal mulu?”

”Ih rese deh lo, sundel! Ya gak lah ya, seneng-seneng sih tetep, kan gue selalu nyari cowo disana, jadi sering dibayarin deh, hehe”

”Astaga, bencong.. licik lo ya” Sunyi meminum strawberry juice ketika terselak karena mendengar ucapan Cietta tadi.

”Yeay, kan mereka yang mau? Lagi pula gue kan lagi nabung buat beli Blackberry

”Ya,ya terserah lo deh, eh tempe nelpon nih!” Sunyi membersihkan tangannya lalu memegang telpon genggamnya. ”Halo te?”

”Lo dimana Sun?” kata Kristopher diseberang telpon.

”Ini gue udah di dalem cafenya si bencong, lo ada dimana?”

”ini gue lagi markir, wait a minute ya”

Tak lama kemudian muncul sosok Kristopher di ujung pintu masuk café, Cietta dengan semangat melambai-lambaikan tangannya. Tapi lambaian tangannya terhenti ketika ia melihat Kristopher datang tak sendiri, melainkan bersama adik perempuannya, Maria.

”Te, tumben lo ngajak adek lo gabung ma kita? Halo Maria, masih inget sama aku gak?” Sunyi menyapa Maria dengan lembut.

”Iya nih, tadi gue kegereja bareng, mana dia dandannya lama bnaget lagi, telat deh”

”Ih, gapapa lagi, dandan kan biar cantik ya, sayang?” Cietta mengelus kepala Maria.

”Tuh kak, mereka bilang aku cantik, weeeek” kata Maria polos.

”Aduh kalian, kalo bilang dia cantik, dia bakalan menjadi-jadi lama dandannya” kata Kristopher pasrah.

Sunyi dan Cietta tertawa geli. ”Lo tuh, sirik aja ya punya adik cantik dikit aja gak boleh” kata Sunyi tertawa sambil mengunyah sehingga beberapa nasi terlempar.

”Astaga, muncrat lagi!”

”Eh sori-sori te, abisnya gue kocak sih sama kelakuan lo, kayak anak kecil”

”Udah-udah, lo sama adek lo mau pesan apa?”
Maria mengambil buku menu, dan mencari menu kesukaannya.

”Aku nasi goreng, kak” jawab Maria.

”Minumnya apa sayang?” tanya Cietta lagi.

”Dia teh anget aja, dia lagi batuk gak boleh yang macem-macem, entar kalo tambah parah, gue lagi yang kena! Hm, kalo gue sama deh makanannya kayak si sundel, minumnya Ice Latte” kata Kristopher yang juga membuka menu makanan.

”Cit!” seseorang menghampiri Cietta.

”Eh pak”

”Ayo, jangan ngobrol aja, makin banyak tamu nih. Oh iya, saya mau nemuin tamu saya dulu ya, tolong jaga kasir” kata orang itu sembari pergi.

”Siapa cong?” tanya Sunyi.

”Itu bos gue, udah yah. Te, bentar ya nanti gue anterin” Cietta pergi kearah dapur dan memberikan kertas pesanan Kristopher dan Maria. Sambil menunggu pesanan, Kristopher nampaknya sudah tak tahan untuk mengicipi makanan Sunyi sedari tadi. Sunyi tak mau kalah dengan sendok yang baru diambil Kristopher untuk meng’hajar’ ayam gurih itu. Suara tawa dari sahabat-sahabat itu, menambah keramaian di café Cietta yang semakin ramai pengunjung.

Sunyi sedang mencatat bahan yang diberikan dosen di whiteboard. Lagi-lagi bangku sebelahnya yang biasa di duduki Cietta kosong. Sunyi sempat melihat sebentar dan hanya mengelengkan kepalanya. Tadi pagi Cietta mengirimkan pesan instan yang berisikan lagi-lagi ia tak masuk kampus, dikarenakan alasan yang tak jelas. Itu sudah menjadi hal yang biasa bagi Sunyi untuk dititipi absen olehnya. Dosen menjelaskan panjang lebar tentang bahannya minggu ini. Sunyi melihat jam tangannya, jam menunjukan pukul 2 siang, berarti masih ada waktu 2 jam lagi untuk makan siang, setelah waktu pelajaran usai, sebelum Sunyi dijemput ayahnya dikampus. Hari ini ia janjian dengan ayahnya untuk menengok ibunya. Mata kuliah telah berakhir, Sunyi bersiap-siap menuju kantin kampus yang terletak dilantai 7. Disana, seperti biasa Kristopher sudah menunggu setia dengan laptopnya.

”Te, udah makan lo?”

Kristopher hanya mengangguk serius karena saat ini ia sedang mengetik tugasnya. ”Gue mesen dulu ya, te” lagi-lagi ia hanya mengangguk dengan memasang muka serius ke layar laptop. Sunyi pergi kearah tempat pemesanan. Kristopher kali ini tak bisa menikmati waktu luangnya untuk bermalas-malasan, tugas hariannya sudah menumpuk sejak seminggu lalu.

”Te, serius amat sih lo?” tanya Sunyi yang baru saja duduk dan membawa makan siangnya.

”Sori Sun, gue lagi dikejar deadline nih, Jum’at besok tugas-tugas gue musti kumpul” jawab Kristopher yang masih mengetik dengan serius.
Sunyi hanya mengangkat alisnya dan meneruskan santap siangnya.

”Si bencong mana, Sun?” Kristopher bertanya tetap dengan keseriusannya.

”Lo kayak gak tau dia”

”Cabut lagi?”

”Iyalah, ngapain lagi?”

”Udah dapet kerjaan, bukannya tambah rajin, malah cabut-cabutan mulu”

”Ya, tapi gue rasa juga nanti dia sadar juga, oh iya te, gue abis ini langsung cabut ya?”

”Mau kemana lo?” kata Kristopher kali ini menghentikan keseriusannya dan berpaling ke Sunyi.

”Hari ini gue sama bokap gue mau nengok nyokap gue”

”Oh, oke-oke, salam buat nyokap ya”

Sunyi tersenyum dan melanjutkan suapan terakhir dipiringnya.

Mobil Kijang hitam datang masuk kedalam luar lobi kampus, Sunyi yang sudah menunggu dari tadi masuk kedalam mobil itu dan mobil pun langsung bergegas pergi. Ayah membayar karcis keluar kepada petugas gedung dan melajukan mobilnya menuju daerah pinggir kota.

”Yah, beli bunga sebentar ya, aku mau ngasih kejutan buat ibu”

Mobil mereka mampir kesebuah toko bunga sederhana. Sunyi turun, sementara ayah hanya menunggu didalam mobil. Sunyi terlihat sedang memilih bunga-bunga yang terbaik untuk diberikan pada ibunya. Sunyi mengeluarkan uang selembar lima puluh ribuan, lalu kembali lagi masuk kedalam mobil. Lalu, ayah kembali melanjutkan tugasnya. Sore hari ini, awan sedikit mendung, tak tahu akan hujan atau hanya sekedar untuk menyejukkan suasana di kota Jakarta yang biasanya panas luar biasa. Kemacetan yang biasa terjadi, kini tak dialami oleh ayah dan anak itu, mereka melawan arus kemacetan yang ada. Arah mereka ke pinggiran kota yang memang jarang dikunjungi banyak kendaraan. Mereka telah sampai ditempat tujuan, dan mencari parkir yang nyaman untuk mobil mereka. Sunyi dan ayahnya turun dari mobil, tak lupa Sunyi membawa sebuket bunga yang baru dibelinya. Mereka berjalan santai.

”Assalamualaikum, bu” salam Sunyi kepada ibunya.

Ayah hanya melemparkan senyuman hangatnya.

”Coba liat bu, aku bawa bunga kesukaan ibu loh”
Sunyi menaruh sebuket bunga itu di gundukan tanah merah berkeramik.

”Ibu, dapet salam juga dari sahabat aku, Kristopher”
Sunyi memandang ibunya sayu, ia berjongkok dan memegang lembut tempat tidur abadi ibunya.

”Bu, sekarang novel karanganku udah mau selesai, nanti aku akan berusaha buat menerbikan bukuku nanti, minta restunya ya, bu?”

Sunyi tersenyum pasrah, ayah Sunyi mengelus pundak anak semata wayangnya hangat. ”Ibumu pasti bangga, anaknya bisa secantik sekarang ini”

Sunyi bersandar di pundak ayahnya dan menatap makam ibunya dengan wajah ikhlas dan sekaligus raut rindu yang amat sangat. Air mata Sunyi nampaknya sudah mengering, sudah tak ada lagi alasan untuk menagisi kepergian ibunya yang sudah berlalu ketika ia melahirkan Sunyi kedunia. ”Ibu dulu pasti cantik ya, yah?” Sunyi bertanya pada ayahnya.

”Tentu, mirip sekali sama kamu”

Awan sore ini ternyata tak bersahabat, atau mungkin terharu melihat seorang anak yang rindu akan kehadiran seorang ibu yang ingin ia peluk seerat-eratnya. Rintik air mulai jatuh kepermukaan tanah merah yang sedari tadi haus akan air segar yang akan membasahi mereka. Sunyi dan ayahnya bergegas pamit terhadap ibu, mereka kembali menuju mobil dimana mereka parkirkan. Rintik-rintik hujan mulai membasahi kelopak-kelopak bunga yang tadi dibawa Sunyi untuk ibunya. Mungkin awan ingin sekali bunga itu tetap tumbuh segar agar mengharumi dan menghiasi tempat peristirahatan ibu Sunyi selama mungkin. Sunyi tersenyum melihat makam ibunya sembari mobilnya menjauh dibalik derasnya hujan yang sekarang turun untuk mendinginkan suasana sore ini.

Kreekk. Cietta menyalakan korek dan mengarahkan kebatangan rokok yang diapit oleh bibirnya. Malam ini rasanya sangat melelahkan baginya, hari ini cafenya penuh sesak dengan banyaknya pengunjung yang datang. Tentu, pelayanan yang Cietta berikan tak menjadi sia-sia. Uang tips juga lumayan terkumpul banyak. Ia melepas lelah dan suntuk setelah berbenah-benah memberesi kursi dan meja yang berantakan. Kini ia duduk di kursi kosong bersama teman pekerja cafenya yang baru masuk hari ini.

”Seneng ya, hari ini banyak banget yang dateng?” kata Cietta sembari membuang puntung rokok bekas isapannya.

”Wah, gue aja baru pertama kali kerja aja udah capek banget” kata seorang teman.

”Wajar sih, tapi kita harus semangat ya! Makin banyak customer yang dateng kan, bos juga yang seneng trus, kita deh yang dapet imbasnya, hehe” kata Cietta yang lagi-lagi membakar rokoknya. Lalu, ia menawarkan keteman barunya. ”Mau?” temannya mengambil satu batang rokok dari kotaknya.

”E-elo kerja gini aja atau kuliah?” tanya temannya.

”Kuliah dong, tapi entah kenapa kadang-kadang gue males buat dateng kuliah, kebiasaan dari SMA kali yah, hehe”

”Iya sih, kuliah kadang emang ngebosenin”

”Lo sendiri, kuliah?” tanya Cietta balik.

”Iya kuliah juga, ya tapi sama aja kayak lo dan mahasiswa lainnya, masa muda rasanya gak bakal berlangsung lama, bawaannya mau sebebas-bebasnya aja”
Cietta tersenyum, seperti setuju dengan apa yang dikatakan temannya itu.

”Eh, suasana jakarta kalo malem indah banget yah?” kata temannya yang agak mengagetkan Cietta yang tak menyangka akan berbicara seperti itu.

”Maksud lo romantis?”

”Yah, gak juga, ya coba aja lo natep langit sekarang diluar sana, pasti lo merasakan kenyamanan yang sama” kata seorang teman yang memandang kearah luar.

”Masa sih?” Cietta bergerak meneju jendela luar cafe. ”Ah, biasa aja, gak banyak bintang”

”Lo lagi ada pacar, ya?”
Cietta mengerutkan dahinya. ”Kok lo tiba-tiba nanya gitu? Emang apa hubungannya?”

”Yah, biasanya kalo lo udah punya orang yang lo sayangin tuh, udah gausah melampiaskan kesepian lo dengan hal apa-pun”

”Gak, gue gak punya pacar”

“Apa lagi jatuh cinta?”

Cietta menengok kearah temannya itu. ”Jatuh Cinta?” Cita sempat terdiam. Rasanya belakangan ini ada sosok seseorang yang memang menghantui pikirannya selama ini. Beberapa hari ini, tidurnya selalu tak nyenyak. Entah ganjalan apa yang menghantui, yang ia tahu hanya rasa gelisah yang berlebihan ketika ia ingat sesosok pria tampan yang ia temui di kantin maupun lift kampus tempo lalu. Suasana malam ini sekarang menyelimuti hati Cietta yang kini mulai gelisah lagi. Lalu-lalang orang yang berjalan di depan cafe, membuat pikiran Cietta melayang entah dimana pria itu sekarang berada. Raut muka Cietta sekarang menjadi serius.

”Hey?” temannya melambai-lambaikan tangannya didepan wajah Cietta yang kaget seketika dari lamunannya.

”E-sori,” Cietta melihat jam di tangannya yang sudah menunjukan pukul sebelas lewat. ”Eh gue duluan ya, besok ada kuliah pagi”

”Oke, mau bareng?” temannya menawari.

”Gak usah, gue pulang sendiri aja, duluan ya” Cietta bergegas mengambil tas tangannya dan langsung berpaling menghilang dibalik pintu kaca cafe.

Malam semakin larut, angin malam memberikan kesejukan hati bagi Cietta, tapi tidak untuk hatinya yang mulai kembali resah saat ini.
***


1st Chapter oleh Satriyo Pamungkas

No comments: