Tuesday, September 29, 2009

Awal dari Akhir

BAB 1
AWAL DARI AKHIR

“AWASSSS!!!!!”

Hanya itu yang bisa Jiya teriakkan bersama beberapa orang yang berada di sekitarnya pada Tris, putri bosnya, yang tiba-tiba saja berlari ke tengah jalan raya untuk mengambil bola basketnya yang tergelincir dari tangannya. Kalau saja Jiya tidak segera berlari untuk menarik Tris, saat ini dia pasti sudah terlindas mobil yang saat itu sedang melintas.

Dengan bantuan orang-orang, Jiya berdiri—dia terjerembab ke pinggir jalan raya dengan Tris di pelukannya—dan kemudian berusaha menenangkan Tris yang menangis ketakutan. Dengan wajah amat cemas dia berusaha membuat Tris diam, karena tangisnya makin lama makin keras. Orang-orang mengerumuni mereka, menanyakan apa dia dan Tris baik-baik saja.

“Kau tida apa-apa, Tris?” tanya Jiya, sambil mengusap-usap punggungnya. Baju seragam sekolahnya kotor karena debu.

“Takuu...uutttt... Tante,” isak Tris sesenggukan, sambil memeluk erat bola basketnya. Kedua pipinya basah karena air mata.

Lea meneliti tubuh kecil Tris dengan teliti, apakah ada luka atau tidak. Dia mengembuskan napas lega saat tidak menemukan satupun luka pun di tubuhnya. Tergores pun tidak.

“Mbak, Mbak harus ke klinik tuh,” cetus seorang wanita yang berada di sebelah Jiya. “Siku Mbak berdarah.”

Jiya melepaskan pelukannya dan segera melihat sikunya yang memang terasa perih.

“Cuma luka lecet,” katanya, setelah melihat lukanya. Dia mendongak ke arah si wanita dan tersenyum, “Terima kasih,” ucapnya.

“Untung banget ya. Kalau nggak, anak itu pasti...”

“Namanya juga anak-anak...”

“Aduh, ngeri banget melihatnya tadi...”

Orang-orang berbisik dan berkasak-kusuk di sekeliling mereka. Jiya cepat-cepat menggendong Tris, hendak membawanya segera meninggalkan tempat itu.

“Kita pulang ya, Sayang,” kata Jiya, berbisik lembut di telinga Tris yang masih terisak pelan.

Dia mengangguk dan meletakkan kepalanya di bahu Jiya.
Jiya mengucapkan terima kasih buru-buru pada semua orang yang telah membantunya, dan baru saja beranjak pergi saat seorang pria berkata padanya dengan nada cemas.

“Kalian berdua tidak apa-apa, kan?”

Jiya hanya tersenyum dan buru-buru menyahut, “Ya, kami berdua baik-baik saja.”

“Maaf, saya tidak melihat...”

“Bukan salah Anda. Maaf saya harus cepat-cepat. Permisi,” sela Jiya cepat-cepat, tanpa melihat jelas wajah pria itu. Dia, seraya menggendong Tris, menghentikan taksi yang kebetulan melintas dan naik ke atasnya.

Pikiran Jiya kacau, memikirkan reaksi Nirmala, ibu Tris dan juga bosnya, bila mengetahui kejadian itu nanti. Dia pasti akan sangat kesal dan mencecarnya dengan seribu macam kesalahan yang bisa ditemukannya dalam pekerjaannya. Lalu, dia, tentu saja, akan bercerita pada Bram, bosnya yang satu lagi, yang adalah suami dan juga ayah Tris, yang juga akan cemberut padanya dan tidak akan menegurnya selama satu hari penuh. Tris, meskipun tidak terluka, tampaknya agak terguncang, karena sepanjang perjalanan menuju kantor orang tuanya, dia diam saja. Bergelung di dalam pelukan Jiya.

Memang kau ada dimana waktu itu?” tanya Nirmala dengan nada sinisnya yang khas, begitu Jiya menceritakan insiden tersebut. Tris kini berada di pangkuannya, menyandarkan kepala di bahunya.

“Tentu saja bersama Tris, Mbak,” kata Jiya. Dia berusaha sekali untuk tidak kelihatan tersinggung dengan pertanyaan Nirmala barusan—seolah saja dia membiarkan anaknya keluyuran sendiri. “Saya tidak pernah ninggalin dia, kok.”

“Tapi, aneh aja. Kok bisa Tris lari ke tengah jalan,” tukas Nirmala. Dia tidak melihat pada Jiya, sehingga tidak melihatnya membeliakan mata.

“Bolanya tiba-tiba jatuh, dan dia langsung lari mengejarnya. Dan saya tidak menyangka dia melakukan itu,” kata Jiya, membela diri. Dia kesal sekali, karena Nirmala terang-terangan menyalahkannya atas sesuatu yang seratus persen bukan kesalahannya. Apalagi sebenarnya dia bukan pengasuh anaknya.

“Oke. Saya hanya mau tanya itu saja, kok. Thank you.”

Saat Jiya kembali ke meja kerjanya—dia adalah seorang sekretaris di sebuah perusahaan marketing communication—Dani, teman sekantor dan juga sahabatnya, sedang duduk di atas mejanya. Seringai lebar terhias di wajahnya yang bulat. Rambut hitam lurusnya menutupi sebagian dahinya.

“Kena omel?” tanyanya, begitu Jiya duduk di kursinya.

“Kena sindir lebih tepatnya,” sahutnya jengkel. Dia kembali melihat sikunya yang lecet, dan membungkuk untuk melihat kaki belakangnya yang terluka gores. “Dia bahkan tidak peduli dengan lukaku.”

Dani tertawa. Dia menyodorkan kotak P3K di sebelahnya, yang tidak dilihat Jiya sama sekali. “Beri Betadine dulu.”

“Yap. Sebaiknya begitu,” timpal Jiya, mengembuskan napas perlahan.
Dani baru saja akan bicara, ketika tiba-tiba terdengar Nirmala berseru dari dalam ruangannya, memanggil Jiya.

“Sore ini, aku pasti akan sibuk sekali,” kata Jiya getir, membelalakan mata pada Dani, yang hanya bisa terkekeh. Dia bangkit dari kursinya, “Wish me luck,” pintanya dan segera berjalan tertatih-tatih menuju ruangan Nirmala.

Benar saja dugaan Jiya, kalau Nirmala akan menjadikannya bulan-bulanan sore itu. Dia terus menegur Jiya dengan kesalahan-kesalahan yang bisa dia temukan. Seperti berita acara untuk klien yang belum selesai dikerjakannya, gelas di meja Nirmala dan Bram yang belum sempat digantinya, beberapa email yang belum dikirimkannya, lantai ruangannya yang kotor, jendela ruangannya yang berdebu, dan hal-hal lain yang makin lama kedengaran semakin mengada-ada. Untungnya, Bram sedang rapat di luar, sehingga Jiya tidak perlu melihat wajah cemberutnya. Tapi, dia yakin kalau Nirmala pasti sudah memberitahunya. Suami istri itu memang sangat kompak dan cepat dalam hal ‘marketing dan komunikasi’.

“Lantai ruangan kotor, aku yang disuruh nyapu. Ngelap kaca,... memangnya kerjaanku merangkap office boy?” gerutu Lea pada Dani yang berjalan di sebelahnya. Mereka baru saja keluar dari mall, sepulang membelikan kado ulang tahun untuk pacar Dani. “Kalau begitu pecat saja Mas Kirman, biar aku yang gantikan,” katanya lagi, sementara Dani hanya bisa terkekeh. “Dan bagaimana aku bisa menyelesaikan semua pekerjaanku, kalau aku juga harus selalu menyediakan waktu untuk ngurus anaknya? Sebenarnya aku ini nanny—pengasuh, atau sekretaris?”

“Kenapa kau tidak mengundurkan diri saja?” tanya Dani, “Daripada kau stres. It’s been two years.”—Ini sudah dua tahun. “Dan mereka tetap memperlakukanmu seperti itu.”

“Aku butuh uangnya,” kata Jiya lemah, memandang kosong ke arah depan. Menatap punggung orang-orang yang berjalan di depan mereka, menyusuri trotoar yang padat.

“Cari kerja lagi. Yang lebih baik.”

“Aku malas. Lagipula siapa yang mau menerimaku?”
Dani menghela napas dan menghentikan langkahnya, memutar tubuhnya menghadap Jiya yang juga melakukan hal yang sama. Orang-orang yang berjalan di belakang mereka, terpaksa berbelok untuk menghindari mereka.

“Kau terlalu meremehkan diri sendiri, Jiya,” kata Dani, menatap mata Jiya lekat-lekat.

“Aku tidak mengerti kenapa pikiranmu sangat dangkal bila menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan dirimu.”

“Bukannya begitu, aku hanya ingin bersikap realistis,” sanggah Jiya, seraya mengangkat bahunya. Mendongak menatap Dani yang memang lebih tinggi darinya.

“Bagiku kedengaran pesimis.”

Jiya mengembuskan napas, sambil memutar kedua matanya ke atas, dan kembali berjalan. “Ayolah, Dan. Aku hanya lulusan SMU, meskipun aku pernah berkuliah tiga tahun yang akhirnya putus di tengah jalan. Mana ada lagi perusahaan yang mau memekerjakan secara profesional lulusan SMU seperti aku? Jujur, bekerja di perusahaan sekarang... merupakan keberuntungan untukku,” kata Jiya. “Meskipun gajinya tidak seberapa, tapi, aku hidup. Dan I love my job!

No, you don’t,” sergah Dani cepat-cepat seraya menggelengkan kepalanya sambil merendenginya, “Kalau kau cinta pekerjaanmu, kau tidak akan mengeluh setiap pulang kerja. Kau akan ceria saat berangkat ke kantor di pagi hari. Yang aku perhatikan, ekspresimu selalu cemas, dan kau langsung panik begitu tahu bos-bos datang. You freak out.”—Kau ketakutan.

“Aku... tidak begitu,” sangkal Jiya ragu-ragu. Dalam hati dia membenarkan kata-kata Dani. Karena memang itulah yang dia rasakan setiap hari di kantor. Pulang kerja, dia akan mengeluhkan berbagai hal mengenai pekerjaan dan sikap bosnya. Seakan topik tersebut tidak pernah ada habisnya.

“Belum lagi, kau harus tiap hari menjemput Tris. Kau benar-benar ... dalam situasi berbahaya,” Dani melanjutkan komentarnya, “Karena bila terjadi apa-apa dengan anak itu, mereka akan mengacungkan telunjuk ke dirimu, menyalahkanmu. Seperti tadi.”

“Itu bukan seratus persen salahku. Aku kan hanya menjemput! Selebihnya bukan urusanku,” bantah Jiya, mendelik jengkel.

“Nah! Kalau begitu, kenapa kau sok jadi sukarelawan? Orang tuanya saja tidak peduli. Di kantor siapa yang peduli selain kau?”

Mata Jiya membulat, dia memandang Dani dengan pandangan bingung, “Kalau itu... aku hanya kasihan.”

“Kenapa kau tidak memikirkan dirimu sendiri dulu, Jiya?”

“Aku hanya... Tris anak kecil. Dia tidak salah kan?”

Dani menaikkan sebelah alisnya. “Rasa kasihan adalah kelemahanmu yang paling besar.

Kau membuat semua orang mudah merendahkanmu.”

Jiya mengangkat bahu, “Mungkin memang begitu,” timpalnya menerawang.

“Bagaimana dengan hubunganmu dengan Sebastian?” Dani mengganti topik bicara.

“Baik-baik saja?”

“Kelihatannya begitu,” jawab Jiya, mendengus tersenyum.

“Kau kedengarannya tidak yakin.”

“Itu karena, ya,... aku dan dia sibuk belakangan ini dan kami jarang ketemu, hanya menelepon. Tapi...” Jiya mengangguk-anggukan kepala. “Kami baik-baik saja—aku rasa.”

“Ya. Aku hanya memastikan kehidupan cintamu tidak sama menyedihkannya dengan pekerjaanmu.” kata Dani terkekeh.

“Kami sudah empat tahun pacaran,” kata Jiya, “Sudah sering mengalami hal-hal aneh. Jadi, yah... we’re okay.”

Dani berhenti dan memandang Jiya, “Kalau saja aku bukan gay, aku akan menjadikanmu pacarku.” Jiya tersenyum lebar dan menggelengkan kepala. “Kau cewek baik. Kau berhak mendapatkan yang terbaik.”

“Thanks,” gumam Jiya penuh terima kasih. “Kata-katamu... berarti sekali untukku.”

Dani tertawa kecil, kemudian menghela napasnya kembali, memandang ke arah jalan raya yang ramai. “Kalau begitu, bye. See you tomorrow,” katanya berpamitan. “Perlu kupanggilkan taksi?”

Jiya menggeleng buru-buru, “Tidak usah. Kau lebih baik cepat pergi, biar tidak terlambat.” katanya, melempar cengir lebar.

Dani balas nyengir, lalu mengecup pipi Jiya dan melambaikan tangan, melanjutkan berjalan, sementara Jiya masih diam di tempatnya, memandangi punggung Dani yang bergerak menjauh. Kemudian terpikir olehnya untuk menelepon Sebastian. Hanya ingin mengetahui keadaannya. Sudah dua hari dia tidak berjumpa atau meneleponnya. Dan Sebastian sebaliknya.

“Halo,” sapa Jiya dengan senyum tersungging di sudut bibirnya, begitu Sebastian menjawab.

Halo, Jiya,” sahutnya dari seberang. Kelihatannya dia sedang berada di jalan raya, karena terdengar bunyi klakson mobil beberapa kali di belakangnya.

“Hai. Aku hanya ingin tahu kabarmu,” kata Jiya, sambil menjulurkan kepala melihat kalau-kalau ada taksi kosong lewat.

Oh. Aku baik. Hanya agak sibuk. Aku ingin menelepon tapi aku takut kau juga sibuk.

“Ya.. Kita berdua sibuk,” kata Jiya tertawa, “Aku sampai lupa meneleponmu. Sori.”

Tidak apa-apa. Aku ngerti,” sahut Sebastian buru-buru.

“Kita bisa ketemu malam ini?” tanya Jiya, seraya mengeratkan tali tas di pundaknya.

“Ummm... Kayanya nggak,” jawab Sebastian ragu. Jiya langsung mengernyit kecewa. “Aku ada meeting dengan klien di restoran. Agak penting dan...”

“Hei. Tidak apa-apa kok. Besok kalau begitu?”

“Besok....? Oke,” kata Sebastian, tertawa pelan.

“Besok kalau begitu.” gumam Jiya senang.

“Oke. Maaf, Jiya. Aku harus tutup teleponnya, aku sudah sampai di restoran,” Sebastian memberitahunya. Jiya menganggukan kepala dan mengatakan “Oke” dan dia segera menutup teleponnya.

Jiya mendengus tersenyum, dan sambil memasukkan kembali telepon genggamnya ke dalam tas, dia bergumam berulang-ulang, “We’re okay. We’re all okay,” sambil melihat ke arah jalan lagi, menanti taksi lewat. Hari sudah gelap dan gerimis kecil mulai turun, membuatnya agak menggigil. Namun, sejenak kemudian, dia tertegun. Matanya terpaku ke seberang jalan. Tepatnya ke seorang pria yang baru saja keluar dari mobil sedan hitam, yang terparkir di halaman sebuah restoran di seberang jalan.

Jiya tersenyum. Hatinya selalu merasa gembira kapan pun melihat Sebastian. Dia mendadak merasa sangat rindu padanya dan berpikir untuk melihatnya sebentar. Dengan mantap dia menyeberang dan dengan setengah berlari masuk ke halaman restoran itu.
Dia pakai jas. Pasti pertemuan penting sekali. Tidak usah masuk. Lihat saja dari kaca, gumam Jiya dalam hati, sambil terus melangkah. Gerimis semakin deras membuat tubuhnya basah. Namun dia tidak peduli. Toh, aku bawa payung, pikirnya.

Tidak seperti orang-orang yang bergerak masuk melalui pintu restoran tersebut, Jiya memlilih untuk berdiri di depan kaca besar yang dapat melihat tembus ke dalam. Dia mencari-cari sosok Sebastian dan langsung tertegun begitu menemukannya.

Sebastian sedang berbicara dengan seorang wanita sangat cantik yang duduk tepat di sebelahnya, mengenakan gaun hitam bertali satu yang memamerkan pundaknya yang kecil dan mulus. Mereka duduk bersama beberapa orang lain yang hanya terlihat punggungnya saja, mengitari meja bundar besar dengan beberapa piring makanan berada di depannya. Sebastian dan wanita itu terlihat akrab dan bahagia. Bahu mereka bersentuhan, dan mereka saling bertatapan penuh arti, membuat kepala Jiya panas dan tubuhnya gemetar. Kakinya terasa beku, tidak bisa dirasakannya lagi. Hujan yang turun semakin deras pun tidak dirasakannya. Jiya tidak tahu apa perasaannya saat ini. Apakah marah, sedih atau apa? Yang dia lakukan hanya bisa tertegun melihat pemandangan di balik kaca di depannya.

Jiya memejamkan kedua matanya sejenak, dan air mata meluncur turun ke pipinya. Dia menundukkan kepala, merogohkan tangan ke dalam tas, mencari telepon genggamnya. Dia menekan salah satu tombolnya sekali, kemudian menempelkannya ke telinganya.

Menunggu sambil terus memperhatikan Sebastian yang kini sedang berbicara melalui telepon genggamnya.

“Halo,” sapanya dengan suara agak pelan. Sementara suara orang bicara di belakangnya terdengar keras.

“Kau dimana?” tanya Jiya, tanpa melepas pandangannya dari balik kaca.

“Aku sedang bersama klien,” jawab Sebastian cepat-cepat. Jiya melihat dia menyembunyikan wajahnya saat mengatakan itu, “Aku sibuk. Nanti aku telepon kembali.”

“Aku di luar. Melihatmu,” kata Jiya dingin. “Siapa wanita itu?”

Mendadak Sebastian menengadahkan wajahnya ke arah kaca di mana Jiya sedang memandangnya. Wajahnya langsung pucat.

“Aku tunggu penjelasanmu malam ini. Aku akan ada di flatku,” kata Jiya lagi, lalu mengakhiri teleponnya. Setelah itu tanpa melihat ke arah Sebastian lagi, dia memutar tubuhnya dan berjalan pergi meninggalkan tempat itu.

Hujan turun lebih lebat dari sebelumnya, membuat badannya basah kuyup. Tapi dia tampaknya sudah tidak peduli lagi, dia juga tidak menghiraukan pandangan semua orang yang melihatnya berjalan menyeberangi jalan raya dan berjalan menyusuri trotoar dengan tatapan kosong, seperti layaknya mayat hidup. Dia masih bengong sampai akhirnya dia memutuskan untuk berteduh di emperan toko yang telah tutup. Bersandar di trolinya yang tertutup, dan merosot ke bawah, berjongkok sambil mengapit tasnya. Di sana dia menangis terisak-isak.

***

Sebastian datang saat jam di dinding ruang tamu Jiya menunjukkan pukul sepuluh lewat empat puluh lima menit. Dan Jiya baru saja keluar dari kamar mandi dengan seluruh kulit kaki dan tangannya kisut karena terlalu lama berendam. Begitu sampai di flatnya tadi, tanpa melepas pakaiannya dulu, dia langsung berlari ke kamar mandi dan mengguyur kepalanya dengan shower, membiarkannya menggenang sampai memenuhi bath tub. Sempat tergoda untuk menenggelamkan diri, tapi cepat-cepat di tepisnya, kemudian menangis sekeras-kerasnya sampai puas.

Tidak ada satu pun yang mulai bicara. Sebastian hanya duduk termenung di sofa ruang tamu, menatap ke arah televisi yang sedang menayangkan acara entah apa, yang bahkan tidak ditontonnya sama sekali, sementara Jiya berada di dapur memasak makan malam. Kedua matanya merah dan bengkak akibat kebanyakan menangis.

Akhirnya setengah jam kemudian saat Jiya berdiri bengong di depan meja dapur—dia sudah selesai memasak lima belas menit yang lalu—Sebastian berjalan perlahan ke arahnya—dia sudah melepas jas hitam yang dipakainya saat baru saja datang dan telah merenggangkan tali dasinya—kemudian berhenti tepat di depan meja makan, berdiri beberapa kaki dari tempat Jiya berdiri.

“Bisakah kita duduk? Di sini?” tanyanya, sambil mengedikkan kepala ke arah kursi makan di belakangnya.

“Kau saja yang duduk. Aku lebih nyaman berdiri di sini,” sahut Jiya dingin.

Sebastian mengangguk, perlahan menarik kursi, duduk dan menundukkan kepalanya, melihat lantai keramik di bawahnya. Jiya memerhatikannya, menunggunya mengatakan sesuatu. Sejenak kemudian Sebastian mendongak, menatapnya dan perlahan bicara.

“Aku... minta maaf,” katanya, dengan rona muka amat bersalah. “Seharusnya aku mengatakan semua ini padamu sejak lama.”

“Jadi sudah lama?” tanya Jiya, tetap dengan nada dingin yang sama. “Sejak?”

“Enam bulan yang lalu.”

Jiya mendengus tidak percaya mendengar jawaban Sebastian. Jadi dia sudah dibohonginya sejak lama. Jiya menggeleng-gelengkan kepalanya dan menutupi kepalanya dengan kedua tangannya. Air mata meluncur lagi dari matanya.

“Jiya. Aku...”

“Bukannya kita sudah sepakat kalau salah satu dari kita jatuh cinta pada orang lain, kita akan jujur dan mengatakannya, agar tidak membuat salah satu dari kita sakit hati?” sela Jiya sebelum Sebastian menyelesaikan kalimatnya. “Dan kau.... udah menemui orang lain sejak setengah tahun lamanya? Dan tetap bersikap biasa padaku? Apa maksudmu?”

Sebastian menghela nafasnya dan menundukkan kepala. Wajahnya terlihat amat pucat.

“Aku hanya..... Tadinya aku iseng.”

“Iseng?” sambar Jiya tidak percaya, “Hal seperti ini, kamu anggap iseng?!”

“Ya... aku iseng,” sahut Sebastian cepat. Mendongak menatap Jiya. “Aku hanya ingin merasakan bagaimana kalau aku memiliki orang lain selain dirimu. Dan...”

“Dan?” kata Jiya berang, “Dan apa, Bas?!”

Sebastian menghela nafas, menunduk dan berkata pelan, “Aku jatuh cinta padanya.”

“Kau jatuh cinta padanya karena dia mau tidur denganmu?” tanya Jiya, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Karena kau tidak mendapatkan itu dariku?”

“Jangan KONYOL Jiya!” tegur Sebastian, mendelikkan mata padanya. “Aku tidak serendah itu.”

“Lalu apa? Kita sudah empat tahun pacaran. Mengalami masa-masa sulit berdua. Aku mencintaimu lebih dari apa pun. Kenapa... kenapa... kau melakukan ini padaku?” isak Jiya.

“Kau kira... aku tidak mencintaimu?” kata Sebastian, mengerutkan dahinya. Kelihatan agak tersinggung, “Aku... sangat mencintaimu Jiya. Kau sangat berarti untukku. Kau cantik, sangat baik, tapi...” Dia berhenti sejenak. Jiya diam, menunggunya melanjutkan kata-katanya. “Tapi... aku butuh seseorang yang hidup.”

“Maksudmu aku tidak hidup, begitu?”

“Bukan. Maksudku... aku butuh seseorang yang bisa membuatku...” Sebastian mengangkat kedua tangannya, kesulitan mencari kata yang tepat. “—ceria. Yang bisa membuatku bersemangat melakukan banyak hal. Bisa berbagi semua hal denganku. Tidak selalu mengeluh dan menangis seperti... dirimu.”

Mulut Jiya menganga. Kata-kata Sebastian barusan membuat hatinya sangat perih seperti diremas dengan duri. Itukah penilaian Sebastian tentang dirinya selama ini? Dia menggambarkan Jiya sebagai sosok yang menyedihkan.

“Aku tidak selalu mengeluh dan menangis,” Jiya membantah, walaupun dengan nada tidak yakin. “Aku tidak seperti ITU.”

“Kau selalu mengeluh,” kata Sebastian tidak sabar, “Kau mengeluh tentang pekerjaanmu, bosmu. Setiap hari, setiap saat. Kau menangis. Kau tidak percaya diri. Kau selalu menuntutku untuk bersamamu selama dua puluh empat jam selama tujuh hari. Kita bahkan belum menikah Jiya,” kata Sebastian berapi-api. “Dan kau sudah membebani batinku sedemikian beratnya.”

Jiya tercengang. Sementara Sebastian berusaha mengendalikan dirinya, menarik napas perlahan, sambil memandang ke arah lain. Hening sesaat. Baik Jiya maupun Sebastian tidak ada yang bersuara, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Lalu setelah lewat beberapa detik, Sebastian membuka mulutnya sedikit, memandang ke arah Jiya, yang masih berdiri bengong, tidak bergerak sedikit pun.

“Aku... sudah memutuskan,” dia bergumam pelan. Jiya mendongak, balas memandangnya.

“Aku tidak bisa menjalani semua ini lagi,” lanjutnya sambil menggelengkan kepala.

Jiya merasa lantai flatnya runtuh seketika, dengan dia bergantung gamang, tidak berpijak atau pun jatuh ke bawah. Air mata meluncur turun dari kedua matanya yang besar.

“Maksudmu, kau ingin kita putus?” tanyanya dengan suara parau.
Sebastian mendesah, menunduk sejenak, kemudian menjawab, “Maaf, Jiya. Demi kebaikan kita berdua.”

Jiya mengisak tertahan. Hatinya luar biasa sakit. Jantungnya berdetak kencang sekali, menyakiti dadanya dan kepalanya nyeri seperti diremas. Dia tidak ingin kehilangan Sebastian. Dia tidak bisa hidup tanpanya.

Please, Bas. Jangan seperti ini,” Dia memohon kepada Sebastian, pelan-pelan melangkah mendekatinya. “Aku minta maaf, aku janji akan berubah.”

“Aku tidak bisa,” kata Sebastian, memandang Jiya dengan prihatin. “Aku mencintai orang lain, Jiya.”

Jiya cepat-cepat menghampiri Sebastian, dan meraih tangannya. “Tapi... kau masih mencintaiku. Kau bilang sendiri tadi.”

“Aku memang akan selalu mencintaimu, tapi... cintaku padamu,... sudah berubah,” kata Sebastian, “Kita masih bisa berteman, Jiya.”

Air mata Jiya semakin banyak mengalir, membuat wajahnya berkilat-kilat. “Aku tidak bisa hidup tanpamu, Bas. Kau tahu itu.”

“Kau bisa. Kau kuat, kau pasti bisa,” kata Sebastian menyemangati. “Kalau aku terus bersamamu, hanya akan menyakitimu, Jiya. Karena hatiku bukan untukmu lagi. Tolong mengertilah.”

“Bas, please...” kata Jiya, terisak sedih, menundukkan kepalanya, sambil mengusap tangan Sebastian. “Jangan tinggalkan aku....”

“Jiya, please...” balas Sebastian pelan, memandangnya dengan penuh iba. “Aku tidak bisa.”

“Aku janji akan melakukan apa pun...” kata Jiya, mengangkat wajahnya untuk menatap Sebastian. “Kalau kau mau aku akan tidur denganmu.”

“Jangan merendahkan aku, Jiya,” kata Sebastian, mengernyitkan alisnya. “Aku tidak ingin itu. Aku menghormatimu. Kau salah paham.”

“Aku tidak...”

“Selamat malam, Jiya,” sela Sebastian, melepaskan tangannya dari genggaman Jiya.

Kemudian berbalik, dan melangkah menuju ruang tamu.

“Bas... tunggu!” Jiya berusaha mengejar Sebastian.

“Istirahatlah, Jiya. Aku harus pergi,” kata Sebastian, tanpa memandang Jiya. Dia menyambar jasnya di atas sofa dan bergegas pergi menuju pintu.

“Bas!”

Suara pintu ditutup dengan keras, dan sosok Sebastian sudah menghilang dari pandangan Jiya. Dia telah pergi. Meninggalkan kesunyian yang menyayat di ruangan itu. Jiya terpuruk di lantai, masih tidak percaya kalau Sebastian telah memutuskannya. Mengakhiri hubungan dengannya. Begitu saja. Tanpa ada ucapan selamat tinggal, pelukan atau ciuman di pipi. Terjadi begitu saja. Dan Jiya masih merasa dia akan kembali besok. Bersikap kalau tidak ada yang terjadi malam ini.

Seperti orang gila, Jiya berulang-ulang memandang berkeliling lantai ruang tamunya. Untuk apa, dia juga tidak tahu. Hatinya sangat terluka, seperti tercabik-cabik dan hanya menyisakan setengah bagian saja. Membuatnya tubuhnya merasa hampa luar biasa. Kosong tak berjiwa.

***


First Chapter oleh Putu Indar Meilita
http://indarmeilita.blogspot.com/