Kosong / Fitnah
Pernah difitnah? Aku sering. Memang bukan fitnah-fitnah keji macam "Lu nyolong duit semilyar di laci meja gue ya?" atau " Kamu ngehamilin pacar saya ya!?" atau yang paling parah "Rein, lu ganteng banget sih..", bukan, aku gak se-brengsek itu (khusus buat fitnah nomer tiga, aku juga gak seganteng itu).
Fitnah yang sering aku denger dari mulut sok tau orang-orang yang berada disekitarku itu contohnya begini "Eh Rein, kemaren gue ngeliat lu di toko buku, sama ponakan lo ya?" atau "Eh, bang Reindra. Mau pesen apa bang? Loh, kok sendiri aja, biasanya makan sama keponakannya?" atau yang parah "Nonton sama anaknya aja Pak? mamanya di rumah ya?".
Pertama, aku belum pernah kawin, dan kemungkinan punya anak bagi orang-orang yang belum kawin adalah kecil sekali, lebih masuk akal ngebayangin Jakarta berubah jadi kota yang aman, nyaman dan bebas macet. Kedua, mama memang dirumah, tapi mama yang ngelahirin aku dan bukan mama yang berarti istriku, sekali lagi, orang yang belum kawin jarang banget yang udah punya istri. Ketiga, keponakanku umurnya dua tahun, gak mungkin aku bisa ngajak bayi jalan-jalan ke toko buku atau makan soto betawi tanpa digamparin sampe pingsan sama ibunya (kakakku) yang galaknya ngalah-ngalahin satpam. Yang terakhir, manusia berjenis kelamin cewek yang disebut-sebut sebagai keponakanku itu (atau pada kasus yang parah -anakku) sebenarnya adalah: pacarku.
Yah, bukan salahku kalo di umur segini -dua puluh tiga tahun- perutku begitu gendut. Bukan salahku kalo kedua mata indah ini butuh bantuan kaca mata setebal kamus bahasa mandarin untuk melihat dengan jelas. Bahkan bukan salahku juga saat rambut-rambut kasar di daguku ini (baca : jenggot) gak pernah bisa berhenti tumbuh, yang selalu berhasil dengan sukses membuat orang mengira aku punya hubungan keluarga dengan Amrozi. Semuanya sama sekali bukan cita-citaku, termasuk pipi tembem di seantero wajahku yang menjadikan aku, Reindrakalla Kusuma, keliatan begitu mirip dengan yah, om-om.
Sedangkan cewekku sendiri, -Navita Dwi Aprillia- yang mana adalah seorang manusia imut kelas satu SMA yang masih berumur lima belas tahun itu juga gak bisa disalahin atas keputusannya yang udah nerima aku jadi pacarnya. Biar gimana juga, cewekku manusia, -bukan jepit rambut- dan manusia biasanya sering khilaf. Biasanya aku gak suka sama yang namanya kesalahan, tapi khusus buat kekhilafan Vita (nama panggilannya), aku jelas maklum, soalnya khilafnya cewekku ini adalah tipe khilaf yang membawa berkah, seenggaknya buatku.
Sebenarnya memang gak ada yang salah, kecuali pejabat-pejabat yang hobinya korupsi dan ngerampok duit rakyat sambil ongkang-ongkang kaki di dalem ruangan kantor mereka yang Full-AC, mereka jelas salah -walaupun gak ada hubungannya sama cerita ini. Pokoknya yang salah (selain penjahat jenis kerah putih di atas) adalah mereka-mereka yang sirik dan menganggap perbedaan umurku dengan Vita terlalu jauh berbeda. Bullshit - kotoran kebo. Bau iih..
Kalau toh ternyata harus ada juga yang disalahkan, mungkin itu adalah perasaan sayangku sama Vita yang begitu dalam, sedalam sumur pompa di halaman belakang rumah. Tapi kita kan gak bisa nyalahin perasaan semacam itu? Cinta terlalu indah untuk dijadikan kambing hitam, kalau emang mau cari kambing hitam, beli aja kambing putih, kuas, sama cat warna item dan mulailah mewarnai. Agak ribet memang, mengingat kambing bukan jenis binatang yang jinak, tapi cara ini jelas lebih bermoral daripada harus meng-kambing hitam kan cinta. Cinta itu perasaan yang suci, perasaan yang mestinya kita lindungi dan syukuri. 'Tul gak? (mbeeeekkkk...)Beda enam tahun, aku sendiri gak menganggap itu sebagai sesuatu yang aneh atau salah, karena aku cowok dan Vita cewek, jenis kelamin kita jelas-jelas berbeda (jangan mikir yang nggak-nggak, aku belum pernah ngecek!) dan bagiku, asal keduanya saling sayang, umur gak bisa dijadikan alasan. Bahkan kalau ada cowok tujuh belas tahun nikah sama nenek-nenek ganjen berumur sembilan puluh sembilan setengah tahun pun bagiku bukan masalah. Yang jadi masalah, cowok ini beneran cinta atau cuma ngincer warisannya aja?
Seakan aku belum cukup menderita, ada juga yang pernah bilang aku pedophilia, itu loh, penyakit kelainan seksual dimana orang dewasa lebih tertarik sama lawan jenisnya yang jauh lebih muda dari dirinya, kayak kakek-kakek di berita kriminal televisi yang memperkosa anak kecil di bawah umur itu lho. Ogah banget kan? (jadi keduanya, kakek-kakek maupun anak kecil korbannya)
Aku jelas protes dong, aku belum jadi kakek-kakek dan Vita juga bukan balita lagi. Sekali lagi, beda umur kami cuma delapan tahun, lett me spell it for you : D-E-L-A-P-A-N. Kalau dibandingin sama Angel Karamoy dan suaminya yang gagah perkasa itu, aku dan Vita jelas ga ada apa-apanya.
Memang semuanya gak berjalan semulus yang kami (Aku sama vita) bayangkan, selain larangan pacaran dari orang tuanya (ini yang paling fatal), fitnah-fitnah diatas cukup membuat kami (atau jangan-jangan cuma aku?) keganggu. Kadang aku mikir, mendingan dituduh nyolong duit atau ngehamilin pacar orang sekalian, jadi kasusnya rada-rada berat dan bisa masuk koran (lampu merah mungkin?) Nah ini? Yang aku dapat justru fitnah seputar om-om sama keponakannya yang sering jalan bareng. Sungguh kejam, lebih kejam daripada pembunuhan (dengan catatan, bukan berarti aku lebih suka dibunuh lho). Apapun itu, yang namanya difitnah itu gak enak, gak asyik dan gak cihuy sama sekali (catatan lagi, fitnah tentang ganteng dikecualikan!)
Intinya sampai sekarang walau apa kata orang, aku tetap pede-percaya diri aja jalan sama Vita, kenapa juga harus malu? Dianya aja doyan. Lagipula Vita anaknya cantik banget, kulitnya putih, lumayan seksi, rambutnya kriting-kriting ngegemesin dan idungnya imut banget kaya belut (belut imut gak sih?) pokoknya cewek ini lucu banget, emang sih dia agak manja..ehm ralat, manja banget malah, tapi yang penting dia baik.Dan kesempatan ngedapetin cewek kayak gini bagiku kira-kira sama langkanya dengan kesempatan astronot berhasil menemukan planet di tata surya yang bisa dihuni selain bumi. Makanya aku sayang banget sama Vita, makanya aku pede aja jadi pedophilia. Jadi kalau nanti ternyata masih ada orang iseng yang bilang aku ini pedophilia atau semacamnya, aku gak akan marah. Aku akan tetap tenang dan ngajak orang iseng itu duduk bareng buat ngobrol sambil minum fanta dingin, terus aku bakal bilang gini :Sob, gue bukan pedophilia, gue pedephilia.. Pas dia meleng, baru deh kepalanya aku timpuk pake botol fanta kosong..
Fitnah yang sering aku denger dari mulut sok tau orang-orang yang berada disekitarku itu contohnya begini "Eh Rein, kemaren gue ngeliat lu di toko buku, sama ponakan lo ya?" atau "Eh, bang Reindra. Mau pesen apa bang? Loh, kok sendiri aja, biasanya makan sama keponakannya?" atau yang parah "Nonton sama anaknya aja Pak? mamanya di rumah ya?".
Pertama, aku belum pernah kawin, dan kemungkinan punya anak bagi orang-orang yang belum kawin adalah kecil sekali, lebih masuk akal ngebayangin Jakarta berubah jadi kota yang aman, nyaman dan bebas macet. Kedua, mama memang dirumah, tapi mama yang ngelahirin aku dan bukan mama yang berarti istriku, sekali lagi, orang yang belum kawin jarang banget yang udah punya istri. Ketiga, keponakanku umurnya dua tahun, gak mungkin aku bisa ngajak bayi jalan-jalan ke toko buku atau makan soto betawi tanpa digamparin sampe pingsan sama ibunya (kakakku) yang galaknya ngalah-ngalahin satpam. Yang terakhir, manusia berjenis kelamin cewek yang disebut-sebut sebagai keponakanku itu (atau pada kasus yang parah -anakku) sebenarnya adalah: pacarku.
Yah, bukan salahku kalo di umur segini -dua puluh tiga tahun- perutku begitu gendut. Bukan salahku kalo kedua mata indah ini butuh bantuan kaca mata setebal kamus bahasa mandarin untuk melihat dengan jelas. Bahkan bukan salahku juga saat rambut-rambut kasar di daguku ini (baca : jenggot) gak pernah bisa berhenti tumbuh, yang selalu berhasil dengan sukses membuat orang mengira aku punya hubungan keluarga dengan Amrozi. Semuanya sama sekali bukan cita-citaku, termasuk pipi tembem di seantero wajahku yang menjadikan aku, Reindrakalla Kusuma, keliatan begitu mirip dengan yah, om-om.
Sedangkan cewekku sendiri, -Navita Dwi Aprillia- yang mana adalah seorang manusia imut kelas satu SMA yang masih berumur lima belas tahun itu juga gak bisa disalahin atas keputusannya yang udah nerima aku jadi pacarnya. Biar gimana juga, cewekku manusia, -bukan jepit rambut- dan manusia biasanya sering khilaf. Biasanya aku gak suka sama yang namanya kesalahan, tapi khusus buat kekhilafan Vita (nama panggilannya), aku jelas maklum, soalnya khilafnya cewekku ini adalah tipe khilaf yang membawa berkah, seenggaknya buatku.
Sebenarnya memang gak ada yang salah, kecuali pejabat-pejabat yang hobinya korupsi dan ngerampok duit rakyat sambil ongkang-ongkang kaki di dalem ruangan kantor mereka yang Full-AC, mereka jelas salah -walaupun gak ada hubungannya sama cerita ini. Pokoknya yang salah (selain penjahat jenis kerah putih di atas) adalah mereka-mereka yang sirik dan menganggap perbedaan umurku dengan Vita terlalu jauh berbeda. Bullshit - kotoran kebo. Bau iih..
Kalau toh ternyata harus ada juga yang disalahkan, mungkin itu adalah perasaan sayangku sama Vita yang begitu dalam, sedalam sumur pompa di halaman belakang rumah. Tapi kita kan gak bisa nyalahin perasaan semacam itu? Cinta terlalu indah untuk dijadikan kambing hitam, kalau emang mau cari kambing hitam, beli aja kambing putih, kuas, sama cat warna item dan mulailah mewarnai. Agak ribet memang, mengingat kambing bukan jenis binatang yang jinak, tapi cara ini jelas lebih bermoral daripada harus meng-kambing hitam kan cinta. Cinta itu perasaan yang suci, perasaan yang mestinya kita lindungi dan syukuri. 'Tul gak? (mbeeeekkkk...)Beda enam tahun, aku sendiri gak menganggap itu sebagai sesuatu yang aneh atau salah, karena aku cowok dan Vita cewek, jenis kelamin kita jelas-jelas berbeda (jangan mikir yang nggak-nggak, aku belum pernah ngecek!) dan bagiku, asal keduanya saling sayang, umur gak bisa dijadikan alasan. Bahkan kalau ada cowok tujuh belas tahun nikah sama nenek-nenek ganjen berumur sembilan puluh sembilan setengah tahun pun bagiku bukan masalah. Yang jadi masalah, cowok ini beneran cinta atau cuma ngincer warisannya aja?
Seakan aku belum cukup menderita, ada juga yang pernah bilang aku pedophilia, itu loh, penyakit kelainan seksual dimana orang dewasa lebih tertarik sama lawan jenisnya yang jauh lebih muda dari dirinya, kayak kakek-kakek di berita kriminal televisi yang memperkosa anak kecil di bawah umur itu lho. Ogah banget kan? (jadi keduanya, kakek-kakek maupun anak kecil korbannya)
Aku jelas protes dong, aku belum jadi kakek-kakek dan Vita juga bukan balita lagi. Sekali lagi, beda umur kami cuma delapan tahun, lett me spell it for you : D-E-L-A-P-A-N. Kalau dibandingin sama Angel Karamoy dan suaminya yang gagah perkasa itu, aku dan Vita jelas ga ada apa-apanya.
Memang semuanya gak berjalan semulus yang kami (Aku sama vita) bayangkan, selain larangan pacaran dari orang tuanya (ini yang paling fatal), fitnah-fitnah diatas cukup membuat kami (atau jangan-jangan cuma aku?) keganggu. Kadang aku mikir, mendingan dituduh nyolong duit atau ngehamilin pacar orang sekalian, jadi kasusnya rada-rada berat dan bisa masuk koran (lampu merah mungkin?) Nah ini? Yang aku dapat justru fitnah seputar om-om sama keponakannya yang sering jalan bareng. Sungguh kejam, lebih kejam daripada pembunuhan (dengan catatan, bukan berarti aku lebih suka dibunuh lho). Apapun itu, yang namanya difitnah itu gak enak, gak asyik dan gak cihuy sama sekali (catatan lagi, fitnah tentang ganteng dikecualikan!)
Intinya sampai sekarang walau apa kata orang, aku tetap pede-percaya diri aja jalan sama Vita, kenapa juga harus malu? Dianya aja doyan. Lagipula Vita anaknya cantik banget, kulitnya putih, lumayan seksi, rambutnya kriting-kriting ngegemesin dan idungnya imut banget kaya belut (belut imut gak sih?) pokoknya cewek ini lucu banget, emang sih dia agak manja..ehm ralat, manja banget malah, tapi yang penting dia baik.Dan kesempatan ngedapetin cewek kayak gini bagiku kira-kira sama langkanya dengan kesempatan astronot berhasil menemukan planet di tata surya yang bisa dihuni selain bumi. Makanya aku sayang banget sama Vita, makanya aku pede aja jadi pedophilia. Jadi kalau nanti ternyata masih ada orang iseng yang bilang aku ini pedophilia atau semacamnya, aku gak akan marah. Aku akan tetap tenang dan ngajak orang iseng itu duduk bareng buat ngobrol sambil minum fanta dingin, terus aku bakal bilang gini :Sob, gue bukan pedophilia, gue pedephilia.. Pas dia meleng, baru deh kepalanya aku timpuk pake botol fanta kosong..
1st Chapter by: Irawan Rahardja
2 comments:
Ceritanya bikin penasaran.
seriiuus niih
sama, gue juga penasaran
saking penasarannya sampe
gak tau gimana lanjutannya
hahaha..
ha..
hiks *sigh*
Post a Comment