Thursday, July 24, 2008

3 Memoar of Sunset

COWOK PANTAI

Sudah sebulan berlalu, tapi pandangan Pingkan tidak lepas dari sosok laki-laki yang selalu berdiri di ujung pantai. Dia agak segan untuk bisa menegur langsung, padahal dia akui kalau dia benar-benar penasaran abis. Dan yang buat dia heran, cowok itu selalu duduk di atas batu besar, kira-kira 3 meter dari pantai.

Saat itu matahari sudah tenggelam atau sunset dengan istilah western-nya. Burung-burung sudah tidak berani terbang lagi, dan ombak sudah mulai mengeluarkan suara yang lumayan serem.

Cowok itu masih seperti kemarin dengan kemeja putih dan celana jeans biru yang sudah belel. Duduk melantai sambil memandang lepas ke arah laut. Kadang dia melempar sesuatu yang menurut Pingkan adalah batu lalu duduk lagi. Pandangannya kosong.

Begitulah hasil pengamatan Pingkan, gadis yang selalu menggunakan teropong untuk melihat dari jauh. Padahal teropong itu hadiah ulang tahun mamanya 15 tahun yang lalu, sekarang dia sudah berumur 17 tahun.
Cowok itu duduk mulai sunset sampai sekitar 2 jam dan kemudian pulang. Pingkan pun terpaksa bertahan duduk di kursi bambu sekitar arah jam 10 dari tempat dia duduk. Tempat duduk paling strategis untuk mengintai dan paling cocok bila tak ingin dilihat orang lain.

Cowok itu tidak pernah tahu ulah Pingkan, kalau dia tahu pasti Pingkan dituduh sok detektif. Seperti sore itu, Pingkan duduk lagi di kursi bambu dan membaca komik Shincan untuk sekedar mengisi waktu.

Orang yang diintainya belum datang, suasana pantai, sepi hanya terdengar suara ombak, burung, dan daun kelapa. Oh, kalau saja kelapa ini bisa ngomong, pasti cowok itu tahu ada yang liatin terus. Tapi aku beruntung kelapa nggak bisa ngomong, Pingkan bergumam iseng dalam hati.

Pas lagi asik ketawa sendiri baca komik, sentuhan di punggung Pingkan terasa. Dia berbalik tapi tidak ada siapa-siapa. Dia cuek aja, baginya, kelucuan komik lebih menarik dari sentuhan itu. Tapi sentuhan itu terasa lagi. Bulu kakinya merinding (mungkin bulu roma sudah biasa), kali ini dia buka suara,

“Sentuh lagi dapat payung, lho!”

Tetap sepi nggak ada wujud atau sosok. Kalau sekarang bulu kuduk sampai bulu mata Pingkan pun ikut merinding. Apalagi pantai itu sudah gelap gulita.

Pingkan lalu memutuskan untuk pulang saja, dia berjalan sambil terus menoleh ke belakang, pas dekat gerbang pantai dia berlari sekencang mungkin. Sampai di rumah napasnya udah seperti lokomotif (satu-satu maksudnya). Dia ketemu ama Lady, sobatnya, di teras rumah.

“Kenapa, sih? Abis dikejar anjing, ya?”

“Canda kamu… huh… huh… huh… aku ketakutan, tadi di pantai aku dicolek ama seseorang, pas aku berbalik nggak ada siapa-siapa. Gimana nggak merinding?”

“Siapa sih yang kamu temuin di pantai, kok kayaknya serius bener. Gebetan baru atau mencoba cari inspirasi nulis puisi, atau juga mungkin lagi sunbathing?”

Pingkan bernapas dengan susah payah lalu meraih penggaris segitiga milik Lady untuk jadi kipas. Anginnya lumayan buat gadis berambut panjang itu merem melek. Sementara itu Lady dari tadi hanya manggut-manggut.
Pingkan mencoba untuk mengatur napas lalu mengambil posisi duduk di samping Lady, dia mulai menatap Lady dengan pandangan, ‘Aku masih capek tau nggak, sih?’ tapi Lady menjawab dengan tatapannya juga, ‘Kamu kalau lagi ngos-ngosan gitu mirip sapi perah tau nggak?

Mereka sama-sama tersenyum dan tidak mengerti jalan tatapan masing-masing. Pingkan mulai bersuara dan Lady hanya berharap dia tidak akan memulai dengan ucapan, ‘Pada suatu hari’.

“Aku mulai perhatiin dia dari sebulan yang lalu pas aku lagi menghabiskan waktu di pantai, dan dia muncul bak satria baja hitam,” (tiba-tiba.red).

“T’rus kamu tahu dia ngapain ke pantai?”

“Nggak tahu, justru itu aku mau cari tahu. Kenapa dia selalu ada di tempat itu dan kenapa harus di tempat tinggi seperti batu itu?”

“Dia ada bawa sesuatu nggak?” mobil, motor, atau credit card, seperti yang diidamkan Lady, yang wajib dibawa oleh setiap cowok keren. Hoorte (dasar perempuan; India Language).

“Dia selalu ke pantai dengan gaya cuek tapi tetap kelihatan menarik.”

“Emang tampangnya gimana, sih?” Lady mulai gelisah, menunjukkan kalau dia sudah sangat penasaran.

“Agak samar sih, aku cuma bisa lihat kalau dia selalu mengenakan kemeja dengan jeans biru. Tampangnya tidak jelas,” jawab Pingkan.

“Jangan-jangan dia mau bunuh diri?!” tanya Lady setelah selesai mendengar cerita Pingkan.

“Kalo mau bunuh diri kenapa nggak dari bulan lalu?!” Pingkan balik bertanya setengah sewot.

“Oh…h… jadi kamu udah perhatiin dia dari sebulan lalu?”Pingkan lesu seketika, nggak nyangka Lady yang mendengar cerita begitu serius, ngertiinnya baru tadi. Lady sudah Pentium satu setengah.
---
Besoknya, pulang dari sekolah, Pingkan singgah di toko mainan anak-anak, mau beli sesuatu untuk anak tetangga yang bernama Jingga, umurnya masih 5 tahun, tapi pinter banget. Dia sering nanya macam-macam,

“Tante, kalo gajah termasuk binatang apa?” Heran, Pingkan masih 17 tahun udah dipanggil ‘Tante’ ama Jingga.

“Binatang langka!” jawab Pingkan optimis.

“Terus kalo singa?”

“Binatang langka juga!” Pingkan mulai lemas.

“Kalo komodo?”

“Ya binatang langka juga dong, Sayang!” dia berharap anak itu tidak akan nanya lagi.

“Jadi kalo binatang yang dilindungi itu apa aja?”

Pingkan lemes abis, dia kalah pintar.

Pingkan masih mencari kado tatkala dia melihat jam di dinding toko. Dia buru-buru membayar setelah dia mendapatkan boneka lucu Teddy Bear kesukaan Jingga.

Kali ini dia harus bertemu dengan cowok itu, dia sudah berencana akan memberanikan diri untuk berkenalan. Dia harus berusaha, dia harus bisa, dan dia harus… harus… harus cegat taksi ke arah pantai.

Sampai di gerbang pantai, dia mulai senyum karena sosok cowok itu udah duduk di batu besar seperti kemarin-kemarin. Pingkan mengendap-endap ke arah kursi bambu.
Tiba-tiba…, Bum…mmm!!! Ada kelapa jatuh tepat 15cm di depan Pingkan. Dia kaget sekali. Untung nggak pas di kepalaku, kalo nggak bisa geger, batinnya. Pingkan masih sempat bilang untung, begitulah orang Indonesia kebanyakan untung.

Belum selesai kesialan hari ini, pas mau duduk, kursi bambu patah dan Pingkan jatuh dengan gemilang (dengan bokong mendarat mulus di tanah). Dia bangkit lagi, tapi sebentar lagi terdengar jeritan,

“Auw..ww…ww…!” ternyata ujung kaki Pingkan dijepit kepiting kecil. Dia dongkol abis.

Cowok itu masih duduk dan tidak menghiraukan kejadian sial yang menimpa Pingkan, dia terus menatap ke laut lepas. Padahal suara Pingkan cukup kuat, tapi tidak berpengaruh. Jangan-jangan dia tuli?

Pingkan berjalan ke arah cowok itu, kira-kira 3m di belakangnya, dia berhenti. Pingkan ragu apakah dia akan terus atau tidak. Lututnya bergoyang-goyang menandakan ketidakstabilan hatinya. Tiba-tiba ada suara,

“Ayo yang berdiri di belakang, mau ngapain?” Pingkan nyaris pingsan begitu mendengar suara cowok itu. Tapi dari mana dia tahu ada Pingkan di belakang?

Pingkan mendekat lalu memandang wajah cowok itu dan hampir shock. Ternyata pria itu sangat tampan, tatapannya tajam tapi bersahabat, rahangnya kokoh, hidungnya mancung. Rambutnya panjang sebahu (gondrong, bo!).

“Jangan terlalu lama ngeliatin, ayo duduk sini,” pria itu ngajak Pingkan mendekat lagi. Jantung Pingkan berdegup kencang. Wajahnya mulai merah merona.

“Makasih,” ujarnya, “Aku Pingkan, nama kamu siapa?”

“Aku Anju!” balasnya sambil menjabat tangan Pingkan. Serasa kesetrum arus 5000 watt.

“Baru selesai makan cokelat, ya?” Anju bertanya. Pingkan heran padahal dia tidak makan cokelat.

“Kenapa?”

“Tuh, masih ada sisa di pipi!” ujar Anju. Pingkan buru-buru mengelap wajahnya dengan tisu yang ada di tangannya. Pas udah bersih dia lihat tisunya, ternyata bukan cokelat melainkan noda lumpur! Pasti pas jatuh di kursi bambu tadi. Pingkan malu sekali.

Mereka terus mengobrol sampai larut malam. Ternyata Anju tidak seperti yang Pingkan bayangkan. Anju memang sering ke pantai, karena dia lahir di pulau kecil dan besar di pinggir laut. Dan bukan mau bunuh diri seperti yang Lady pikirkan.

Dan janji-janji berikutnya pun mereka tetap bertemu di panai itu. Mereka kadang makan malam di pantai dan menurut Pingkan, really wonderful.

Anju yang aslinya berasal dari Samosir Island (pulau di tengah-tengah danau Toba di Sumatra Utara), orangnya kocak sekali dan menurut pengakuannya dia adalah titisan Dewa Humor. Pingkan bahkan sampai menyerah bila diajak cerita lucu.

“Kamu pintar berenang, dong!”

“Anak Samosir nggak ada yang nggak bisa berenang, bahkan baru lahir aja dimandiin di Danau Toba,” ujar Anju.

“Hah? Terus langsung bisa berenang?!” tanya Pingkan dengan polosnya.

“Iya, 3 menit. Setelah itu koit…!!” seru Anju, “Gimana, sih? Emang bayi apa bisa langsung berenang?”

“Ada…! Bayi kecebong!”

“Di Samosir nggak ada kecebong, adanya Bojak.”

“Bojak apaan?”

“Itulah yang meluppat-luppat itu!”
“Oh, itu mah kodok, euy!”

“Nah, terus yang asem manis?”

“Itu rujak,” jawab Pingkan sabar.

“Kalo yang narik pake sepeda?”

“Itu becak!!!” Pingkan mulai gemas.

“Terus, kalo abis hujan?”

“Becek!”

“Oh….,” mulut Anju menyerupai huruf ‘O’. Tapi seneng juga ngelihat Pingkan bisa nyambung.
---
Tiga bulan berlalu sejak perkenalan itu, dan Anju masih sering bersama dengan Pingkan di pantai atau di tempat lain. Mereka bahkan sering di pantai sampai larut malam dan Pingkan sangat menikmatinya.

Baginya, kenal dengan Anju adalah hal yang baru yang belum pernah dirasakannya sampai sesenang ini. Pingkan bahkan lupa ama teman-temannya termasuk Lady. Seperti malam itu dia menemukan gadis itu sedang tidur di kamarnya.

Pingkan kumat jahilnya, dia membangunkan Lady dengan cara membunyikan ponselnya. Jelas aja Lady langsung bangun.

“Mana, mana? Aku di mana, ya?” Lady masih kurang sadar sementara Pingkan sudah memegang perutnya menahan tawa.

“Dari mana sih kamu? Aku cari di sekolah katanya udah pulang, pas ke rumah, eh belum pulang,” Lady mulai sadar.

“Aku baru dari pantai, ketemu seseorang.”

“Siapa?”

“Anju!” seru Pingkan, “Yang kuceritain waktu dulu yang kamu kira mau bunuh diri,” Pingkan mencoba menjelaskan lagi ke Lady.

“Anju, cowok yang mana?”

“Ya, ampun! Ituloh yang aku bilang di telepon waktu kamu nanya aku dari mana,” jawab Pingkan.

“Yang mana? Oh, cowok yang sering kamu temuin di pantai?”

Kali ini Pingkan emosi beneran. Pentium 1nya Lady macet lagi, download-nya susah.

Keesokkan harinya, Pingkan terlihat senang sekali. Di toilet yang berukuran 2 x 3 itu masih bisa loncat sana loncat sini. Temannya pada heran, nggak jarang mereka mendengar suara nyanyian fals Pingkan yang kenyataannya sangat bising. Lagunya sering berubah dan liriknya pun sering salah tapi ia tetep PD bernyanyi.

Rupanya Pingkan sedang senang. Nggak heran kalau dia menganggu ketenangan sekolah Cahaya Ilmu. Office boy yang kebetulan lewat dicegat oleh Pingkan,

“Anju ngajak dinner!” seru Pingkan. Pak Edy bingung, soalnya dia tidak kenal Anju.

Dinner itu apaan?” Pak Edy ternyata Pentium 1,5 juga.

Di ekskul basket yang isinya kaum Adam, Pingkan bisa bangga lantaran dia merasa bahwa dialah makhluk tercantik saat ini, dan Monica sang manager rangkap sekretaris berada di urutan kedua. Maklum, Monica bisa dibilang sebagai manager basket, dan dia bendaharanya.
Bagi sang guru, Pak Arsya, dua orang murid ceweknya ini sanggup membuat dunia indah. Bila yang satu siap lembur temenin dia nyari segala jenis pertandingan, yang satunya selalu menghilangkan stres dengan ide-ide konyolnya.

Di tengah-tengah para cowok yang asik gedebak-gedebuk sama bolanya, tiba-tiba handphone Pingkan berbunyi. Gadis itu menyilangkan kakinya sambil bersandar di kursi, kemudian baru menjawab panggilannya.

“Halo?”

“Yang ini siapa?”

“Bukannya aku yang harus nanya duluan?” Pingkan bertanya sambil protes.

“Oh iya, ya. Aku Anju. Udah pulang belum?”

“Belum. Ini lagi nungguin anak-anak selesai main basket terus aku mesti malak mereka dulu biar bayar uang kas,” ujar Pingkan, “Tapi kalau mau lebih cepat bisa aja.”

Pingkan memang diajak makan malam sama Anju. Kemarin malam Anju berjanji akan menjemput dia di rumah jam 7 malam.

Ya, setelah mendengar kabar itu, nggak tanggung-tanggung persiapan Pingkan, dari creambath sampai beli sepatu baru.
---
Jam 6 Pingkan udah stand by di teras nungguin Anju. Penampilannya sangat anggun dengan gaun putih berpita, sepatu berpita, tas berpita, dan rambut juga diikat pita. Dari jauh pas kayak kado ulang tahun tapi setelah lihat dari dekat malah mirip vas bunga.

Anju datang tepat jam 7 dan sangat rapi malam ini. Rambutnya diikat ke belakang, pake kemeja putih dan celana biru yang licin sekali. Sepertinya nyetrikanya di papan penggilesan tebu.

Wajah Pingkan bersinar bak lampu neon tatkala Anju tak sengaja menyentuh tangannya setelah mereka memilih duduk di meja paling pojok restauran itu.

Suasananya begitu romantis, tapi Pingkan grogi abis. Anju menatap wajah ayu Pingkan, dan Pingkan meraih gelas air untuk menghilangkan groginya. Dia teguk abis airnya, seperti ada yang aneh.

Dia langsung pingsan waktu dia melihat gelas di genggamannya, ternyata bukan gelas air melainkan pot bunga. Jadi yang diminumnya tadi adalah air pot bunga itu. Anju panik seketika. Hahahaha….

Suasana romantis berganti menjadi heboh. Para pelayan buru-buru datang membantu Anju mengangkat Pingkan untuk dibaringkan di atas sofa di ujung restauran. Salah seorang pelayan itu masih sempat ngomong,

“Padahal air itu sudah 3 minggu nggak pernah diganti,” Anju shock mendengarnya.

Tapi rupanya Pingkan cepat sadar, apalagi dia tidak ingin melewatkan momen spesial bersama Anju, dan lagi menunya enak-enak (dasar doyan makan).

Mereka tetap melanjutkan makan malam. Pas asik makan malam, Anju membuka pembicaraan.
“Ping-ping, aku mau bicara penting!”

“Oke, aku dengerin. Tapi jangan panggil aku Ping-ping, dong,” gerutu Pingkan.

“Kalau aku panggil Kan-kan ntar dikira orang namamu Ikan.”

“Iya, tapi kalo Ping-ping orang kira namaku kuping.”

“Duh sewotnya…., aku cuman mau bilang kalo minggu depan mungkin aku mau pergi ke Malaysia dan mungkin tidak akan kembali lagi ke sini sampai 1 tahun. Kamu tetep pacar aku dan kita tidak akan pernah putus. Aku ke sana buat kuliah.”
Pingkan terkejut sekali mendengarnya. Dia nggak nyangka kalau Anju akan meninggalkan dia secepat itu. Dia terdiam dan mulai menangis. Dia menghentikan makannya.

“Kenapa secepat itu?” Pingkan mencoba menyembunyikan suasana hatinya.

“Maaf, tapi aku ke sana untuk melanjutkan cita-cita aku,” ujar Anju lembut. Cowok itu meraih tangan Pingkan kemudian mengecupnya sekilas. Dia bisa merasakan kesedihan Pingkan. Gadis itu hanya diam saja, Anju jadi tidak enak hati.

“Kok makannya udahan? Nggak enak, ya?” Anju mencoba mencairkan suasana.

“Nggak, cuma kepedesan aja!” ujar Pingkan sambil terus menghapus air matanya.

Sampai pada saat Anju mengantar Pingkan pulang, dia masih diam saja. Di tengah perjalanan tiba-tiba Pingkan mengajak Anju ke pantai. Anju mau aja, dia membelokkan motornya ke pantai.
Tiba di pantai, suasana agak berbeda dari suasana waktu mereka sering ke pantai.

Di pantai yang gelap gulita itu mereka jalan berdua menuju batu besar, tempat mereka menghabiskan waktu bersama.

“Liat nggak kapal itu?” Anju menunjuk ke arah laut.

“Nggak ada, tuh. Gelap semua!”

“Masa sih nggak liat? Itu lho yang ada sinarnya!”

“Itu bukan sinar, itu cahaya!”

Anju memandang gemas Pingkan, kemudian merengkuhnya dalam pelukkannya. Emosi Pingkan yang sedang tak stabil mulai tergoyah. Air matanya menetes, tangannya memeluk erat-erat tubuh Anju.

“Aku akan kembali dan akan menjemput kamu. Aku akan menghubungi kamu terus dan aku berjanji akan setia. Ingatlah, Ping! Tak ada yang bisa merubah keputusanku, dan aku akan tetap memilih kamu,” Anju menenangkan Pingkan.

“Tapi lama, setahun…”

“Tidak akan lama kalau kamu sabar menungguku.”

“Ntar temen aku ke pantai siapa?”

“Untuk sementara ya sendiri dulu,” ujar Anju.

“Nggak mau, ah! Takut!”

“Takut dicolek, ya?” tanya Anju iseng.

‘Oh, jadi yang colek waktu itu kamu?! Awas, ya!!”

Tapi sebelum Pingkan sempat meninju Anju, cowok itu udah lari duluan. Aksi kejar-kejaran di pantai pun berlangsung. Setelah kejar-kejaran mereka terduduk lemas, dan kita tidak tahu lagi mereka melakukan apa (harap membayangkan saja, dan jangan jauh-jauh ngebayanginnya).
---
“Hah… udah jam 8?” Pingkan terbangun oleh dering alarm yang keluar dari jam weker Peter, adiknya. Dia menyambar handuk, kemudian lari sekuat tenaga ke kamar mandi.

Dia kelupaan kalau dia harus mengantar Anju ke airport dan pesawat akan berangkat tepat jam 9 pagi. Saking semangatnya, Pingkan sudah 6 kali jatuh terpeleset di kamar mandi. Dua kali tertimpa ember dan mati air yang buat Pingkan harus mengambil handuk walalu pun masih ada sabun di kepala.

Keluar dari kamar mandi, kepalanya sudah diselimuti handuk tebal seperti ikan Facial Foam di televisi. Pingkan duduk di depan meja riaasnya. Mengamati tubuh yang dibalut haduk tipis, lalu melangkah menuju lemari segede kapal tanker. Dia mencari pakaian model PW (Posisi Wuenak) yang membuat mata lelaki mana pun tidak akan berkedip. Rambut yang digerai begitu saja tanpa sisiran dan wajah tanpa make-up membuat kecantikan Pingkan makin terbias.
Setelah menemukan sandal jepit berpitanya, dia mulai berlari keluar rumah dan mencegat taksi yang kebetulan lewat dengan gaya Cowboy melempar tali lasso. Sang Zorro alias supir taksi itu pun tertangkap dan rem pun diinjak dengan tiba-tiba.

Pingkan membuka pintu depan agar bisa melihat wajah supir taksi. Wajah yang dilihatnya lumayan ramah dan Pingkan tidak punya waktu untuk menunggu taksi yang lain, yang supirnya mungkin bisa lebih keren.

“Bandara! Tapi bisa ngebut, kan?! Aku udah buru-buru, nih!!” Pingkan nggak sabaran dan langsung memilih duduk di jok belakang.

“Bandara? Oke deh, Non. Tapi pake seat belt-nya dulu,” kata sang sopir sambil memelintir kumis yang mirip saringan kopi tersebut.

Pingkan meraih seat belt dengan susah payah. Taksi yang ditumpanginya melaju dengan kecepatan bak mobil di film Too Fast Too Furious. Pingkan berusaha tegar duduk di belakang dan keadaannya sangat memprihatinkan.
Sering juga kepala Pingkan harus terbentur ke pintu mobil atau keluar tanpa sengaja menembus kaca mobil itu.

Dalam waktu kurang dari 5 menit Pingkan sampai di airport dengan rambut berantakan, wajah biru legam dan lutut bergetar. Tak disangka juga Pingkan mampu berlari ke arah Depature Station.

Dia mencari sosok Anju di antara banyak kepala yang berdesakkan di tempat itu. Seperti orang kebingungan dia mulai bertanya ke satpam terdekat,

“Pak! Pesawat ke Malaysia udah berangkat belum?”

“Malaysia? Ini terminal domestik. Yang internasional di sana, tuh!” ujar sang Satpam sambil menunjuk ke arah kanan terus dan belok lagi ke kiri.

Pingkan sempat menerima 2 keping uang receh yang diterimanya dengan ucapan sedih sang satpam (dikirain pengemis). Dia menuju ke arah station yang ditempuh dengan 5 menit berlari, 30 menit jalan bebek, dan 1 jam jalan penyu (hehe). Di tengah jalan dicegat sama anak-anak usia 10 tahun, lalu anak itu berkata,
“Mbak, Lisa A. Riyanto, yah?”

“BUKAN!”

“Kok mirip, ya?”

“Mirip sama siapa? Ama Lisa? Ah, yang bener?”

“Nggak. Mirip ama cewek yang sama sekali nggak Lisa.”

Pingkan berlari menjauhi makhluk kecil itu. Dengan napas satu-satu, dia menemukan sosok Anju di antara troli-troli. Pandangannya yang agak kabur membuat Pingkan sulit membedakan Anju dengan troli tersebut.

Rambut ikal berantakan dikibasnya ke belakang. Gadis itu mendapati Anju yang sedang sibuk menarik satu troli di depannya. Anju tercengang melihat Pingkan di hadapannya. Antara believe it or not, dia mengusap kelopak matanya, dan spontan dia teriak,

Oh my God…., my Barbie! Kenapa kucel seperti ini? What happened, Babe?”

“Aku kelupaan kalau hari ini kamu berangkat. Aku bangun kesiangan. Taksi pun dibawa supir bekas pemadam kebakaran. Gimana nggak berantakkan?!”

Pingkan mulai menangis, she need shoulder to cry on. Bukan karena penampilannya, tapi karena 30 menit lagi dia akan berpisah dengan Anju.

Anju membelai rambut Pingkan yang hampir seperti rambut Bob Marley, dihapusnya airmatanya dan dibenamkan di pelukkan yang hangat (kebetulan pakai sweater).
Namun yang paling sedih lagi, yaitu ketika tiga orang terlentang setelah menabrak barang bagasi Anju yang belum sempat dimasukkan ke troli.

“Brukk…kk…”

They are landing on the floor….

Satu orang pasrah, satu orang ngedumel, dan yang lain hanyut dalam kemesraan mereka.

PERHATIAN, PERHATIAN…
KEPADA SELURUH PENUMPANG DENGAN FLIGHT NUMBER 723 MASKAPAI PENERBANGAN MALAYSIA AIRLINES JURUSAN KUALA LUMPUR AGAR SEGERA CHECK IN.

Cause I’m leaving on the jet plane
I don’t know when I’ll be back again
Oh babe I hate to go

Setrum 5000 watt tatkala Anju melayangkan kecupan ke hidung Pingkan (sengaja nggak turun dikit) biar Pingkan senewen.

Mereka berpisah di gate 1. Pingkan membalas lambaian tangan Anju dengan air mata bak sungai Gangga. Gadis itu berjalan lemas bahkan sangat lemas apalagi setelah di gate luar dia membaca pamflet, ‘TIDAK MELAYANI SUMBANGAN’ dan dipasang sebelum Pingkan lewat.
---
ALONE WITHOUT ANJU…
Pingkan berubah total, sekarang dia lebih sering mendekam di kamar dan mendengar lagu dengan suara yang membelah genderang telinga, seperti saat itu.

Selamat jalan sayang
Rindukanlah diriku
Bisikkanlah namaku
Sebelum dirimu tidur


Bantalnya basah karena air mata Pingkan yang terus membanjir.
.

1st Chapter by Johanna Melissa - Batam

No comments: