Bab I
Di Ambang Kegelapan
Di Ambang Kegelapan
Hujan deras mengguyur seluruh Padang Wuste tanpa ampun, begitu derasnya hingga tanah-tanah tercungkil dari akar-akar rerumputan hijau Padang Wuste, menyebabkan tanah berlubang dimana-mana dan cacing-cacing keluar dari tempat persembunyian mereka. Namun tetap saja cacing-cacing tidak seberuntung siapapun yang membenci hujan malam ini, karena hujaman air hujan yang tajam dan merusak tanah itu langsung saja membelah tubuh lembut-berlendir mereka menjadi dua.
Akan terjadi sesuatu disini.
Lédgard duduk tenang di atas kuda putihnya yang justru terlihat sangat tidak menikmati suasana hujan ini. Hewan itu menghentakkan kakinya berulang kali dan meringkik pelan dengan nada gelisah. Lédgard menarik tali kekang kuda itu, mengelusnya pelan.
“Tenanglah sedikit,” gumamnya.
Seolah mendengar gumaman penunggangnya yang tentu saja terganggu oleh derasnya suara air hujan yang mengguyur kepalanya, kuda itu menghentikan hentakan kakinya dan berdiri tenang. Dan setelah memastikan bahwa tunggangannya sudah benar-benar tenang, dia menegakkan punggungnya, menggenggam erat pedang di sarungnya.
Laki-laki itu menyipitkan matanya, berusaha keras menatap ke seberang padang yang gelap. Sementara di seberang sana, sejauh dia bisa melihat, berdiri sebarisan Ragma dengan membawa golok panjang bergagang hitam kasar, menatap lawan mereka dengan pandangan buas sekaligus menjijikkan. Mereka berpostur tinggi besar dengan sisik-sisik berlendir menutupi tubuh mereka sebagai pengganti kulit lembek manusia. Sepasang tanduk muncul di dahi mereka, tanduk yang sangat beruntung jika bisa diperoleh para tukang sihir sebagai bahan pembuat Tongkat Pemantra Hitam, karena Ragma jelas tidak mau memberikan tanduk mereka secara cuma-cuma, walau disodori sepuluh mayat manusia sekalipun. Dan itu memberi alasan bahwa Ragma tidak memihak pada siapapun. Mereka akan membunuh dan memakan siapapun—apapun—kalau lapar, kawan mereka sekali pun.
Tapi kini mereka berdiri di belakang Vradlér, Putra Api.
“Berpihakkah mereka pada Vradlér?” Hérsh, pasukan infanteri, menggumam sendiri. Ia tidak terlalu bodoh untuk tahu bahwa Ragma tidak mudah diajak bersekutu, tapi...
“Kalau aku tewas, Lédgard, tolong rawat anakku...”
“Tanpa mengurangi rasa hormat, Yang Mulia, tapi itu adalah kata-kata paling buruk yang pernah terlontar dari seorang raja.”
“Oh, buruk, menurutmu? Meskipun kemungkinan itu bisa saja terjadi? Kupikir kau pernah mengajakku berpikir realistis...”
“Realistis dalam menghadapi kenyataan yang sudah terjadi, Yang Mulia! Dan apakah menurut Yang Mulia, kematian yang Anda khawatirkan itu sudah terjadi?”
Selama beberapa saat, Vraez Eben diam.
“Yang Mulia?”
“Aku hanya mencoba untuk menebus kesalahanku.”
Lédgard tertegun. Kata-kata itu terdengar menakutkan, bahkan Lédgard tidak beruaha untuk menyangkal bahwa Vraez Eben merasakan kegentaran. Ini pertama kali-nya dalam hidup, Lédgard melihat rajanya berwajah muram.
“Anak yang bahkan belum lahir itu bukan kesalahan Anda, Yang Mulia...”
“Bahkan kalau nantinya dia harus menanggung apa yang telah diperbuat ayahnya dulu? Kau mengerti kan, akhirnya, Lédgard? Aku melakukan semua ini hanya untuknya, untuk Sabrina, dan untuk tanahku Landv. Dan aku akan tetap melakukannya walaupun itu adalah hal terakhir yang bisa kulakukan.”
Lédgard menatap pria yang bahkan tingginya hanya setelinganya ini, tapi entah kenapa ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya lebih besar dan tinggi darinya. Vraez Eben tak pernah menunjukkan kelemahannya pada siapapun, bahkan pada istrinya pun tidak, kecuali dengan Lédgard. Vraez Eben terlalu mempercayainya, bahkan mungkin jika seandainya Vraez Eben memiliki nyawa kedua yang harus dijaga, dia pasti akan mempercayakan Lédgard untuk menjaganya, alih-alih menyimpannya sendiri. Lédgard merasa ngilu.
Tak tahukah dia kalau aku ini jauh lebih hina darinya?
Tiba-tiba saja bunyi deras hujan seperti teredam oleh suara yang muncul di kepalanya. Dia tahu apa yang terjadi. Vraez Eben mencoba untuk membesarkan hatinya dan seluruh pasukannya tanpa harus berteriak-teriak.
“Ini aku,” suara itu terdengar berat dan tidak terdengar ramah di telinga Lédgard, namun anehnya, membuatnya merasa sangat nyaman. “Kalian adalah orang-orang paling berani yang pernah berperang bersamaku. Apapun yang terjadi, aku sangat bangga bisa berada disini bersama kalian. Hanya satu yang ingin kukatakan, jangan berperang demi namaku, tapi berperanglah demi tanah kalian, demi Tanah Landv.”
Lédgard melihat dengan penuh kesulitan ke belakangnya, dia melihat begitu banyak wajah-wajah keras yang begitu khawatir, bahkan ketakutan. Mereka gelisah, mereka mengatupkan rahang dengan keras hingga terlihat dua tonjolan yang amat mencolok di pipi mereka, mereka melihat ke segala arah, mereka mengerjapkan mata berkali-kali, mereka mencengkram dada masing-masing, mereka berusaha keras menggigit bibir agar tidak terganggu dengan gemeletuk gigi mereka yang menggigil kedinginan, mereka menunduk dan sama sekali tidak menatap ke depan mereka, ke seberang padang...
Lédgard menegakkan kepalanya, melihat sosok di sampingnya menoleh ke arahnya, membiarkan Lédgard menatap sepasang sinar mata yang terpancar dari kegelapan wajah yang terselimuti helm bajanya. Sekali lagi, pria itu mendengar suara di telinganya, suara yang kali ini hanya bisa didengar olehnya.
“Apa kau selalu bersamaku, dan Tanah Landv?”
Tangan Lédgard mencengkram erat. “Kohri torkh asholén.”
Hingga kematian menjemputku.
Di seberang sana, geraman Ragma berubah menjadi lolongan tertahan ketika sosok hitam tinggi maju dan berdiri di atas karang hitam yang seolah mencuat keluar dari tanah. Topeng menutupi wajahnya, jubah hitamnya terjuntai di belakang, nyaris menyentuh karang. Tunggangannya, makhluk hitam menyerupai kuda jantan besar, namun memiliki kaki bercakar serta sepasang sayap kelelawar di masing-masing sisi makhluk itu. Surainya yang panjang menjuntai ke sisi kanan, sesekali bergerak sendiri. Makhluk itu meringkik mengerikan ketika Vradlér, penunggangnya, mengeluarkan pedang dari sarungnya dan mengangkatnya tinggi melewati kepalanya. Lolongan Ragma seketika membahana memecah kebisingan hujan deras yang seolah ingin mengacau perang itu. Lédgard melirik Vraez Eben sekali lagi, dan dia melihat tangan sang raja menggenggam tali kekangnya kuat-kuat hingga urat-urat tangannya menonjol keras.
Lédgard mencabut dan mengangkat pedang dari sarungnya, mengikuti pemimpinnya, Vraez Eben, dan diikuti oleh pasukan pedang di belakangnya. Jantung Lédgard berdegup kencang, dia menyadari bahwa perang ini baru akan berhenti jika kematian mendatangi salah satu dari kedua pemimpin yang berseberangan itu.
“Sahabatku,” Lédgard mendengar suara itu hanya ditujukan padanya. Dia menoleh, menatap Vraez Eben. “Seingatku, kau pernah menceritakan padaku tentang perang besar antara kaum Vadaar dengan para Gorgh di Hutan Gorgh.”
“Ya, Yang Mulia. Perang paling hebat yang pernah hamba dengar, saat para Ksatria Langit melawan para raksasa yang jumlahnya jauh lebih banyak.”
“Apa yang terjadi dengan mereka semua?”
“Tewas, Yang Mulia, semuanya.”
Vraez Eben mengacungkan pedangnya lurus-lurus ke arah seberang, punggungnya bergetar dan, diiringi raungan ganas tunggangannya, berseru lantang, “Demi Tanah Landv!”, lalu menghentakkan tali kekang dan maju.
Teriakan dan genderang perang menggema ke seluruh penjuru Padang Wuste saat masing-masing kedua belah pihak bergerak menuju tengah padang, memulai perang yang akan menentukan kemenangan dan kekalahan. Derap langkah kuda-kuda ke tengah padang, teriakan prajurit-prajurit serta lolongan Ragma yang memecah keheningan ganjil penuh kewaspadaan segera bergenti menjadi dentingan besi ketika pedang mereka beradu.
Lédgard menyapu sebarisan pasukan Vradlér dan dua tebasan yang menjatuhkan lima manusia dan memenggal kepala salah satu di antara mereka. Prajurit infanteri berlari di belakangnya, berusaha melawan Ragma sementara ujung tombak mereka bersentuhan dengan lengan Ragma yang keras, menimbulkan suara dentingan dalam yang nyaris mementalkan tombak mereka. Hérsh, salah satu prajurit infanteri itu, tidak putus asa, dia mengecoh perhatian Ragma dengan menjatuhkan golok panjang mereka, dan ketika Ragma menatap goloknya yang jatuh dengan tatapan bodoh tapi murka, Hérsh menusuk perut Ragma yang terbuka.
Lédgard tak menyadari, sementara dia bertarung dengan lima Ragma sekaligus dari atas kudanya, salah satu dari makhluk itu tiba-tiba menggigit kudanya. Lédgard terjungkal dari kudanya, jatuh menghantam mayat pasukannya. Kudanya, masih meringkik kesakitan, diserbu oleh para Ragma. Lédgard jatuh menghantam mayat pasukan infanterinya. Dia mengambil pedang milik pasukannya itu, tapi ketika dia membalikkan tubuh, dia melihat Ragma yang tadi menggigit kudanya nyaris menggigit kepalanya. Lédgard melolong, pedangnya terlepas dari tangannya. Dia menahan leher Ragma yang begitu tamak hendak memangsanya. Lédgard kehabisan napas, dia berusaha keras meraih pedang atau apapun yang bisa digunakannya sebagai senjata. Tapi tiba-tiba Ragma itu melolong, lalu ambruk. Lédgard melihat ada pedang yang tercabut dari dada makhluk itu. Ternyata itu milik Hérsh.
“Anda tidak apa-apa, Tuanku?” Hérsh mengulurkan tangannya, dan Lédgard segera menyam-butnya dengan cepat, menandakan bahwa dia tidak apa-apa.
Vraez Eben menghentakkan tali kekangnya lebih cepat, sementara pedang di tangannya menebas kepala musuh-musuhnya satu persatu. Dia mengayunkan pedangnya di atasnya, ‘mengusir’ ratusan anak panah yang mengarah padanya dengan kejelian yang luar biasa untuk membedakan antara busur milik musuh dengan busur pasukannya. Ia sekali lagi menghentakkan tali kekangnya, dan secara ajaib tunggangannya membawanya terbang.
Makhluk ini bukan tunggangan biasa, namun ia juga bukan unicorn. Dia meraung seganas leopard raksasa, setenang pancaran lembayung di barat Landv yang tak terlihat, namun sekejam chimaera penghuni Hutan Gorgh. Dia yang tidak bersayap, terbang diatas gerumulan makhluk yang menutupi hijau rerumputan padang serta menyerap seluruh keindahan alam. Dan ketika terbang di atas sana, mereka melihat pasukan musuh yang semakin banyak tersebar di belakang kepemimpinan Vradlér, berjejal di balik tebing jurang, berlari liar melintasi lebatnya hutan dengan kecepatan yang luar biasa ke tengah padang menggantikan kawannya yang tewas. Tapi, tidak sedikit juga Ragma yang dengan ganas dan sadisnya menyerbu manusia atau Ragma yang tewas, merobek sisik bangkai Ragma, menggigit leher manusia hingga darah mereka menyembur deras, lalu menyantap mereka.
Pertarungan yang tidak seimbang, begitulah semua orang pikir jika mereka bisa melihat dari atas jejalan makhluk-makhluk mengerikan itu yang seolah-olah menetas dari bebatuan tebing. Vraez Eben menghentakkan tali kekang dan mereka terbang ke atas hutan. Tunggangannya menukik tajam ke atas tebing, berputar menghindari lesatan anak panah yang mengarah padanya. Makhluk itu membuka mulutnya dan diiringi raungan ganas, semburan api keluar dari mulutnya, menyembur ke arah tebing dan membakar semua yang ada disitu hingga hangus menjadi abu. Api itu bahkan tidak padam di bawah derasnya hujan. Para Ragma meraung kesakitan, mereka berlarian dan merosot ke tebing lalu berlari tak tentu arah sambil melolong tidak karuan, menubruk apa pun yang menghalangi jalan mereka. Api itu menjalar ke tubuh lain saat mereka bertubrukan, dan mereka pun ikut terbakar.
Tandukan keras ke perut Silber, makhluk penyembur api itu, seketika membuyarkan setitik kecil kemenangan yang baru saja diperoleh. Semburan api dari mulut Silber langsung terhenti dan ia nyaris terjatuh dalam kobaran api yang dibuatnya sendiri. Vraez Eben mengepit kedua kakinya ke tubuh Silber dan makhluk itu memutar tubuhnya ke atas sambil meraung ganas. Ia terbang secepat mungkin memburu makhluk yang telah menanduknya.
Vradlér dan Vorzug, tunggangannya, terbang berputar di atas Vraez Eben. Saat melihat Silber dan penunggangnya terbang mendekati mereka, Vorzug menukik tajam ke arah Silber diiringi ringkikan mengerikan yang keluar dari moncong kudanya. Bersamaan Vradlér dan Vraez Eben mencabut pedang masing-masing dan terjadilah pertarungan udara yang sengit. Pedang mereka beradu dengan kerasnya hingga beberapa kali bunga api terpercik keluar bagaikan pijar bintang merah jika kau melihatnya dari bawah. Tunggangan mereka menghindar dan mencoba mencari celah kelemahan lawan, seolah sangat mengerti apa yang tuan mereka inginkan. Napas bengis tersembur keluar dari hidung Vradlér setiap kali dia bergerak, bola matanya memerah dan membelalak saat pedang mereka beradu. Di antara nafsunya akan pertarungan serta naluri untuk menang, Vradlér mengacungkan pedangnya ke atas dan meraung, “Zolgorz!” tepat ketika Vraez Eben mengayunkan pedangnya.
Kejadian itu berlangsung sangat cepat, tak ada yang mampu melihat dan menceritakannya secara terperinci, begitu pula saat ini. Vradlér memanggil petir dengan mantra hitam, dan petir itu menyambar Vraez Eben. Vraez Eben menjerit, pedangnya yang terayun mengenai dada Vradlér bersamaan dengan petir yang menyambar. Silber meraung, merasakan kesakitan yang luar biasa, dan dengan satu kerlingan mata, semua prajurit Landv menyaksikan pemimpin mereka jatuh.
“Eben!” Lédgard meraung marah dan berlari mendekat ke titik kira-kira Vraez Eben akan terjatuh. Ia menebas apa pun yang menghalangi jalannya dengan membabi buta, melompati puluhan mayat dan bangkai Ragma, dan berteriak penuh kesengsaraan saat melihat Vraez Eben dan Silber jatuh tidak ke hutan, namun ke dalam Jurang Torkh—Kematian—yang bahkan seekor naga pun akan mati membusuk di dalamnya. Dengan murka dia menebas kepala Ragma yang nyaris menerkam lehernya.
Kegelapan mengerikan dan hawa pengap seketika berhembus meniup dataran Padang Wuste seiring jatuhnya sang Penguasa Matahari. Para Ragma melolong penuh kemenangan, Vorzug meringkik mengerikan. Hérsh menatap kekalahan mereka dengan penuh keputusasaan, dan jatuh berdebum di tanah saat Ragma menyergapnya dan menggigit lehernya.
***
1st Chpater oleh Fitri Aprilia Pratiwi
No comments:
Post a Comment