Thursday, August 21, 2008

Cinta Sunyi Dalam Diari Tania Tsurayya

ILANA AHMAD BERJaNJI DIHADAPAN KITAB SUCI

TENTANG SEGALA SISI DAN ISI HATINYA

TENTANG HIDUP YANG DIHARAPNYA DENGAN CINTANYA

SAMPAI AKHIRNYA DIA PERGI

BERJANJI DENGAN GADIS YANG TAK TERSENTUH ITU

DAN BERJANJI MENUNGGUNYA DI PINTU SURGA

DAN ILANA AHMAD MENUTUP MATA DALAM KEABADIAN


1. WARUNG KOPI

Separuh lebih kopi dalam gelas ini kunikmati lamat-lamat. Masih tersisa residu ampasnya, anak pondok bilang tinggal letek-nya. Diam-diam aku terjangkit virus ngelamun

sambil memandang butiran lembut letek yang tersisa di lepek. Tapi ini lebih dari sekedar ngelamun. Ini adalah penjelajahan intelektual. Pikirku melayang pada partikel-partikel tata surya yang terpecah akibat big bang. Berputar-putar mengelilingi intinya. Begitu juga dengan hidup ini. Kita semua sibuk mengelilingi apapun yang ada dihati dan keinginan kita, walau kadang kita tak tahu bahwa kita sedang dipermainkan atau lebih tepatnya dikendalikan oleh kekuatan yang sangat besar.

Warung kopi “ mbak muz”, begitu teman dan seluruh penjuru sekitar sini memberinya judul. Warungnya sederhana. Sesederhana pemiliknya. Mbak muz. Tapi dibalik kesederhanaanya tersimpan ribuan misteri dan ironi. Mungkin akan menjadi satu buah novel hanya untuk menceritakan jalan hidupnya!. Jajaran meja warungnya memanjang lurus. Di apit dua bangku panjang.diatas mejanya tertulis banyak nama-nama yang sengaja diukir dengan nikotin rokok. Seakan meja itu adalah bebatuan di puncak gunung tinggi yang ditorehkan diatasnya ratusan nama pendaki yang sudah menaklukanya. Begitu juga diwarung ini, mungkin seperti itu.

Disatu sudut jajaran nama-nama dari nikotin itu kutemukan temanku yang telah lampau: Dedy Nganjuk. Namanya terukir lamat-lamat. Mengingatkanku akan kisahnya yang terseok dan kabur. Seingatku sebelum dia boyong dari pondok dulu pernah menuliskan curahan isi hatinya dipintu lemarinya:

“ Kenapa hidup seperti ini, sapa dari pikirku sejenak.menghadapi segala permasalahan yang tak kunjung akhirnya. Mungkin ini semua adalah jalan yang harus ku tempuh dan ku lalui. Suatu masalah yang membuat ku terpesona,terperdaya oleh rayuannya.yang tak jelas

ujungnya.tapi di satu sisi aku sadar,bahwa apa yang ku rasa kini adalah semata-mata ujian darinya.begitulah kondisi ku saat ini, semoga aku dapat menjalaninya dengan penuh tanggung jawab.dan mempunyai tujuan yang jelas.tidak melantur begitu saja.hidup ku harus berubah.harus menjadi lebih baik.seperti apa yang di dawuhkan romo Yai dulu. Lhe seng ati-ati. Ojo lali nguwongne wong maksudnya adalah jika kita ingin di hargai orang lain kita harus menghargai dulu orang lain tersebut.dalam hal apapun kita harus seperti itu.

Temanku tercinta sudah saatnya hidup kita berubah.menuju puncak kesuksesan.untuk itu cobalah kita renungkan sejenak.bahwa apa yang sudah kita lakukan hari ini lebih baik dari hari kemarin.jangan seperti saya dulu yang senatiasa hidup tidak punya arah yang jelas.selalu sembrono dengan gemerlap dunia.akhirnya dapat mengganggu aktivitas utam kita.yang menjadi tujuan hidup kita….yaitu kehidupan yang abadi.untuk itu temanku mrilah kita senantiasa bersyukur dengan nikmat yang telah di berikan kepada kita.dengan seperti itu hidup kita akan senantiasa tentram,damai aman ,sentosa,tenang lahir batin.sukses ndunyo akhirat………….amien…. “.

Tulisan itulah hal terkahir yang kuingat tentangnya. Lebih dari itu ysmh kutahu dia ke warung kopi mbak muz hanya sekedar menikmatyi kopi. Dia bukan perokok. Adapaun tulisan nikotin dimeja kopi itu adalh hasil kerjka temanya yang dibayar. Dedi membelikan 2 batang rokok kretek dji sam soe pada temanya yang mau untuk mengukirkan namanya dimeja pake rokok. Dan waktu penulisan ini menghasbiskan waktu kurang lebih tiga bulan sebelum deia boyong, pergi menhilang dari pondok. Tapi anehnya dedi hanya mau namanya dituliskan temanya yang puasa senin kamis saja. Aneh sekali dedi kala itu dimata teman-teman. Padahal kalo dieja tulisan dimeja itu hanya bewrbunyi: Dedy Nganjuk pernah singgah disini.

Aku mengira dia mengalami dorongan impulsive negatif. Bahkan lebih dari itu. Cerita selanjutnya lihat saja dihalaman depan…



2. KENAPA HARUS MATI DULU UNTUK DAPATKAN CINTAMU

Sore ini betul-betul indah dalam baluran gerimis hujan. Sebetulnya ini bukanlah musim penghujan, tapi sudah beberapa bulan ini alam seakan tidak punya aturan dan jadwal. Semuanya berubah amburadul. Mungkin efek dari pemanasan global. Makanya dimana-mana orang pada ketakutan sendiri. Mereka berteriak akan bahaya global warming. Bumi kalau sudah tua maka dia akan mati. Kita sebagai manusia diatasnya malah lebih cepat untuk sekedar tumbang begitu saja. Bahkan manusia lebih cepat dari itu. Tiba-tiba saja. Dalam berbagai keadaan dan waktu.

Sore ini adalah milikku. Sore ini adalah kesempatan terakhirku dalam menggapai harapan yang indah. Sudah sekian lama kurencanakan segala hal hanya untuk sore ini. Sore ini semua harus kusampaikan sebelum semua berakhir sia-sia. Besok pagi aku harus pergi. Melanjutkan sisa jadwal dari perjalanan ilmiahku. Aku dapat beasiswa studi S2 program DEPAG di JOGJAKARTA. Besok aku harus berangkat meninggalkan pesantren ini. Dua hari yang lalu aku sudah pamitan pada teman-teman santri asrama. Kepada kiyai dan ustadzku juga. Jadi sekiranya ini hatiku memang plong untuk pergi. Tapi untuk satu hal aku merasa berat. Ini mungkin masalah sepele. Masalah cinta. Aduh, bahkan aku tidak pernah merasakan cinta. Sekalipun tidak dan memang aku selama ini lebih tertarik sama dunia buku dan kitab.

Tentang cinta dan hatiku yang begitu dalam kusimpan tak bisa kupertahankan juga. Beberapa bulan terakhir ini ada sesosok santriwati yang menghalau hatiku ke dalam pelataran cinta. Dia, dia adalah Tania Tsurayya. Santri muallimat kelas VI. Itu berarti kelas akhir pada program diniyah dipesantren ini. Jebolanya sudah dijamin hapal alfiyyah dan bisa cas cis cus musyawaroh bahsul masail dengan membuka-buka seabrek kitab kuning untuk mencari ibarot-ibarot. Hebat. Hebat sekali bagiku.

Cintaku bukan sekedar cinta biasa. Cintaku bukan seperti cinta anak muda umumnya. Cintaku ingin berakhir pada pernikahan yang kekal abadi dunia akhirat. Maka tidak sembarangan juga aku harus melabuhkan hatiku ini. Aku ingin menanyakan pada orang tua Tania Tsurayya. Sekedar perkenalan dan syukur-syukur melamarnya. Itu saja tidak lebih untuk sementara ini. Karena aku sadar bahwa dia juga belum lulus sedangkan aku sendiri baru mulai mendapat beasiswa S2.

Tania Tsurayya. Nama yang indah. Lebih dari sekedar nama, dia mengingatkanku akan maqolah yang berbunyi; Gapailah cita-citamu setinggi bintang Tsurayya. Indah bukan. Hanya sekedar mengingat namanya saja aku jadi semangat untuk meneruskan segala cita-citaku. Inilah wanita sesungguhnya kawan. Wanita yang tanpa hadirnya pun kita semangat dalam menjalankan kebaikan apapun. Adapun Tania. Pernahkah kau dengar lagunya Anang, suami dari Krisdayanti:

Tania dimana dirimu…,

indah nian pengharapan dan pencarian tentang Tania dalam lagu tersebut. Bukankah yang kita cari adalah sesuatu yang sangat kita harap dan rindukan. Hatiku mengharapkan Tania kawan.

Dia adalah gadis bulan dalam hatiku. Perangainya sangat santun. Kalau berjalan mata selalu menunduk ke tanah. Dia hidup dalam lorong jauh. Lorong pesantren khusus putri. Satu kilometer jaraknya dari asrama putra yang kutempati.

Jauh sebelum mengenal wajahnya aku sudah akrab sekali dengan nama Tania Tsurayya. Namanya kerab menghiasi jurnal-jurnal ilmiah tentang kepesantrenan. Dia adalah salah satu santriwati yang dianugerahi kecermelangan otak dan bidang tulis menulis. Karya puisinya sering disadur teman-teman untuk ditulis ulang di agenda atau sekedar disertakan dalam surat. Karyanya dalam mading menjadi sesuatu yang sangat mahal. Semahal karya Wiliam Shakespare dimata orang-orang gila. Yah, pecinta sastra dan puisi hanyalah sekumpulan orang-orang aneh dan mungkin lebih tepatnya lagi adalah orang gila bagiku.

Bahkan pada bulan bahasa yang tiap tahun hadir pada bulan Oktober November dalam pagelaran dunia tulis menulis salah satu karya Tania Tsurayya hilang dicuri orang. Judul dari puisinya adalah Bayang-Bayang. Tahukah kau kawan bahwa pencurinya baru kuketahui tiga bulan berikutnya. Dia adalah Badrun Ahmadi. Teman sekamarku yang ku bilang sekumpulan orang-orang aneh. Karena dia gemar sekali akan sastra dan puisi. Gila, benar-benar gila.

Sungguh alasan apa yang membuatku cinta padanya aku sendiri tak tahu. Aku remuk inderawi kalau harus menjawab mengapa aku jatuh cinta pada Tania Tsurayya.

Cinta adalah dorongan yang lebih kuat dari apapun. Cinta tidak kasatmata mata, tapi dapat mengubah anda dalam sekejap. Begitu tulis Barbara De Angelis, Phd. Dalam Chiken Soup for the soul. Searah jarum jam pemhaman cintaku terhadap Tania Tsurayya jug ademikian.

Dia memang cerdas kawan. Otaknya brilian sangat. Pada tingkat ke enam di muallimat dia sudah sangat hafal nadzom Alfiyyah karya ibnu malik, nadzom Juman, kitab Bulughul Marom dan Matan Fathul Mu’in.

Tapi ada satu kawan yang mungkin buatmu agak menjauh dan melupakan hasrat memilikinya. Allah SWt menganugerahi dia ketidakmampuan untuk mendengar dan gagap berbicara. Entah bahasa apa yang pantas mendefinisikannya. Aku akan sangat marah dalam diam kalau ada yang bilang Tania Tsurayya tuli. Tuna Rungu mungkin masih bisa dimaafkan.

Tapi itu tidak otomatis keanggunan dan kecantikannya jatuh kawan. Tidak .Sekali kali lagi tidak. Dia tetap cantik dan anggun. Dia sangat pintar. Ataukah ini Cuma pembelaanku akan perasaan jatuh cintaku saja padanya?. Sepertinya jawabannya tetap saja, tidak. Dia sangat cantik . dia bagai baidadari. Wajahnya yang putih bulat terlihat bagai purnama. Dia adalah bulan purnama kawan. Bulan purnama sealu dinanti-nanti oleh tiap orang. Purnama sangat pasti datangnya. Purnama sangat amanah. Maka tak heran kalau Emha Ainun Najib membuat pengajian Di desanya Menturo Sumobito setia[p tanggal bulan purnama. Karena datangnya sealu psati. Begitu juga dengan Tania Tsurayya bagiku. Dia adalah bulan purnamaku. Walaupu untuk alas an apa aku menunggu kadanga aku sedikit ragu.

Untuk memilikinya mungkin. Tapi bias kau bayangkan bagaimnan cemoohan kelurgaku nanti. Ilana Ahmad menikah denga seorang gadis Tuna Rungu. Bisakah kau bayangkan kawan?. Bisa. Bagiku sangat bisa. Bisa kalau bi idznillah.


3. Si Anak Sungai

Badrun Ahmadi adalah anak sungai. Begitu dia sering mencitrakan dirinya pada teman-teman. Dia adalah rekor terlama menyelam di jeding pondok. Hah, nyelam dijeding?, ya. Ada kebiasaan dipondok kalau pas mandi bareng, kadang bisa sampai tiga orang sekaligus untuk bersama-sama nyebur langsung ke jeding yang lumayan besar dan memanjang……….

Sungai Brantas adalah sebuah sungai di Jawa Timur. Sungai ini merupakan yang terpanjang kedua di pulau Jawa setelah Sungai Bengawan Solo. Sungai Brantas bermata air di Desa Sumber Brantas (Kota Batu), lalu mengalir ke Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, Mojokerto. Di Kabupaten Mojokerto sungai ini bercabang dua manjadi Kali Mas (ke arah Surabaya) dan Kali Porong (ke arah Porong, Kabupaten Sidoarjo).

Beberapa waduk berada di sepanjang aliran sungai ini maupun di anak-anak sungainya, diantaranya: Waduk Ir. Sutami(Karangkates) Waduk Selorejo Waduk Wlingi Waduk Lahor Semua waduk di atas dikelola oleh Perum Jasatirta. I

Dan badrun ahmadi bangga sekali akan sungai brantasnya. Dia bilang itu adalah senugainya. Kebetulan dia tingal didesa pinggiran sungai brantas tepanya didesa bedahlawak kawasan utara Jombang. Seluruh hidupnya selalu berkaitan dengan sugai brantas. Konon kakeknya adalah pawang buaya sungai brantas yang sangat handal dan disegani. Kalau ada orang tenggelam dan hilang disungai brantas. Kakeknyalah orang pertama yang dicari orang-orang untuk membantu mengetahui dimana gerangan orang yang tenggelam tadi. Ada dua sebab yang bias mengilangkan orang itu tadi; Buaya dan kalap. Tahukah kau teman apa itu kalap?, ngeri sekali ceritanya kawan.

Bapaknya juga bekerja sebagai juru atur aliran anak sungai brantas ke sungai-sungai kecil untuk selanjutnya dijadwalkan ke sawah-sawah yang akan digenangi. Badrun Ahmadi bangga sekali akan Bapaknya.

Sedang ibunya, tragis sekali ceritanya. Disuatu pagi kala Badrun kelas 5 SD habis sholat shubuh dan bermanja pada ibunya yang akan berangkat ke pasar di seberang sungai Brantas adalah pertemua terakhir Badrun dengan senyum ibunya. Pagi itu ibunya juga sudah berjanji akan membelikan oleh-oleh kesukaaan Badrun, onde-onde ceplok.

Perjalanan menuju pasar sebenarnya tidak terlalu jauh. Cuma harus menyeberangi sungai Brantas yang kala itu jembatan masih belum ada. Masyarakat hanya mnegandalkan perahu kayu untuk menyeberangi sngai Brantas. Sekali lintas dengan tarif Rp. 50,-. Pada jam-jam tertentu antrian untuk menyeberang sanagt padat sekali. Sampai seringkali urusan keselamatan tidak dipertimbangkan.

Sampai dating kabar dari kerumunan orang dipinggir tanggul sungai Brantas bahwa kapal kayu penyeberangan tenggelam karena kelebihan beban. Pagi itu didua sisi tanggul Brantas orang-orang menyemut berkumpul. Sebagian orang terloihat berenang tepat ditengah sungai brantas dimana kapal itu tdai tenggelam. Konon jumlah penumpangnya lima belas. Enam diantaranya selamat.sedangkan sembilan diantara hilang lenyap ditelan tenangnya aliran sungai Brantas.

Tragisnya kawan, diantara sembilan orang yang hilang itu tersebut nama dari ibu Badrun, Siti Jamilah.

Bahkan fiolosoi hidupnya juga di[penuhi akan keraifan sunagi brantas. Pernah terucap dari bibitrnya atatkiala dia dapat gilirang khitobah dipondok : hidup ini mengalir saja. Seperti sungai brantas. Pelan dan tenang tapi penuh kepastian. Bagaimanapun juga sungai brantas akan menuju muaranya, Laut. Begitu juga akan hidup ini. ….


4. Diary Tania Tsurayya

Kau adalah puisi. Kaulah alasan mengapa kuteruskan langkah yang sebetulnya mulai goyah. Perjalanan ini baru dimulai disaat kau malah pergi. Meninggalkanku bertepi direlung hati yang sepi. Telah ku tunggu dipenghujung musim yang selalu berganti lirih. Setiap helaan nafas yang ku ukir dikedalaman senyap dan bahagia. Dalam lorong yang sangat gelap dan sesak kau adalah cahaya dan pintu yang ku tuju satu-satunya.

Hidup ini menjadi daun yang layu. Bicaraku pelan-pelan semakin hampa. Yang kukecap, kubaca dan kulihat hanyalah ruang kosong. Lapangan terbang yang sunyi. Apapun yang kukeluarkan hanya angin. Hanya kilasan buih yang tiba-tiba pecah tatkala sengat matahari menjadi sangat.

Tanpamu aku hanyalah malam. Hanyalah kegelapan yang panjang. Aku takut akan pagi. Aku takut setiap jejak jalan dan waktu yang mengingatkanku padamu. Akankah aku selalu takut seperti ini pada bayanganku sendiri. Bayanganku yang tercipta dari keberadaanku. Hatiku sepi. Hatiku sebetulnya sederhana sekali. Hatiku hanya inginkan kau. tapi kau telah tiada. Hatiku hanya inginkan kau. Apakah ini rindu?. Mengapa aku harus terus menerus rindu pada orang yang mati?. Ini bukan percintaan. Kisahku denganmu bukanlah cinta. Ini adalah keabadian. Ini adalah gelombang besar yang ku tunggu tuk membawaku menepi di pantai. Kaulah pantaiku. Tapi kalau aku diterpa badai laut yang sangat biru karena kedalamannya. Maafkan aku jika tiba-tiba aku harus tenggelam dan akhirnya hilang. Apakah itu jalan satu-satunya untuk mengunjungimu? Apakah aku harus mati juga?.

Kutulis diary ini dengan hati yang sangat remuk redam. Mengkerut dan kering. Hatiku sendiri sebagai sebuah jasad organic ternyata punya respon tentangmu. Kutulis semua ini dengan linangan air mata. Aku hilang dan bingung sendiri untuk mleuapkan rindu ini pada siapa yang bisa menyampaikannya padamu. Aku hanya berdoa pada Tuhan. Semoga Dia sampaikan apa yang kurasakan padamu yang sudah ada disis-Nya. Rindu ini Tuhan padanya begitu besar. Gelap dan dalam. Sunyi dan kosong. Bulat dan pelan.

Dua tahun sudah ejak kepergianmu aku menyepi. Menyepi dikeramaian Jogjakarta. Tak tahan aku akan aroma Jombang yang menusuk-nusukku dengan kepiluan akanmu. Kenapa aku harus benci kotamu?. Kota diamana tertulis segala cerita menyedihkan dan entah hanya Allah SWT yang tahu sekaligus merencanakannya. Aku pasrah. Aku kalah dan akan terus bangkit.

Ya, aku pergi untuk meneruskan kuliah disini sambil mengejar cita untuk trahfidzul qur’an. Aku tidak ngekos. Aku pulang ke pesantren yang ada program tahfidz-nya.

Aku sudah semester empat difakultas syariah jurusan mau’amalah. Aku berjibaku debgan teori-teori ekonomi dan perbankan yang harus ku adu dengan teks-teks fiqh kitab kuning. Hari-hariku kucerihakan dan tenggelamkan diperpustakaan,. Karena hanya itu tempat yang paling nyaman untukku.



5. not now

Susunan bata yang masih basah berjejer rapi. Ini masih dalam kisaran jumlah delapan ribuan, untuk melaksanlkan proses pembakaran setidaknya msaih harus mencetak dua ribuan lagi. Bapak tua itu akhirnya mencetak lagi satu persatu adonan tanah liat basah itu dalam cetakan kayu.

Satu persatunya dihayati dengan keteguhan jiwa. Akhir bulan ini harus bias mendapatkan uang untuk anaknya membayar biaya ujian akhir sekolahnya. Dalam satuan batu bata yang masih basah itu terukir kekuatan untuk menyelesaikan segala upaya demi pendidikan aanknya.

“Untuk orang desa seperti aku ini, hanya ini yang bias kulakukan untuk sekolah anakku.” Begitu kira-kira yang pernah dia ucapkan padaku.

“ sawah untuk sementera istirahat dari garapan karena musim sudah berganti. Mencetak batu bata adalah salah satu solusi.”
…...................................................……………………….......................................…



6. Sang penulis dan Aisawa Desa.

Rindu ini senyap dalam desiran aliran sungai. Dingin dan menepi tapi tetap juga bertahan. Mengapa harus merasakannya kalau memang hatinya sudah beku. Menjauh dan ingin dijadikan debu. Fahmi tetap menatap kemerlap jalan dibelakangnya. Sementara bis malam perlahan-lahan meninggalkan kota ini. Kota terkutuk yang memata-matai setiap helaan nafasnya.

Aisawa menolak mentah-mentah pinangan yang diajukannya. Hanya dengan alas an ketidakjelasan pekerjaan dan kuliah yang tak kunjung usai. Apalagi fahmi sellau mendedikasikan hidupnya dalam dunia kepenulisan. Penulis tidak mempunyai arti dalam tatanman hidup perekonomian ini. Apalagi orang tua Aisawa di desa juga tidak mengenal status pekerjaan penulils. Di desa penulis tidak dikenal. Tidak dianggap sebagai pekerjaan. Penulis sama saja dengan pengangguran.

“ ai percaya padaku, suatu saat aku akan menulis novek fenomenal, novel indah penuh nmiali sastra yang akan jadi best seller di took-toko buku…” begitu ucap Fahmi. Tapi Aisawa hanya tersenyum kecut sekedar menyenanagkan ahtinya.

…………………………



7. MANTAN KEKASIH KEMBALI DATANG

Mantan kekasih kembali datang, dishubuh yang pekat dengan aroma kereta malam dari perjalanan jauh. Kenapa dia datang lagi dalam kesepian yang mendinginkan kota dimana aku telah susah payah berlabuh dan menghilangkan jejak. Dia datang membawa duka dalam raut wajahnya yang sunyi. Wajahnya yang ayu bagai awan mau hujan. Menggumpal dalam gurat kesedihan. Apakah gerangan yang membawanya kembali dalam peluk kekosongan yang seperti di katakanya dulu. Katanya aku adalah kekosongan yang tak bertepi. Lelaki misterius yang suka menyendiri. Penikmat rokok eceran pinggir jalan yang tak bisa dibanggakan. Tapi aku bangga dengan hidupku. Adapun dia kalau mau terima aku pada waktu apa adanya mungkin dia tidak menyesal kala sekarang dia kembali hadir dihadapku.

Dia menangis dalam tetesan air mata yang sedikit membeku. Meundukkan wajah seakan tentara yang melarikan diri karena kalah perang. Menghadap sang komandan minta maaf karena tidak bisa menyelamatakan seluruh pasukannya. Malukah dia kepadaku?. Aih aku tak tahu. Tetapi bagaimana sampai aku bisa disini menemuinya juga?. Itu tidak lebih dari sebuah empati tersendiri terhadap orang lain yang merasa terdholimi. Adapaun rasaku akan masa lalu telah lenyap ditelan udara waktu. Waktu telah membasuh segala debu perjalanan hidup ini. Tercerai berai dalam berbagai cerita baru. Mengalir bagai air sungai. Mengarak terus berjalan. Aku dulu tak harus sedih dan berdiam menjadi batu. Karena aku sadar hidupku sangat indah dan terlalu rugi kalau hanya menangis karena harus melupakanmu.

Mantan kekasih kembali dating dalam cepitan nafas yang terus menderu. Dia menginginkan sedikit celah hanya untuk sedikit membahasa kisah hidupny ayang pilu. Dia adlah melati pada zamannya. Adakah bunga yang abadi kewangiannya?. Maka dari itu dia sekarang dalam keadaan yang sudah layu. Ingin seklai aku bertanya kepadanya kenapa lelaki pujaannya bisa membuat hatinya kecewa.

Tapi diam adalah bijksanan. Kubiarkan dia terus bercerita. Mengurai setiap untai kata tentang kiosah hidup yang menyesakkan rongga jiwanya. Dia bercerita tentang segala hal dala kata-kata hujan yang sangat deras. Tidak ada titik dan koma. Aku sampai menderita mendengarnya. Tanpa memberi aku kesempatan untuk mencecap dan memahami lebih dalam apa kisah sebenarnya. Tapi air matanya yang juga deras memberitahu inti dari segala yang diucapnya. Oleh dia. Mantan kekasihku yang kembali dating pagi shubuh ini.

Lelaki yang sekarang memiliki ikatan denagnya ternyata tak seperti yang diharakan dulu. Memang manusia penuh keterbatasan. Tidak ada yang sempurna. Begitu ucaku pada dia. Tapi dia langsung menyalak lirih. Tapi masih lebih baik dengan engkau. Aih, kata-kata hamper saja membuatku terbawa kemanjaan masa lalu. Tapi akau pasti masih bisa bertahan untuk menjaga tidak banyak bicara. Tak ada yang sebaik dirimu. Aih, aku dipangggil dirimu. Dia terus menyebut kebaikan-kebaikanku. Satu persatu hingga bisa menjadi seribu. Eumpama kepingan batu mungkin dia sudah bisa membuat candi dari pujiannya itu untukuku.

Aku tidak butuh pujian yang sedemikian membuatku tambah terenyuh kenapa hidupnya terbawa pada garis hidup yang memilkukan ini. Kenapa harus lelaki seperti itu yang memilikinya. Dua jiwa yang seharusnya menyatu dam ikatan pernikahan, kenapa baru sekarang meradang dalam segala amuk keterbatasan masing-masing egonya sendiri. Bertahun sudah anda lalui ini dnegn suamia kenapa barus sekarang pecah dalam ringkasan gelombang prahara.begitu ucapku penuh nasehat pada dia. Aku bahkan tidak mau memberi kesempatan padanya untuk menikmati keakraban pembicaraan ini sampai denag hati-hati kupanggil dia, anda.

Dia duduk dibangku panjang stasiun koa ini. Kebetulan shubuh baru saja berlalu sehingga aroma pagi masih begitu segar dan murni. Aku ikut duduk disampingnya dengan mengambila jarak satu lambai tanga ini untuk mengindari hal-hal yang tidak didingkan. Dia terus saj bercerita sambil menundukkan wajahnya. Seakan menyesal kenpa harus melallaui waktunya selama ini tanpaku. Dia sendiri yang menjauh pada waktu dulu. Dalm kisaran desak untuk menikah karena orang Bapaknya adalah orang desa yang ingin cepat dipangggil kakek. Sedang aku dulu masih sibuk dengan judul skripsi dan buku-buku yang harus kupahami. Aku lebih memilih menyingkir minggir dari keinginnannya untuk melamarnya. Apaagi orang tuanya memandang ku sebagai lelaki yang tak jelasa masa depanya. Tapio aku hanya tersenyum kala itu. Cinta dia, mantan kekasihku itu memang tak mau diuji oleh kesabaran menunggu. Untik cinta yang dihasilkan hati yang tak begitu lulus uji aku tidak bisa begitu mengaguminya. Menurutku sama saja dia menginginkan semuanya ini serba instant. Sesuatu yang nstan kadang bsa membuat kita puas sejenka dengan keingian kita tapi kita tidak menyadari efek buruk sesudahnya.

Kuringkas waktu dengan nasehat terkhir agar dia kembali kepada suaminya sendiri. Mengarap ridla padanya agar semua kembali indah. Kusuruh dia saling menyadari bahw ahidup didunia ini hanya sebentar. Semua harus diniati ibadah pada Tuhan sang pengatur lelaku ini. Minta maaf pada suamimu. Cium kakinya. Agar bisa meuluuhkan setaip sifat sombong dan angkuhnya. Manusi a punya keterbatasan. Tidak ada yang sempurna. Adapun aku. Jangan jadikan aku cermin bagi cita-citamu. Aku adalah lelaki yang menikmatyi kesendirian ini. Menikmati keindahan dengan hati dan nuraniku sendiri. Sambil menunggu jodohku yang selalu kujampi-jampi lewat doa dan puisi. Adapan siapa jodohku akupun belaum tahu dan mendapatkannya. Aku janji kalau nanti kudapatkan jodohku akan ku beritahu kau.

Dalam setiap semilir angina dan rintik hujan p[asti ada kisah-kisah tersembunyi. Kembalillah kepada suamimu dan nikmati hidupmu dengan kebahagiaan-kebahagiaan. Kalau kau bisa bahagiadan indah dalam kesegaran melati dulu. Maka aku, lelaki penyendiri ini akan juga ikut bhagia. Begitulah nasehat terkhirku pada dia, manna kekasaihku yang kembali dating. Aku pergi dalam kedamaian hati. Sedangkan dia senyum merona dalam intipan cahaya matahari yang mulai menjamah pagi ini. Seakan dia telah menumpahkan beban hidupnya distasiun kota sepi ni. Kota dimana kunikmati kesendrian ini. Aku pamitan pergi kepada dia. Satu jam lagi kereta akan lewat. Biarkan dia merenung dalam satu jam untuk selanjutny apulang kembali kekotanya. Diaman dia seudah menjalani kehidupan ini lebih dulu.

Sedangkan aku. Aku akan tetap terus berjalan menyususri pagi yang indah ini dnegan sebatang rokok kretek. Aku mampir kewarung kopi. Disitu aku merenung dengan tenang bahwa ternyata hidp penuh panca roba. Dan ternyata aku sendiri layak untuk dirindukan wanita.


1st Chapter by Wahyudi Fajar Firmansyah

No comments: