PROLOG
Surabaya, Sabtu, 23 Februari 2007, 13.49
Surabaya, Sabtu, 23 Februari 2007, 13.49
Mina:
Kuayunkan tanganku ke dalam air kolam, badan terasa nyaman biarpun sudah sejam berada di kolam renang yang hangat. Ya, inilah yang kulakukan setelah melepas penat melewati dua bulan untuk mendapatkan kehidupanku yang baru. Kalau enggak berolahraga beberapa hari saja aku merasa seperti pecandu narkoba yang sedang sakaw. Lagipula aku suntuk kalau cuma tidur dirumah menemani Oma dan adik laki-lakiku yang masih duduk di bangku kelas dua SMA. Dan mungkin inilah kali terakhir sebelum aku, Ronal dan Oma berangkat ke Malang besok. Tapi aku enggak mau terpikir soal pindah ke Malang besok. Yang kupikirkan sekarang, aku mau hangout kemana lagi ya setelah puas berenang disini?
Rambutku yang biasanya halus sekarang terasa lepek, jadi kuputuskan saja untuk pergi menata rambutku ke Salon langgananku Acacia di Jalan Pucang Anom. Banyak salon yang bisa kukunjungi dari sini, tapi di Acacia-lah aku bisa ngobrol dan bertatap muka dengan penata rambut cowok bergaya metroseksual yang belum pernah memberikan nama aslinya kepada diriku, siapa lagi kalau bukan “Joni”. Tapi setiap kali aku ke Acacia, yang paling akrab denganku adalah Kak Andien yang suka menyambutku dengan kalimat “Mina-san, mau ditata rambut seperti apa hari ini?”
Itulah Kak Andien, yang selalu akrab dan dekat dengan diriku. Aku mengaguminya karena bagiku, dia bukan hanya seorang penata rambut profesional, tetapi juga seorang senior bagiku, dan menjadi orang yang bisa akrab denganku.
Kulepaskan pikiranku dari angan-angan di salon Acacia dan kuangkat tubuhku dari kolam yang hangat ini. Sewaktu aku mengangkat diriku sendiri, aku selalu merasa ada seorang, bahkan beberapa cowok melirik tubuhku. Bukannya aku gede rasa, tapi aku sendiri merasa tubuhku cukup menarik perhatian mereka.
Masuk kedalam kamar ganti wanita, kupilih kamar mandi yang letaknya paling ujung, kudorong lagi pintu kamar mandi ini dan kuputar handle shower cold dan hot sekaligus, tapi enggak sampai maksimal. Sial, aku baru sadar kalau aku lupa membawa shampoo-ku sendiri, padahal aku enggak pernah percaya berkeramas dengan shampoo enggak jelas di kamar mandi kolam renang. Tapi daripada rambutku rusak, kuambil secuil shampoo di kamar mandi. Aku enggak mau berlama-lama untuk mandi, sekitar lima menit saja sudah cukup buat mandi disini.
Kemudian kurogoh tasku untuk mengambil pakaian. Kulepas dengan pelan-pelan swimsuit-ku dan kumasukkan ke dalam tas bersama tube sabun cair dan handuk pribadiku kedalamnya, dan segera kupakai pakaianku, yang dari atas kebawah semuanya bernuansa sporty.
Kutinggalkan THR Mall Surabaya yang mulai terlihat lebih ramai daripada waktu aku datang kesini untuk berenang, kemana lagi kalau bukan ke Acacia, salon langgananku di tengah kota Surabaya, dan perlu waktu beberapa menit bagiku untuk menuju kesana, tapi lalu lintas disekitar Surabaya pusat hari ini enggak begitu ramai. Taksi yang kupesan pun enggak kutunggu terlalu lama. Taksi yang kutumpangi kali ini dikemudikan sopir yang menarik, badannya gemuk dan berkumis lebat, dan berjambang tipis. Melihat wajahnya yang brewok dan berbadan gendut, aku mengira dia seorang tokoh kartun masa kecilku, Brutus, yang jadi musuh Popeye. Lucu juga melihatnya, tapi melihat tatapan matanya yang tajam dan keras, mungkin mencerminkan sifat aslinya yang keras seperti Brutus. Dia hampir enggak mengajakku mengobrol sepanjang perjalanan. Tapi, ketika taksi sudah berhenti di depan Acacia, dia tersenyum ramah, jadi aku memberinya Rp 15.000,- perak, kelebihan Rp 1.000,- dari tarif yang tertera di argo taksinya. Bapak sopir bertampang Brutus ini langsung merogoh kocek celana panjangnya untuk mencari selembar uang kembalianku, tapi kukatakan agar kembaliannya dipegang dia saja, kebiasaan yang sama dengan seseorang di Bandung yang sudah mengubah hidupku beberapa hari dan baru pulang kemarin. “Enggak usah pake kembalian, Pak. Ambil aja kelebihannya buat Bapak, ya?”
“Wah, trims banget, Jeng. Semoga saya bisa mengantar gadis secantik Anda lagi.” Tutur supir taksi bertampang Brutus itu dengan ramah. Ternyata nada bicaranya enggak seseram yang kukira. Setelah Bapak itu pergi dengan taksinya, aku masuk kedalam salon, kudorong pintu salon.
Masuk kedalam salon, suara sambutan yang enggak asing lagi langsung membuat perhatianku tertuju kepada Kak Andien. “Mina-san, apa yang bisa kubantu hari ini?” Begitulah sambutan “standar” Kak Andien, hari ini aku cuma mau dicuci-blow saja, enggak nyaman lagi dengan rambutku yang lepek ini meski sudah kubasuh dengan keramas di kolam renang THR Surabaya Mall tadi.
Puas setelah rambutku apik lagi, aku keluar dari Acacia dan bergegas ke Tunjungan Plaza, tapi kali ini kuputuskan untuk jalan kaki saja, selain jaraknya enggak terlalu jauh dari salon, toh aku juga ingin membuat tubuhku aktif lagi dengan berjalan kaki.
Enggak perlu waktu lebih dari setengah jam, aku sudah berada di depan gerbang pintu utama Tunjungan Plaza, mall yang sudah jadi teman tongkronganku sejak usia SD. Disini biasanya aku juag bermain ice-skating, tapi kuurungkan niatku untuk meluncur diatas lintasan es, badanku sudah lemas untuk berenang dan berjalan kaki sampai kesini, dan kalau aku sampai telat janjian ke restoran fastfood dengan Ronal, bisa-bisa dia marah dan minta ditraktir banyak makanan, waktu Ibu masih ada, dia malah suka mengeluhkan kesalahanku ke Ibu. Mungkin kalau sekarang dia bakal mengadu ke Oma? Dasar cowok anak mami, masa sudah SMA masih mengadu ke orangtua cuma gara-gara masalah sepele? Tapi biarpun begitu, dia tetap adikku. Aku harus mengayomi dia sebagai kakak yang baik.
Masuk ke gerai fastfood A&W yang isinya makanan favorit adikku, kutolehkan kepalaku celingak-celinguk ke kiri-kanan untuk mencari Ronal, ternyata dia lagi asyik mendengarkan ipod shuffle-nya.
Tanpa basa-basi lagi aku langsung duduk didepannya, dan dia langsung kaget melihat kehadiranku persis bocah yang berpapasan dengan hantu dikasur tidurnya sendiri.
“Aduh!! Kak Mina ngagetin aku aja!”
“Ah, kamu sendiri yang kaget... sombong nih... kakaknya datang enggak disapa baik-baik.”
“Iya deh, makanan yang Kak Mina mau udah kupesan kok.”
“Oh, thanks, my brother.”
Adikku sudah memesan pesanan favoritku di A&W, sepotong Fish Sandwich dan Chicken Soup, tanpa soft drink tentunya. Ya, aku enggak mau menambahnya dengan nasi. Alasannya, apalagi kalau bukan karena bisa mengancam dietku. Meski aku bukan cewek pengidap anoreksia nervosa atau bulimia nervosa, apa artinya aku berenang dan berjalan kaki pergi kesini kalau kemudian aku makan fastfood sebanyak yang dipesan adikku. Tapi apa yang dipesan Ronal benar-benar membuatku cuma bisa menahan air liur menetes, dia memesan dua potong crispy chicken dan nasi yang masih ditambah dengan soft drink 7 Up. Terbayang olehku berapa banyak lemak yang masuk kedalam tubuhnya, tapi dia tetap saja kurus. Itulah yang kadang-kadang membuatku merasa enggak beruntung dilahirkan sebagai cewek.
Sambil menghabiskan makanan kami berdua, adikku menawarkan speaker kanan ipod-nya.
Enggak lupa, kubuka ponsel SE Z610i kesayanganku, teringat kalau besok aku pergi ke Malang, aku harus mengabari dia. Jadi kuketik dan kukirim sms-ku ke ponselnya.
Hi, my soulmate. Gimana kabar km? Baik kan? Bsk aku mau ke Malang, kamu lg ngapain? Bsk aku mau memulai hidup baru disana, doain aku ya. Aku kangen banget sama kamu. Awas kalo gak bls, aku kutuk kamu jd pangeran kodok.
From : Mina, Your soulmate
Kututup ponselku, mudah-mudahan dia bisa segera membalasnya dengan manis, dan kuteruskan acara makanku dengan Ronal.
Biarpun kami sepasang kakak-adik yang beda banget tapi inilah salah satu bentuk keakraban kami sebagai saudara sedarah. Siapa bilang saudara sedarah enggak bisa akrab? Terlebih setelah melewati beberapa hari kepergiannya dariku. Ya, aku juga pernah melepas tanggung jawab dari menjaga adikku, bahkan menjaga mendiang Ibuku. Dan itu sudah satu bulan sejak aku pulang kerumah, kembali kepada sisa keluargaku sekarang.
Bandung, Sabtu, 23 Februari 2007, 15.34
Dani:
Gue jalankan Toyota Yaris putih kesayangan gue disepanjang Jalan Cihampelas yang macetnya ampun-ampunan. Sudah lebih dari sebulan lewat perjalanan liburan gue Yogya dan Surabaya, yang membuat gue bertemu dengan seseorang yang kepribadian yang unik banget, menjiwai romantisme hidup, juga memberi gue pelajaran hidup yang sudah gue tahu tapi enggak gue sadari sebelumnya. Pelajaran hidup kalau kita semua, manusia itu enggak pernah bakal bisa hidup dalam kesendirian. Ah, sudahlah, ngapain juga gue mesti memikirkan itu, toh yang penting cewek itu mendapatkan kebahagiaan baru.
Arloji Swiss Army-gue menunjukkan pukul 15.34. Pantesan, sepanjang Jalan Cihampelas benar-benar ramai oleh mobil dan motor yang jumlahnya menyemut. Kecepatan mobil yang gue kemudikan sepertinya enggak lebih cepat dari kecepatan seekor bekicot. Wajarlah, gimana mungkin pada waktu seperti ini Cihampelas enggak ramai? Semua orang Bandung, bahkan pendatang dari Jakarta, Bogor, sampai yang datang dari luar Jawa Barat juga bakal melewati sebuah jalan yang menjadi tempat belanja celana jeans dan kaos oblong pada masa kejayaannya di era 90-an ini. Jujur aja, bukannya gue membenci adat masyarakat sekitar Bandung, tapi menjalankan mobil ataupun motor di Bandung seperti siap beradu dengan maut aja. Sudah enggak aneh lagi kalau sepeda motor yang berada di dekat mobil gue atau mobil lain mengambil celah, enggak peduli atau malah enggak sadar kalau ada bahaya tertabrak oleh mobil, sesama motor, angkot, bahkan pejalan kaki. Beginilah suasana menggunakan di jalan Kota Kembang yang kini penuh sesak dengan berbagai jenis kendaraan. Tetapi, gue yang punya janji pertemuan dengan teman alumniku di masa SMA dulu, enggak bakal menyia-nyiakan kesempatan ini, soalnya kapan lagi gue bisa melakukan pertemuan dengan teman-temanku di masa SMA dulu? Mungkin nasib mereka enggak beda jauh dengan gue ya. Baru lulus kuliah, sudah bekerja, masih kuliah atau jangan-jangan masih menganggur? Apapun status mereka sekarang, itu bukan masalah gue. Lagipula, hari ini paman dan bibi gue sedang ada urusan ke Jakarta, sedangkan gue cuma sendirian di rumah kalau gue enggak diundang reuni atau kemana-mana hari ini. Kusetel beberapa kali radio di mobil gue, enggak ada yang menyiarkan lagu yang merangsang telinga gue untuk mendengarnya, atau cuma sekedar menarik untuk didengar selintas. Dan sialnya, gue juga lupa membawa CD jacket berisi musik-musik favorit gue yang biasa gue bawa waktu menyetir mobil.
Akhirnya, setelah melewati setengah jam yang bikin capek cuma untuk melintasi Jalan Cihampelas, gue bisa sampai juga di Cihampelas Walk. Ya, mall kecil yang terletak di tengah-tengah gerai jeans dan distro ini selalu saja penuh pengunjung, dan keramaiannya seperti enggak kenal waktu. Sebenarnya, gue malas kesini kalau keramaian Cihampelas sampai kaya’ begini. Tapi, kesepakatan pertemuan alumni SMA yang ditentukan oleh ketua angkatan kelas gue, Mikail, membuat gue mesti bersikap nrimo, lagian kapan lagi gue bisa reuni dengan sahabat-sahabat alumni SMA-gue? Dan gue memang sering merindukan masa-masa pergaulan dengan mereka yang manis, masa-masa itu sudah jadi kenangan hampir lewat sepuluh tahun.
Gue coba saja untuk membawa mobil ke basement lantai dasar. Gue pikir di waktu ramai kaya’ begini, bisa mendapat parkir di taman parkir diluar gedung saja kaya’ nyari satu jarum benang di tumpukan jerami. Dugaan gue enggak meleset. Koridor masuk menuju taman parkir malah sudah diblokir, gue harap mudah-mudahan gue bisa dapat tempat parkir lebih cepat di basement lantai dasar.
Entah keberuntungan macam apa yang gue dapat, baru saja kubawa mobilku masuk kedalam basement, di dekat pintu masuk ada sebuah mobil BMW hitam yang baru saja keluar. Betul-betul kemujuran yang enggak gue kira, soalnya kalau gue enggak semujur ini, mungkin gue harus keluar lagi untuk mencari parkir di luar. Menurut kesepakatan kami kemarin, meeting point kami di food court dekat bioskop jam 16.30, jadi gue belum telat.
Gue parkirkan saja mobil gue dalam posisi mundur, biar nanti gampang keluar dari tempat parkir. Mestinya Jonathan, Miya dan Mikail sudah datang lebih dulu, soalnya mereka semua yang jadi “koordinator lapangan” pertemuan alumni kelas 3 IPS 1 SMA Negeri Citarum Angkatan 2003, yang sebenarnya enggak bakal dihadiri oleh semua anggota angkatan kelas kami. Maklum deh, kebanyakan dari angkatan kami waktu lulus kaya’ sudah pada enggak betah lagi untuk tinggal di Bandung. Ada teman alumni kami yang kuliah di Jakarta atau kota di sekitar Pulau Jawa seperti Jogja, Bogor, Semarang, dan Surabaya. Itu sih biasa, tapi yang enggak biasa adalah hampir dari setengah anggota kelas kami merantau ke luar Jawa, entah untuk mencari kerja atau kuliah. Yang masih kuliah atau bekerja di Bandung dari lulusan kami, bisa dihitung dengan jari, tinggal sekitar lima belas orang saja. Dan gue betul-betul menikmati kenangan-kenangan manis pergaulan yang kualami dimasa SMA dulu, sampai gue kuliah di Studi Ekonomi Manajemen di Bandung.
Tapi, biar gimanapun juga, bagi gue masa SMA adalah masa yang paling indah. Bodoh banget namanya kalau melewatkan masa SMA cuma dengan serius belajar di sekolah melulu. Masa SMA dan kuliah mungkin bisa sama-sama dinikmati orang sebagai masanya menikmati perkembangan fisik, mental, dan wawasan yang sambil tumbuh dewasa. Jadi, sudah bukan anak-anak yang bertubuh remaja seperti SMP lagi. Tapi, masa kuliah juga bisa dibilang masa transisi yang berat. Dan gue rasa itu enggak cuma dilewati oleh gue, gue yakin pasti dialami oleh orang-orang seusia gue pada masa kuliahnya. Gimana enggak? Gue memang sudah diberi kebebasan dari orang tua untuk belajar secara mandiri, mulai memikirkan masa depan sendiri, bermain tanpa batas-batas dari orangtua. Tapi di balik kebebasan itu, muncullah tekanan belajar dalam menjalani kuliah, yang tentu saja bakalan ditambah godaan main bareng teman sebebas-bebasnya dan kebijakan kampus yang selalu dirasa mempersulit mahasiswa, membuatku berpikir kembali soal kebebasan yang diraih pada masa kuliahku. Kebebasan itu kayaknya dibayar mahal dengan kemandirian penuh menghadapi tantangan dunia luar dan masa dimulainya kemandirian seorang anak kepada kedua orangtuanya.
Kalau masa SMA, jelas sebuah masa yang paling menyenangkan dalam hidup gue. Kegiatan belajar di sekolah jelas masih saja diatur dan diarahkan oleh guru-guru di sekolah, tapi kami juga sudah diarahkan untuk lebih bebas dalam menambah wawasan sendiri, melaksanakan kegiatan di luar sekolah, dan tentu saja bermain. Masa yang penuh dengan bermain, bermain, dan bermain! Betul-betul momen selama tiga tahun yang enggak bakal pernah gue lupakan. Tapi, bodoh juga namanya kalau cuma bisa jadi orang yang senang mem-flashback kehidupannya sendiri, entah kenangan manis ataupun pahit. Gue juga sadar, kalau kebahagiaan enggak mesti diraih pada satu masa saja, kalau hidup dibawa fun dan easy-going, kesulitan hidup kaya’ apapun juga bakal terasa mudah, kan? Anggap saja kalau kesulitan hidup yang kita lewati itu sebagai warna kehidupan. Kalau segala sesuatu jadi penuh warna, kita bisa jadi orang yang bahagia juga punya pandangan luas, enggak memandang dunia selalu dari sisi putih, apalagi dari sisi hitam melulu. Wah, gawat kalau melihat dunia dengan sudut pandang hitam terus.
Gue hentikan mobil gue sekitar satu meter sebelum bemper belakang mobil menyentuh tembok parkir, dan gue pastikan kunci setir maupun karcis loket parkir sudah gue simpan dalam casing ponsel gue. Kalau enggak begini, bisa-bisa gue menjatuhkan atau lupa di mana gue menyimpan karcis loket, kebiasaan jelek yang pernah mengidap pada diri gue waktu gue baru dipercaya memegang mobil waktu SMA. Berabe!
Gue langkahkan kaki gue menuju tangga pintu masuk basement, dan gue langkahkan kaki dengan setengah berlari ke lantai teratas dengan eskalator. Dan hanya perlu semenit buat gue untuk mencapai food court.
Dasar nasib, ini persis seperti yang gue alami waktu SMA dulu, waktu gue masuk ke dalam kelas di pagi hari, hampir setiap hari gue jadi orang yang datang paling pagi, hampir setengah jam sebelum temanku masuk kedalam kelas. Masa lalu yang terulang kembali, di lain waktu, ruang, dan suasana tentunya. Salah satu teman baik gue, Prabowo sampai menjuluki gue orang yang suka school-stay alias menginap di sekolah, jadi wajar saja kala gue sampai di kelas yang pertama untuk setiap paginya. Buset! Kata Jonathan, meja yang akan menjadi meeting point kami bisa dimana saja, yang penting siapa saja yang pertama kali datang sudah harus mencari tempat duduk, dan mejanya punya kursi yang jumlahnya bisa diduki sepuluh orang. Untungnya, gue menemukan dua meja foodcourt yang disusun menjadi satu baris berisi delapan kursi, lagi-lagi gue beruntung. Tahu sendiri deh kalau gue gagal mendapatkan meja untuk pertemuan, sesuai usul Jonathan, yang pertama datang tapi gagal mendapatkan kursi buat semua dihukum mentraktir semua anggota kami yang datang. Hukuman yang menyebalkan untuk isi dompet gue.
Kulihat arloji gue, masih jam 16.22. Aneh juga, setelah gue bertemu dengannya, gue jadi orang yang awas soal waktu. Sedikit-sedikit lihat jam tangan.
Tiba-tiba dering handphone gue berbunyi, kayaknya ada sms masuk, gue pandang layarnya, memang ada message masuk. Ternyata nomor dia yang masuk kedalam hp gue.
Hi, my soulmate. Gimana kabar km? Baik kan? Bsk aku mau ke Malang, kamu lg ngapain? Bsk aku mau memulai hidup baru disana, doain aku ya. Aku kangen banget sama kamu. Awas kalo gak bls, aku kutuk kamu jd pangeran kodok.
From : Mina, Your soulmate
Mina. Dia memang sudah berubah. Dia betul-betul sudah jadi cewek yang ideal buat gue, meski gue sadar kalau gue dan dia memang cukup jadi sepasang teman setia saja. Kubalas lagi sms-nya.
Hi, i hope you always happy @ Malang. I’m still gathering with my best friends @ ciwalk ^0^. Your bright future is belong you 4 ever. OK? C U
From : Prince of Parahyangan as Dani ^_^
Gue harap dia bisa menjalani hidup barunya di Malang.
Gue alihkan lagi perhatian gue ke sekitar mall sambil menunggu sms balasan darinya. Dengan setengah bingung, gue torehkan kepala ke sisi kanan, melihat siapa yang datang, ternyata Jonathan dan Melly! Gue sapa mereka dengan salam khas geng kelas kami di masa SMA, dua telapak tangan bertepuk bareng!
“Hey, kamu! Baik-baik aja kan?!” tanya Jonathan semangat.
“Hei, frens. Akhirnya kamu datang juga... !” kujawab salam Jonathan diikuti senyuman Melly, istrinya yang baru dinikahi dua bulan lalu.
Sungguh reuni awal yang manis. Jonathan dan Melly memang sudah menikah. Yang menarik dari Jony, sapaan akrab buat Jonathan adalah istri yang sudah menjadi pacarnya semasa SMA ini kira-kira sudah mengandung anak berapa bulan ya? Gue ajak duduk dua teman lama yang enggak tahunya sudah memulai bahtera kehidupan keluarga ini. Minder juga melihat mereka, soalnya gue sendiri jangankan berkeluarga, punya pacar pun belum. Malahan kedua orangtua gue bercerai. Memang, gue menjalani semua masalah ini dengan enteng-enteng saja, toh gue sendiri juga enggak mau terbawa kesedihan sampai didramatisir. Tapi, itu juga mengingatkan gue akan kenangan dengan gadis itu, gadis yang pergi minggat dari Surabaya itu, yang gue temui waktu gue pelesir di Jogja, yang baru saja gue balas sms-nya dari dia barusan. Kenangan yang enggak bakal gue lupakan sampai kapanpun. Dan mudah-mudahan pertemuan dengan sahabat-sahabat alumni masa SMA-gue ini bisa melupakan sesaat perjalanan pelesir gue dua bulan yang lalu itu. Ya, dua bulan yang yang lalu, kenangan yang manis, asem, dan asin, persis slogan iklan permen.
1st Chapter by Aditya Renaldi
2 comments:
Inilah Rasanya Minggat
Oleh: Aditya Renaldi
Jujur aja, saya masih agak bingung baca prolog ini karena lebih banyak penggambaran detail tentang satu bagian saja. Misalnya, waktu Mina abis berenang sampai dia ke salon. Terus pas Dani mau ketemu sama teman-temannya, diceritakan mendetail sampai dia cari parkiran. Selain itu, dia juga masih sempat mengingat-ingat pendapatnya selama SMA. Detail-detail seperti ini sebetulnya bisa dikurangi biar pembaca nggak merasa terlalu dituntun. Detail bisa menjadi penting kalau bisa menambah nilai rasa dalam sebuah tulisan.
Tapi, secara keseluruhan, prolog ini cukup menarik. Saya jadi pengen tau kelanjutan cerita antara Mina dan Dani :).
maaf kalo pertanyaannya ga nyambung.
Dapet yaris putih nunggu brapa bulan ya..
Gue uda 3 bulan pesen ga dapet2 HIKS T_T
(malah curhat)
dari pecinta yaris putih yang ga keturutan
Post a Comment