Wednesday, June 11, 2008

SOCK CANTIK LOE…!!!

Masalah idung pesek nomor dua

Di dunia ini hanya satu orang yang tidak pernah menyerah untuk mendapatkan cinta sejatinya selain pat kai, Eman Suherman. Lelaki yang tidak ingusan lagi, dengan wajah yang cukup sederhana dan standar. Tidak ada satu pun makhluk yang bernama wanita yang kuliah di jurusan Biologi yang tidak mengenal Eman. Nama Eman sudah melalang-buana ke jurusan-jurusan lain bahkan sudah tingkat universitas.

Para dosen maupun pegawai kampus tidak mampu mencegah menyebarnya virus anti rusuh ini. Mereka sudah berapa kali menentang Eman untuk tidak mempromosikan tampangnya yang kacrut itu kepada wanita terutama mahasiswi baru. Mereka sudah bilang ke Eman kalau itu semua adalah hal yang sia-sia. Terlalu memaksa dan sedikit merusak norma-norma asusila.

Eman protes, “Gak bisa gitu dong, pak. Kita ini bangsa yang demokratis. Sesuai dengan pasal 34 kalau tiap warga punya hak untuk mengeluarkan suaranya.”

“Man pasal 34 itu tentang fakir miskin dan anak terlantar di perlihara oleh negara. Pasal 28 yang tentang hak penduduk diperbolehkan berpendapat.”

“Hmm... Bener juga! Ternyata bapak ini cerdas juga.“ puji Eman

“Terima kasih atas pujiannya. Tapi cukup satu kali ini aja kamu memberikan bapak pujian.”

“Lho memangnya kenapa Pak?”

“Soalnya kuping bapak jadi panas ngedernya. Jantung bapak aja sampai ngos-ngosan.”

“Wah pujian saya luar biasa dasyatnya ya pak” Kata Eman dengan bangganya.

“Bukan itu Man masalahnya.”

“Masalahnya apa Pak?” tanya Eman bingung

“Masalahnya kamu yang bilang. Mahasiswa yang berpredikat lulus tanpa sertifikat dan gelar.”

“Lho kok gitu sih?”

“De Eman sadar sekarang sudah semester berapa?”

“Semester dua.”

“Itu untuk mahasiswa baru. Kalau untuk de Eman semester berapa?”

“Hmm... Semester enam.”

“De Eman yakin?”

“Semester delapan?” jawab Eman dengan nada diayunkan.

“Sumpah demi Tuhan?” balas pak Dosen tidak mau kalah.

“Semester sepuluh?”

“Gak nyesel?”

“Kalau gitu... Semester dua belas aja deh!” kita Eman mantap

“Bukannya lebih!”

“Wah... Kalau gitu bapak aja deh yang nentuin. Habis dari tadi kayaknya salah terus.”

“Kamu tuh sekarang semester dua...”

“Bisa kita kembali ke topik awal kita.” Potong Eman “Tapi berhubung bapak sebentar lagi mau ngajar, dengan terpaksa dan berat hati, saya akan menerima saran dari bapak tadi. Tidak melakukan kelakuan nakal saya dengan menyebarkan nama saya di kalangan para cewek-cewek yang ada di sekitar kampus in―eh, maaf di sekitar universitas ini. Begitu kan Pak?”

“...” pak Dosen menahan marahnya sambil mengelus dada.

“Kalau gitu saya permisi dulu, pak. Permisi...”

Ketika Eman sudah jauh, pak dosen berkata, “Tunggu giliran saya nanti, ya de Eman.”
*****
Sama halnya seperti seorang striker yang butuh tandem untuk bisa membobol gawang lawan, Eman mempunyai teman tandem yang memiliki nasib yang tidak beda jauh dengan dirinya. Namanya Joyo Hadingingrat. Lelaki yang memiliki lemak sedikit lebih banyak dari pada Eman yang memiliki berat hanya empat puluh dua kilogram (Hmm... Bener gak ya??). Dan satu hal yang membedakan antara Joyo dan Eman adalah Joyo lebih muda satu tahun daripada Eman. Joyo yang beberapa tahun yang lalu memanggil Eman penuh hormat dan penuh kesopanan dengan panggilan “Mas” sebelum nama Eman, sekarang justru terliat seperti saudara semati yang kemungkinan punya masa depan suram.

Pola permainan Joyo dalam mengejar cewek sangat berbeda dengan Eman yang cenderung frontal dan gegabah ditambah nafsu. Strategi yang biasa digunakan Joyo biasanya kasual, kalem, tepat sasaran, plus nafsu(satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari sisi kemanusian seorang pria dalam mengejar wanita).

Makanya tidak jarang Eman selalu iri terhadap Joyo. Joyo yang memiliki nasib sama dengan dirinya dalam masalah akedemik tapi beda untuk urusan cewek.

Selama debutnya sebagai anak buah Irwansyah, pecinta wanita, Joyo berhasil mengalahkan Eman dengan skor 5-0.

“Apa yang salah ya Yo dari gue?” Eman mulai curhat.

“...”

“Hidup gue penuh dengan kesederhanaan. Jiwa gue penuh dengan gairah anak muda. Hatiku gue penuh dengan kesucian cinta. Muka gue ...”

“Standar kayak gue apem!” potong Joyo “Haha...”

Eman pasang muka jutek, “Sama temen diri jangan ngomong gitu dong.”

“Hehe... Sory Man. Terpaksa! Habis mau gimana lagi, masa gue harus memaksa diri gue sendiri untuk melakukan hal keji bilang kalau loe itu seganteng Ari Wibowo. Gak sesuai sama etika jurnalistik Man.”

“Terserah deh loe mo ngomong apa. Sekarang bisa gak bantuin gue buat dapetin cewek.” Eman melunak.

“Gimana ya Man? Kalau untuk orang yang se-standar loe ini...menurut gue susah untuk dapet yang high.”

“Terus dapetnya kayak siapa?”

“Kalau dalam dunia pertelevisian, yang paling cocok, udah mentok, dan paten, elo itu harus memilih yang setingkat sama Omas, mpok Ati atau mungkin yang lebih besar lagi Atun kalau enggak kaya...siapa tuh yang suka jadi presenter.”

“Okky!!” jawab Eman melengking.

“Nah iya, sama dia loe punya kecocokan dalam genetika kayaknya.”

~Pletak!!~

“Itu sama aja loe udah nganterin gue ke neraka sebelum waktunya.”

“Haha...Habis mau gimana lagi?!” kata Joyo sambil mengusap kepalanya. “Kalau memang gak dapet yang setingakt Cinta Laura, Dian Sastro, Titi Kamal mau gak mau loe harus nurunin standar pemilihan dong.”

“Sory boy, ternyata prinsip kita memang beda!” ucap Eman sambil mengarahkan telapak tangannya ke Joyo.

“...” Joyo mengerutkan dahinya

“Jujur dalam hati gue yang paling dalem, sekarang bukan masalah mukanya yang cantik, senyumnya yang manis, kulitnya yang putih. Semua itu nomor sekian. Tapi cinta Yo...” kata Eman sambil meranggul dan menunjuk dada Joyo. “Cinta loe dari hati yang harus loe tunjukkan dan tersampaikan ke wanita yang loe cintai.” Tambah Eman penuh dramatis.

“Orangnya belum pernah dapet cewek omongnya emang beda.”

“Itu masalahnya, Bro!” Eman melepaskan rangkulannya. “Kalau gue udah dapet satu aja cewek, baru kriteria cantik, manis jadi nomor satu. Sekarang gue hanya bisa pasrah dan menunggu wanita yang melihat cinta dari hati gue yang tulus dan suci.”

“Mas, mas, Khalil Gibran ya?” tanya Joyo sambil mencolek pundak Eman.

“Bukan. Gue mbahnya Kahlil Gibran.” Balas Eman datar.

“Ooh...”

Hari itu Eman hanya bisa memandang matahari sore dengan muka yang ngenes, pasrah, tak berdaya. Andai saja ada tali di tangannya, mungkin Eman sudah nyolong ayambuat pelampiasan kekesalannya.

Derita cinta tidak akan pernah berakhir, Eman membatin.
****
1st Chapter by Latif Darmawan

1 comment:

pradnaspot said...

Thanks, dah komen di 1st chapter:Match Point!

Ditunggu juga kelanjutannya, walo sampe match point!