BAB 1
MATEMATIKA DAN JUPITER
“FIDEL, bangun! Ini sudah siang, nanti kamu terlambat. Rotimu hampir dingin dan Papa sudah menunggu di bawah, jangan sampai Papa terlambat sampai di kantor gara-gara menunggumu. Ayo, cepat mandi!” kata Mama panjang lebar. Dan sudah pasti mendengar teriakan “Bangun Pagi” seperti itu jelas membuatku terbangun, tapi belum membuatku sadar atau setidaknya benar-benar bangun. Seperti biasa, kupaksa mataku untuk melirik ke jam weker di samping tempat tidurku untuk tahu jam berapa sekarang, dan butuh 5 menit lagi untuk bisa keluar dari bed-cover yang hangat ini. Apalagi wajah Bu Angela yang menyebalkan itu sudah menari-nari di otakku—entah di bagian sebelah mana mengingat sepertinya otakku sudah penuh dengan rumus matematika dan grammar bahasa inggris. Wali kelas 11 itu memang terkenal galak, tapi untuk siswa laki-laki Bu Angela adalah seorang guru yang centil, bahkan menor mengingat blush on atau lipstik yang dipakainya kadang berlebihan. Menurutku, Bu Angela sangat pilih kasih. Lihat saja sikapnya yang membeda-bedakan antara siswa laki-laki dengan siswa perempuan. Dia bisa sangat ramah dengan Moreno—kakak kelas yang jago basket dan ganteng itu-, tapi sikapnya berubah 360 derajat ketika dengan Daanish—teman sekelasku yang seorang model majalah remaja itu. Ya, kuakui Daanish Kaemita itu memang cantik, badannya tinggi langsing, dengan rambut hitam panjang lurus seperti model iklan shampo, dan berkulit putih. Sempurna dan sepertinya tanpa cacat sedikitpun. Jelas saja, Bu Angela tidak menyukainya. Dan aku juga. Siapa sih yang nggak sirik melihat cewek sesempurna itu. Apalagi melihat cowok-cowok di sekolahku berebut untuk menjadi pacarnya. Sekolah sepertinya menjadi tidak nyaman ketika cewek bernama Daanish Kaemita itu pindah ke sekolah ini. Daanish adalah mimpi buruk bagiku.
“Fidel!!!” suara Mama mengagetkan aku. Gawat. Harus buru-buru mandi nih. Hanya perlu 3 menit untuk mandi, dan 2 menit untuk berpakaian, memakai loose powder dan lipgloss. Pakai sepatunya biar di mobil saja. Beres.
“Ayo, Pa, berangkat. Fidel udah siap nih.” Kataku buru-buru menuruni tangga, menuju ruang makan tempat Papa dan Mama disana.
“Roti dan susunya, Del.” Mama mengingatkan sarapan pagiku. Menu sarapan yang tidak berubah dari waktu aku TK dulu sampai sekarang kelas 11 di Santa Laurensia. Sebenarnya aku lagi nggak selera makan roti isi daging buatan mama itu, tapi daripada kena omel Mama jadi terpaksa ku makan. Apalagi kalau harus mendengar cerita Mama tentang kelaparan di Afrika sana, bisa-bisa aku terlambat sekolah.
“Ma, kita berangkat dulu ya.” Kata Papa sambil mencium kening Mama. Uh, bikin ngiri aja.
“Daaagghh, Mama. . .”kataku sambil menenteng sepatu All Star yang sudah buluk itu, untuk kupakai di dalam mobil nanti.
“Del, telat lagi? Kok baru nyampe sih jam segini?”tanya Mona. Mona adalah satu-satunya sahabat yang kumiliki. Walaupun dari luar kelihatan tidak meyakinkan—mengingat Mona memakai kacamata dan selalu menenteng buku kemanapun dia pergi, namun dia bukanlah orang yang membosankan. Ya, walaupun kadang-kadang bisa sangat menyebalkan mengingat kelambatannya dalam menganalisa sesuatu atau lebih tepatnya berpikir.
“Nggak telat, kok. Nih, tepat waktu.” Kataku sambil menunjukkan jam Baby-Gku ke Mona, yang menunjukkan pukul 7.
“Sudah siap, Del?”kata Mona sambil mengeluarkan alat tulis dan selembar kertas.
“Siap apa?”
“Siap ulangan donk,”kata Mona santai. “Kalau lihat kamu sesantai ini, pasti sudah belajar ya?”
“HAH? Ulangan apa, Mon?”. GAWAT.
“Selamat pagi, anak-anak. Sudah siap ulangan hari ini? Sekarang siapkan alat tulis kalian dan selembar kertas ya. Seperti biasa jangan lupa tulis nama, nomer absen, dan kelas di pojok kiri atas. Ibu akan membagikan soalnya sekarang.”
Ulangan Matematika?? Kok bisa aku melupakan hal penting seperti ini? Semalam apa yang kulakukan? Dan kenapa Mona nggak mengingatkan kalau hari ini ada ulangan matematika. Gawat. Sudah jelas nilai merah ditangan.
“Nah, anak-anak, selamat mengerjakan. Jangan ribut, dan kerjakan sendiri-sendiri. Waktu kalian adalah 45 menit.”
Aku melihat kertas berisi soal-soal matematika itu, dan mencoba memahami. Tentukan turunan fungsi-fungsi berikut: f(x) = 99x – 10. Dan 9 soal lainnya adalah soal yang sama tentang turunan fungsi. Dan aku, thanks God, sama sekali nggak ngerti. Aku melirik Mona—sial, Mona pasti bisa, mengingat dia les privat matematika seminggu 3 kali. Dan keringatku terus mengalir. Detik demi detik, pulpen hi-tecku itu belum juga mengisi soal-soal sialan itu. Dan aku harus terpaksa putar otak, memikirkan kemungkinan dari jawaban-jawaban itu. Bermodal rumus matematika yang masih setia bermukim di otak, aku mencoba mengerjakan. Satu, dua, lima soal. Masih ada 5 soal lagi dan jam di tanganku sudah menunjukkan 15 menit lagi. Dan keringat dingin pun mengalir tanpa diminta. Dalam hati aku merutuki, kenapa harus ada pelajaran bernama matematika ini? Pelajaran dengan angka-angka yang rumit—menyiksa, dan hanya membuat kepala migran saja.
“Baiklah, anak-anak, waktu sudah habis. Silakan jawaban kalian dikumpulkan. Dan hasil ulangan ini akan ibu bagikan pada waktu pelajaran matematika lusa. Selamat pagi.” Kata Bu Tina meninggalkan kelas. Sebenarnya Bu Tina ini adalah guru yang baik—ya, setidaknya lebih baik dari Bu Angela yang genit itu. Tapi tetap saja tidak membuatku menyukai matematika.
“Mon, tadi bisa nggak ulangannya?”
“Ya, gitu deh.”
“Bisa nggak?”tanyaku ulang, berharap jawaban Mona lebih jelas.
“Nggak juga. Ada yang nggak bisa tadi.”
“Tapi yakin dapat nilai bagus kan?”
“Nggak tahu. Ya, semoga sih. Kenapa sih, Del, kok nanya terus? Kamu sendiri tadi bisa nggak?”
Dengan pasrah aku menggeleng. “Semalam aku nggak belajar, Mon. Aku lupa kalau hari ini ada ulangan. Lagian, semalam kenapa kamu nggak kasih tahu aku kalau ada ulangan matematika?”
“Del, bukannya semalam aku udah telpon ke rumahmu. Yang ngangkat telponnya Mas Capung, terus dia bilang kamu lagi belajar. Makanya aku titip pesan aja sama Mas Capung, biar disampaikan ke kamu. Ya, itu, cuma ngingetin kalau ada ulangan hari ini. Emang nggak disampein ya?”
Dasar Capung, semalam dia nggak bilang apa-apa tuh. Pasti lupa, atau malah sengaja. Awas ya, nanti di rumah. Sebel. Karena masih kesal akibat ulangan tadi, membuatku nggak bersemangat di pelajaran kedua dan ketiga. Bertambah kesalnya karena Mona nggak berhenti menggangguku dengan pertanyaan, “Del, kamu nggak papa? Kok cemberut? Ngambek ya? Laper? Tenang, Del, bentar lagi istirahat kok. Kita jajan bakso ya nanti.” Aduh, Mon, please deh.
Akhirnya bel sekolah yang aku tunggu-tunggu bunyi juga. Bel tanda istirahat. Dan itu artinya, saatnya ke kantin. Aku dan Mona—seperti biasa, menjadi yang pertama keluar dari kelas dan buru-buru menuju kantin, memesan bakso Pak Min dan semangkuk es campur.
“Mon, hari ini kamu yang traktir ya.” Kataku sambil menuangkan sambal dan saus tomat banyak-banyak ke mangkuk baksoku.
“Kok aku, Del? Bukannya sekarang giliranmu yang mentraktir?”
“Iya sih. Tapi hari ini aku lupa bawa uang, Mon. Jadi kamu aja, ya.”
“Hai, cewek-cewek. Boleh gabung?”suara cowok dari arah belakang dan menepuk bahuku dan Mona. KERAS.
“BONI!!” Teriak kami berdua.
“Mau donk, baksonya.” Kata Boni siap merebut bakso yang sudah hampir masuk ke mulutku.
“Pesan sendiri sana. Mona yang traktir kok.” Kataku langsung melahap bakso yang jadi inceran Boni itu.
“Bener, Mon? Pak, baksonya satu lagi ya!!”teriak Boni ke Pak Min.
“Eh, asal aja nih Fidel. Nanti kalau uangnya nggak cukup gimana? Aku kan cuma bawa uang sedikit hari ini.”
“NGUTAAANGG. . .”aku dan Boni serempak menjawab, mengingat kebiasaan kami yang suka nge-bon di kantin.
“Yeee. . . Emangnya kalian.” Kata Mona sambil berdiri dan mengeluarkan selembar uang 10 ribu dari dompet billabongnya. “Nih, aku baik kan. Besok gantian kalian yang bayar. Awas kalo nggak.”
Oh, hari ini benar-benar membosankan. Jam istirahat sudah habis, sekarang saatnya pelajaran bahasa inggris. Hari senin adalah hari dengan daftar pelajaran yang membosankan. Matematika, sejarah, bahasa inggris dan beberapa daftar pelajaran membosankan lainnya.
“Del, udah tahu belum hot news di sekolah kita?”
“Apaan? Bu Angela akhirnya nikah? Atau Daanish main sinetron?”
“Salah semua. Yang bener, ada murid pindahan dari Jakarta. Cakep lho, aku udah liat kemarin.”
“Cowok apa cewek?”
“Ya, cowok lah Del. Kalau cewek, ngapain aku cerita.”
“Kali aja. Cowok itu kelas berapa?”
“Kelas 11 juga. Sebelah kelas kita.”
“Sekelas sama Daanish donk. Wah, pasti jadi inceran Daanish and the gank.
“Iya. Tambah susah deh usaha kita buat mendapatkan cowok.”
“Kita? Emang si Melky mau ditaruh mana?”
“Oh iya ya. Hampir lupa sama si Honey Bunku.”
Dasar Mona, pacar sendiri lupa. Melky adalah pacar Mona. Tepatnya, pacar pertama. Melky anak kelas 10, dan itu artinya Mona pacaran sama adik kelas atau brondong. Aku dan Boni sering meledek Mona karena mau pacaran sama brondong. Tapi Mona selalu bangga, dan bilang, “Masih mending kan punya pacar daripada nggak punya?”. Sindiran yang halus mengingat sampai detik ini aku belum juga punya pacar.Entah kenapa belum ada satupun cowok-cowok di sekolahku yang berhasil memikat hatiku. Nggak ada yang seganteng Christian Sugiono, yang cool seperti Nicholas Saputra, atau minimal yang manis seperti DJ Winky. Cowok-cowok ganteng disekolah bisa dihitung pakai jari, dan sudah pasti mereka nggak mungkin melirik aku. Yang pasti mereka mengincar cewek cantik dan populer seperti Daanish. Uh, kalau semua cowok ganteng naksir Daanish itu artinya nggak akan ada cowok buatku. Dan aku bisa jadi selamanya menjomblo. Benar-benar kisah yang tragis.
“Mon, pulang sekolah ke Amplaz yuk. Nomat.”
“Aduh, hari ini nggak bisa, Del. Sori ya, aku harus jaga CADANZA, soalnya Mama nanti ada arisan. Bukannya Mamamu juga arisan nanti, Del?”
“Oiya. . Hari ini arisan Ibu-ibu “pejabat” ya? Yes, kalau gitu aku main ke tempatmu aja ya, Mon?”
“Hah? Arisan ibu-ibu pejabat? Maksudnya, Del?”
“Iya. Arisan Mamamu sama Mamaku tuh udah kayak arisannya ibu-ibu pejabat aja.
Ngumpulnya aja di café-café yang mahal, udah gitu pakai ada dress code segala lagi. Belum lagi uang arisannya 1 juta tiap orang. Buang-buang duit aja deh, Mama-mama kita.”
“Seru kali, Del. Kita bikin arisan juga, yuk. Tapi 50 ribu aja. Gimana?”
“Ogah.”
“Ah, Fidel. . .”
Bel sekolah tanda sekolah berakhir berbunyi. Akhirnya, it’s time to fun. Aku harus bersenang-senang setelah hari ini dipusingkan oleh matematika sialan itu dan pelajaran lainnya yang semuanya membosankan. Kenapa sih orang harus sekolah? Bangun pagi, berangkat jam 7 dan baru pulang siang harinya. Kenapa Mama nggak ngebolehin aku Home Schooling aja ya. Tapi kalau Home Schooling tetap ada matematika kan. Huh, itu sih sama aja. Cuma enaknya, kita nggak perlu bangun pagi untuk ke sekolah dan pakai seragam. Tapi nggak enaknya, nggak punya teman dan pasti nggak ada yang namanya jajan di kantin. Bagaimanapun, sekolah masih tetap menyenangkan daripada nggak sekolah.
“Del, jadi ketempatku nggak? Aku bawa motor sendiri nih.”
“Iya deh, aku ikut.”
“Eh, Del. Liat tuh di depan.” Kata Mona menunjuk ke arah gerbang sekolah.
“Apaan sih?”
“Itu tuh. Itu anak barunya.”
Dan mataku langsung tertuju pada sesosok pria bertubuh tinggi dan berkulit putih itu. Mirip Samuel Heckenbucker pemain sinetron itu. Ganteng.
“Cakep ya, Del?”
Aku masih terpesona dengan sosok cowok di depan gerbang sekolah itu. Akhirnya ada juga yang “bening” di sekolah. Seandainya. . .
“Del, nggak lagi melamun kan?”
“Ng. . . Nggaaakk. Eh siapa sih nama anak baru itu, Mon?
“Hmm, kalau nggak salah ada nama planetnya. Venus, Mars atau. . .” Mona mencoba mengingat-ingat. Payah. Bakal lama nih. “Ohya, kalau nggak salah Jupiter.”
“Namanya Jupiter? Wah, keren.” Nama yang unik.
“Del, jadi pulang bareng nggak?”
“Iya. Yuk. . .” Kataku semangat. Ah senangnya, sekarang sudah ada cowok yang bisa dijadikan obyek flirting, kataku dalam hati. Dan jangan sampai Daanish akan merebutnya dariku. Kali ini aku harus menang. Harus.
1st Chapter by: Yoan
No comments:
Post a Comment