Sunday, August 24, 2008

Panggil Aku Cassanova

Panggil Aku Cassanova



18 Agustus 2007

Panggil aku Cassanova. Terlahir dengan penuh cinta. Dan kini, aku menuliskan hidupku untuk menertawakan diriku sendiri. Ya, sebut saja aku cassanova – pangeran cinta – yang dijuluki Master of The Art of Seduction. Voltaire, Goethe, dan Mozart adalah dewaku, kupuja di dalam alam pikirku.

Panggil aku Cassanova. Dan jangan samakan aku dengan narcissus yang pantas ditertawakan karena kebodohannya terlalu sempit memandang cinta. Ya, narcissus yang malang yang terlalu mencintai dirinya sendiri dan tak sempat memperhatikan Echo yang mencintainya. Dan jelas pula, aku tak mau tersiksa seperti Sisyphus, seorang raja yang rela menerima ‘cinta’ oleh sebuah batu yang terus dipanggulnya ke atas sebuah bukit yang nyatanya hanya untuk melihat batu itu kembali menggelinding – memohon untuk kembali dipanggulnya.

Panggil aku Cassanova. Sang Maestro Cinta. Bagiku, cinta adalah logika, tak perlu menautkan rasa di dalamnya. Nikmati saja selagi bisa. Buat apa mencinta jika hanya menyiksa? Buat apa cinta jika semua akan sirna? Aku hanya mencintai cinta yang wujud dalam nyata. Terucap ‘Tidak’ bagi cinta yang mengatasnamakan kuasa, apalagi yang mengatasnamakan Tuhan dan agama.

25 Agustus 2007

Telah satu minggu berlalu sejak terlahirnya cinta dalam wujudku – cassanova. Meski sayapku belum tumbuh – tiada – dan ku tak bisa terbang ke angkasa, sebuah hati telah patah. Hati yang terlalu naïf memandang cinta. Dan aku – cassanova – yang telah menjeratnya dalam sandiwara cintaku, sedikit merasa geli kala ia mencoba berbicara tentang cinta. Ia yang tak pernah mengungkap cinta meski dirinya merasakannya. Sampai akhirnya aku bosan dengan sandiwaraku, dan meninggalkannya. Tak acuh meski air mata mengalir membentuk sungai dari muara bathinnya.

Namun jua tak kusangkali bahwa adanya air mata dari nuraniku saat mendengar isakannya. ‘Aku’ juga terisak, tapi aku yang bukan aku – bukan cassanova. Dan kemudian logikaku kembali berbicara untuk usir isak itu. Hah, bukankah begitulah wanita? Cuma mainan semata? Barang yang ditaksir dengan ‘harga’. Dan harga yang bisa kuberikan adalah kata. Kataku yang sebenarnya racun – membunuh, tapi tersamarkan seperti madu yang manis. Kataku pun sebenarnya bak ekstasi yang memabukkan, tetapi kuindahkan seperti obat yang menyehatkan. Begitulah cinta yang terwujud dari diriku. Sedikit meminjam istilah Nietsche; “agama adalah candu”, dan kuimplikasikan dalam cinta; “cinta adalah candu”. Ya, candu bagi mereka yang terjebak dalam scenario cintaku.

27 Agustus 2007

Tak lama berselang, kembali kuterima sebuah pengakuan cinta. Tertulis dengan tinta airmata hasrat kerinduan – padaku tentunya. Kubaca dan aku tersenyum. Tapi bukan sebuah senyum mengiyakan, hanya sinisme tak berdasar; ungkapan ejekan penuh kemenangan.

Untukmu, Cassanova ...,

Pendar cahaya cinta melingkupimu; indah nan mempesona. Pesonamu adalah wujud dari mutiara surga yang teranugerahkan dengan manis di bibirmu. Engkau adalah pencitraan tiada dua. Wajah wujudmu seindah dan sedamai tatkala aku memandang niagara dengan pelanginya.

Kala itu, sekali saat kau berbicara padaku, sungguh ingin rasaku agar kau membagi mutiara yang kau miliki di bibirmu itu kepadaku---di bibirku. Dan kesyahduan pandanganmu membuatku terlena, seakan tiba-tiba tubuhku kau angkat ke langit tertinggi dimana dewa-dewi sedang bernyanyi, dan aku mendapatkan kehormatan untuk mendengarkannya. Dan tatkala kau ulurkan tanganmu kepadaku, tanpa ragu aku menyambutnya. Sungguh tak pernah kusentuh kelembutan seperti yang engkau miliki---kecuali padamu tentunya.

Harus bagaimana kata kurenda untuk sekedar memuji dan memujamu. Tak cukup hanya sutra kata yang terucap dari bibirku---harus lebih indah dari itu. Wahai Cassanova yang kupuja, berikan aku satu pinta; pinta yang kuucap dari lubukku yang terdalam. Ya, kurela menjadi budak pesuruhmu asalkan aku bisa selalu berada di sampingmu. Apapun itu, akan ikhlas kulakukan demi cinta yang terus menggelora di hatiku – menggelepar tak tentu.

Ah entah, pantaskah aku mengharapkan semua itu? Mengharapkan segala yang ada padamu? Jikapun tidak, maka bisakah aku mendapatkan secuil cinta darimu? Atau haruskah aku diam-diam mencuri cinta dari aura yang kau pancarkan? Yang setidaknya memberiku kedamaian saat memandangmu?

Hah, wanita memang sungguh lucu adanya. Sebentar- sebentar cinta. Lalu airmata. Mereka pikir kami – kaum pria – bisa dengan begitu mudahnya luluh tertunduk dan lantas bersujud padanya. Tentu tidak. Jelas tak bisa terbiarkan airmata-airmata palsu itu membodohi kerajaan logika para pria. Cih, kuludahi kata-kata tak bermakna itu. Dan terbuang begitu saja – menyampah bersama debu-debu jalanan.


September 2007

Cinta tak asing bagiku. Cinta adalah senyum yang pernah menghiasi peluhku. Cinta adalah getar yang beresonansi di hatiku. Tapi itu dulu. Kini cinta telah berubah. Tak sama. Cinta adalah airmata getir yang bermuara dari pelupuk mataku. Cinta adalah gelegar amarah yang melahirkan benci karena dikhianati.

Aku tersenyum. Sinis. Menertawakan diriku sendiri. Mempercayai cinta adalah kebodohan – keluguan yang tak termaafkan. Baru saja kulenyapkan sebuah harapan cinta. Lucu bagiku. Tapi sakit baginya – mungkin.

“Kita putus saja ya Nggi”, kataku seakan penuh penyesalan. Padahal tidak. Hanya kamuflase yang terbias aroma kemunafikan. Kebohongan untuk sedikit mendramatisir kejenuhan.

“Kenapa Di?”, tanyanya pilu penuh pengharapan agar aku menarik kembali kata-kataku. Terdengar isak – mengharukan. Tapi aku tetap tak tergoyahkan. Lantas menutupinya dengan kepura-puraan; juga mencoba isakku terdengar di telinganya.

“Entahlah, rasanya kita tidak cocok. Ada banyak bagian yang ‘miss’ antara kita berdua. Dan semua itu seakan membentangkan jarak antara kita. Aku cinta. Tapi aku tak bisa menikmatinya. Lebih baik kita berteman saja dulu. Tidak menutup kemungkinan kita kembali dipersatukan nantinya. Bukankah kita tak pernah tau apa yang akan terjadi nanti? Untuk sekarang, ya, kita berteman saja.” Aku berlagak polos - tak mau jadi terdakwa pembunuh sebongkah hati. Padahal aku telah selingkuh. Menemukan cinta yang lain yang kuanggap lebih bermakna untukku. Ya, begitulah kodratnya. Cinta hanya sebentuk permainan. Tak perlu menautkan rasa di dalamnya. Cukup gunakan logika.

“Di …, aku masih mencintaimu, masih membutuhkanmu …, sangat. Jangan tinggalkan aku Di.” Isak tangisnya semakin menjadi. Sedikit mengiris pilu di sebagian hati. Dan mengingatkanku sejenak akan sebuah kenangan. Pahit. Kala cinta untuk pertama kalinya meninggalkanku. Meninggalkan sebuah penyesalan yang begitu dalam. Merobek hati. Mengoyak luka.

“Di, aku mau menikah. Lupakan saja aku.” Katanya lugu seakan tanpa dosa. Saat kutanya kenapa, ia malah berkata ini sudah takdirnya. Tak bisa dilawan. Tapi nyata yang ada hanyalah materi, karena laki-laki itu lebih segalanya dariku; kemapanannya. Ia meninggalkanku yang menangis airmata darah tanpa sekalipun menoleh lagi padaku. Aku melihat sosoknya – menjauh- meninggalkanku. Dan aku sekarat. Luluh lantak.

Aku berteriak ;“Elie …, elie …, lama sabakhtani? Tuhanku kenapa engkau tinggalkanku?”

Wajahku memucat. Mataku memerah. Hatiku menghitam. Dan tiba-tiba tak ada lagi airmata. Karena ia telah mongering di muaranya. Lalu aku tersenyum seakan menemukan sebuah makna baru. Seperti iblis. Diciptakan sebagai antithesis. Itulah yang kurasa. Pembalasan akan dendamku adalah jawabnya. Terucap ikrar; aku akan membuat berapapun wanita merasakan sakit yang kurasakan lalu mati terbunuh.

------------------------------


Yang kuhitung dari detik adalah detak, bukan retak. Yang kueja dari masa adalah asa, bukan lara. Entah, dimana jawab akan tanya yang selalu kucari dari setiap kejadian yang berlalu di hadapanku.

Aku kembali menghembuskan nafasku -nafas cinta- untuk kesekian kalinya. Tuhan memang menciptakan cinta yang begitu berlimpah bagi makhlukNya. Dan aku tak bisa mengakomidirnya. cintaku melimpah. Meluap. Tumpah. Terserak, dan tak bisa kupungut satu persatu. Jadi jangan salahkan aku kalau ada yang tanpa sengaja menemukan cinta yang telah terhamburkan. Kemudian mendekatiku. Lalu mati terbunuh.

Aku -cassanova- tak pernah berburu keluar dari sarangku. Aku hanya menunggu mereka mendekat dan mengetuk pintuku. terang saja kubukakakn pintu lalu kututup rapat-rapat hingga tak bisa keluar dari jiwaku. Sampai aku bosan, dan aku sendiri yang mengusirnya keluar dari wilayahku.

Aku menatap sebongkah cermin – memantulkan wajahku. Sebenarnya apa yang istimewa dariku? Kuperhatikan pekat lekuk di wajahku. Biasa. Tak istimewa. Aku tak seperti Yusuf yang terkenal dengan ketampanannya. Tak seperti Musa yang menggelegar karena kegagahannya. Ataupun seperti Daud yang berani menantang Goliath dengan pedang kecilnya. Ya, aku hanya laki-laki biasa. Punya asa. Punya hati yang satu yang tentunya kuharap akan kupersembahkan untuk seseorang yang kucintai.

Kutatap lebih erat kedua bola mataku. Mata itu mata sayu. Dan seakan berkata 'cermin tak pernah berdusta'. Ya, cermin memang tak bisa berdusta. Sayu ini ada karena luka. Luka yang tercipta dalam di hatiku. Menganga. Penuh dendam kebencian. Dan tak tersembuhkan.

Tiba-tiba mataku berairmata. Tak tertahan. Mengambang dalam lintasan-lintasan masa lalu. Aku kupu-kupu surga yang telah terusir darinya. Sayapku patah. Dan aku terjatuh di rimba bunga. Sungguh indah dan melenakan. Sebenarnya inginku kembali ke surga itu, tapi apa daya. Bagaimana mungkin aku bisa sementara aku telah tidak bersayap?

Hah, sungguh, aku ingin berkisah dalam bisu tanpa kata. Aku ingin bernyanyi dalam nada tanpa melodi. Aku ingin bercinta dalam kasih tanpa perih. Bisakah? Adakah yang bersedia mengajarkannya padaku? Katakan!!!


1st Chapter by Pringadi Abdi Surya

No comments: