Managami Reina dinyatakan telah meninggal 0101 tahun 1001 pukul sembilan pagi waktu setempat di Osaka. Sebuah program berita Televisi menyiarkannya live membuat kota gempar terutama saat mobil jenazah melaju cepat menuju pemakaman.
Di pemakaman, tujuh hari lamanya para kerabat menangisi kepergian Reina yang dirasa mendadak itu. Karena bagi mereka, masa depan Reina masih panjang dan sangat tidak adil bila kematian merenggut nyawanya secepat kilat. Sudah begitu ia tidak ijin lagi, tangis mereka berulang kali menyebut nama gadis itu. Dari jauh kulihat Osaka kota itu gempar seketika juga Shibuya kota disebelahnya yang kebetulan menyiarkan berita itu berikutnya selama 7 hari.
“Ini tidak adil. Huhu,” kudengar jerit tangis kerabat itu tujuh hari berikutnya aku turun di pemakaman. Mataku membuka lebar ketika kulihat mereka berkumpul mengelilingi makam gadis itu, menangisi kepergiannya. Mataku bergetar hebat. Aku berdiri tak jauh dari pemakaman itu, melayang. Tapi aku tidak jatuh dan tidak takut jatuh, kataku meyakinkan. Mataku bergetar hebat tapi aku tidak menangis. Aku melayang tertiup angin tetapi aku tetap tegak berdiri. Aku berdiri di depan pemakaman tapi mataku bisa menembus dunia orang mati hingga mengetahui pikiran mereka. Ya aku bukan hantu, jin, atau semacamnya. Aku hanya makhluk yang mengetahui pikiran manusia hidup juga mati. Hanya tugas berat yang kuemban ini alasanku kini. Ya sebab aku bukan manusia dan mereka berbeda denganku. Aku hanya makhluk penjaga yang bertugas menolong manusia sepertimu. Itu pula alasanku menemui kalian lewat mimpi singkat ini. Ya ini hanya pertemuan singkat juga perjumpaan kita yang terakhir. Selanjutnya aku tidak akan menemui kalian. Aku berjanji, itu pasti. Kita kan bertemu di tempat istimewa, tempat aku berjaga. Tempat yang telah ku jaga selama ini, tempat yang mendebarkan menurut ku dan aku sangat menantikan kalian. Datang ya. Haha. Kembali soal pemakaman, tangisan kerabat gadis itu membuat suasana tempat itu hening, aku merasa sesak dan mataku menatap berkeliling pemakaman, berikutnya mataku basah oleh air mata. Aneh ya, penjaga juga punya perasaan. Tapi tidak apa – apa, putusku berikutnya. Penjaga juga bosan mendengar tangisan apalagi tangisan manusia tetapi bagaimana pun juga aku harus menolong mereka. Jadi aku harus tegar, putusku. Lha, aku ngomong apa nih? hahaha. Kembali soal pemakaman, dua hari lamanya di pemakaman akhirnya kuputuskan kembali ke tempatku. Dalam hitungan detik aku menghilang dari pemakaman.
“Akhirnya kau kembali sang penjaga!” kudengar suara teriak sesampainya di tempatku. Aku tersenyum pahit menatap orang itu, yang kini berdiri memakiku. Ada apa? Kenapa marah-marah padaku seperti itu? Duduklah dulu, biar kita berbicaranya tenang, bisikku sambil tersenyum, “Lha apanya ? Aku sudah menunggu mu sejak tadi! Cepat kembalikan aku ke dunia ku ! Tidak seharusnya aku mati ! Tidak seharusnya aku ada disini! Cepat!” jeritnya keras mencengkram bahuku. lho kamu, Takahase Meruni gadis bebal yang kutahu meninggal kemarin karena mencoba membunuh seseorang. Awalnya kau pikir itu niatmu tapi kau salah menusukan pisau dalam gelap. Kulihat wajah gadis itu berubah marah. “Siapa kamu?” erangnya marah dan ia berteriak histeris memakiku. Tapi aku tidak peduli padanya. Kau pikir temanmu yang tertusuk benar – benar mati, seruku dengan berbisik. Bisikanku memang perlahan tapi maknanya dalam, aku memberitahukan. hehe. Lihatlah, ini membuat gadis di hadapanku begitu marah. Kulihat wajahnya merah padam mendengarku, tapi sekali lagi aku tidak peduli. Aku hanya tersenyum pahit menatapnya. “Sekali lagi, siapa kamu?” teriaknya dengan suara lebih keras. Tapi bukan, setelahku selidiki ternyata dia pacarmu Takahase Meruni, yang bernama Akita Suzuru. Seorang pemain basket terhandal. Entah mengapa kau begitu tega membunuhnya. Kau membasmi seorang pengkhianat, itukah yang ingin kau katakan setelah membunuh pacarmu? Bisikku lagi dan wajah gadis itu merah padam. “Siapa kamu?!” teriaknya. Tapi kau tidak berhasil, bisikku dengan suara pelan namun terdengar parau dan kudengar kini ia terisak. Kau membunuh dirimu sendiri, jeritku perlahan setengah berbisik. “Aku membunuhnya karena kupikir aku mencintainya dan dia mengkhianatiku!” Ia menangis. Tapi tidak begitu, akhirnya aku berbicara. Tak tahan kumelihat ia menangis, padahal aku memang penjaga ya? haha. Lihatlah di bola kristal yang akan kupinjamkan padamu, seruku sambil terus berbisik. “Bola kristal ?” ia bertanya. Ah sudahlah, maksud ku bola kristal ini hanya bertujuan untuk mempertunjukan padamu hal yang sesungguhnya terjadi di duniamu juga tentang pacarmu. Mata gadis itu perlahan basah oleh air mata, menatap kehidupan yang digambarkan bola kristal di tanganku. “Huh, dasar bodoh !” gumam gadis itu berseri akhirnya. Aku menatap dalam mata gadis itu. Gadis itu pasti sekarang sudah merasa lega, pikirku senang. Namun mataku membuka lebar mendengar pertanyaan gadis di hadapanku, aku pun tersenyum. “Anu Pak penjaga,” gadis itu mengangkat tangannya mengajukan pertanyaan namun aku memotong ucapannya. “Aduh jangan panggil Pak penjaga ah. Apa aku terlalu tua untuk itu,?” Bisikku. “Ah maaf sang penjaga maksudku, aku mau bertanya. Apa aku masih punya kesempatan hidup lagi? Ia bersuara lebih lembut sambil tersenyum. “Aduh maaf, karena tadi kau marah–marah padaku sebelum meminta dihidupkan, kurasa kau tidak bisa dihidupkan,” seruku tersenyum. “Dan kau harus segera menghilang,” seruku dan ketika aku hendak melanjutkan kudengar kata–kata yang membuat aku terpana, takku lanjutkan kata yang tadi. “Oh, syukurlah !” serunya gembira. Hah ?! “Dengan begitu aku dan sang penjaga masih akan terus bertemu kan? Aku senang, senang sekali!” Hah ?! jeritku bingung. Baru kali ini ada roh penasaran yang mau tinggal bersamaku disini. Ah dia itu terkecualinya, putusku akhirnya. “Asyik!” kudengar teriak gadis dihadapanku lagi. Ah pusing, jeritku. Berikutnya kudengar pertanyaan yang membuat bulu kudukku berdiri menatapnya. “Anu sang penjaga, boleh aku bertanya sekali lagi? Boleh ya?” seru gadis itu senang. Boleh, tentu saja boleh. Katakan saja hal yang ingin kau tahu, seruku tersenyum. “Loh sang penjaga hanya bisa bersuara segitu ya, kok Cuma bisik–bisik ?” ah anak ini aneh, jeritku. Sepertinya aku akan lama berurusan dengan anak ini, seruku. Cukup lama. Oh ya kembali ke topik pemakaman, mataku melayang tajam menatap wajah yang ditunjukan dalam bola kristal yang ku genggam di tangan ku. Mata ku membuka lebar menatap pemakaman gadis bernama Reina itu, disana kerabat itu masih terus mengelilingi batu nisan gadis itu, mengerumuninya dengan berlinangan air mata, aku pun tertegun. Aku teringat kembali kecelakaan yang menewaskan Managami Reina, peristiwa yang mengenaskan itu dan para kerabat yang tiada hentinya mengunjungi makamnya bergantian dan terus berkala. Kini tangis mereka yang keras itu begitu pilu terdengar di langit tempat ku berada. Halo, aku sang penjaga yang kebetulan melewati tempat itu. Ah tidak, aku sebenarnya hanya memantau dari langit tempat ku berada yang juga orang – orang lebih mengenalnya ‘ruang penghakiman antara hidup dan mati’. Maksud ku ruangan ku yang tidak mengenal waktu, ruang perbatasan dunia sana, antara orang hidup dan yang mati. Tepatnya sering disebut penjaga perbatasan. Ah aku terlalu seram ya, tetapi tidak apa – apa. Aku hanya membantu seseorang menemukan tujuan hidupnya, alasan mengapa mereka tersesat ke sini dan mereka pantas hidup / mati. Itu semua sebenarnya tergantung alasan mereka menghilang dari kehidupan mereka, takdir dan pertimbangan lainnya. Aku tidak bisa mencampuri urusan mereka, mereka ya mereka, aku hanya bertugas mengembalikan mereka yang sesat dan ingin menemukan jalan untuk pulang, atau menempatkan mereka yang sudah pasrah mati dengan takdir menurut jalannya masing – masing. Aku hanya membukakan jalan, tegas ku. Mereka yang menjalankannya. Tapi ya ada juga terkecualinya. Hehe.
Semuanya memperhatikan dari sini kehidupan mereka, entah mereka senang atau tidak tapi sudah menjadi tugas ku sebagai penjaga tempat ini, aku tersenyum. Lalu tiba – tiba mata ku tergerak memperhatikan seorang dalam bola kristal penunjuk dunia nyata yang ku genggam ditangan ku. Bola kristal ini biasa ku gunakan untuk memantau kehidupan di dunia sana, maksud ku dunia nyata tempat orang hidup. Mata ku terpaku menatap seorang yang mengintip di balik semak – semak. Mata ku membuka lebar saat menyadari sesuatu yang ku lihat dan aku tertegun di tempat.
Tak jauh dari pemakaman ku lihat seorang pemuda berkacamata hitam memperhatikan proses upacara pemakaman itu. Sepertinya dia membawa sebuah foto ya, pikir penulis. Hahaha. Ia menyelipkan kembali foto itu di sakunya dan menghilang dalam rombongan yang meninggalkan pemakaman itu.
Sementara itu di Ruang penghakiman muncullah roh yang aneh dan suasana menjadi ramai. Managami Reina, gadis muda berusia 15 tahun yang baru saja meninggal dalam kecelakaan yang mengenaskan. Aku mengingat kembali kejadian memilukan itu dan aku pun terharu. Aneh ya, ternyata sang penjaga pun bisa terharu, aku tersenyum. Mata ku menatap kembali bola kristal di tangan ku. Kemudian ku lihat sesuatu yang ramai di pemakaman membuat mata ku semakin membuka karena terkejut. Para kerabat gadis itu, para kerabat yang mengelilingi pemakaman gadis itu kini membanjirinya dengan air mata. Juga Pemuda penggemar rahasia yang mengintip di balik semak – semak tak jauh dari pemakaman gadis itu. Kota jadi gempar karenanya. Aku jadi semakin bingung, pikir ku. Apakah manusia itu begitu istimewanya ? Tapi ya, sejauh apa pun aku bertanya jawabannya tidak pernah ku dengar. Jadi aku tidak perlu memikirkannya, putus ku senang. kembali soal gadis itu, remaja yang akrab disapa Reina sudah 7 hari berada disini dan sebentar lagi akan menghilang saat ini gadis ini ada disini untuk menemui ku. Dalam cerita ini, aku tidak boleh menyebut nama manusia yang tersesat masuk ruangan ku. Mereka hanya mampir sebentar dihadapan ku dan kemudian menghilang untuk selamanya. Jadi aku tidak perlu mengenal mereka putus ku, aku hanya memberitahu.
“Hah, Apa benar aku sudah mati ?” ku dengar suara gadis yang kini masuk ruangan ku. Aku menoleh padanya sambil tersenyum. Benar. Selamat datang Managami Reina di ruang perbatasan ku ini, kata ku dengan senyum. Katakanlah alasan mu hingga kau tersesat masuk ruangan ini. Dengan senang hati, aku akan membantu mu. Lihatlah lilin di depan bola kristal yang ku pegang ini. Kau akan mengetahuinya, bisik ku. “Siapa kamu !” Tanya gadis itu. Pandanglah lilin itu, perintah ku. Apa kau hanya tersesat atau sudah pasrah dengan takdir yang membuat mu tiba di ruangan ini. katakanlah keluhan mu, kata ku lagi. Ku lihat mata gadis itu basah oleh air mata, menatap kehidupan yang dipancarkan dalam dunia sana. Kehidupan yang misteri menurut ku. Sekali lagi gadis itu terisak, air mata mengaliri pipinya yang bersemu merah. Kau sudah mati, kata ku melanjutkan. Kau sedang berada di ruang perbatasan hidup dan mati, bisik ku. Sekarang ceritakan keluhan mu, yang membuat mu menghilang dari dunia mu. Aku akan mendengar mu. Aku pun tersenyum menatapnya. “Anu boleh aku tau, kau bertugas apa di sini ? tanya Managami Reina. Aku hanya sang penjaga, kata ku. Kau telah mengalami mati sekali, kata ku. Tinggal mendengarkan alasan mu sekarang Managami Reina, seru ku. Apa kau ingin mati seterusnya dan menghilang atau kembali ke dunia mu ? Aku ingin dengar alasan mu, kata ku. Tiba – tiba ku terkejut di tempat mendengar kata gadis di hadapan ku, aku pun tersenyum. “Tapi dari mana kau tahu nama ku ?” tanya Managami Reina lagi. “Apa kau mengenal ku ?”. Aku hanya penjaga perbatasan, kata ku. Aku mengetahui kehidupan setiap orang yang masuk melalui ruangan ini, jelas ku berbisik. Tapi hanya sebatas kehidupan yang umum saja yang ku ketahui, nona. Karena aku dilarang mencampuri kehidupan pribadi mereka, terutama hubungan sesama mereka di dunia sana. Begitulah tugas sang penjaga disini, tugas ku. Aku pun tersenyum. Ku hitung, kau telah menghilang selama 7 tahun dari dunia mu. Kau meninggal 0101 tahun 1001, kata ku.
“Oh pantas, mereka pasti sedang menangisi aku sekarang,” seru Reina dan ku lihat air mata mengalir di pipinya, ia tertunduk. Aku terdiam sejenak dan tiba – tiba gadis itu berbicara, ceria. “Hmm ketua, boleh aku turun sekali lagi ?” ia mengangkat wajah menatap ku, wajahnya berseri menatap sang penjaga. Baiklah, kata ku sang penjaga.
“Tapi sudah saatnya kau menghilang !” ingat sang penjaga.
“Tak apa. Terima kasih sang penjaga, maksud ku ketua. Aku pasti kembali,” tanpa
berpikir panjang gadis itu langsung turun ke bumi menuju pemakaman.
Sosok pemuda ku lihat di pemakaman sepeninggalan gadis itu. Gadis itu kini melayang, aku melihatnya tak jauh dari pemakaman sesosok pemuda sedang melukis wajah dan sosok lain berbatu bukan manusia namun menyerupai wajah Managami Reina, wajah gadis itu. Aku melihat dari bola kristal yang ku genggam di tangan ku, aku pun tersenyum. Gadis itu kini ku lihat meluncur ke pemakaman, dan tak jauh dari situ ku lihat 2 sosok di pemakaman Reina. Oh Pemuda itu mengenggam sebuah foto, sepertinya foto gadis itu pikir ku. Ya dia sedang melukis gadisnya dalam pemakaman, melukisnya pada sebuah patung bernama robot yang tak bergerak. Meski tidak bergerak, tapi bentuknya ku rasa menyerupai manusia, komentar penulis.
Managami Reina, gadis itu semakin mendekat menuju pemakaman dan mata ku memperhatikan terus gerak gadis itu, mata ku terpana menyadari sesuatu dan aku tersenyum. Gadis itu pasti kembali, kata ku. Aku masih memperhatikan gadis itu hingga ku dengar suara yang menggemparkan ku dan mata ku membuka lebar. DuCk ! Kaki gadis itu tersandung pada benda keras ketika ia hendak mendarat dan menghilang.
***
“Hoaam !” ku buka kelopak mata ku yang lelah dengan perlahan dan aku menguap cukup keras hingga ku sadari 2 mata menatap ku. Mata ku membuka lebar ketika kini kami bertatapan. Dia adalah Profesor Taisu Manabu yang akrab disapa Profesor Manabu, ku sadari ia tersenyum menatap ku namun ku arahkan pandangan mata ku kearah lain dan aku pun tersenyum. Mata ku melayang tajam ke sudut kamar, ku lihat Profesor sedang bekerja di mejanya, meneliti robot – robot buatannya dengan tak jenuh dan berikutnya aku pun tersenyum. Kini mata ku menatap berkeliling ruangan tidur ku dan ku sadari kami sedang berada di kamar Profesor, yang sekarang adalah kamar ku, juga tempat kerja Profesor, aku hanya memberitahu. “Hoaam !” tiba – tiba aku merasakan mata ku bergerak menutup dan aku menguap cukup keras hingga ku sadari aku mengantuk, seru ku tak bersemangat dan ku baringkan kepala ku di tepi ranjang sambil berpikir. Beberapa menit berikutnya ku sadari ternyata aku telah melayang dan mata ku terpejam lagi. Pk.06.56 mata ku kembali membuka dan berikutnya aku diam melamun di tepi ranjang ku sambil terus berpikir. Ya saat ini aku tinggal di rumah professor karena beberapa alasan, kata ku. Tiba – tiba aku teringat sesuatu dan mata ku membuka tak bersemangat. Aku adalah orang yang tidak beruntung awalnya, kata ku lagi. Ya dulu Profesor yang menyelamatkan ku dan mengangkat ku jadi anak. Kalo waktu itu Profesor membiarkan ku, membiarkan ku dalam keadaan ku yang bisa dibilang ya buruk menurut ku,,, aku tidak tahu keadaan ku sekarang. Ya anggaplah begitu, putus ku. Sebab meski ku pikirkan, tak ku dapat jawaban, kata ku lagi. Sejak saat itu rumah ini menjadi rumah ku, maksud ku rumah Profesor. Pk.07.15 yang ku lihat di pergelangan tangan ku, kusadari aku telah lama melamun. Kembali ku sadari sesuatu yang membuat tidur ku tak nyenyak semalam, wajah ku mendadak pucat pasi. Aku teringat aku telah bangun dari tidur, maksud ku dari mimpi buruk. Ya sejak beberapa hari aku menjalani kegiatan ku, aku mengembara tanpa tujuan di dunia ini dan professor mengijinkan ku menginap di rumahnya. Akhir – akhir ini aku terbangun dengan mimpi buruk setiap malam di kamar ku. Aku adalah Roh penasaran yang mengembara di dunia ini, yang seharusnya sudah menghilang lama sebelum hari ini. Aku adalah orang yang sama dengan Managami Reina. Aku ditemukan tergeletak di depan rumah Profesor Manabu dengan sistem koyak dan tak sadarkan diri. Ya sejak aku menyadari wujud baru ku di tengah pengembaraan, aku syock, dan mendadak tubuh ku lemas hingga tak bisa ku gerakkan. Dan ketika ku sadari sesuatu di wajah ku, mata ku basah oleh air mata, yang ku lihat di cermin di pusat kota dalam perjalanan ku. Mata ku membuka lebar dan air mata semakin mengaliri kedua pipi ku, tangan ku lengket seketika ku sekah air mata di wajah ku dan mata ku terbelalak tajam. Aku memang sebuah robot ? Walau pun aku malu mengakuinya kini dan nanti aku tetap sebuah robot yang dibuat hanya untuk dikendalikan manusia. Ternyata air mata di wajah ku, ku sadari juga ialah noda cat berwarna merah darah yang dilukiskan si pelukis, maksud ku pemuda yang menciptakan dan membentuk ku di pemakaman itu. Ya menurut ku yang membuat wujud ku pasti seorang professor, kata ku. Tapi seharusnya tokoh utama belum tahu semua ini sebelum waktunya, penulis memberitahu.
Kembali ke asal ku, yang ku ingat hanyalah aku melayang, aku terantuk benda keras, lalu jatuh pingsan yang membuat ku bertemu Profesor Manabu. Sejujurnya sih aku masih penasaran dengan pemuda yang membuat ku dan sosok yang mirip dengan ku dalam mimpi juga pemakaman itu. Selanjutnya aku benar – benar lupa. Tapi apa pemuda dalam mimpi ku berhubungan dengan hidup ku ya ? Aku benar – benar tidak tahu. Ingatan ku hanya sepotong – potong tentang kejadian itu. Mata ku melayang tajam mengingat mimpi ku tadi malam, mimpi yang tak asing lagi namun buruk menurut ku dan aku lemas sendiri karenanya. Aku teringat, separuh tentang di pemakaman itu dan sisanya sebelum bertemu Profesor. Tapi aku benar – benar dibuat penasaran olehnya, kata ku yakin. Ya, sejak 0801 tahun 1015 Profesor memungut ku dari pembuangan sampah, saat itu aku tak berdaya dalam keadaan antara hidup dan mati. Saat itu aku tak cemas aku yakin bakal mati dan menghilang. Profesor yang menceritakannya pada ku suatu hari ketika aku menceritakan mimpi ku di bulan januari 2 tahun berikutnya.
“Selamat pagi Profesor !” ku dengar suara yang akrab di telinga ku dan aku menoleh. Saat ini kami berada di ruang kerja Profesor, yang juga adalah kamar ku. Mata ku menoleh pada seorang yang berteriak gembira memasuki kamar ku, gelengan kepala ku perlahan mengikuti langkah orang itu mendekati meja Profesor. Dia adalah Moreno Santa yang senasib dengan ku, maksud ku mendapat tumpangan di rumah Profesor. Mata ku terus menatap mereka yang sedang berbicara, aku pun tersenyum. Sebenarnya Santa atau Santana adalah kerabat Profesor karena memiliki darah keluarga Manabu, berbeda dengan ku yang sama sekali tidak memiliki darah keturunan Manabu tetapi Managami. “Pagi, Profesor !” sekali lagi Santa menyapa dan mata ku bergerak menatap dia menghampiri Profesor tanpa turun dari ranjang ku. “Sepertinya keren nih. Boleh aku tahu, Profesor sedang buat apa ?” tanyanya melihat Profesor sedang bekerja di ruang kerjanya dan Profesor tersenyum.
“Pagi Santa. Oh ini Robot canggih abad 2001. Aku membuatnya supaya tidak kalah dengan profesor lainnya,” balas Profesor Manabu dengan senyum. “Lho Ichigo, kamu kok tak bersemangat ?” Profesor menegur ku, melihat ku masih di ranjang tidur ku sambil mengomel. “Bersihkan diri mu dan pergi ke sekolah dengan Santa. Ayo cepat, jangan malas,” biasa ia mengomeli ku. “Ya, yaa” dengan malas aku segera berbenah dan mengikuti Santana ke sekolah. Selamat pagi semuanya. Nama ku Ichigo Rena / Ichigo Manabu, teman – teman memanggil ku Ichigo / Manabu. Tapi aku tidak peduli semua itu, kata ku meyakinkan. Berikutnya Pk. 07.30, ku langkahkan kaki ku meninggalkan rumah dan tak lupa ku melambaikan tangan pada Profesor dan mengikuti Santana menuju kelas.
***
1st Chapter by: Echi
No comments:
Post a Comment