Thursday, August 21, 2008

Leuser

PROLOG

Nanggroe Aceh Darussalam

Rabu, 14 Mei 2003

Fajar. Segaris warna emas menyingsing di horizon timur langit Aceh. Satu pesawat angkut militer C-130 Hercules melayang di angkasa hitam. Kabinnya lengang. Seregu tentara langit berseragam kamuflase hijau loreng, topi baja, ransel punggung dan parasut duduk bersisian. Tak ada suara, semua tenggelam dalam kebisuan. Tegang dan kaku. Hanya bising mesin menggerakkan dua pasang baling-baling.

Melintasi bentangan Krueng[1] Alas yang meliuk bagai siluet ular raksasa, pesawat secara bertahap mengurangi ketinggian. Turun ke batas terbawah gerombolan awan yang legam.

Angin keras seketika menerpa masuk saat pintu kabin perlahan terbuka. Menampakkan tumpukan dedaunan hutan menghitam jauh di bawah sana. Setelah pintu terbuka sempurna, dering bel terdengar nyaring dan kering, disusul nyala lampu merah di kabin utama. Komandan pasukan berpangkat letnan satu yang duduk di dekat pintu, berdiri memberi perintah.

“Periksa perlengkapan!”

“Siap!” regu tentara itu berdiri serentak. Membentuk satu barisan menghadap ambang pintu pesawat. Sigap melakukan prosedur pemeriksaan peralatan yang dicantelkan di sekujur tubuh.

“Bersiap exit!”

“Siap!”

Lampu merah berubah hijau, kode dari pilot bahwa pesawat sudah mencapai ketinggian yang tepat di DZ[2]. Satu persatu mereka meloncat keluar. Siluetnya terlihat bagai noktah-noktah kecil samar di kanvas langit yang hampir terang.

Payung-payung parasut mengembang sempurna bagai cendawan, melayang perlahan mendekati permukaan. Turun dengan lembut di sela-sela pepohonan, terpencar agak berjarak-jarak.

Setelah melayang lembut di udara dingin, kedua belas tentara itu menyentuh tanah yang masih dicumbu embun. Bergerak sigap melipat parasut. Menyembunyikannya di antara rerimbunan belukar. Masing-masing menyandang senapan dan bergerak cepat mencari posisi satu sama lain.

Setelah semua berkumpul di satu titik, sang letnan memberi aba-aba untuk segera meretas hutan pedalaman Aceh.


SATU

Aceh Tenggara,

Sabtu, 12 April 2003

Dua Land Rover Defender hijau gelap meluncur beriring. Melintasi telaga fatamorgana yang memantul di atas aspal. Di jip terdepan botanis usia dua puluh enam tahun itu menyandarkan tubuh mungilnya di jok depan yang lumayan empuk. Matanya yang bulat hitam menatap lepas keluar jendela. Memandang pepohonan yang berbaris tegap di sisi jalan diselingi rumah-rumah sederhana yang berjarak-jarak. Hamparan kebun dan ladang semakin sering terlihat dengan aktifitas sekelompok penduduk. Semua terlewat begitu saja, bagaikan sekumpulan foto beku yang ditampilkan frame demi frame.

Perempuan berkulit kecoklatan itu merasakan kungkungan momentum sepi, bisu, dan hampa. Latar belakang pegunungan dan langit biru terang tak mengusiknya dari terawang yang senyap. Selama delapan jam perjalanan melintasi ruas jalan Medan – Kutacane baginya terasa begitu lambat. Ada dua hal paradoks yang kini menghujam gumpalan organ lunak merah muda samar seberat 1,4 kg yang terlindung di balik tempurung kepalanya. Gairah dan kekhawatiran!

Suasana sekeliling tak lagi menarik baginya. Pikirannya jauh menelusur pada rencana ekpedisi kali ini. Hal ini baginya sangat penting. Ia telah menjadi duta Indonesia untuk melakukan ekspedisi ilmiah bersama perwakilan tiga negara Eropa. Lebih dari itu, ia telah bersumpah pada dirinya sendiri untuk menuntaskan hutang janji dua tahun yang lalu. Hasrat itu begitu menggoda, melebihi apa pun yang pernah dicapainya dalam perjalanan karirnya. Baginya ini adalah tugas yang senadi dengan denyut hidupnya.

Kesunyian dan kenyamanan di dalam jip berpendingin udara itu terjaga sempurna. Supir tetap berkonsentrasi pada kemudi. Menjaga akselerasi kendaraan 4X4 itu tetap stabil agar tak mengusik ketenangan ketiga penumpangnya. Walau pun perempuan di sampingnya sesekali mengajak berbincang untuk menepis kebisuan, lelaki ber-zebo wol coklat itu hanya menjawab singkat. Sekadar berbasa-basi demi kesopanan. Ia lebih memilih diam jika tidak ditanya.

“SIALAN!” Supir mendadak menginjak rem dalam-dalam. Suara ban berdecit menggigit aspal. Mobil berguncang hebat dan berhenti seketika.

Frinie kaget luar biasa. “Ada apa?!”

“Monyet sialan itu muncul tiba-tiba!”

Seekor lutung berbulu kelabu terkejut. Berdiri diam di tengah aspal. Menatap mobil sekejap. Lalu dengan gerakan cepat segera menghilang ke rerimbunan hutan.

Suami istri Christoffel Van Heurn dan Cornella Schaik yang sejak tadi terlelap di deretan bangku tengah, terbangun oleh kejutan tak menyenangkan itu.

What’s up?” Christoffel mengangsurkan tubuhnya ke depan. Kesal karena kenyamanannya terganggu.

I’m sorry, sir! A monkey trespassing the road!” Supir kembali menghidupkan mesin.

God bless that monkey!” Cornella menguap acuh dan melanjutkan tidurnya.

But, I don’t see anything!” Christoffel, walau masih mengantuk, dengan penasaran menyapu pandangan ke luar jendela. Namun ia tak melihat apa-apa kecuali jajaran pepohonan dan ruas jalan beraspal. Setelah mobil kembali berjalan ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Memejamkan mata dan mencoba menyambung tidurnya.

Christoffel Van Heurn adalah lelaki usia tiga puluh empat tahun dengan rambut coklat menyala, wajah merah, dan kumis tipis di atas bibirnya. Posturnya yang tinggi berisi tampak atletis dengan bahu yang bidang. Ia lebih mirip atlet renang ketimbang seorang ahli zoologi hutan hujan tropis. Sementara istrinya, Cornella Schaik, perempuan usia dua puluh empat tahun bertubuh sintal, kaki jenjang, mata biru menawan, dan rambut blonde itu duduk merapat. Meringkuk manja di sampingnya.

Frinie Limbong kembali dalam kesendirian. Memutar balik semua rencana awal yang telah tersusun rapi di kepalanya. Tak sabar untuk segera mencecahkan kaki lagi di tempat ia pernah menggantung semua harapan. Betapa lewat pergulatan panjang dengan waktu, ia telah berhasil meyakinkan komunitas peneliti. Proposal ekspedisi pembuatan film dokumenter yang digagasnya terjawab. Tekad, keyakinan dan semangatnya yang selalu berkobar bagai suluh berhasil menarik perhatian beberapa ahli zoologi, ekologi, botani, dan cinematografi alam liar. Melibatkan tim gabungan di bawah bendera Uni Eropa – Indonesia. Enam spesialis yang terdaftar atas nama Adolf Walther Koch, suami istri Christoffel Van Heurn dan Cornella Schaik, dan Sir John Mc Nabb serta Johannes Barita Tobing itu sudah terjadwal untuk melakukan kegiatan selama delapan bulan di kawasan ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Ekspedisi itu diyakini akan membuka khasanah baru pada studi tentang hutan hujan tropis Indonesia.

Ketika gairah Frinie semakin terbakar liar, percikan kekhawatiran menyeruak seketika. Situasi konflik Aceh yang semakin kusut –entah mengapa- tiba-tiba merasuk angannya. Pasca pengepungan rawa-rawa Desa Cot Trieng[3], Aceh di mata Frinie semakin mencekam. Rasa khawatir itu menghantuinya sejak beberapa jam yang lalu. Di perbatasan propinsi, Frinie melihat pergerakan militer yang tidak biasa. Kendaraan taktis terparkir tak jauh dari pos perbatasan. Pemeriksaan pun lebih ketat dari lazimnya. Wajah-wajah lelah tentara dan polisi bersenjata yang terlihat kaku dengan sorot mata penuh curiga menularkan ketegangan di batinnya.

Sebelumnya, dalam tujuh tahun terakhir sejak Frinie beberapa kali bolak-balik ke Aceh untuk kepentingan studi, ia tak pernah melihat konsentrasi militer seperti itu di perbatasan. Media massa pada bulan-bulan terakhir ini pun gencar menyiarkan perkembangan gencatan senjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia yang terancam gagal. Frinie takut seandainya konflik bersenjata semakin meruncing, proyek kali ini bisa jadi berantakan. Setidaknya usaha keras selama tujuh tahun terakhir untuk mengungkap misteri niche[4] flora di hutan Leuser akan tertunda untuk waktu yang lama.



[1] Krueng (bahasa Aceh) = sungai.

[2] Dropping Zone – istilah untuk menyatakan titik penerjunan pasukan lintas udara.

[3] Pada pertengahan November 2002, pasukan gabungan TNI dalam jumlah 9 SSK (Satuan Setingkat Kompi) melakukan pengepungan terhadap markas GAM di kawasan rawa-rawa Desa Cot Trieng, Kecamatan Muara Dua, Aceh Utara, untuk memperlemah kantong perlawanan separatis di wilayah Aceh Utara.

[4] Niche atau biasa disebut “relung”, adalah suatu tempat dalam ekosistem yang dihuni oleh spesies tertentu di dalam habitatnya dengan kombinasi faktor-faktor pendukungnya seperti pasokan air, cahaya, suhu, dan pangan.

Fajar. Segaris warna emas menyingsing di horizon timur langit Aceh. Satu pesawat angkut militer C-130 Hercules melayang di angkasa hitam. Kabinnya lengang. Seregu tentara langit berseragam kamuflase hijau loreng, topi baja, ransel punggung dan parasut duduk bersisian. Tak ada suara, semua tenggelam dalam kebisuan. Tegang dan kaku. Hanya bising mesin menggerakkan dua pasang baling-baling.

Melintasi bentangan Krueng[1] Alas yang meliuk bagai siluet ular raksasa, pesawat secara bertahap mengurangi ketinggian. Turun ke batas terbawah gerombolan awan yang legam.

Angin keras seketika menerpa masuk saat pintu kabin perlahan terbuka. Menampakkan tumpukan dedaunan hutan menghitam jauh di bawah sana. Setelah pintu terbuka sempurna, dering bel terdengar nyaring dan kering, disusul nyala lampu merah di kabin utama. Komandan pasukan berpangkat letnan satu yang duduk di dekat pintu, berdiri memberi perintah.

“Periksa perlengkapan!”

“Siap!” regu tentara itu berdiri serentak. Membentuk satu barisan menghadap ambang pintu pesawat. Sigap melakukan prosedur pemeriksaan peralatan yang dicantelkan di sekujur tubuh.

“Bersiap exit!”

“Siap!”

Lampu merah berubah hijau, kode dari pilot bahwa pesawat sudah mencapai ketinggian yang tepat di DZ[2]. Satu persatu mereka meloncat keluar. Siluetnya terlihat bagai noktah-noktah kecil samar di kanvas langit yang hampir terang.

Payung-payung parasut mengembang sempurna bagai cendawan, melayang perlahan mendekati permukaan. Turun dengan lembut di sela-sela pepohonan, terpencar agak berjarak-jarak.

Setelah melayang lembut di udara dingin, kedua belas tentara itu menyentuh tanah yang masih dicumbu embun. Bergerak sigap melipat parasut. Menyembunyikannya di antara rerimbunan belukar. Masing-masing menyandang senapan dan bergerak cepat mencari posisi satu sama lain.

Setelah semua berkumpul di satu titik, sang letnan memberi aba-aba untuk segera meretas hutan pedalaman Aceh.


SATU

Aceh Tenggara,

Sabtu, 12 April 2003

Dua Land Rover Defender hijau gelap meluncur beriring. Melintasi telaga fatamorgana yang memantul di atas aspal. Di jip terdepan botanis usia dua puluh enam tahun itu menyandarkan tubuh mungilnya di jok depan yang lumayan empuk. Matanya yang bulat hitam menatap lepas keluar jendela. Memandang pepohonan yang berbaris tegap di sisi jalan diselingi rumah-rumah sederhana yang berjarak-jarak. Hamparan kebun dan ladang semakin sering terlihat dengan aktifitas sekelompok penduduk. Semua terlewat begitu saja, bagaikan sekumpulan foto beku yang ditampilkan frame demi frame.

Perempuan berkulit kecoklatan itu merasakan kungkungan momentum sepi, bisu, dan hampa. Latar belakang pegunungan dan langit biru terang tak mengusiknya dari terawang yang senyap. Selama delapan jam perjalanan melintasi ruas jalan Medan – Kutacane baginya terasa begitu lambat. Ada dua hal paradoks yang kini menghujam gumpalan organ lunak merah muda samar seberat 1,4 kg yang terlindung di balik tempurung kepalanya. Gairah dan kekhawatiran!

Suasana sekeliling tak lagi menarik baginya. Pikirannya jauh menelusur pada rencana ekpedisi kali ini. Hal ini baginya sangat penting. Ia telah menjadi duta Indonesia untuk melakukan ekspedisi ilmiah bersama perwakilan tiga negara Eropa. Lebih dari itu, ia telah bersumpah pada dirinya sendiri untuk menuntaskan hutang janji dua tahun yang lalu. Hasrat itu begitu menggoda, melebihi apa pun yang pernah dicapainya dalam perjalanan karirnya. Baginya ini adalah tugas yang senadi dengan denyut hidupnya.

Kesunyian dan kenyamanan di dalam jip berpendingin udara itu terjaga sempurna. Supir tetap berkonsentrasi pada kemudi. Menjaga akselerasi kendaraan 4X4 itu tetap stabil agar tak mengusik ketenangan ketiga penumpangnya. Walau pun perempuan di sampingnya sesekali mengajak berbincang untuk menepis kebisuan, lelaki ber-zebo wol coklat itu hanya menjawab singkat. Sekadar berbasa-basi demi kesopanan. Ia lebih memilih diam jika tidak ditanya.

“SIALAN!” Supir mendadak menginjak rem dalam-dalam. Suara ban berdecit menggigit aspal. Mobil berguncang hebat dan berhenti seketika.

Frinie kaget luar biasa. “Ada apa?!”

“Monyet sialan itu muncul tiba-tiba!”

Seekor lutung berbulu kelabu terkejut. Berdiri diam di tengah aspal. Menatap mobil sekejap. Lalu dengan gerakan cepat segera menghilang ke rerimbunan hutan.

Suami istri Christoffel Van Heurn dan Cornella Schaik yang sejak tadi terlelap di deretan bangku tengah, terbangun oleh kejutan tak menyenangkan itu.

What’s up?” Christoffel mengangsurkan tubuhnya ke depan. Kesal karena kenyamanannya terganggu.

I’m sorry, sir! A monkey trespassing the road!” Supir kembali menghidupkan mesin.

God bless that monkey!” Cornella menguap acuh dan melanjutkan tidurnya.

But, I don’t see anything!” Christoffel, walau masih mengantuk, dengan penasaran menyapu pandangan ke luar jendela. Namun ia tak melihat apa-apa kecuali jajaran pepohonan dan ruas jalan beraspal. Setelah mobil kembali berjalan ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Memejamkan mata dan mencoba menyambung tidurnya.

Christoffel Van Heurn adalah lelaki usia tiga puluh empat tahun dengan rambut coklat menyala, wajah merah, dan kumis tipis di atas bibirnya. Posturnya yang tinggi berisi tampak atletis dengan bahu yang bidang. Ia lebih mirip atlet renang ketimbang seorang ahli zoologi hutan hujan tropis. Sementara istrinya, Cornella Schaik, perempuan usia dua puluh empat tahun bertubuh sintal, kaki jenjang, mata biru menawan, dan rambut blonde itu duduk merapat. Meringkuk manja di sampingnya.

Frinie Limbong kembali dalam kesendirian. Memutar balik semua rencana awal yang telah tersusun rapi di kepalanya. Tak sabar untuk segera mencecahkan kaki lagi di tempat ia pernah menggantung semua harapan. Betapa lewat pergulatan panjang dengan waktu, ia telah berhasil meyakinkan komunitas peneliti. Proposal ekspedisi pembuatan film dokumenter yang digagasnya terjawab. Tekad, keyakinan dan semangatnya yang selalu berkobar bagai suluh berhasil menarik perhatian beberapa ahli zoologi, ekologi, botani, dan cinematografi alam liar. Melibatkan tim gabungan di bawah bendera Uni Eropa – Indonesia. Enam spesialis yang terdaftar atas nama Adolf Walther Koch, suami istri Christoffel Van Heurn dan Cornella Schaik, dan Sir John Mc Nabb serta Johannes Barita Tobing itu sudah terjadwal untuk melakukan kegiatan selama delapan bulan di kawasan ekosistem Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Ekspedisi itu diyakini akan membuka khasanah baru pada studi tentang hutan hujan tropis Indonesia.

Ketika gairah Frinie semakin terbakar liar, percikan kekhawatiran menyeruak seketika. Situasi konflik Aceh yang semakin kusut –entah mengapa- tiba-tiba merasuk angannya. Pasca pengepungan rawa-rawa Desa Cot Trieng[3], Aceh di mata Frinie semakin mencekam. Rasa khawatir itu menghantuinya sejak beberapa jam yang lalu. Di perbatasan propinsi, Frinie melihat pergerakan militer yang tidak biasa. Kendaraan taktis terparkir tak jauh dari pos perbatasan. Pemeriksaan pun lebih ketat dari lazimnya. Wajah-wajah lelah tentara dan polisi bersenjata yang terlihat kaku dengan sorot mata penuh curiga menularkan ketegangan di batinnya.

Sebelumnya, dalam tujuh tahun terakhir sejak Frinie beberapa kali bolak-balik ke Aceh untuk kepentingan studi, ia tak pernah melihat konsentrasi militer seperti itu di perbatasan. Media massa pada bulan-bulan terakhir ini pun gencar menyiarkan perkembangan gencatan senjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia yang terancam gagal. Frinie takut seandainya konflik bersenjata semakin meruncing, proyek kali ini bisa jadi berantakan. Setidaknya usaha keras selama tujuh tahun terakhir untuk mengungkap misteri niche[4] flora di hutan Leuser akan tertunda untuk waktu yang lama.

1st Chapter by Evin H Bakara



[1] Krueng (bahasa Aceh) = sungai.

[2] Dropping Zone – istilah untuk menyatakan titik penerjunan pasukan lintas udara.

[3] Pada pertengahan November 2002, pasukan gabungan TNI dalam jumlah 9 SSK (Satuan Setingkat Kompi) melakukan pengepungan terhadap markas GAM di kawasan rawa-rawa Desa Cot Trieng, Kecamatan Muara Dua, Aceh Utara, untuk memperlemah kantong perlawanan separatis di wilayah Aceh Utara.

[4] Niche atau biasa disebut “relung”, adalah suatu tempat dalam ekosistem yang dihuni oleh spesies tertentu di dalam habitatnya dengan kombinasi faktor-faktor pendukungnya seperti pasokan air, cahaya, suhu, dan pangan.

No comments: