Thursday, November 6, 2008

Lingkaran Pelangi

Bab 1 : Irama Alam

Hari hampir setengah enam pagi, matahari belum juga bersinar. Mendung tebal merata di sebelah timur membentuk garis lengkung yang tak beraturan seperti gambar sebuah pantai yang berpasir hitam mengandung bijih besi. Garis yang indah terlihat berseni membagi langit dalam dua warna, hitam dan kelabu. Hawa segar menerpa tubuh setelah semalaman tidur di kamar panas yang menyesakkan. Burung-burung berkicau, terbang, berlompatan, bercanda dengan teman atau apa saja yang dilihatnya. Ada yang bersiul, ada yang mengkukur, ada yang melengking tinggi, ada yang gemeretak datar. Mereka teratur dalam ketidak-teraturan yang harmonis. Irama riang orkestra alam yang telah dinyanyikan sejak berabad-abad yang lampau. Sekarang mereka lantunkan dalam kesiapan yang lebih sempurna. Serentak siap dalam keteraturan yang acak menyambut matahari pagi. Bagai anggota Paskibra, menunggu inspektur upacara di lapangan. Pohon-pohon bercerita dalam bahasanya sendiri-sendiri. Ombak berdebur menyampaikan salam dari pantai seberang. Gelombang laut mengalun bagai tongkat sang Dirigen memandu Orkes Simphony. Semua bergerak teratur dalam perannya masing-masing yang abadi.

Sayup-sayup terdengar suara Bunda mengalun riang pertanda pekerjaan dapurnya telah selesai. Berarti tugas menunggu dagangan akan beralih dariku kepada beliau.

“ A a r u u u l l “ Bunda memanggilku berirama.

“ B u n n n d a a “ sahutku berirama pula.

Suasana rumah menjadi riang bila Bunda mulai berkicau, hidup, segar dan menyenangkan.

“ Nah, Bunda sudah selesai, Arul siap-siap “.

“ Ya, Arul mau sarapan dulu “ jawabku, sambil berdiri dari duduk. Udara agak dingin karena mendung yang menggantung sejak malam. Aku berpikir kalau sudah sarapan badan akan terasa lebih hangat. Terus berganti pakaian, lantas belajar lima belas menit baru berangkat ke sekolah. Tetapi hari ini bukan seperti hari-hari biasa. Hari ini sangat istimewa, hari terakhir Ujian Nasional anak Sekolah Dasar. Seharusnya aku tak perlu cemas, karena aku selalu mengikuti pelajaran dengan baik. Lagipula, menurut bapaknya Hesty : selalulah berdoa tiap-tiap akan belajar supaya pikiran menjadi terang dan yang kita baca bermanfaat waktu ujian nanti. Maksudnya soal-soal yang akan keluarlah yang akan terpelajari oleh kita dengan tuntunan Allah. Inilah yang membuat aku tidak mencemaskan ujian. Yang menjadi pikiranku selama ini justru kalau sudah lulus. Apakah bisa melanjutkan ke SMP? Katanya wajib belajar sembilan tahun, akan dibebaskan uang sekolah tapi bagaimana dengan beli baju, sepatu dan keperluan lainnya? Oh, repot kalau dipikirin jadi nggak usah dipikir dulu nanti saja dicari jalan keluarnya. Inilah peganganku. Hari sudah mulai siang. Jam 06.45, aku siap-siap berangkat. Kemudian aku menyalami Bunda, ketika Hesty lewat dibonceng Bapaknya.

“ Bundaaaa, Aruuul ” Hesty mengalunkan sapaan pada kami.

“ Heeesty ” aku dan Bunda balas menyapa bersamaan.

“ Berangkat dulu ” sahut Hesty.

Kami diam tidak perlu menjawab lagi karena mereka telah jauh. Aku berdiri di halaman sambil memanggil Ical.

“ Cal, udah siang ” panggilku.

“ Ya, ayo ” jawab Ical sambil berjalan keluar, kami pun berangkat.

Aku dan Ical dulunya satu SD, tapi sewaktu di kelas empat, SD kami dilikuidasi, muridnya dapat memilih mau masuk siang atau masuk pagi. SD siang tidak sama dengan SD pagi, SD pagi Kepala Sekolahnya Ibu Hariyati Sukriyah S.Pd kepala sekolahku yang lama. Sedangkan yang siang Kepala Sekolahnya lain. Ical masuk siang, sedangkan aku masuk pagi, dengan alasan kepentingan masing-masing. Jadi cuma waktu ujian ini kami berangkat bareng. Kami ujiannya di satu sekolah tapi lain kelas. Hesty bersekolah beda SD dengan kami, dia di SD unggulan. Jadi, agak jauh dari rumah kami. Tapi dia anak orang mampu jadi tidak ada masalah transportasi. Hesty sering bercerita tentang cita-citanya, setamat SD terus ke SMP terus dan terus lagi, ia punya cita-cita sangat tinggi. Aku dan Ical cuma terdiam bila mendengar celoteh Hesty. Bagi aku dan Ical kami malu menceritakan cita-cita, kalau didengar orang disangka........ bagaimana....... begitu. Kami punya cita-cita tapi kami tutup rapat-rapat. Supaya orang yakin bahwa kami masih waras. Yah, anak-anak seperti kami memang agak pemalu. Maksudku malu bila orang tau kami punya cita-cita. Cita-citaku, tinggiii...tinggiii...sekali. Setinggi cita-cita otak yang sudah tak waras. Tapi itu cita-cita kami. Dan kami tutup rapat-rapat. Rapat sekali, lebih rapat dari duduknya orang pacaran. Inilah kenangan hari-hari terakhirku waktu di Sekolah Dasar. Bisa jadi kenangan yang sangat indah saat-saat aku bersekolah. Hari ini aku datang ke sekolah. Untuk kali yang terakhir sebagai murid disini. Para orang tua datang untuk mengambil ijazah dan lainnya bagi anak mereka. Dengan segala gejolak perasaan yang mungkin tidak sama di antara mereka. Ada yang gembira anaknya akan masuk ke sekolah lanjutan. Ada pula yang tidak jelas sebabnya, mungkin juga hanya senang berkumpul dengan teman-teman. Tapi di antara mereka ada yang cemas, takut kalau-kalau anaknya tidak lulus atau mencemaskan hal-hal lain tentang anak tersayang. Semua hal tentang kecemasan itu ada pada kami sebagai anak. Kami cemas kalau tidak lulus. Bila lulus, apakah orang tua kami akan sanggup membiayai kami ke SMP? Seandainya diusahakan, akankah sampai selesai? Akh, banyak hal seperti misteri bagi kami. Memikirkan hal-hal yang demikian terlalu rumit. Serumit membenarkan benang layangan yang kusut. Anak-anak seperti kami terbiasa menerima segala sesuatu apa adanya, tanpa perlawanan. Begitulah sikapku hari ini, menunggu apapun hasilnya. Menerima, bagaimanapun jadinya.Walaupun sebenarnya ini bukanlah sikap ikhlas dan pasrah sebagaimana yang diajarkan para Kyai atau guru-guru pendidikan agama di sekolah-sekolah. Tetapi ini sikap putus asa atau sikap masa bodo. Yang telah terbiasa dan bisa kami terima. Kami terbiasa begini. Apa yang akan terjadi terjadilah. Bagaimana nanti, ya bagaimanalah. Walaupun begitu aku yakin setiap malam berakhir matahari pasti bersinar. Itulah sebuah pepatah yang aku yakini. Dan aku yakin, itu benar. Karena begitulah pengalaman Ayahku. Di ruangan ini terlihat semua orang seperti mempertahankan sikapnya sendiri-sendiri. Ada yang takut, cemas dan putus asa atau masa bodo. Para orang tua murid duduk terpencar. Kecuali bapak si Pian, yang sedang terlibat pembicaraan dengan bapak si Upai dan bapak si Eman. Aku duduk menunggu Ayahku yang katanya akan minta izin sebentar dari majikannya. Hari semakin siang, tapi Ayah belum juga tiba. Aku termenung memikirkan bagaimana kalau Ayah tidak datang? Siapa yang akan mengambil ijazah, mungkinkah Pak Hamid akan mengizinkan aku mengambil sendiri? Aku menanti Ayah dalam keadaan bingung seperti bingungnya seekor kupu-kupu yang sejak tadi tidak bisa hinggap pada kuntum bunga asoka merah. Karena ranting bunga itu terus bergoyang ditiup angin. Aku menunggu Ayah tapi belum juga terlihat, perasaan cemas dan was-was datang silih berganti. Sebagaimana halnya dengan kupu-kupu itu, akupun harus sabar menanti. Bagi makhluk lemah tak berdaya, kesabaran menjadi mutlak dimiliki. Menurut orang bijak, badai pasti berlalu. Itulah pedoman kami berpikir, waktu menunggu sesuatu yang sangat memerlukan kesabaran. Sebagaimana kupu-kupu itu telah mencapai maksudnya, tepat bersamaan dengan kedatangan Ayah. Alangkah senangnya hatiku. Alhamdulillah, beginilah ucapan syukur yang layak atas sebuah nikmat. Ayah celingukan sebentar, kemudian pandangan kami bertemu. Ayah datang mendekatiku. Aku senang dan tersenyum sambil menatap wajahnya. Oh, Ayahku yang sudah tua, terlihat kelelahan memikul beban hidup yang semakin berat. Ayah, aku sayang padamu bisikku dalam hati. Ayah datang menghampiri dan duduk disampingku, dipeluknya pundakku, pelukan ini terasa hangat. Dari sikap Ayah ini, dari bahasa tubuhnya, aku menangkap isyarat bahwa situasi hati Ayah sedang tenang. Mungkin juga mengisyaratkan keadaan yang aman. Artinya Ayah mendapat bagian atas gajinya yang telah lama dicicil-cicil. Alhamdulillah, terima kasih Tuhan yang telah memberi nikmat di ujung harapan-harapan kami. Ayah menatap ke sekeliling ruangan, kemudian berhenti sewaktu menatap ke arah meja guru. Meja itu masih kosong. Bapak guru Hamid belum juga datang, terdengar Ayah menarik napas lega, kemudian berkata kepadaku.

“ Ayah pikir tadi terlambat, tapi beruntung gurunya belum datang ”.

“ Iya Ayah, tak biasanya bapak guru Hamid terlambat ” jawabku.

Ayah terdiam, aku juga diam dan waktu kulihat sekeliling kelas mereka juga diam. Agaknya mereka juga heran karena sampai sekarang belum ada seorang guru pun yang muncul. Biasanya saat-saat seperti ini Kepala Sekolah dan beberapa orang guru sudah berkumpul. Kemudian Kepala Sekolah mengucapkan beberapa kata. Lalu ijazah dan surat lainnya dibagikan oleh guru kelas. Kemudian para orang tua mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya di dalam sebuah amplop. Kemudian pertemuan berakhir dengan sama-sama senang. Kecuali orang tua yang anaknya bermasalah. Pagi ini kebiasaan seperti itu belum terjadi. Aku berpikir, kalau yang jadi kebiasaan belum terjadi pasti sesuatu yang luar biasa dapat terjadi. Kami semua diam. Suasana terasa hening. Semua orang dengan pikirannya masing-masing. Kecuali sekumpulan burung yang terdengar cicitnya dari pohon jamblang, hinggap dan berlompatan dari ranting ke ranting. Mereka sedang menikmati kebahagiaan dalam irama alam yang syahdu dan telah berulang sejak berabad-abad yang silam. Ruang Kepala Sekolah terlihat dari kelasku. Ada orang-orang yang sedang menemui Beliau. Ada guru-guru yang berlalu-lalang. Mereka semua sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

***

Hari telah pukul sepuluh, perubahan belum juga terlihat. Di ruang kelas mulai terdengar ada yang mengeluh. Mungkin karena hari yang semakin panas sebab hujan sudah lama tidak turun atau karena suasana hati kami masing-masing. Di luar juga lengang, burung-burung telah pindah ke tempat lain yang lebih sejuk. Aku juga mulai merasa gerah waktu terdengar suara langkah sepatu wanita mendekat. Ibu guru Cut telah berdiri di ambang pintu sambil mengucapkan salam.

“ Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh, mohon maaf Bapak dan Ibu sekalian “ kata Beliau sambil berjalan masuk, kemudian dilanjutkan dengan :

“ Sesuatu telah terjadi pada bapak Hamid pagi ini. Beliau terserempet Mikrolet, sekarang dirawat di Rumah Sakit. Seseorang telah menyampaikan kabar ini”.

Terdengar suara Ibu Cut berkata cepat dan datar. Mendengar ini aku sangat terkejut. Selanjutnya Ibu Cut meneruskan pembicaraan “ Sebentar lagi Ibu Kepala Sekolah akan datang. Untuk membagikan ijazah dan lainnya. Mari kita tunggu bersama ”. Beliau terdiam, ketika terdengar perlahan suara seseorang mendekat. Kemudian di ambang pintu telah berdiri Ibu Kepala Sekolah sambil mengucapkan salam. “ Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh ”.

Ibu Haryati Sukriyah S.Pd. Sosok wanita paruh baya yang penyabar, berdiri sambil mengembangkan senyum. Aku sangat senang pada Ibu Kepala Sekolah yang baik ini. Perlahan beliau melangkah masuk kemudian berhenti di depan meja guru sambil meletakkan setumpuk kertas-kertas yang agaknya itu adalah ijazah, raport dan surat lainnya.

“ Selamat siang Bapak dan Ibu sekalian hari sudah jam 10.30 dan tentu sudah siang. Maaf kami terlambat, karena baru datang melihat Pak Hamid di Rumah Sakit. Ibu Cut mungkin telah menyampaikan kabar ini. Baiklah Bapak dan Ibu, kita mulai pada acara pokok. Pembagian ijazah ”.

Maka dimulai acara pembagian secara cepat, ringkas dan sederhana. Maka dipanggillah nama murid satu persatu, Abdul Kadir, Andi Aulia, Andi Muhamad.... dan seterusnya... dan seterusnya. Terlihat sekali kecemasan Ibu Kepala Sekolah pada keadaan Pak Hamid. Semua telah menyelesaikan urusan masing-masing. Ayah juga telah menerima ijazah untukku.

“ Kamu lulus, Rul ” kata Ayah lirih seperti berbisik.

Hampir semua kata-katanya terdengar sayup, agaknya Ayah sedang mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Aku mengerti, sudah dua tahun keadaan kami morat-marit, yaitu sejak usaha majikan Ayahku mulai goyang. Bunda berjualan sarapan pagi. Jam dua malam sudah bangun, aku harus membantu Bunda dari jam lima pagi. Jam 06.45 berangkat ke sekolah dan jam satu siang baru sampai di rumah. Sering aku tertidur kelelahan sebelum makan siang. Belajar bersama teman selama 1,5 jam mungkin juga diselingi membuat PR masing-masing. Ical dan Hesty pintar-pintar, mereka saling mengingatkan bila ada yang terlupa juga menjelaskan padaku hal-hal yang belum kupahami. Demikian keadaanku setiap hari sambil diselingi membantu Bunda walau sekedar pergi ke warung untuk membeli sesuatu. Sore sekitar jam empat, aku sudah ada di tempat Bang Oyo berjualan soto sampai jam sembilan malam.

Pulang, sampai di rumah kadang-kadang aku belajar sebentar, tetapi sering aku tertidur karena lelah. Begitulah kehidupanku setiap hari.

“ Sekarang Ayah kerja lagi, Arul pulang saja ya. Nanti kita rundingan di rumah “ tegas Ayahku ketika akan berpisah.

Aku minta izin untuk melihat Pak Hamid, jadi ijazah dibawa Ayah.

Aku menuju ruang Kepala Sekolah, di depan pintu kuucapkan salam : “Assalamualaikum ”, salamku.

“ Wa’alaikumsalam ” sahut seseorang.

Aku bergerak masuk, ketika tiba-tiba Kepala Sekolah menyapaku. “Ada apa Arul ? “.

“ Saya ingin ikut melihat Pak Hamid, Bu” harapku memohon.

“ Nanti kamu tidak diizinkan Satpam masuk, Rul “, jawab beliau.

“ Bisa, Bu ... , ” tiba-tiba seseorang menyela percakapan kami dan kemudian dilanjutkan oleh yang lain yang tak kupahami tujuan perkataannya.

“ Arul ini selalu ingin ikut menjenguk kalau melihat ada orang yang sakit. Sampai-sampai guru melahirkan dia ingin ikut bezuk “ kata suara lainnya itu.

Kulihat Kepala Sekolah berdiri dan mendatangi aku sambil berkata : “ Kita ajak saja Arul ya ibu-ibu, Arul ini memang begitu selalu peduli pada siapapun. Enam tahun dia di sekolah ini, hampir semua kita yang sakit pasti dijenguknya. Kalau besar anak ini akan menjadi orang baik, peduli dan pemurah “.

Kemudian ditimpali oleh guru yang lain “ Orang seperti ini biasanya mudah rejeki, Bu “.

Dan ditimpali pula oleh guru yang lainnya lagi : “ Yang rajin bersilaturahmi tentu rejekinya murah “.

Aku koreksi bahasa Ibu itu di dalam hati : mudah rejeki, bukan rejeki murah.

***

Kami anak yang tinggal di lorong sempit pemukiman kumuh, selalu dalam keterbatasan. Ini membuat kami harus hidup efisien. Dalam hal waktu, kami harus bisa menyelesaikan semua kewajiban dengan cepat agar punya kesempatan lebih banyak untuk belajar. Dalam segi keuangan, kami hampir-hampir tidak punya. Untuk bisa punya, kami harus kreatif mengusahakan sesuatu. Atau membantu orang dalam paruh waktu. Tanpa begitu kami tidak akan punya apa-apa bahkan tidak mungkin bersekolah. Orang tua kami sudah terlalu lelah otaknya, berjuang dalam kehancuran fisik dan mental untuk bisa bertahan hidup. Memikirkan sekolah adalah masalah yang paling belakang atau mungkin malah diabaikan. Seperti Ical, yang membantu Bapaknya memilah-milah koran dan kertas bekas, karena yang kondisinya baik dapat terjual dengan harga dua kali lipat bila dibandingkan dijual di lapak tukang rongsokan. Untuk pekerjaan ini, Ical mendapatkan bagiannya. Aku membantu pedagang nasi makanan malam untuk mendapatkan upah mingguan. Terlalu berat cara kami mendapatkan uang. Jadi tak perlu kami keluarkan untuk hal yang sepele. Dalam menentukan tingkat kepentingan kami yang berbeda, akhirnya membuat tiap- tiap orang dari kami mendapatkan hasil yang tidak sama. Seperti teman lainnya yang banyak di sekeliling rumah kami.

Mereka telah memilih cara hidup seenaknya dan mereka selalu tidak berbuat apa-apa yang berarti, hasilnya pun mereka tidak punya apa-apa. Aku tidak tahu apakah mereka merasa nyaman dengan cara hidup seperti itu.

Persamaan-persamaan yang ada dan perbedaan pola berpikir yang terjadi membuat kami terkelompok dalam persamaan-persamaan itu.

Demikian halnya dengan Aku, Ical, dan Hesty. Awalnya kami terkelompok karena orang tua kami akrab sejak kami masih kecil. Sekarang kami terkelompok karena pandangan yang sama akan pendidikan dan masa depan.

***

Ical diterima di SMP Uggulan! Luar biasa! Ini berita besar bagi lingkungan kami. Anak pemegang kartu GAKIN bisa diterima di sekolah itu ? Sekolah yang pantas cuma bagi anak-anak orang kaya ? Hebat sekali, Anak yang cuma makan raskin bisa ke sekolah Unggulan? Ya itulah bedanya orang yang berprestasi, akan mendapat penghargaan dari lingkungan. Sebuah harta yang tidak bisa dinilai dengan uang. Alangkah senangnya Ical, semua keperluan didapatnya secara cuma-cuma. Bahkan seragam diberi Kepala Sekolah yang baik hati itu. Orang tua Ical hanya diharuskan membuat surat dari RT - RW sampai Kelurahan dan semuanya berjalan dengan mulus. Konon ia akan mendapat sejumlah uang dari sebuah Yayasan. Lurah mengetahui tentang Ical, waktu orang tuanya mengurus surat-surat yang diminta Sekolah Unggulan tersebut. Lurah mengundang Ical dalam suatu acara yang kebetulan diadakan Kelurahan dimana hadir banyak orang. Ada Wakil Walikota, Camat, para pemuka masyarakat dan banyak undangan lainnya.

Dalam kesempatan tersebut, Lurah memperkenalkan Ical kepada yang hadir:

“ Hadirin sekalian, ini Ananda Faizal Ainul Yaqin warga kami. Ananda Faizal lulus dengan nilai sempurna dari SD Negeri dan diterima dengan sangat dihormati di SMP Unggulan. Begitu baik Kepala Sekolah SMP Unggulan ini menerima hingga seluruh keperluan sekolah dari seragam, sepatu dan buku tulis dia dapatkan secara cuma-cuma. Dipinjamkan buku Paket, bahkan dibebaskan dari seluruh biaya“. “Subhanallah “, semua hadirin terperanjat sambil memuji Allah.

“ Ketahuilah hadirin, Ananda Faizal ini dari keluarga miskin, makan nasi raskin, juga pemegang kartu Gakin. Sempurna kemelaratan hidup mereka. Kesehariannya, semua waktu luang digunakan membantu orang tua. Bila ada di antara hadirin yang terketuk perasaan dan berkenan memberi bantuannya, kami sangat mengharapkan. Hadirin sekalian, semoga dengan bantuan kita ala kadarnya dapat meringankan beban mereka. Sebagai modal bagi Ananda Faizal mencapai prestasi-prestasi lain dalam hidupnya. Semoga dengan prestasi-prestasi yang akan dicapainya kelak, dapat melepaskan keluarga mereka dari bawah garis kemiskinan. Insya Allah! ”.

Semua hadirin mengucapkan: “ Amien “.

Lurah kemudian melanjutkan : “ Lihatlah hadirin, mata Ananda Faizal yang menyorot tajam dengan retina yang besar dan hitam berbinar, bercahaya mencerminkan keyakinan menatap masa depan. Tetapi terdapat pada tubuh yang kurus pertanda kurang gizi. Bagaimana mungkin anak sekecil ini dapat berprestasi tanpa dukungan gizi yang memadai. Demikianlah para hadirin, Ananda Faizal akan menemui Anda satu per satu dalam rangka mengumpulkan sumbangan dari Anda seikhlasnya ”.

Ical pun diberi Lurah kardus bekas air mineral dan disuruh mendatangi hadirin satu per satu. Sebelumnya didahului Lurah memberi uang kertas nominal terbesar sebanyak dua lembar. Diiringi musik berjudul lagu ‘Ummi’ yang dinyanyikan oleh Sulis karangan Haddad Alwi. Seluruh hadirin di deretan pertama pun tak mau kalah dari Lurah. Diikuti oleh seluruh hadirin lainnya yang tak mau ketinggalan.

Alhamdulillah mereka berlomba-lomba dalam kebajikan. Setelah Ical selesai mendatangi seluruh hadirin, ia kembali mendatangi Lurah yang sejak tadi terus-menerus memberi semangat supaya penyumbang tergerak hatinya.

“ Bagaimana Ananda Faizal? “.

“ Coba semua uang itu dituang ke meja, dan dihitung berapa dapatnya! “

Dua orang Kelurahan membantu Ical. Ternyata jumlahnya banyak sekali. Wajah Lurah terlihat senang, kemudian Beliau berkata : “ Lihatlah hadirin sekalian, walaupun masing-masing kita hanya memberi sedikit tapi jumlah yang terkumpul sangat luar biasa “.

Semua hadirin terharu. Terutama Ical, ia menangis tak dapat menahan perasaan hatinya. Suasana yang luar biasa mengharukan membuat Wakil Walikota terpanggil naik ke atas panggung. Sambil memegang pundak Ical, Beliau berkata :

“ Ananda Faizal ... “

“ Saya, Pak ” jawab Ical.

“ Apa panggilanmu sehari-hari? “

“ Ical, Pak “.

“ Ya, Ical. Maukah kamu mulai hari ini menjadi anak asuh saya? “

“ ?.?.? “ (Ical bingung).

“ Saya dapat memberi kamu santunan setiap bulan secara tetap sampai kamu tamat SMP. Tapi syaratnya kamu harus tetap berprestasi. Nah bagaimana, Cal? “

“ Mau, Pak “.

“ Ini kartu nama saya, datanglah bersama orang tuamu besok jam 09.00 pagi ke kantor saya “.

“ Baik Pak, terima kasih “.

Wakil Walikota tersebut terhenti sejenak, kemudian berkata :

“Kelihatannya banyak sumbangan terkumpul “.

“ Iya, Pak “.

“ Kira-kira akan digunakan untuk apa uang sebanyak itu? ”

“ Sebagian untuk membuat gerobak Bapak, sebagian lagi untuk tambahan modal dan sisanya akan saya berikan kepada Ibu “.

“ Kira-kira akan dipakai untuk apa oleh Ibumu? “

“ Ibu berjualan kecil-kecilan di pasar, jadi mungkin bisa untuk mengubah dagangan yang lebih menguntungkan “.

Dialog ini terdengar oleh semua hadirin, membuat perasaan mereka semakin terharu melihat anak sekecil itu telah berpikir seperti orang dewasa. Inilah hidup, sebuah pernyataan yang tegas dari nasib yang harus diubah menjadi takdir yang lebih baik. Semua mereka termenung, tetapi juga heran akan pribadi Ical yang tidak terlihat rendah diri dengan keadaannya atau pun lepas kendali karena tersanjung. Sepenuhnya mereka kagum pada kuasa Tuhan atas seorang anak yang terpuruk sempurna dalam kemiskinan tetapi berwajah cerah dengan mata yang menyala bersinar tajam. Terbungkus tubuh yang kurus. Subhanallah, suatu pujian yang sangat baik ditujukan kepada Sang Pencipta. Tak ada yang dapat berbuat begitu sempurna dalam keseimbangan antara kemiskinan dan kecerdasan. Seseorang tertunduk malu pada Ical yang tampak begitu lugu. Tetapi yang lainnya mungkin ada yang iri akan kecerdasan si miskin ini. Ada pula yang melihat wajar, karena dalam hidup ini selalu ada keseimbangan. Seperti di depan puncak yang tinggi selalu diikuti lembah yang dalam, itulah irama hidup bagai mengikuti lukisan alam.

“ Selamat Ical “ doa yang hadir di dalam hati.

“ Selamat Ical, semoga Tuhan menyertaimu “ Wakil Walikota mengucapkan salam.

“ Terima kasih Bapak Walikota ” kata Ical. Ical tidak tahu kalau Bapak itu sebenarnya Wakil Walikota, ucapan Ical bagai sebuah doa yang didengar Sang Pencipta. Karena nantinya ternyata Beliau menjadi Walikota. “ Terima kasih Bapak Camat, Bapak Lurah, dan Bapak-Bapak semuanya yang telah bermurah hati kepada saya “. Kemudian Ical pun dipersilakan pulang diantar oleh Bapak RT 02 RW 011 RBU.

***

Matahari bulan Juli yang panas membuat tubuh berkeringat dan letih. Aku duduk berteduh di teras Mesjid. Angin dari pohon ketapang bertiup segar membelai tubuh, membuat aku mengantuk. Perlahan kurebahkan tubuhku kelantai keramik yang sejuk. Sambil coba memikirkan cara belajar di SMP terbuka, ada satu hal yang benar-benar meringankan. Pakaian seragam cukup satu stel yaitu warna putih biru. Bekas atau baru bukan masalah, jelas tak harus beli di Sekolah. Soal sepatu, terserah apa adanya. Inilah yang sangat meringankan dan sangat mungkin dapat ku jangkau. Secara sederhana belajar di SMP terbuka ini menuntut siswa harus lebih aktif dibandingkan di SMP biasa. Kalau mendapat bimbingan yang cukup dan memadai, secara teori mungkin tak ada masalah. Tetapi secara praktek, bagi murid yang keadaan dalam keluarganya kurang mendukung pasti sulit. Bila secara umum sulit, mestinya ya sulit. Sulit bagiku dan sulit juga bagi semua. Kalaupun terpaksa aku bersekolah di situ, mungkin tidak akan mencapai hasil yang memuaskan. Tapi baru inilah satu-satunya cara yang memungkinkan aku bisa bersekolah. Mencari kemungkinan yang lain pasti ada tetapi karena masalah pokoknya adalah biaya inilah yang membuat sulit mencari jalan keluarnya. Terik matahari sedikit teduh karena tertutup awan, udara menjadi lebih nyaman. Di langit terlihat awan berkejaran susul menyusul membentuk mendung, membuat cuaca menjadi redup lebih bersahabat. Daun-daun kecil pohon angsana terbang mengikuti kendaraan yang lewat. Tukang sate Padang mengipaskan asap wangi yang mengundang selera. Seakan merayu pelanggan supaya cepat datang. Angin bertiup kencang, debu bergulung seperti ombak terbawa angin dari timur. Aku berpikir, aku harus memperbaiki kesalahan ini. Dari pada terus-menerus menyesal nanti. Setidaknya mendatangi Yayasan pendidikan Swasta meminta keringanan supaya aku dapat memenuhi kewajiban standart yang minimal. Sekarang hari Kamis, aku berjanji dengan penjaga sekolah SD untuk menemani seseorang bermain bulu tangkis. Orang tersebut baru sembuh dari sakit. Aku sudah sering menemani orang bermain bulu tangkis, sementara dia menunggu teman mainnya datang. Menurut mereka hitung-hitung untuk pemanasan. Begitu pula yang terjadi hari ini, aku datang dengan raket pemberian orang baik yang kaya. Aku sering menemani orang baik itu bermain bulu tangkis, raketku waktu itu jelek sekali. Pada suatu hari orang itu membeli raket baru, jadilah raket lamanya diberikan untukku. Pasalnya dia perlu teman bermain yang memadai, tentu saja yang raketnya harus baik juga. Jam empat sore aku telah berada di lapangan, mengambil net di tempat biasanya terus kupasangkan pada tiang. Kemudian aku menyapu lapangan yang sering berdebu dan berpasir. Setelah mengerjakan itu semua, aku duduk di bawah pohon jambu. Menikmati udara segar, yang membuat dadaku terasa lapang. Serombongan burung gereja turun ke tanah dari pohon mangga. Mereka berlompatan mencari sesuatu atau juga sekedar membersihkan paruh. Awan yang tadi menebal sekarang kembali cerah seperti cucian ibu-ibu yang bernoda telah dibersihkan dengan pembersih noda. Walaupun cuaca kembali cerah tapi udara tidak sepanas tadi. Tampaknya hawa hujan dari tempat yang jauh telah dibawa angin sampai kesini. Di halaman terlihat seseorang datang dengan pakaian olah raga putih, ia tersenyum kepadaku sambil menyapa.

“ Dik Arul, ya? ”.

“ Benar, Pak ” jawabku.

“ Sudah lama ? Saya yang akan bermain dengan kamu”, dia menjelaskan.

“ Baru, Pak ”

“Berhubung hari sudah sore, kita langsung main saja ya ” kata beliau, setelah meletakkan tasnya sambil menuju ke tengah lapangan.

“ Mari Pak ” jawabku, kuperhatikan tubuhnya yang tinggi atletis. Dengan rambut ikal yang hitam, kumis tipis menghiasi bibir yang kemerahan pada wajah yang putih bersih. Melihat pada bibirnya aku yakin orang ini bukan perokok. Caranya yang ramah mengingatkan pada Pak Hamid guruku di SD. Pak Hamid itu contoh guru teladan yang penuh pengabdian.

“ Siap? ”Aba-aba beliau tanda pertandingan dimulai.

“ Yak ” jawabku menunjukkan kesiapan.

Pukulan pertama beliau jauh ke sudut belakang sebelah kanan, satu pukulan yang sangat bagus pikirku. Aku mengembalikan pukulan tersebut dengan pukulan lurus ke sudut belakang pula. Sehingga beliau terpaksa berlari agar dapat mengembalikan pukulan ini. Dan dengan sebuah pukulan smes yang menukik sangat tajam beliau membalas seranganku sambil melompat. Beruntung aku masih dapat mengangkat bola mengembalikan tepat di depan net, tapi pukulan bola silang beliau membuat aku akhirnya tidak berdaya. Ya memang beliau jauh lebih berpengalaman dari aku.

“ Wah hebat, terus Rul, pemanasannya.” kata beliau bersemangat.

“ Yak Pak ”, aku memberi aba-aba, dan permainan kembali berlangsung sangat seru. Demikianlah permainan pemanasan terus berjalan sangat mengasyikkan, sampai satu saat bola tak dapat kukembalikan. Sewaktu aku mengambil bola, beliau mengajak agar dilanjutkan dengan permainan yang sebenarnya.

“ Pemanasannya cukup, kita lanjutkan permainan yang sebenarnya, Ok ? “

“ Baik, Pak “ jawabku sambil memberi aba-aba tanda mulai melakukan pukulan.

“ Siap? ”

“ O K “ jawab beliau.

Melihat permainan beliau, aku yakin beliau pemain yang tangguh. Aku berpikir harus bermain dengan sungguh-sungguh dengan berusaha mengembalikan seluruh bola-bola sulit. Dan pada saat ada bola yang tidak terlalu sulit kubiarkan seakan tak berdaya mengembalikannya. Ini kebiasaanku untuk menarik simpati lawan bermain yang usianya jauh di atasku. Pengalaman mengajarkan aku cara mencapai kemenangan dalam bentuk yang berbeda. Sebaiknya mereka tidak mudah mengalahkanku tapi aku tak boleh menang. Permainan kami semakin panas, serang-menyerang dengan pukulan-pukulan smes terus berlangsung. Aku berhasil mengembalikan semua bola-bola yang kuanggap sulit sampai akhirnya sebuah pukulan yang menukik tajam mengakhiri perlawananku. Aku kalah tipis pada set pertama dan set terakhir, tapi menang tipis peda set kedua. Yah, pada intinya aku kalah. Dan kelihatan Pak Guru cukup senang, tercermin dari kata-kata beliau selanjutnya:

“ Wah seru banget, asyik juga kamu mainnya, Rul. Sampai saya lupa kalau mainnya sama anak kecil. Kamu sering latihan ya, Rul ? ”

“ Latihannya ya disini, Pak ” jawabku.

“ Istirahat dulu ya Rul, saya baru sembuh dari sakit, jadi nggak boleh terlalu capek.

Kemudian kami duduk berdekatan dan beliau menyodorkan sebotol minuman pengganti ion tubuh dalam kemasan berwarna biru, sambil berkata :

“ Silakan diminum, supaya segar kembali ”

“ Terima kasih, Pak ” jawabku, sambil membuka botol dan meminumnya. Kemudian beliau berkata :

“ Main kamu bagus Rul, hampir semua bola susah dapat kamu kembalikan, bahkan smes yang menukik tajam masih bisa kamu kembalikan ”.

“ Mungkin kebetulan saja Pak, buktinya smes yang terakhir saya gagal ”

“ Itu biasa, kadang-kadang yang gampang saja kita gagal mengembalikannya apa lagi kalau salah langkah atau mati langkah ” kata beliau sambil minum.

“ Apa kamu pernah mengikuti kejuaraan, Rul? ” tanya beliau selanjutnya.

“ Belum pernah, Pak ” jawabku.

“ Oh ya, saya lihat raket kamu bagus ”.

“ Dikasih orang, Pak ”.

“ Orangnya baik ya, Rul ”.

“ Bapak itu sering mengajak saya main, karena beliau beli raket baru jadi yang lama dikasih untuk saya ”.

“ Ini raket mahal lho, Rul ”.

“ Mungkin juga, Pak ”.

“ Iya Rul, bila dibandingkan dengan raket saya ”.

“Sebuah raket pemberian orang, Pak. Yang membuat hati saya bangga, karena pemberian orang, bukan karena raketnya ”.

“ Saya benar-benar puas dengan permainan kamu Rul, saya yang tadinya malas-malasan jadi bersemangat. Selesai istirahat kita coba lagi dua set ya ”.

“ Baik, Pak ”.

“ Kalau main pagi pasti lebih enak, Rul ”.

“ Kalau libur saya mau, Pak ”.

Dari jauh terlihat penjaga sekolah datang membawa teh dalam sebuah teko kaca yang transparan. Aku pahami kebaikan beliau ini. Karena para pemain umumnya memberi tip untuk beliau. Karena itu beliau perlu mendahului berbuat kebaikan. Begitulah cara mereka saling menghormati. Sesampai ditempat kami duduk beliau berkata sambil meletakkan bawaannya :

“ Pak Guru, silakan ala kadarnya ”.

“Eeh, nggak usah repot-repot Pak ” ucap Bapak yang dipanggil sebagai Pak Guru ini berbasa-basi. Selanjutnya mereka terlibat pembicaraan yang kelihatan agak serius. Terlihat dari cara bicara penjaga sekolah yang agak berbisik. Aku tidak suka mendengarkan pembicaraan orang dewasa. Aku hanyut dalam diriku sendiri, sambil memandang ke sekeliling pekarangan sekolah. Kulihat sepasang kupu-kupu kecil berwarna kuning, terbang lincah dari bunga yang satu ke bunga yang lain di pohon asoka merah. Bergerak berirama dalam kepakan sayap yang perlahan, terlihat sangat indah dan cantik sekali. Beberapa capung kuning berputar-putar di atas pohon jambu air yang mulai berbunga. Seekor burung putih bercampur hitam dan abu-abu yang tak kuketahui namanya bertengger di pelepah daun pepaya. Burung-burung kecil yang berterbangan hinggap dan berkejar-kejaran dari ranting ke ranting di pohon Tanjung. Suasana tenang, setenang hatiku yang tak kuketahui sebabnya. Sesungguhnya sepanjang pagi tadi hatiku gelisah karena perasaan engganku pada SMP Terbuka, padahal itulah harapanku, tetapi kenapa itu yang membuat hatiku gelisah. Bukankah kata pepatah tak ada rotan akarpun berguna? Kenapa aku berpikir berbelit-belit begini? Apakah karena aku terlalu kecil sehingga belum dapat membuat keputusan yang tegas? Kupikir tak baik begini, aku harus dewasa, harus berani mengambil keputusan. Suatu keputusan yang tegas dari anak miskin di pemukiman kumuh. Karena memang begitulah biasanya, kami telah tumbuh jauh lebih dewasa dari usia kami yang sebenarnya.Ya, aku pikir hidup ini memang mengambil keputusan, sebuah keputusan untuk kelanjutan hidup. Dan hidup itu penuh perjuangan. Kulihat penjaga sekolah dan Pak Guru terlibat dalam pembicaraan yang mengasyikkan. Aku tidak berusaha mendengar walau jarak kami kurang dari dua meter. Penjaga sekolah tiba-tiba menyapaku :

“ Diminum tehnya, Arul ”.

“ Oh ya, Pak ” jawabku tersadar kalau teh tersebut dari tadi belum ku minum. Perlahan ku ambil dan ku nikmati dengan penuh perasaan, air hangat yang menuruni kerongkongan terasa nyaman dan sangat melegakan. Dari ekor mata terlihat Pak Guru memperhatikanku dalam-dalam. Kemudian berpaling, terus berjalan beberapa langkah dan berhenti. Agaknya ada sesuatu yang mengganggu pikiran beliau, karena terlihat seperti berusaha menenangkan diri. Sesaat kemudian beliau jongkok dan melakukan lompatan sambil berjongkok yang membuat tubuhnya terlihat melenting naik turun dalam posisi tersebut. Angin bertiup lirih membelai jiwa yang gundah. Hati yang resah pada diri anak manusia yang hanyut oleh perasaannya. Angin kembali bertiup, ketika penjaga sekolah pamit pulang ke rumahnya. Pak Guru kembali berdiri tegak dan menggerak-gerakkan tubuhnya, kemudian berkata :

“ Kita lanjut, Rul ”.

“ Baik, Pak ” jawabku.

“ Sekarang main lebih serius, Rul ” pintanya.

“ Serius Pak, dari tadi juga serius ”.

“ Kamu tidak boleh kalah ”.

Aku tak tahu kemana arah pembicaraannya, tapi kujawab :

“ Tidak mungkin saya bisa menang bermain melawan Bapak, baik Pak siap-siap ”.

“ Ya, O K ”.

Aku melakukan pukulan pertama, jatuh ke sudut sebelah kiri di belakang Beliau. Dikembalikan beliau dengan keras ke sudut kanan di belakangku. Pengembalian yang bagus. Permainan pun dilanjutkan dengan sangat cepat, pukulan-pukulan panjang yang keras, pukulan-pukulan di depan net, pukulan silang dan seterusnya dan seterusnya. Persis seperti yang ku duga semula bahwa permainan Pak Guru ini sangat hebat. Tubuh atletis dengan gerakan yang lincah dan gesit melawan anak yang belum punya pengalaman bertanding yang berarti. Bagaimanapun aku pasti kalah, tapi kalahnya harus kalah tipis dan tidak mudah. Pertandingan berjalan cepat dalam dua set. Beliau terlihat lelah walaupun dapat mengalahkanku. Di set pertama aku kalah dua poin dan pada set kedua kalah satu poin. Seperti direncana semula pertandingan yang kedua ini hanya dalam dua set. Beliaupun mengajak berhenti:

“ Cukup Rul, saya capek ” kata Beliau.

“ Baik Pak, Bapak baru sembuh, jadi harus banyak istirahat ”jawabku.

“ Saya capek bener lo Rul, tapi saya senang “, beliau berhenti sebentar.

“ Hari Sabtu kita main lagi, mau Rul ? ”, lanjut Beliau.

“ Saya mau Pak, saya senang. Saya seperti ketemu pelatih yang hebat. Kalau sering Bapak melatih saya seperti ini, saya pasti akan mencapai kemajuan yang pesat ”. Jawabku menyanjung beliau secara halus, karena dalam kenyataannya memang Beliau banyak menunjukkan kelemahanku. Kami duduk sambil membersihkan keringat. Kemudian beliau menyarungkan raketnya dan selanjutnya meringkas tas, bersiap-siap akan pulang. Sambil berkata :

“ Yuk Rul, kita pulang”, ajak Pak Guru.

“ Mari Pak”, sahutku sambil berdiri. Kulihat penjaga sekolah mengambil teko dan cangkir bekas minuman. Kemudian berdiri seakan memberi hormat kepada Pak Guru yang mulai berjalan pulang. Kami melangkah beriringan, beliau meletakkan tangannya melingkari pundakku, sambil bertanya :

“ Pulangnya kemana, Rul ? ”

“ Dekat Pak, di RW 011 ”, jawabku.

“ O, di ujung jalan itu ya “

“ Betul Pak, tapi rumah saya di dalam gang “.

“ Kalau saya rumahnya dekat Rul “, kata beliau bertepatan dengan kami keluar dari halaman sekolah.

” Itu yang berwarna krem, yang ada pohon jambu bol. Gampang Rul ”, kata beliau sambil menunjuk ke sebuah rumah.

“ Ayo Rul, mampir dulu ke rumah saya ”, ajak beliau.

“ Lain kali saja Pak, hampir maghrib ”, kata aku menolak secara halus.

“ Kamu anak baik, Rul ”, kata beliau menjelang berpisah.

” Ya, hati-hati ya ” tambahnya.

“ Selamat Pak, terima kasih ”, sahutku sambil berhenti sejenak menghormati Pak Guru yang sedang berjalan pulang. Tiba-tiba sekuntum bunga bougenville berwarna merah bata jatuh di wajahku. Ku ambil bunga tersebut sambil berkata di dalam hati, ini bahasa alam, sebagai pertanda yang baik. Insya Allah.

Kami telah terpisah, aku berjalan pulang di bawah cahaya jingga matahari senja. Alam damai setenang hatiku yang entah kenapa. Di langit sekawanan camar pulang ke sarang, seakan mengejar awan yang berarak-arak menuju lazuardi khatulistiwa.

***

Hari Sabtu jam empat sore seperti yang telah kami janjikan sebelumnya, aku telah siap di lapangan menunggu kedatangan Pak Guru. Terbayang olehku Mang Oyo yang sedang mengurus anak pertamanya masuk SMP. Kira-kira umur anaknya tentu sama dengan aku. Sudah selama satu minggu ini Mang Oyo pulang ke kampung. Menurut dia pulang kali ini akan lama, karena akan mengurus sekolah anaknya. Dari sikap ini terlihat dia sangat bangga akan anaknya. Biasanya Mang Oyo digantikan oleh adiknya. Tapi adiknya pun sama dengan Mang Oyo akan mengurus anak keduanya masuk SD. Melihat dari gelagat, mereka sama-sama akan menunggu anaknya sampai masuk sekolah. Mereka begitu sayang pada anak-anaknya. Bahkan mereka juga begitu sayang kepadaku, jadi aku tak perlu merasa iri kepada siapapun. Terutama adik Mang Oyo, sering membungkuskan pecel lele untuk kubawa pulang. Karena aku sudah makan, jadi kalau bukan Ayah atau Bunda maka kedua kakakku yang akan menikmatinya. Tapi seandainya merekapun sudah makan maka akan kuberikan kepada Arul atau Hesty. Hal seperti ini memberikan perasaan bahagia tersendiri bagiku. Aku punya Ayah, Bunda dan dua orang kakak. Ada Hesty, Ical dan orang-orang lainnya lagi yang juga baik padaku. Sehingga aku merasa kalau aku adalah salah satu anggota dari satu himpunan di alam ini yang hidup saling terikat dalam kasih dan sayang. Rasanya baru sebentar aku duduk ketika Pak Guru datang dengan senyumannya yang menyenangkan.

“ Selamat sore, Pak ”, sapaku.

“ Sore Arul, kamu selalu tepat waktu ” jawabnya.

” Kita main tiga set saja ”, lanjutnya.

“ Buru-buru ya, Pak ? ”

“ Bukan begitu, saya ingin cerita-cerita sama kamu supaya kita saling mengenal ”.

“ ??? ”. Aku bingung, tapi akhirnya kujawab juga “ Baik, Pak ”.

Kami pun memulai permainan. Sekarang perasaanku lebih tenang, entah kenapa. Padahal belakangan ini perasaanku memang kurang tenang, tapi sejak kenal dengan Pak Guru ini perasaan gelisahku seperti hilang begitu saja. Penampilan beliau secara keseluruhan memang menyenangkan, mungkin ini yang menghilangkan rasa gelisahku. Semua pukulanku dapat dikembalikan beliau dengan baik. Dan pukulan-pukulan beliaupun dapat pula kukembalikan. Aku tidak boleh salah dalam mengontrol bola, karena salah menerima, ataupun salah mengembalikan berarti keuntungan bagi lawan. Disini keistimewaan Pak Guru, kontrol bolanya sangat baik. Aku bertambah yakin kalau beliau benar-benar pemain yang tangguh.

“ Hebat, Rul !!! “, teriak Beliau ketika aku berhasil mengembalikan smes kerasnya diakhir set yang ketiga. Sayang pengembalian bola dariku agak keras, sehingga dapat dipatahkan beliau perlawananku dengan sebuah pukulan yang jatuh tepat ditengah lapangan permainan.

Aku kalah, dan kalah ini bener-benar kalah yang sempurna, walaupun kalah tipis. Napasku memburu pertanda kelelahan yang sebenarnya. Aku benar-benar takluk, karena baru kali ini aku kalah bukan terencana. Bola jatuh tepat di tengah lapangan, aku tidak berdaya, hebat sekali, aku benar-benar kalah.

“ Pengembalian bola smes-nya sangat menawan, kamu hebat Rul ” beliau memuji.

“ Pengembalian yang mudah dipatahkan, Pak ”, selaku.

“ Pengembaliannya benar-benar bagus Rul, sayang pukulannya memang agak kekerasan. Seharusnya pukulannya pelan saja, agar jatuhnya tepat di depan net. Jadi tidak terkejar oleh saya, tapi yah sudahlah, mari kita istirahat ”.jawab beliau sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan memperlihatkan rasa kagumnya.

“ Ini silakan diminum ” kata Beliau, sambil memberikan padaku minuman kemasan botol plastik berwarna ungu. Aku ambil pemberian beliau, kubuka tutupnya, lalu kunikmati dengan penuh perasaan.Keringatku mengucur deras kukeringkan dengan handuk kecil. Angin bertiup lembut, udara segar terasa nyaman mengalir ke seluruh tubuhku. Nikmatnya tubuh yang sehat pikirku.

Penjaga sekolah datang membawa teko transparan berisi teh diatas sebuah nampan hitam dengan dua cangkir, ini memang menjadi kebiasaan beliau. Karena setiap pemain memberi tip untuk beliau, untuk itulah beliau berbuat kebaikan terlebih dahulu. Begitulah cara mereka saling menghormati dalam sebuah etika bergaul. Sesampainya di tempat kami duduk, Penjaga Sekolah menyapa Pak Guru :

“ Pak Guru, silakan ala kadarnya ”.

“ Oh Bapak, nggak usah repot-repot Pak”, sahut Pak Guru berbasa basi.

Selanjutnya Penjaga Sekolah duduk dekat Pak Guru dan kelihatannya mereka sudah sangat akrab. Mereka bercerita tentang banyak hal seakan menyambung pembicaraan sebelumnya yang terputus. Kelihatan keduanya terlibat dalam satu pembicaraan yang sangat menarik. Aku berpikir, mendengarkan percakapan orang tidak sopan, apa lagi percakapan orang yang sudah dewasa. Ku minum teh hangat yang menjadi bagianku, nikmat....melegakan tenggorokan. Saat aku sedang terlena tiba-tiba tersentak oleh teguran Pak Guru :

”Arul, Bapak penjaga Sekolah ini telah banyak bercerita tentang kamu. Saya sangat tertarik dengan cerita ini. Kemarilah, supaya kita dapat bercerita lebih serius”.

“Baik, Pak”, jawabku sambil mendekat.

“Kamu baru tamat SD ya . .Rul ?”

“Benar Pak, tamatan tahun ini”

“Terus SMP-nya dimana?”

“Tadinya saya terdaftar pada nomor urut kedua di SMP Unggulan dua, Pak”.

“Tadinya...kok tadinya, kan sekarang sedang penerimaan murid baru, jadi kamu sebenarnya masih terdaftar disana kan?”

“Benar Pak, karena keadaan orang tua saya yang dalam kesulitan, jadi saya pikir saya mau daftar di SMP Terbuka saja”.

“Di SMP itu kan tidak dipungut bayaran, buku dipinjamkan terus apanya lagi?”

“Baju seragamnya kan banyak Pak, kalau di SMP Terbuka cukup satu stel, nggak perlu baru lagi. Sepatu juga apa yang ada saja, jadi bisa murah Pak, beli loakan saja. Belum yang lain-lain, saya dengar biayanya kalau disana jadinya banyak juga Pak. Saya yakin Orang tua saya pasti tak mampu”. Aku berhenti bercerita, kulihat Pak Guru menarik napas panjang, lalu bertanya :

“Orang tua kamu kerjanya apa, Rul ?”

“Ayah saya bekerja di Perusahaan yang sudah bangkrut, jadi terpaksa Bunda membantu berjualan sarapan pagi”

“Berapa orang saudara kamu ?”

“Kakak saya dua orang, yang satu baru tamat SMK bareng dengan saya, yang satunya baru kelas dua SMK, nah ini semuanya serba tanggung jadi saya harus mengalah supaya kakak yang di kelas dua bisa selesai. Nanti kalau kakak pertama saya sudah bekerja, saya bisa pindah kemana . . begitu Pak”.

“Yang terdaftar dengan nomor urut satu dan dua itu sebenarnya bisa masuk ke SMP Unggulan, karena mereka tidak memilih SMP Unggulan makanya disitu”.

“Betul, Pak”.

“Berarti NEM kamu tinggi, artinya kamu pintar Rul.....begini saja besok hari Minggu jam delapan pagi kamu ajak Ayah kamu ke rumah saya, bawa raport SD kamu”.

“Baik Pak, besok saya ajak Ayah ke rumah Bapak”.

Pak Guru terdiam, aku juga diam sementara ku dengar beliau menghela napas dan kemudian berkata :

“Arul, sebenarnya saya Kepala Sekolah SMP Unggulan dua itu”, lanjut beliau. Mendengar itu aku tersentak kaget bahkan tak sanggup menyembunyikan rasa terkejutku Jadi beliau Kepala Sekolahnya ?. Sekolah yang kusebut-sebut orang seperti aku tak akan sanggup bersekolah disitu ?. Seakan aku menyebut sekolah itu sekolah mahal, seakan ada yang salah. Aku menjadi benar-benar merasa bersalah.

“Oh maafkan saya Pak Guru, saya seperti merasa bersalah telah bercerita terlalu banyak. Tapi saya tak bermaksud menyalahkan siapa-siapa, maafkan saya Pak”.

“Tak apa Arul, kamu telah bercerita tentang nasib kamu, bukan tentang yang lain. Jadi sekarang saya membuat jalan keluar masalah sekolah kamu, tapi kuncinya ada pada Ayah kamu dan kamu sendiri Arul”, kata beliau . Beliau sekarang terlihat sangat berwibawa, aku tertunduk malu, tapi juga senang dan bermacam-macam perasaan lain yang berkecamuk di dalam dadaku. Oh, inilah orang yang akan menjadi penolongku.

“Saya mengerti Pak, terima kasih, Bapak telah berbaik hati pada saya”, jawabku gugup bercampur malu dan perasaan senang.

“Kalau sore, kamu membantu orang berjualan sampai jam sembilan malam ya?”

“Benar Pak”

“Itu kurang bagus Rul, jam begitu kan harusnya belajar”.

“Saya belajarnya siang, bersama dengan dua orang teman dan pagi-pagi sebelum berangkat ke sekolah. Bekerja, supaya dapat biaya bersekolah sama kecukupan gizi Pak. Sudah dua tahun ini saya harus begitu, sejak kelas lima”.

“Hidup kamu berat Rul”

“Ya pak, tapi lebih berat kalau tidak sekolah”.

Pak Guru memandangku dalam-dalam, seakan ingin mengetahui isi hatiku. Aku menunduk dan terdengar suara napas berat Pak Guru. Aku diam, suasana pun hening. Aku sekarang yakin Penjaga Sekolah sedang berusaha menolongku dan Pak Guru ini memang orang yang tepat. Selain orangnya baik, dia pun bisa memberikan jalan keluar. Dua orang yang baik hatinya menolong aku dengan caranya masing-masing. Pantas sejak bertemu Pak Guru ini hatiku terasa lega, ini toh kejadiannya.

“Hari sudah sore mari kita pulang, ingat jangan lupa besok jam delapan pagi” kata beliau. Sekarang beliau terlihat angker, menimbulkan rasa hormat dan takut bagiku.

“Baik Pak”, jawabku.

“Ya, saya duluan”, pamit beliau.

Dan demikianlah pada keesokan harinya tepat jam delapan pagi aku dan Ayah telah berada di rumah Bapak Kepala Sekolah. Beliau menyambut kedatangan kami dengan gembira. Tidak terlihat wajah angker, juga tidak terlihat satu sikap yang seperti minta dihormati. Terlihat sangat wajar sekali, persis seperti pertama aku mengenalnya sebagai teman bermain bulu tangkis. Sungguh orang yang rendah hati

“Bapaknya Arul, senang sekali bisa berkenalan dengan orang tua dari seorang anak yang hidupnya penuh semangat”. Sambut beliau menerima kami dengan tulus. Setelah kami menyalami beliau, kuserahkan Raport SD-ku seperti yang diminta. “Silakan duduk Bapak dan juga Arul” Beliau mempersilakan kami duduk sambil memperhatikan Raportku mulai dari kelas satu sampai dengan kelas enam.

“Raport ini bercerita tentang kecerdasan, kerajinan, disiplin diri dan kepribadian dari Ananda Chairul Arifin Rahman. Bagus sekali, apakah Bapak tidak kepingin kalau Arul bisa bersekolah Pak ?” tanya Bapak Kepala Sekolah.

“Keadaan kami serba sulit Pak dan kami pun harus memilih salah satu, yang mana harus didahulukan. Ini pilihan yang sulit Pak, dalam kebingungan itu Arul tampil memperlihatkan kedewasaannya. Saya malu sama Arul, bahkan kami satu keluarga”.

“Baiklah Bapak Arul, Arul saya terima di sekolah saya dengan beberapa keringanan. Tetapi Bapak sekeluarga harus dapat memberi dukungan supaya Arul dapat belajar dengan baik”, kata Kepala Sekolah dengan serius.

“Baik Pak”, jawab Ayah tertunduk malu.

“‘Ingat Pak, pendidikan Arul adalah infestasi masa depan bagi keluarga Bapak. Jadi baik-baiklah mendidiknya, semoga dia dapat membawa banyak kebaikan”.

“Baik Pak”, jawab Ayah tegas. Kemudian Kepala Sekolah berkata kepadaku :

“Arul, semua ini mulanya dari Bapak penjaga sekolah, berterima kasihlah padanya. Ingat besok kamu mulai bersekolah, pakai seragam SD dan jam tujuh pagi langsung datang ke kantor saya”. Kepala Sekolah menutup pembicaraan bersamaan dengan seorang ibu menghidangkan teh hangat, sambil mempersilakan kami minum.

“Nah kebetulan, silakan diminum”, Pak Guru menawarkan.

“Ya Pak, terima kasih”, ucap Ayah sambil mengambil minuman, aku juga minum.

“Pak guru, saya mengucapkan banyak terima kasih atas bantuannya yang juga sudah merepotkan. Semoga Allah melapangkan kehidupan Pak Guru, sebagaimana Pak Guru telah memberikan kemudahan pada saat kesempitan kami. Sekarang kami mohon pamit berhubung ada keperluan lain di rumah majikan saya.”

“Silakan Bapak Arul, sebagaimana pembicaraan tadi, marilah kita sama-sama membina Arul. Semoga dia dapat mencapai apa yang jadi cita-citanya”.

“Mari Pak Guru”, ucap Ayah sambil menyalami Bapak Kepala Sekolah, aku juga menyalami. Dan kami pamit sambil mengucapkan salam : ”Assalamualaikum”.

“Wa’alaikumsalam”, jawab Kepala Sekolah.

Kami melangkah ke halaman yang terlihat sangat rapi dan bersih. Beberapa tanaman Gelombang Cinta terawat baik dalam pot yang besar. Bunga Adenium pink dengan pinggiran merah tersusun acak di sekitar Pachypodium yang sudah besar. Berdampingan dengan Oleander yang berbunga lebat. Aku terpesona melihat taman mungil yang begini indah. Pak Guru rupanya memperhatikan gerak-gerikku. Beliau tersenyum bercampur senang dengan pujian yang sangat alamiah ini.

“Yang mana yang bagus, Rul ?”, tanya beliau.

“Yang ini Pak, Pachypodium”, jawabku, tetapi reaksi Beliau cukup mengagetkan.

“Kamu tau Rul, kalau yang gede itu apa ?”

“Yang gede ini Gelombang Cinta Pak”

“Kalau yang paling gede itu ?”

“Katanya kalau begini Jenmanii sisik naga Pak”.

“Lho kamu belajar dari mana, Rul?”

“Saya sering membantu tukang tanaman hias, kalau tanamannya datang Pak”.

“Kamu banyak belajar dalam hidup Rul, bagus”, beliau mengiringi kami sampai di pintu pagar, kami kembali mengucapkan salam kemudian melangkah perlahan.

Aku dan Ayah beriringan jalan, masing-masing kami dengan perasaan sendiri-sendiri. Aku dengan perasaan gembiraku yang hampir tak sanggup kutahan. Ingin rasanya cepat-cepat sampai di rumah, supaya bisa kutumpahkan seluruh perasaan ini agar dadaku tak meledak. Aku melangkah, Ayah melangkah dan tanpa kusadari langkah kami semakin lama semakin cepat. Serasa melayang, bagaikan terbang akhirnya sampai juga aku di rumah. Kakak pertamaku yang sedang berada di halaman heran melihat kami yang terlihat aneh dalam pandangannya :

“Bagaimana hasilnya, Rul ?” ia bertanya, bagai tak bisa menahan perasaan ku jawab:

“Diterima Kak” agak berteriak. Ainun Mardiah Rahman, kakakku yang lain keluar dari kamar sambil berlari dan berteriak kecil : ”Apa a a ?”

“Arul diterima”, jawab Ayah. Kakak pertamaku datang mengejar kami. Ia disambut Kak Ainun dalam pelukan sambil berteriak kecil :”Arul sekolah kak”.

“Iya Ainun, Alhamdulillah”, mereka berpelukan sambil menangis. Ketika tiba-tiba Bunda datang dari dapur setengah berlari terus berhenti dan terduduk dekat pintu kamar. Air matanya berlinang, napas memburu kencang, kemudian berkata :

“ A r u u u l l . . . . . nasibmu n a a a k k”, suara Bunda tersendat menahan haru.

“Y a a B u n d a “. Jawabku, seketika serasa tumpah semua perasaan yang ada di dalam dada, keluar mencair dalam bentuk tangis yang belum pernah terjadi. Ayah duduk sambil memeluk pundakku, Bunda terduduk lemas di lantai berlinang air mata. Sedang Kak Ainun lunglai dalam pelukan Kakak. Semua kami terdiam dengan tangis, berlinang air mata, tenggelam dalam keharuan yang sangat dalam. Ketika Hesty masuk dengan tiba-tiba, dia berdiri tertegun mermperhatikan kami satu-persatu, keningnya berkerut penuh tanya. Kemudian berkata :

“Arul kenapa Bunda ?”

“Arul diterima di SMP Unggulan kedua, Hesty”, jawab Bunda lemah. Tubuh Hesty terlihat menegang, tatapan matanya menyorot tajam, kemudian ia pun berlari ke arahku sambil bertanya :

“Betul, Rul”, seakan tak percaya dengan pendengarannya.

“Betul, Hesty”, jawabku pelan. Dipeluknya aku kuat-kuat dan diciumnya pipiku dengan lembut sampai kurasakan air matanya membasahi wajahku. Lalu ia berbisik

“ Berterima kasihlah kepada Tuhan A r u u u l l “.

1st chapter by Robert Armaydi

No comments: