Day-Dream-ing
Tinuninut.. tereretoreet…
Huh, alarm berisik. Mataku menyipit mencoba melihat jam. 04.30. Aku berjalan malas menuju kamar mandi, mengambil wudhu. Kulihat ketiga adikku—yang selalu berisik disaat bangun maupun tidur—terlihat masih menutup rapat matanya. Setelah shalat, aku mengambil handuk dan turun ke bawah untuk mandi. Aku lebih suka mandi di bawah karena ada pancurannya.
Yang kedua bangun setelah aku adalah mamaku. Beliau mengisi air di teko kemudian merebusnya, dan mulai menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan dan makan siang adik-adikku (aku berangkat terlalu pagi jadi aku jarang membawa makan siang). Dan, seperti biasa selalu berkata, “Tolong matiin kompornya, mbak,”
Aku mengangguk dan mematikan kompor itu, tentunya setelah aku selesai berpakaian. Setelah itu aku membuat teh, sarapan, minum satu kapsul scott emulsion, memakai ikat pinggang dan kaos kaki, dan siap berangkat. Pada waktu yang bersamaan adik-adikku dan papaku baru beranjak dari tempat tidurnya.
“Mekum,” kataku dari balik pagar setelah salim.
“Kum salam.”
Kalau mengikuti saran Anlene, berjalan sepuluh ribu langkah sudah kujalani sejak masih SMP. Jarak dari rumah ke jalan raya untuk naik angkot terbilang cukup jauh. Makanya, jangan heran kalau langkahku sepanjang langkah anak cowok.
Biasanya, sepanjang perjalanan aku memikirkan apa yang akan diberikan hari ini untukku, maksudku apa yang akan terjadi setelah ini di sekolah nanti. Tapi, ya ampun.. memikirkannya saja kadang membuatku sakit perut. Kau tahu kan, pelajaran SMA—walaupun sering diceritakan kalau masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan—tapi bagi murid baru mungkin tidak. Jadi, setiap aku mulai berpikir tentang sekolah aku langsung membelokkan jalur pikiranku ke hal-hal yang menyenangkan (baca: khayalan). Misalnya, membayangkan kemenangan Liverpool (I’m truly Liverpudlian), membayangkan pangeran berkuda putih perak menculikku dan membawaku ke Far-Far Away Country, dan hal-hal semacam itu. Tapi, pasti semua khayalanku itu berhubungan dengan satu kata: INGGRIS.
Aku sudah bilang kan, kalau aku Liverpudlian—penggemar fanatik Liverpool FC. Dan kamu tahu kan artinya? Liverpool berada di Inggris jadi aku juga membayangkan tentang Inggris. Cerita pangeran berkuda putih juga dibuat oleh pengarang Inggris, entah J.K.Rowling atau siapalah aku lupa. Intinya, aku ingin sekali ke Inggris.
Dan satu hal lagi yang masih berhubungan dengan yang tadi, kapten Liverpool FC yang bermarkas di Inggris dan tinggal di Merseyside, Liverpool, Inggris a.k.a. STEVEN GERRARD adalah cinta pada pandangan pertamaku (silakan tertawa, aku ikhlas kok). Yah, sangat mustahil memang untuk menjadi kekasihnya, karena ia sudah memiliki 2 anak dan Alex Curran, istrinya (yang wajahnya mirip aku dengan rambut pirang). Dialah 5 prioritas teratas alasanku dari ratusan alasan mengapa aku ingin sekali menetap dan bersekolah disana—tidak hanya pergi ke sana saja.
Mungkin alasannya hampir mirip dengan sahabatku Tasya, yang ingin bertemu si Harry-Potter-Bocah-Berbulu-Dada (bercanda ding) itu. Well, sebenarnya aku tidak boleh mengucapkan kata tadi karena katanya malah terdengar seperti tukang kain yang di India, bukan Daniel Radcliffe. Toh, Tasya nggak tahu ini. Atau seperti V alias Ventin yang ingin bertemu band kesayangannya, Arctic Monkeys.
Kembali ke topik, menurutku jalan hidupku akan sangat bagus kalau di Inggris. Aku sangat ingin kuliah di Oxford. Dari namanya saja sudah bagus. OXFORD. Bagus kan?
Lalu aku pergi ke sekolah dengan trem, bukan angkot. Eh, bukan, dengan mobil Bentley milik pacarku yang seorang pemain sepakbola. Aku adalah WAG (Wives and girlfriends, sebutan untuk para cewek dan istrinya pemain bola). Lalu kami menikah. Dan aku bisa terus mampir ke Anfield, stadion Liverpool melihat pacar/suamiku bertanding, dan juga Gerrard.
Tiba-tiba lagu Khayalan Tingkat Tinggi berputar di kepalaku, membuatku terhempas kembali ke dunia nyata, duduk di bangku paling pojok di angkutan kota bernomor 02. Yah, apa salahnya sih sedikit lebih lama mengkhayal? Lalu aku tersadar aku sudah berada di tempat tujuan.
“Kiri, bang!” seruku, membuat semua penumpang menoleh ke arahku. Memangnya ketahuan ya kalau aku habis mengkhayal? Atau suaraku yang terlalu besar?
Sampai di sekolah, di kelas 10.1, seorang temanku memanggil.
“Risa...”
* * *
Seperti biasa, yang kulakukan pertama kali saat masuk kelas adalah menonton berita olahraga di TV. Inilah untungnya masuk di kelas unggulan, fasilitasnya lengkap dan sepertinya guru-guru tidak begitu peduli bila kau menyalahgunakannya.
Dan seperti biasa pula, yang pertama kali datang lalu menyalakan TV itu adalah Adi, teman-serong-bangku-ku. Pasti ia datang dengan mengenakan jaket biru tua bergaris di lengan bertuliskan ‘karate’, melepasnya kemudian menaruhnya di loker, dan duduk di bangkunya yang kebetulan bangku paling depan. Tampak wajahnya serius menyaksikan setiap berita yang muncul.
Aku sendiri was-was menunggu berita tentang hasil pertandingan Liverpool melawan Manchester United kemarin malam yang SAMA SEKALI tidak ditayangkan di stasiun televisi gratis. Masa awal SMA-ku sempat tidak bergairah karena hal itu.
Aku menanti penuh harap. Dia juga. Pokoknya di kelas hanya aku dan dia yang begitu serius mengikuti perkembangan sepakbola. Satu kelas tahu kalau aku penggemar Liverpool dan Gerrard sejati.
Sesuatu terasa tidak mengenakkan disini. Dan, benar saja.
“Yess!! MU menang!”
Sial.
“Lihat nih, Tevez menggiring bola melewati Reina dan, Gol!”
Supersial.
“Wahaha.. Anfield sudah nggak angker lagi!”
Megasial.
Kemudian datang beberapa anak cowok yang ternyata United Mania dan ikut menimpali Adi.
“Liverpool kalah ya? Hahah.. payah!”
SELAMAT! ANDA TELAH MEMENANGKAN PAKET BOMBASIAL DARI PT. ADI NDESO NUGROHO!!!
Pengumuman itu berteriak di otakku. Rasanya aku ingin menyetrika semua anak cowok ini!
“Sabar ya, Risa.. sabar ajjjaaa..!!!!”aku melotot ke arah mereka, terutama Adi. Mereka hanya cekikikan.
Ya tuhan, bawa aku ke Anfield sekarang juga!
Seketika pagi itu terasa asing buatku. Temanku, Tari, yang penggemar Arsenal malah ikut menimpali.
“Liverpool kalah ya? Wakakakak…”kurasa dia tidak memperhatikan mukaku yang sudah masam kuning-hijau ini. Awas saja sampai aku benar-benar pergi ke Inggris.
Selepas ujian semester kemarin, topik pembicaraan yang paling hangat adalah penjurusan. Bagaimana hasil ujian nanti, apakah bisa masuk ke IPA, atau malah masuk IPS, nada-nada cemas dan menyerah dan semacamnya. Jelas saja, aku masuk kelas unggulan atau populer dengan sebutan RSBI—Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (jangan lupakan kata ‘Rintisan’. Ini hanya permulaan tapi guru-guru merasa sekolah ini berada setengah di Inggris, cukup membuatku muak. Pengistimewaan memang memakan korban meskipun aku kepingin banget masuk situ.). Disini, matapelajaran yang paling diutamakan adalah MIPA. Kelas ini mempunyai bahasa kedua, yaitu Bahasa Inggris. Percakapan antar guru dan murid RSBI menggunakan bilingual Inggris-Indonesia.
Sebenarnya, aku tidak terlalu peduli dengan guru yang mengajarnya tidak enak, atau bagaimana. Kalau tidak mengerti, aku lebih sering membaca sendiri saat waktu senggang, dengan pemikiranku sendiri; atau bertanya pada teman karena penjelasannya lebih mudah dimengerti. Lagipula, aku ingin masuk ke kelas ini karena sehari-hari memakai bahasa Inggris. Bukannya aku sombong—aku sangat suka English dan England dan sangat membutuhkan bahasa itu saat aku bertemu Gerrard. Yah, walaupun di depan Gerrard nanti aku tidak yakin sepenuhnya akan berbicara Bahasa Inggris. Saking groginya, mungkin aku akan bicara bahasa planet.
Di RSBI ini (menyebutkannya kadang membuatku ingin muntah, benar-benar tampak diskriminan, ya kan?) juga karena aku ingin masuk ke IPA dan memang diarahkan ke IPA. “Percuma saja masuk RSBI mahal-mahal tapi tidak masuk IPA,” kata ayahku. Kalau menurutku sih, percuma saja masuk RSBI kalau tidak jadi ke Inggris.
Sekarang, setelah libur panjang yang sering ditanyakan tidak hanya liburan, tapi juga pelajaran yang makin susah. Aku dengar dari teman masa kecilku, Nia, katanya Fisika dan Kimia semester dua sangat susah. Entah dia tahu dari mana.
Setelah insiden muka masam itu, kami—aku, temanku Erlin, Meyli dan Tino (Nama aslinya Tryatno, kadang-kadang suka dipanggil ‘Tray’)—membicarakan tentang kedua hal tadi. Mungkin ini bisa membuatku sedikit baikan setelah holy shock tadi. Bukan apa-apa, kalau Liverpool kalah rasanya aku kehilangan setengah energiku. Dan juga peringkatnya yang merosot menjauhkannya dari trofi Liga Primer, yang membuat keadaanku lebih parah. Parah secara fisik (kantong mata dan wajah kusut) dan kiasan.
“Liburan gimana?” tanya Erlin.
“Ngebosenin,” jawab Tino.
Tak lama kemudian. Mereka malah berganti topik menjadi ‘Tentang Kesehatan Pak Harto’ saking bosannya dengan liburan dan pelajaran. Tino bilang Pak Harto harus diadili, bagaimanpun juga dia pernah korupsi. Tapi menurut aku dan Meli, kasihan kalau masih sakit terus saja diberi tekanan batin.
Pembicaraan berubah haluan ke pemanasan global. Aku bertanya tentang G8 ke Tino, karena yang kutahu hanya G14, kuartal sepakbola yang terus berselisih dengan FIFA dan UEFA (aku hapal kan?).
Kata Tino, G8 adalah perkumpulan 8 Negara Besar di dunia, tapi jawabannya tidak memuaskanku. Lalu kuputuskan untuk menanyakan hal itu kepada Putra, si jenius 10.1. Tapi, kuurungkan niatku karena ternyata dia sedang serius belajar kimia. Padahal, haloo.. gurunya saja tidak ada di depan kelas. Mungkin sibuk menyambut kepala sekolah baru, atau terkena sindrom hari pertama sekolah. Dasar anak rajin.
Disebelahnya, kulihat Adi jga ikut belajar bersamanya. Mereka memang bersahabat. Mukanya yang sangat sawo matang dengan bintik-bintik di pipinya—bukan bintik seperti orang bule, tapi bekas jerawat—lalu alisnya yang tebal melengkung tanda berpikir. Mukanya sangat jawa. Jelas, nama tengahnya kini ‘Ndeso’, bukan lagi ‘Satrio’.
Kalau melihatnya, rasanya diriku sendiri hampir tak percaya kalau aku pernah, err.. mengaguminya. Mungkin dia memang pantas dikagumi, selain karena postur tubuhnya yang sangat enak dibuat model untuk sebuah gambar (aku suka sekali menggambar) seperti di manga, semangatnya tinggi dan pantang menyerah, dan yang terpenting, jago bola. Kalau dilihat-lihat rambutnya sedikit mirip Gerrard.
Namun sebenarnya, aku sedikit iba dengannya. Meskipun semangatnya menjunjung sampai ke langit, kemampuan dia tidak lebih tinggi dari pohon toge (tahu maksudnya kan?) walaupun aku sendiri tidak pintar-pintar amat, hehe. Bu Syafnah, wali kelasku pernah bilang kepada orang tuanya selagi mengambil raport (aku tahu dari mamaku), “Adi itu semangat tinggi, tapi sayang, kemampuannya kurang,” kurang lebih seperti itu.
Yah, mungkin aku lemah terhadap cowok-cowok yang punya semangat tinggi seperti Gerrard dan Jamie Carragher. Mereka tidak cakep-cakep amat, tapi pantang menyerah luar biasa dan determinasinya tinggi. Aku sendiri kurang tahu juga apa yang dimaksud dengan determinasi itu, tapi kedengarannya hebat seperti superhero.
Cerita berubah ke scene sepulang sekolah. (Lagi-lagi) dengan angkot, aku harus merasakan dampak dari pemanasan global secara langsung. Hari ini sangat puannass, sungguh! Aku jadi nggak bisa membayangkan bagaimana keadaan bumi 5 tahun mendatang tanpa usaha mencegah Global Warming ‘bertamu’. Mungkin manusia akan pindah ke Mars.
Kali ini aku pulang sekolah sendiri. Biasanya aku pulang dengan beberapa temanku yang searah, kira-kira ada tiga sampai lima orang. Tapi mereka ada yang ikut ekskul atau sudah pulang duluan. Jadilah aku berjalan sendiri, menikmati rasanya ‘dibakar’ ultra violet.
* * *
Kisah hidupku kuakui biasa saja. Mungkin karena itulah aku punya banyak harapan. Yang terbesar, masuk surga. Yang sangat disukai, pergi ke Inggris. Yang harus terwujud dalam jangka pendek, masuk kelas IPA.
Ngomong-ngomong soal harapan, aku sudah berharap akan pergi ke Inggris semenjak SMP kelas 2. Bersama Tasya dan Ventin, kami membuat janji ‘sarkastis’ (menurut banyak orang yang sirik), akan bertemu dan reunian di Big Ben. Ya, kuakui lagi, mungkin memang terdengar sarkastis, atau malah konyol. Mana ada reunian di Gedung Parlemen? Makanya, setelah tergabung secara resmi dan tidak resmi menjadi Liverpudlian, kami putuskan untuk reunian di Anfield saja.
Aku masih ingat banget waktu itu, kami sedang berkumpul di kelas.
“Eh, kalau kita kuliah, kita janjian di Inggris yuk!” celetukku.
“Iya!” sahut Tasya sangat bersemangat. “Kita kuliah di Oxford aja!” ia berkata seolah kami sudah punya pilihan untuk berkuliah.
“Iya! Terus kita ketemu, habis itu kita semua pada bilang, ‘eh, kalian masuk sini juga? Jurusan apa?’ blablabla..” dan kami terus mencerocos dan berceloteh sampai tertawa dan orang yang ada di seberang kami menggeleng heran.
Setelah agak tenang, Ventin meneruskan kembali. “Terus kita dijemput sama cowok-cowok kita..” tangannya mengepal dan diatruhnya di bawah dagu.
“Entar aku sama Daniel!” teriak Tasya.
“Ah, elo mah Daniel mulu. Bosen gua. Kayak lo bakal ketemu dia aja.” Seorang anak cowok mengomentari Tasya dengan spontan. Siapa lagi kalau bukan si alien Abi, teman SMP-ku yang paling ‘nggak jelas’.
Dan, dalam sepersekian detik Tasya pun bereaksi. “Eh, kalo ngomong jangan sembarangan ya! Gue buktiin kalo gue bisa ke Inggris!”
Memang nggak mustahil kalau kita semua bisa pergi ke Inggris. Aku percaya keajaiban, karena aku sendiri pernah melihat dan mengalaminya. Hanya saja terlalu banyak orang yang realistis di sekeliling kami, jadinya mereka hanya percaya menjalani hidup yang let it flow, bukan practice makes perfect.
Oya, waktu kelas 3, saat kami sedang candu-candunya pada Steven Gerrard dkk, aku menanyakan hal reunian itu lagi.
“Kita jadi nih reunian di Big Ben?”
“Di Anfield aja deh, biar bisa ketemu Gerrard,” jawab Ventin.
“Iya, fa. Konyol ah kayaknya kalo di Big Ben,”
Dan, begitulah ceritanya.
Tapi mimpi hanyalah omong kosong dengan O gendut kalau tidak segera direalisasikan. Itu dia masalahnya. Aku sudah menanyakan kepada beberapa orang tentang hal ini dan meminta mereka untuk membantuku (syukurlah semuanya baik. Semoga mereka mendapat pahala yang banyak). Ya, setidaknya itu bisa dikatakan usaha, kan? Hasil perburuan itu lumayan banyak, mulai dari beasiswa bachelor di beberapa universitas, menjadi sukarelawan atau ikut undian berhadiah jalan-jalan keliling eropa. Yang terakhir sebaiknya dihapus karena peluangnya 0,023 persen dibanding beasiswa yang meraihnya menggunakan otak. Namun satu yang membuatku penasaran adalah kemarin guru bahasa Inggris-ku, Miss Mona (sebenarnya Mrs.) yang sangat amat pengertian memanggilku untuk menemui beliau besok di kantornya, mengenai cita-citaku yang hampir menyentuh langit itu. Aku sendiri tidak tahu dan sedikit sulit untuk membayangkan apa yang akan dikatakan beliau nanti.
Jadi, sudah ya. Aku agak malas menceritakan usahaku untuk bisa masuk ke IPA. Karena bagiku yang lebih penting adalah pergi ke Inggris.
Malam sudah menyapa, memberitahuku untuk segera tidur agar aku bisa bangun jam setengah tiga untuk menonton pertandingan live Liverpool.
1st Chapter by Ifa Ambarita Inziati
3 comments:
lanjut coyyyy
seruu .
tapi kecewa gg full ceritanya .
-wajar laahh orang cuma satu bab-
ditunggu kelanjutannya yy !
Dear Past Me,
terima kasih sudah menulis ini. dengannya, saya jadi mengerti bagaimana kamu sesungguhnya--atau bisa dibilang, bagaimana saya dulu.
banyak yang harus diedit, terutama penggunaan spasi dan tanda baca. saya anggap itu wajar. tapi ada satu hal yang menarik untuk kamu ketahui.
saya baru tahu ternyata kamu sekejam, selemah, dan senaif itu. maaf, tapi itulah yang saya tangkap dari tulisan kamu ini. saya juga sadar betapa pengaruhnya begitu besar kepadamu, sehingga tulisan macam ini berhenti dan tidak ditemukan lagi setahun kemudian. bahkan sampai sekarang.
terlepas dari masalah pribadi, saya tidak tahu poin dari cerita ini apa. mungkinkah hanya curhatan? atau pelampiasan? semuanya berputar-putar dan monoton, tapi saya mengerti mengapa kamu melakukan ini. tenang saja.
oh, ya, berterimakasihlah kepada Mentari, teman setiamu yang kini sudah menjejakkan kakinya di Eropa, yang terus percaya padamu. baik, saya yang akan mengatakannya nanti.
dan sekali lagi, terima kasih atas semangatnya yang menjadi pengingat saya sekarang.
(maaf kalau banyak yg tidak sesuai kaidah penulisan, saya malas menekan tombol shift)
sincerely,
Future You
Post a Comment