Wah, kalau bapak sama ibu dengar ucapan ini keluar dari mulutku, aku bisa diceramahin abis abisan. Hidup itu untuk disyukuri n`duk, bukan untuk disebal-sebalkan. Mungkin begitu (awal) ceramahnya
Yahhh…beberapa bulan lalu mungkin aku bilang life is wonderful, meski aku belum punya pacar.
Life is exciting meski setelah 4 bulan aku jadi Sarjana Seni Desain Grafis aku masih belum punya pekerjaan tetap (padahal aku nggak jobbles jobless amat, soalnya di kampus aku jadi asisten dosen) tapi kata ibu pekerjaan tetap itu kerja di kantor masuk jam 9 pagi pulang jam 5 sore.
Life is fun meski berat badanku naik turun mencemaskan (karena nafsu makanku berbanding terbalik dengan suasana hatiku. Coklat, ice cream dan gulali jadi cemilanku saat aku Pms dan sedih sedang salad, selat, gado-gado dan karedok jadi menu andalan saat aku melihat junior-juniorku yang bersliweran di depan mataku dengan body yang sekurus lidi).
Life is cool meski aku jarang bedakan dan pake lipstick (ha..ha..ha..apa hubungannya?)
Tapi semua itu mendadak jadi menyebalkan karena Mbak Dhara.
Iya, Mbak Dhara! Mbakku satu satunya yang super perfect, yang tampang dan bodynya seperti bumi dan langit bila dibandingkan dengan aku (kadang-kadang aku suka bingung, kok bisa ya aku dan Mbak Dhara beda banget padahal kita berasal dari gen yang sama)
Dia tinggi menjulang, aku standart saja. Dia langsing, aku kadang-kadang bisa dibilang langsing, kadang tidak (tergantung kejelian dan ketepatan aku memilih model dan warna baju), dia berkulit putih tanpa noda sedangkan kulit wajahku agak sawo matang (meski akhirnya mukaku putih dan mulus juga, tapi itu karena aku nekat pakai pemutih wajah setelah berkonsultasi dengan dokter kulit dan menghabiskan hampir separuh tabungannku).
Mbak Dhara berambut panjang lurus seperti habis di smoothing, aku berambut ikal seperti mie keriting. Aku pakai kacamata minus tiga, sedang Mbak Dhara pakai kacamata kalau dia mau gaya saja (meskipun sebenarnya matanya juga minus dan silinder), Dia menyelesaikan kuliah Kedokteran Giginya dengan nilai yang sangat memuaskan, aku menyelesaikan kuliah Grafisku lima tahun dengan `hanya` nilai B. Dan Mbakku juga yang super perfect yang punya love story berjalan mulus..luss..luss…..Pacaran hanya sekali lalu menikah dan sampai sekarang masih live happily dengan satu anak balita perempuan yang lucu, menggemaskan dan pintar pula.
Jadi kecil kemungkinannya pernah patah hati. Sementara aku, seperti aku bilang pacar tak ada tapi patah hati pernah.
Tapi bukan itu yang membuat aku merasa hidupku jadi menyebalkan. Kalau soal Mbakku dan segala kesempurnaannya aku sih sudah belajar menerima sepanjang hidupku.Lama-lama kebal juga kok keseringan menerima pertanyaan dan pernyataan perbandingan.
“Ini adikmu Ra?” Kok beda ya? (Nggak mungkin sama dong memangnya kloningan), atau “Kamu juara berapa di sekolah? Juara satu kan? Kayak Mbakmu.” Atau, “Contoh deh Mbakmu kalau cari suami. Sudah cakep, pinter, S3, lulusan Amerika….” Lalalalalaaa….capeeee…..
Kalau itu semua sih bukan masalah buat aku (well, I hope so). Tapi karena tiba-tiba saja, tanpa basa basi, Mbakku tercinta ini yang biasanya nggak pernah mau tahu apa yang aku lakukan, ditengah sore yang nyaman dan indah dengan warna langit yang semburat jingga (jarang-jarang langit Jakarta berwarna indah biasanya kan hanya abu-abu biru polusi asap), ketika aku sedang santai di halaman belakang rumah, duduk di kursi rotan yang hampir jebol, menikmati potongan terakhir chesse cake legendaries buatan Ibu, dia mengajukan pertanyaan yang membuat perutku mendadak jadi kenyang.
“Jadi kira-kira kapan kamu rencana mau nikah Dha?” di kupingku nada ucapannya lebih seperti keharusan daripada pertanyaan, mirip banget sama dialog sinetron Indonesia.
Lho..lho…kok…apaann sih.. nggak ada hujan nggak ada badai nggak ada banjir nggak ada petir..kok nanyanya…
“Hah..apaan Mbak?” aku minta diulangi. Kali aja salah denger, meski kecil kemungkinannya habis ngomongnya kenceng banget. Si Mbak Kokom aja yang lagi nyapu di taman mungkin denger juga.
“Kamu kapan mau n-i-k-a-h Dhaya? Kali ini Mbakku mengulangi pertanyaanya dengan slow motion.
“Ooo…nikah..kirain apaa” hmm..hmmm..hmmm… aku bergaya mikir.
“Iya nikah, married, kawin”
“Nikah ya?” still mikir.
Hmmm…hmmm…hmm…kalau aku jawab belum ada cowok yang bersedia menikahi aku, gengsi banget masa Dhaya yang cute ini kesulitan cari pacar. Kalau aku bilang ada nanti malah disuruh diperlihatkan ke orang rumah. Kalau aku bilang banyak……
“Waduhh…gimana ya Mbak, justru sekarang aku lagi bingung nih” jawabku sok santai meski hati dongkol setengah mati. Dalam rangka apa sih pakai nanya kapan aku mau nikah (lah wong aku aja nggak tahu).Jangan-jangan ini pertanyaan pesanan Bapak sama Ibu. Tapi masa sih rasanya bukan stylenya Bapak sama Ibu deh. Mereka kan orang yang paling menghargai privacyku. Nggak suka usil dan nggak kebanyakan nanya.
“Dha!”
“Hahh..whats sup sih Mbak?”
“Bingung apanya Dha?”
“Bingung milihnya, calonnya buanyakkk” Mudah-mudahan tidak ada pertanyaan berikutnya.
“Memangnya calonmu tuh siapa aja sih? Perasaan nggak pernah ada cowok yang kamu bawa kerumah deh” Tanya Mbak Dhara makin gencar.Salah nih jawabnya.
“Yew..want to know aja sih. Pokoknya banyak deh Mbak. Kalau aku kasih tahu Mbak juga nggak bakalan tahu” jawabku betebe (betebenget).
“Nahh kalau gitu, biar sekalian bingung, mau nggak kamu Mbak kenalin sama temen Mbak?”
Sekarang aku yang bengong, ya ampun Mbak Dhara ini sebenernya cerdas apa jenius ya. Sudah dibilangin calonnya kebanyakan malah mau ditambahin.
“Gimana Dha?” desak Mbak Dhara.
“Emang kenapa sih Mbak? Penting banget ya aku kapan nikah?” bukannya jawab aku malah balik nanya.
“Jelas penting Dha. Umur kamu berapa sekarang? Kamu harus pikirin kapan kamu nikah, kapan kamu mau punya anak, mau anak berapa, trus karirmu gimana?”
Olalalaaaa…Mbakku yang wellplanning … memang beda banget sama aku yang lebih mengikuti kata hati dan terlalu will see.
“Tapi kok nanyanya tiba-tiba begini sih?”
“Dhaya…Dhaya…tiba-tiba apanya. Mbak udah dari sebulan yang lalu mau nanya soal ini sama kamu. Tapi gagal terus. Ingat nggak weekend kemarin waktu kita lagi di Sour Sally, Mbak udah mau nanya tapi nggak jadi karena tiba-tiba ketemu sama Sisil temen Mbak yang cerewetnya minta ampun itu. Waktu kita di Time zone nemenin Keira main Mbak juga udah mau nanya.”
Ooo…pantess…pantesss… weekend kemarin Mbak Dhara baik banget. Ngajak aku nge-fro-yo bareng, trus pake beliin aku baju di Mango segala sementara Mas Pandya dan Keira malah berenang di water boom ( mereka bilang itu hari bapak berdua aja sama anaknya nggak mau diganngu siapapun apalagi sama ibu dan tantenya). Trus dengan semangatnya ngajak aku ikutan main ke Time Zone… Hmmmm…ternyata ada udang dibalik saos tiram.
“Jadi gimana Dha? Mau ya Mbak kenalin sama temennya Mbak? Mbak prihatin nih sama kamu. Mosok seumur kamu, udah lulus kuliah tapi pacaran aja belum pernah. Trus mau nikahnya umur berapa?”
Idihhhh…. Mbak Dhara nyebelin banget sih. Tahu darimana lagi aku belum pernah pacaran. Lagian ngapain juga pake prihatin segala. Aku aja nggak apa-apa kok. Emang bener siihhh… aku belum pernah pacaran. Tapi memangnya aib gitu kalau sudah sampe lulus kuliah belum pernah pacaran.
“Gimana Dha? Mau ya?”
“Ya..atur…aturr …aja deh Mbak.” Kataku enteng. Ngeloyor pergi, meninggalkan Mbak Dhara dan sepotong chesse cake yang gagal aku habiskan
Aku memang ngeloyor pergi. Tapi bukan berarti setelah itu aku nggak mikirin pertanyaan Mbak Dhara. Aku pikirin. Banget malah.
Aku pikirin itu ketika jam satu malam aku ngunyah donat ketigaku di kamar tidur, aku pikirin ketika aku jalan-jalan sendiri ke toko buku nyari komik terbaru, aku pikirin ketika aku sedang hairspa di salon langgananku. Saking dipikirinnya terbawa sampai ke mimpiku untung nggak sampe ngigau.
Jangan dikira aku nggak mau nikah. Aku kan cewek normal. Apalagi akhir-akhir ini aku sering banget menghadiri pesta pernikahan (anaknya temennya Ibu lah, temennya Mbak Dhara lah, sepupu, anak kenalannya Bapak dan sebagainya. Pokoknya asal ada undangan pernikahan aku pasti disuruh ikut, kata Mbak Dhara biar aku terinspirasi..)
Kadang-kadang terpikir juga gimana rasanya berdiri di pelaminan disalamin dan diselametin ratusan bahkan ribuan orang (pasti pegel, Dha), atau gimana ya rasanya malam pertama (Husss…).
Yahh..aku juga pikirin semua itu, Cuma saja aku belum mendengar bunyi “klik” dan music indah di telingaku yang bilang ini dia cowok yang aku mau (kayak di iklan aja).
Dan dari perenungan dan pikir memikir yang tidak sampai membuat rambutku rontok dan jadi putih (lebay deh ah) aku lalu bertekad, berjanji dan berdeklamasi (lho kok). Disaksikan nyamuk-nyamuk bandel di kamarku yang membuat badannku jadi bentol-bentol, serta suara cit..cit tikus yang berkeliaran nyari makanan di dapur bahwa terhitung sejak mulai bunyi kokok ayam bekisarnya Bapak aku akan serius nyari pacar.Bukan hanya pacar, aku akan serius nyari calon suami, lalu aku sodorin ke muka Mbak Dhara setelah itu aku suruh pulang (ehhh salahhh yaa).
Hmmm…..ngebayanginnya aja aku sudah senyum-senyum sendiri. Oke Mbak! Jreng..jrenggg..lets hunt beginnnn……
Yahhh…beberapa bulan lalu mungkin aku bilang life is wonderful, meski aku belum punya pacar.
Life is exciting meski setelah 4 bulan aku jadi Sarjana Seni Desain Grafis aku masih belum punya pekerjaan tetap (padahal aku nggak jobbles jobless amat, soalnya di kampus aku jadi asisten dosen) tapi kata ibu pekerjaan tetap itu kerja di kantor masuk jam 9 pagi pulang jam 5 sore.
Life is fun meski berat badanku naik turun mencemaskan (karena nafsu makanku berbanding terbalik dengan suasana hatiku. Coklat, ice cream dan gulali jadi cemilanku saat aku Pms dan sedih sedang salad, selat, gado-gado dan karedok jadi menu andalan saat aku melihat junior-juniorku yang bersliweran di depan mataku dengan body yang sekurus lidi).
Life is cool meski aku jarang bedakan dan pake lipstick (ha..ha..ha..apa hubungannya?)
Tapi semua itu mendadak jadi menyebalkan karena Mbak Dhara.
Iya, Mbak Dhara! Mbakku satu satunya yang super perfect, yang tampang dan bodynya seperti bumi dan langit bila dibandingkan dengan aku (kadang-kadang aku suka bingung, kok bisa ya aku dan Mbak Dhara beda banget padahal kita berasal dari gen yang sama)
Dia tinggi menjulang, aku standart saja. Dia langsing, aku kadang-kadang bisa dibilang langsing, kadang tidak (tergantung kejelian dan ketepatan aku memilih model dan warna baju), dia berkulit putih tanpa noda sedangkan kulit wajahku agak sawo matang (meski akhirnya mukaku putih dan mulus juga, tapi itu karena aku nekat pakai pemutih wajah setelah berkonsultasi dengan dokter kulit dan menghabiskan hampir separuh tabungannku).
Mbak Dhara berambut panjang lurus seperti habis di smoothing, aku berambut ikal seperti mie keriting. Aku pakai kacamata minus tiga, sedang Mbak Dhara pakai kacamata kalau dia mau gaya saja (meskipun sebenarnya matanya juga minus dan silinder), Dia menyelesaikan kuliah Kedokteran Giginya dengan nilai yang sangat memuaskan, aku menyelesaikan kuliah Grafisku lima tahun dengan `hanya` nilai B. Dan Mbakku juga yang super perfect yang punya love story berjalan mulus..luss..luss…..Pacaran hanya sekali lalu menikah dan sampai sekarang masih live happily dengan satu anak balita perempuan yang lucu, menggemaskan dan pintar pula.
Jadi kecil kemungkinannya pernah patah hati. Sementara aku, seperti aku bilang pacar tak ada tapi patah hati pernah.
Tapi bukan itu yang membuat aku merasa hidupku jadi menyebalkan. Kalau soal Mbakku dan segala kesempurnaannya aku sih sudah belajar menerima sepanjang hidupku.Lama-lama kebal juga kok keseringan menerima pertanyaan dan pernyataan perbandingan.
“Ini adikmu Ra?” Kok beda ya? (Nggak mungkin sama dong memangnya kloningan), atau “Kamu juara berapa di sekolah? Juara satu kan? Kayak Mbakmu.” Atau, “Contoh deh Mbakmu kalau cari suami. Sudah cakep, pinter, S3, lulusan Amerika….” Lalalalalaaa….capeeee…..
Kalau itu semua sih bukan masalah buat aku (well, I hope so). Tapi karena tiba-tiba saja, tanpa basa basi, Mbakku tercinta ini yang biasanya nggak pernah mau tahu apa yang aku lakukan, ditengah sore yang nyaman dan indah dengan warna langit yang semburat jingga (jarang-jarang langit Jakarta berwarna indah biasanya kan hanya abu-abu biru polusi asap), ketika aku sedang santai di halaman belakang rumah, duduk di kursi rotan yang hampir jebol, menikmati potongan terakhir chesse cake legendaries buatan Ibu, dia mengajukan pertanyaan yang membuat perutku mendadak jadi kenyang.
“Jadi kira-kira kapan kamu rencana mau nikah Dha?” di kupingku nada ucapannya lebih seperti keharusan daripada pertanyaan, mirip banget sama dialog sinetron Indonesia.
Lho..lho…kok…apaann sih.. nggak ada hujan nggak ada badai nggak ada banjir nggak ada petir..kok nanyanya…
“Hah..apaan Mbak?” aku minta diulangi. Kali aja salah denger, meski kecil kemungkinannya habis ngomongnya kenceng banget. Si Mbak Kokom aja yang lagi nyapu di taman mungkin denger juga.
“Kamu kapan mau n-i-k-a-h Dhaya? Kali ini Mbakku mengulangi pertanyaanya dengan slow motion.
“Ooo…nikah..kirain apaa” hmm..hmmm..hmmm… aku bergaya mikir.
“Iya nikah, married, kawin”
“Nikah ya?” still mikir.
Hmmm…hmmm…hmm…kalau aku jawab belum ada cowok yang bersedia menikahi aku, gengsi banget masa Dhaya yang cute ini kesulitan cari pacar. Kalau aku bilang ada nanti malah disuruh diperlihatkan ke orang rumah. Kalau aku bilang banyak……
“Waduhh…gimana ya Mbak, justru sekarang aku lagi bingung nih” jawabku sok santai meski hati dongkol setengah mati. Dalam rangka apa sih pakai nanya kapan aku mau nikah (lah wong aku aja nggak tahu).Jangan-jangan ini pertanyaan pesanan Bapak sama Ibu. Tapi masa sih rasanya bukan stylenya Bapak sama Ibu deh. Mereka kan orang yang paling menghargai privacyku. Nggak suka usil dan nggak kebanyakan nanya.
“Dha!”
“Hahh..whats sup sih Mbak?”
“Bingung apanya Dha?”
“Bingung milihnya, calonnya buanyakkk” Mudah-mudahan tidak ada pertanyaan berikutnya.
“Memangnya calonmu tuh siapa aja sih? Perasaan nggak pernah ada cowok yang kamu bawa kerumah deh” Tanya Mbak Dhara makin gencar.Salah nih jawabnya.
“Yew..want to know aja sih. Pokoknya banyak deh Mbak. Kalau aku kasih tahu Mbak juga nggak bakalan tahu” jawabku betebe (betebenget).
“Nahh kalau gitu, biar sekalian bingung, mau nggak kamu Mbak kenalin sama temen Mbak?”
Sekarang aku yang bengong, ya ampun Mbak Dhara ini sebenernya cerdas apa jenius ya. Sudah dibilangin calonnya kebanyakan malah mau ditambahin.
“Gimana Dha?” desak Mbak Dhara.
“Emang kenapa sih Mbak? Penting banget ya aku kapan nikah?” bukannya jawab aku malah balik nanya.
“Jelas penting Dha. Umur kamu berapa sekarang? Kamu harus pikirin kapan kamu nikah, kapan kamu mau punya anak, mau anak berapa, trus karirmu gimana?”
Olalalaaaa…Mbakku yang wellplanning … memang beda banget sama aku yang lebih mengikuti kata hati dan terlalu will see.
“Tapi kok nanyanya tiba-tiba begini sih?”
“Dhaya…Dhaya…tiba-tiba apanya. Mbak udah dari sebulan yang lalu mau nanya soal ini sama kamu. Tapi gagal terus. Ingat nggak weekend kemarin waktu kita lagi di Sour Sally, Mbak udah mau nanya tapi nggak jadi karena tiba-tiba ketemu sama Sisil temen Mbak yang cerewetnya minta ampun itu. Waktu kita di Time zone nemenin Keira main Mbak juga udah mau nanya.”
Ooo…pantess…pantesss… weekend kemarin Mbak Dhara baik banget. Ngajak aku nge-fro-yo bareng, trus pake beliin aku baju di Mango segala sementara Mas Pandya dan Keira malah berenang di water boom ( mereka bilang itu hari bapak berdua aja sama anaknya nggak mau diganngu siapapun apalagi sama ibu dan tantenya). Trus dengan semangatnya ngajak aku ikutan main ke Time Zone… Hmmmm…ternyata ada udang dibalik saos tiram.
“Jadi gimana Dha? Mau ya Mbak kenalin sama temennya Mbak? Mbak prihatin nih sama kamu. Mosok seumur kamu, udah lulus kuliah tapi pacaran aja belum pernah. Trus mau nikahnya umur berapa?”
Idihhhh…. Mbak Dhara nyebelin banget sih. Tahu darimana lagi aku belum pernah pacaran. Lagian ngapain juga pake prihatin segala. Aku aja nggak apa-apa kok. Emang bener siihhh… aku belum pernah pacaran. Tapi memangnya aib gitu kalau sudah sampe lulus kuliah belum pernah pacaran.
“Gimana Dha? Mau ya?”
“Ya..atur…aturr …aja deh Mbak.” Kataku enteng. Ngeloyor pergi, meninggalkan Mbak Dhara dan sepotong chesse cake yang gagal aku habiskan
Aku memang ngeloyor pergi. Tapi bukan berarti setelah itu aku nggak mikirin pertanyaan Mbak Dhara. Aku pikirin. Banget malah.
Aku pikirin itu ketika jam satu malam aku ngunyah donat ketigaku di kamar tidur, aku pikirin ketika aku jalan-jalan sendiri ke toko buku nyari komik terbaru, aku pikirin ketika aku sedang hairspa di salon langgananku. Saking dipikirinnya terbawa sampai ke mimpiku untung nggak sampe ngigau.
Jangan dikira aku nggak mau nikah. Aku kan cewek normal. Apalagi akhir-akhir ini aku sering banget menghadiri pesta pernikahan (anaknya temennya Ibu lah, temennya Mbak Dhara lah, sepupu, anak kenalannya Bapak dan sebagainya. Pokoknya asal ada undangan pernikahan aku pasti disuruh ikut, kata Mbak Dhara biar aku terinspirasi..)
Kadang-kadang terpikir juga gimana rasanya berdiri di pelaminan disalamin dan diselametin ratusan bahkan ribuan orang (pasti pegel, Dha), atau gimana ya rasanya malam pertama (Husss…).
Yahh..aku juga pikirin semua itu, Cuma saja aku belum mendengar bunyi “klik” dan music indah di telingaku yang bilang ini dia cowok yang aku mau (kayak di iklan aja).
Dan dari perenungan dan pikir memikir yang tidak sampai membuat rambutku rontok dan jadi putih (lebay deh ah) aku lalu bertekad, berjanji dan berdeklamasi (lho kok). Disaksikan nyamuk-nyamuk bandel di kamarku yang membuat badannku jadi bentol-bentol, serta suara cit..cit tikus yang berkeliaran nyari makanan di dapur bahwa terhitung sejak mulai bunyi kokok ayam bekisarnya Bapak aku akan serius nyari pacar.Bukan hanya pacar, aku akan serius nyari calon suami, lalu aku sodorin ke muka Mbak Dhara setelah itu aku suruh pulang (ehhh salahhh yaa).
Hmmm…..ngebayanginnya aja aku sudah senyum-senyum sendiri. Oke Mbak! Jreng..jrenggg..lets hunt beginnnn……
***
1st Chapter oleh D. Indriwardhani
No comments:
Post a Comment