Thursday, September 11, 2008

Cinta Adelia

Bab 1


Bel berbunyi

Adelia yang baru saja keluar dari kamarnya bergegas menuruni anak tangga dan segera menuju ke ruang tamu. Sesampainya di sana ia pun langsung membukakan pintu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat siapa yang datang. Andre berdiri di muka pintu rumahnya. Sebenarnya yang membuat Adelia terkejut bukan hanya kedatangan Andre yang begitu tiba-tiba, melainkan juga penampilannya yang tampak sangat berantakan. Bajunya tampak lusuh dan kotor. Wajahnya pun terlihat agak pucat dengan luka-luka kecilnya. Pelipis kirinya lecet. Di hidungnya tampak noda darah yang sudah mengering dan di sekitar mulutnya tampak memar.

“Andre? Ya, Tuhan! Kamu kenapa? Apa yang terjadi padamu?” Adelia benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa kaget dan cemasnya melihat kondisi Andre yang benar-benar sangat memprihatinkan itu.

“Hai, Del,” Andre menyapanya, suaranya terdengar agak parau. Tampak ia mengerjap-ngerjabkan matanya supaya pandangannya menjadi jelas. Adelia yang tampak sangat iba itu cepat-cepat mengulurkan tangannya. Ia meraih lengan Andre dan kemudian menuntunnya ke sofa.

“Duduklah, Ndre.” Adelia membantunya duduk.

“Terima kasih, Del,” Andre sambil tersenyum, tapi bagi Adelia senyum itu lebih mirip ringisan.

Andre duduk bersandar di sofa. Sejenak ia tampak memejamkan matanya sambil menghirup napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Sepertinya ia ingin menghempaskan beban berat yang menyesaki dadanya atau karena kondisinya yang memang payah.

“Tunggu sebentar ya, aku ambilkan minum dan obat untukmu.” Adelia bergegas mengambil apa yang baru saja dikatakannya. Andre mengangguk saja.

Tak lama kemudian Adelia sudah kembali lagi di hadapannya dengan sekotak peralatan P3K, segelas air sirup dingin, dan beberapa bongkah kecil es batu yang sudah dibungkusnya dengan kain yang dimasukkannya ke dalam wadah seperti baskom.

“Maaf, ya? Tiba-tiba aku datang ke rumahmu dan membuatmu repot,” kata Andre tulus. Ia menatap Adelia yang tersenyum sambil menyodorkan segelas sirup padanya. Andre menerimanya dan meminumnya sampai hampir setengah gelas. “Terima kasih,” lanjutnya lalu meletakkan gelas itu di atas meja.

Kini Adelia duduk di sampingnya. “Ini, tempelkan di lukamu, biar tidak begitu sakit.” Adelia menyodorkan kain kompres yang berisi bongkahan es batu pada Andre. Lagi-lagi Andre menerimanya dan segera meletakkan kain itu di bagian wajahnya yang luka dan memar.

Sementara Andre mengompres memarnya, Adelia mulai menyiapkan kapas dan alkohol untuk membersihkan luka Andre sebelum diobati.

“Bagaimana? Sudah tidak begitu sakit, kan?” tanya Adelia setelah beberapa saat dan melihat Andre sepertinya sudah selesai mengompres lukanya dan meletakkan kain kompres itu di tempatnya semula.

“Ya, sudah mendingan.”

“Nah, sekarang aku akan mengobati lukamu.”

Andre mengangguk lalu memejamkan matanya.

Adelia tersenyum lagi. “Kamu tidak terjatuh dari tangga atau terserempet mobil sampai jatuh, kan?” tanyanya sambil mulai menyapukan kapas yang telah dibasahinya dengan alkohol di pelipis kiri Andre yang terluka. “Luka-luka ini pasti karena berkelahi, iya, kan?”

Andre tidak segera menjawab. Mulutnya terkatup rapat menahan rasa sakit. Ternyata meskipun lukanya sudah dikompres dengan es, tetap saja terasa perih ketika terkena alkohol.

“Maaf. Perih sekali, ya?” Adelia yang merasa sedikit tidak enak hati melihat Andre yang tampak sangat menderita, segera menghentikan pekerjaannya.

Andre membuka matanya dan mendapati Adelia tengah memandangnya. “Tentu saja sakit. Bukankah kamu tadi sudah memberitahuku?” Andre tampak sewot. Ia ingin sekali menyentuh lukanya, tapi belum sempat ia menyentuh pelipis kirinya yang baru saja dibersihkan dengan alkohol, Adelia sudah langsung mencegahnya dengan menahan gerakan tangannya.

“Eh, jangan disentuh,” Adelia menurunkan tangan Andre lagi. “Mungkin saja tanganmu kotor. Kalau nanti lukamu infeksi, bagaimana? Atau kamu mau aku membersihkannya lagi dengan alkohol?”

“Terserah kamulah.”

“Jangan marah, dong. Mau diobati tidak?”

“Iya, ya!”

Kemudian menit demi menit pun mereka lalui tanpa banyak bercakap-cakap lagi. Adelia tampak dengan sabar dan telaten melanjutkan pekerjaannya. Sementara Andre tampak pasrah saja dengan kembali memejamkan matanya. Hanya sesekali saja terdengar ia merintih kesakitan karena tidak tahan dengan perihnya alkohol maupun obat yang menyentuh kulitnya yang terluka. Sampai akhirnya ucapan Adelia yang memberitahukan bahwa pekerjaannya sudah selesai mengakhiri penderitaannya.

“Selesai!” ujar Adelia lalu merapikan kotak obatnya.

Andre pun membuka matanya kembali sambil menghela napas lega. “Terima kasih.” ujar Andre sambil memperbaiki posisi duduknya. Sesaat ia meraba luka di pelipis kirinya yang kini sudah ditutup dengan kain kasa dan plester. Adelia tersenyum melihatnya.

“Aku simpan ini dulu, ya?” Adelia bangkit dari duduknya sambil membawa kotak obat dan kain kompresnya. Tidak sampai lima menit ia sudah kembali lagi dan duduk di hadapan Andre.

“Nah, sekarang ceritakan padaku kenapa kamu tiba-tiba saja berdiri di depan pintu rumahku dengan penuh luka begitu.”

Namun, Andre lagi-lagi tidak segera menjawab pertanyaan Adelia. Bukan karena lukanya yang memang masih terasa perih, melainkan karena tiba-tiba saja dadanya terasa nyeri dan sakit sehingga tanpa sadar ia memegangi dadanya.

“Andre?” Adelia yang melihatnya jadi panik. “Kamu kenapa lagi? Apa dadamu sakit? Kenapa tadi kamu tidak bilang? Aku ambilkan obat lagi, ya?”

“Tidak perlu, Del.”

“Kamu yakin?”

“Iya,” Andre mengangguk. “Sebenarnya yang sakit itu di sini,” Andre menunjuk dadanya. “Di dalam sini. Hatiku.”

“Oh,” Adelia agak lega meskipun tidak begitu paham.

***



Aku memang habis berkelahi,” Suara Andre memecah keheningan yang sempat tercipta di antara mereka.

Adelia tampak ingin mendengarkan cerita Andre selanjutnya dengan baik. Tapi, baru saja Andre mengatakan sepatah kata, “Mitha,” Adelia sudah langsung menyelanya tanpa menunggu kalimat Andre selesai.

“Mitha?” Ekspresi wajah Adelia menyiratkan ketidakpercayaan. “Kamu berkelahi dengan Mitha?” Adelia ingin sekali tertawa karena membayangkannya, tapi ditahannya. “Aku benar-benar tidak menyangka kalau Mitha ternyata sehebat itu. Tapi, masa sih, Mitha tega menghajarmu sampai babak belur begitu? Tidak mungkin. Bukankah kamu adalah kekasih tercintanya? Kamu bikin salah apa sama dia? Atau jangan-jangan kamu ketahuan selingkuh, ya, sehingga Mitha marah dan ngamuk-ngamuk. Begitu, ya?” Adelia tampak bersemangat sekali ketika mengucapkannya, sedangkan Andre justru hanya diam sambil menatapnya.

Merasa ditatap sedemikian rupa oleh Andre, mau tidak mau Adelia jadi salah tingkah. Mungkin ia tidak akan merasa begitu kalau saja Andre langsung menanggapi ucapannya dan bukannya malah mendiamkannya sambil menatapnya tanpa berkedip seperti yang sedang dilakukannya saat ini.

Adelia mencoba tersenyum. “Aku banyak bicara, ya?” tanyanya sadar diri.

“Ternyata kamu cerewet juga, ya?” kata Andre yang singkatnya bisa diartikan: iya. “Aku kira kamu itu orangnya pendiam. Tidak banyak bicara dan cenderung agak tertutup. Tapi kalau seperti ini keadaannya berarti aku salah dan rasanya aku berlebihan kalau harus sungkan padamu.”

“Oh, ya? Kenapa harus sungkan padaku dan kenapa tidak?” Adelia jadi makin kikuk dan salah tingkah.

“Kalau kamu ternyata banyak bicara dan suka menyela ucapan orang, aku jadi sedikit menyesal tidak akrab denganmu dari dulu. Jadi, aku tidak perlu merasa sungkan bila harus merepotkanmu seperti ini. Tapi, karena aku kira kamu itu pendiam dan tertutup, makanya aku jadi merasa segan dan sungkan padamu sampai-sampai aku ragu-ragu untuk menyapamu.”

Kini giliran Adelia yang terdiam.

“Maaf. Aku tidak bermaksud menyinggungmu atau membuatmu semakin tidak enak hati. Aku hanya mengatakan apa yang memang ingin kukatakan, mungkin dari pertama kali aku mengenalmu.”

“Aku tidak marah. Memang begitulah aku,” Adelia terdengar misterius.

“Maksudnya?” Andre makin ingin tahu.

“Ah, sudahlah. Jangan membicarakan aku,” ujar Adelia benar-benar tidak ingin. “Ceritamu tadi kan belum selesai. Ayo, lanjutkan. Aku janji tidak akan menyela lagi sebelum ceritamu selesai.”

“Baiklah,” Andre setuju untuk melanjutkan ceritanya dan kali ini Adelia benar-benar mendengarkannya sampai selesai.

“Mitha mengkhianatiku.” Andre mengawali ceritanya dengan sedih. “Di belakangku ternyata ia berkencan dengan pria lain, namanya Alex dan aku baru mengetahuinya tadi ketika kami bertemu di kafe. Tadinya aku mengira bahwa mereka hanyalah teman biasa, tapi ternyata dugaanku salah. Malah Alex dengan begitu percaya diri memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Mitha, dan Mitha pun tampaknya tidak berusaha untuk menyangkalnya.”

Andre berhenti sejenak untuk mengambil napas sekaligus menenangkan hatinya yang tiba-tiba jadi bergejolak. “Sebenarnya aku tidak ingin berkelahi dengan Alex meskipun dalam hati aku sangat ingin menghajarnya karena sudah mempermalukan aku. Tapi sikap Alex yang tidak sopan dengan menyerangku terlebih dahulu secara tiba-tiba pada saat aku sedang meminta penjelasan pada Mitha tentang apa yang telah dilakukannya padaku, benar-benar telah membuatku kehilangan kesabaran, sehingga tanpa berpikir lagi aku pun langsung membalas perbuatannya. Kemudian kami pun berkelahi.”

Andre tampak tersenyum kecil sambil mengusap luka di pelipis kirinya. “Mungkin kedengarannya kekanak-kanakan dan memalukan, kami rela babak belur seperti ini hanya demi memperebutkan cinta seorang wanita, tapi itulah yang terjadi. Dan aku pun tampaknya harus rela menerima kekalahan dan kenyataan bahwa Mitha ternyata lebih memilih Alex daripada aku. Sepertinya Mitha memang lebih mencintai Alex daripada aku. Buktinya ia begitu membela Alex di hadapanku.”

Andre mendesah lagi. “Lalu mengenai kenapa aku tiba-tiba datang kemari, aku juga tidak sepenuhnya sengaja. Entah kenapa tiba-tiba aku ingat padamu. Aku ingat kalau aku punya teman bernama Adelia yang rumahnya berada tidak jauh dari kafe tempatku mendapat luka-luka ini. Dan karena aku tidak mau pingsan apalagi mati di jalan, aku pun langsung kemari. Begitu, Del,” Andre mengakhiri ceritanya. “Kalau sekarang kamu mau berkomentar, silakan,”

“Tidak,” Adelia menggeleng.

“Kenapa tidak?” Andre menatapnya.

“Kamu ingin aku berkomentar apa?”

“Ya, setidaknya katakan sesuatu,”

“Baiklah,” Lalu Adelia tampak berpikir sejenak. “Terima kasih,”

“Terima kasih?” Andre jadi bingung.

“Iya,” Adelia mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih sudah mengijinkanku mendengarkan ceritamu,”

“Ha?” Andre lalu tertawa. “Kamu ini. Akulah yang seharusnya berterima kasih padamu. Sudah merepotkanmu dan membuatmu mendengarkan ceritaku yang mungkin kedengarannya cengeng,”

“Tidak cengeng, kok,”

“Tidak?”

“Tidak,”

***


Adelia dan Andre. Meskipun mereka kuliah di universitas yang sama dan mengambil jurusan yang sama pula, tapi mereka berbeda kelas, karena jurusan itu terbagi dalam dua kelas, A dan B, Andre di kelas A dan Adelia di kelas B. Karena ada satu mata kuliah yang diampu oleh dosen yang sama, maka kelas mereka pun digabung jadi satu, khusus pada jam mata kuliah itu. Di kelas gabungan itulah mereka saling berkenalan. Dan ketika mata kuliah itu mengharuskan tugas kuliah dikerjakan berkelompok sesuai urutan abjad nama mereka, Andre dan Adelia pun tergabung dalam satu kelompok, karena nama mereka sama-sama berawalan dengan abjad A.

Karena mereka hanya bertemu bila kelas mereka digabung, maka intensitas hubungan mereka pun hanya sebatas urusan tugas mata kuliah itu saja. Di luar itu, meskipun mereka kadang-kadang bertemu pada jeda kuliah atau berpapasan di koridor kelas, mereka hanya ber-say hi atau mengobrol ala kadarnya sekedar basa-basi. Begitu juga, bila mereka kebetulan bertemu di kantin, perpustakaan, atau halaman kampus, mereka malah hanya saling tersenyum tak banyak bicara.

Pernah beberapa kali Andre menawarkan bantuannya untuk mengantarkan Adelia pulang, tapi Adelia selalu menolaknya dengan alasan masih ada urusan di kampus sehingga ia tidak bisa langsung pulang. Tapi, ketika suatu pagi Adelia tampak tergesa-gesa menyusuri jalan menuju kampus, ia mau menerima tawaran Andre ikut untuk menumpang di mobilnya. Hubungan mereka hanya begitu saja. Tidak ada yang berlebihan atau istimewa. Malah kadang hanya karena kebetulan saja. Kebetulan mereka satu kelompok di kelas gabungan, kebetulan mereka bertemu di mana, dan kebetulan mereka ada kepentingan bersama, barulah mereka menjalin komunikasi.

Namun, sejak kedatangan Andre ke rumah Adelia dengan luka-luka akibat berkelahi yang kemudian dirawat Adelia dengan sabar dan telaten, sejak obrolan mereka waktu itu yang terasa hangat dan akrab, dan sejak mereka merasa ada sesuatu yang membuat mereka nyaman dan nyambung, hubungan mereka yang biasanya hanya ala kadarnya praktis berubah. Hubungan mereka yang biasa-bisanya saja, kini terlihat sedikit lebih istimewa. Adelia dan Andre pun mulai jadi akrab satu sama lain, apalagi satu minggu kemudian Andre memutuskan untuk pindah ke kelas B, kelas Adelia.

Kepindahan Andre ke kelas Adelia tidak hanya membuat mereka semakin akrab, tapi juga mengundang cukup perhatian dari teman-teman sekelas Adelia dan juga teman-teman sekelas Andre sebelumnya. Teman-teman mereka tentunya merasa heran dengan tindakan Andre—apalagi di kalangan teman-teman satu jurusan Andre dikenal paling potensial menarik perhatian—bukannya sok cari perhatian—karena prestasi akademik dan tampang yang keren sehingga apapun yang dilakukannya pasti menarik untuk dibicarakan, tak terkecuali peristiwa perkelahiannya dengan Alex gara-gara Mitha—entah siapa yang menyebarkan berita itu—dan yang paling hangat tentunya adalah kedekatannya dengan Adelia saat ini.

Padahal Andre dan Adelia adalah tipe orang yang berbeda. Andre orangnya banyak bicara—di antara teman-teman prianya—dan lebih terbuka. Hal itulah yang membuatnya memiliki banyak teman dan tentu saja pengagum wanita—apalagi saat ini Andre sedang jomblo alias tidak punya pacar sehingga pengagumnya pun bertambah banyak dan berebutan menarik perhatiannya. Mitha, mantan kekasihnya itu pun dulunya adalah salah satu pengagumnya yang beruntung mendapatkan tanggapan dari Andre sehingga mereka berpacaran. Namun sekarang, sepertinya Andre sedang tidak ingin memperhatikan salah satu dari mereka lebih dari sekedar teman. Hal itu mungkin disebabkan oleh rasa kecewa dan sakit hatinya yang masih belum juga hilang karena pengkhianatan kekasih yang sangat dicintainya. Atau mungkin juga disebabkan oleh sudah adanya seorang wanita yang membuatnya merasa lebih baik di saat-saat yang sangat tidak mengenakkan. Membuatnya merasa nyaman di saat-saat yang tidak menyenangkan. Membuatnya ingin lebih mengenalnya karena ia berbeda dengan wanita-wanita yang pernah dikenalnya. Wanita itu, siapa lagi kalau bukan Adelia? Adelia Safitri Rosalina. ‘Teman akrab baru’nya yang diam-diam telah menarik perhatiannya!

Sebaliknya, Adelia adalah tipe orang yang pendiam dan agak tertutup, mungkin karena sifatnya itulah banyak orang yang merasa agak sungkan untuk mendekatinya. Namun demikian, itu bukan berarti bahwa ia tidak memiliki teman. Tentu saja ia juga memiliki teman meskipun tidak sebanyak yang dimiliki Andre. Prestasinya lumayan bagus dan wajahnya juga cantik. Sedangkan penampilannya memang cenderung lebih sederhana dan bersahaja dibandingkan teman-teman kampusnya, tapi tetap saja terlihat menarik. Dan soal pengagum pria, sepertinya Adelia memang tidak begitu menyadari atau memperhatikannya, tapi hampir semuanya tahu kalau saat ini ada seorang pria yang tampaknya sangat tertarik padanya. Siapa lagi kalau bukan Andre? Andre Satria Rozak. Salah satu teman prianya yang belakangan ini memang dekat dengannya. Lalu, pengagum lainnya? Untuk yang satu ini, jawabannya, hanya Adelia saja yang tahu!

***


Kenapa sih, kamu mesti pindah kelas segala?” tanya Adelia suatu hari ketika mereka berbincang-bincang usai kuliah, iseng.

“Cari suasana baru,” jawab Andre spontan sambil meluruskan kakinya dan menyandarkan punggungnya agar lebih santai di bangku panjang yang menghadap ke arah taman. “Juga karena aku ingin bisa lebih dekat denganmu,” Andre melirik Adelia yang duduk di sebelahnya.

Adelia tersenyum. “Sudah, jangan bikin gosip lagi. Nanti bisa-bisa aku dimusuhi cewek-cewek sekampus ini. Mereka kan pengagum beratmu. Kamu tahu tidak, kadang-kadang aku merasa mereka memandang sinis padaku bila melihatku bersamamu, tapi ya beginilah resikonya bila dekat dengan pujaan wanita sedunia, maksudku sekampus.”

“Memangnya kamu tidak termasuk salah satu dari mereka, ya?” Andre berniat menggodanya. “Sayang sekali ya, padahal aku akan senang sekali kalau kamu termasuk salah satu di antara mereka, jadi penggemarku juga.” Andre tertawa kecil sambil melemparkan pandangannya ke arah kupu-kupu yang sedang beterbangan mengitari bunga mawar yang ada di taman di depannya.

Adelia terdiam.

“Kok diam?” Andre menoleh pada Adelia yang ternyata juga tengah memandang lurus ke depan, mungkin ia juga sedang memandangi kupu-kupu itu. “Apa kamu sedang mempertimbangkan ucapanku barusan?” Andre masih berniat menggodanya.

“Itu kan maumu,” Sekarang Adelia balas memandangnya, tersenyum.

Andre tersenyum juga. Dalam hati ia berkata, “Ya,”

“Eh, sepertinya lukamu sudah sembuh, Ndre?” tanya Adelia kemudian. Tadi ia sempat memperhatikan wajah Andre cukup lama. Di pelipis kirinya memang masih tampak bekas luka yang menyerupai garis putih yang tidak begitu panjang dan sedikit lebar, tapi tidak begitu kentara lagi.

Spontan Andre meraba pelipis kirinya. “Iya, luka di wajahku, sih, memang sudah sembuh, tapi di sini,” Andre meletakkan telapak tangannya di dadanya. “Di sini sakitnya belum mau hilang juga. Masih terasa sakit bila aku teringat akan penyebabnya.”

Adelia tersenyum lagi. “Ya, aku tahu. Aku rasa aku bisa memahami perasaanmu. Menyembuhkan luka hati memang tidak semudah menyembuhkan luka fisik, Ndre. Terkadang hanya waktu yang bisa membantu kita untuk menyembuhkannya. Dan waktu yang kita perlukan itu, bisa sebentar atau bahkan sangat lama. Tinggal bagaimana kita bisa bersabar dan bertahan melaluinya,” ujarnya kemudian dengan bijak. “Tapi, aku percaya kamu akan bisa melalui waktu itu dengan baik.”

“Benarkah?” tanya Andre bimbang.

“Apa kamu tidak merasa yakin akan bisa melalui saat-saat yang tidak menyenangkan ini? Apa kamu tidak yakin bahwa suatu saat nanti hatimu yang terluka akan bisa sembuh kembali?” Adelia balik bertanya.

“Terkadang aku memang meragukannya.” Andre menghela napas berat. Lalu ia memperbaiki posisi duduknya.

“Memang, menyembuhkan luka hati ibarat bertarung melawan diri sendiri. Kalau kita menang, maka kita akan merasa nyaman dan terbebas. Tapi, kalau kita kalah, maka selamanya kita akan dihantui oleh rasa sakit hati itu. Dan untuk mengalahkan rasa sakit itu, kita perlu tekad, keyakinan, dan keberanian untuk mengatasinya. Kita juga harus percaya bahwa suatu saat kita bisa survive,” kata Adelia lagi-lagi terdengar penuh kearifan.

“Sepertinya kamu yakin sekali dengan kata-katamu, Del?” Andre memandang Adelia lagi.

“Bukankah kita memang harus merasa yakin bila ingin melakukan sesuatu apalagi sesuatu itu baik untuk diri kita sendiri dan juga diri orang lain?” tanya Adelia lagi membalas tatapan Andre.

“Begitu, ya?”

“Ya, begitulah,”

“Apakah hatimu pernah terluka, Del?” tanya Andre tiba-tiba.

Adelia hanya tersenyum, sepertinya ia enggan menjawab pertanyaan itu.

“Kalau kekasih,” Andre mendesaknya—sebenarnya pertanyaan itu sudah ingin ditanyakan sejak lama, sejak mereka mulai akrab. “Kalau sekarang kamu tidak punya, tapi setidaknya dulu kamu pernah punya kekasih, kan?”

Dan kali ini Adelia menjawabnya, “Ya,”

***


Andre menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Adelia. Adelia pun segera turun dari mobil.

“Terima kasih, ya?” ujarnya setelah menutup pintu mobil.

“Sampai jumpa.” balas Andre sambil menghidupkan mobilnya lagi.

“Hati-hati,” Adelia melambaikan tangannya.

Setelah mobil Andre menghilang dari pandangannya, Adelia pun bergegas melangkahkan kakinya menuju rumahya dengan melewati halaman depan.

“Selamat sore, tuan putri Adelia Safitri Rosalina,” sebuah sapaan menyambutnya di teras rumahnya. Sapaan itu cukup mengagetkannya apalagi suaranya terdengar begitu akrab di telinganya. Adelia menoleh demi melihat dan memastikan siapa gerangan pemilik suara itu. Dan benar saja, begitu Adelia melihatnya, senyumnya pun langsung melebar. Seorang laki-laki muda yang kira-kira hampir sebaya dengannya tampak sedang berdiri bersandar di tiang rumah, menghadap ke arahnya dan tersenyum padanya.

“Dody?” Adelia nyaris menjerit saking senangnya. “It is surprise,” Adelia langsung memeluk Dody yang segera membalas pelukannya dengan erat. Dody Haryadi, ia adalah sepupu Adelia yang kini tinggal di Bandung.

“Kapan datang, Do?” tanya Adelia sumringah sambil menepuk-nepuk lengan Dody yang tampak berotot. “Wah, kamu tambah kekar saja, ya?”

“Aku datang tadi pagi. Kira-kira jam sepuluh. Sama Heidy,” jawab Dody.

“Hah? Kamu dari Bandung ke Jakarta naik motor?” Adelia pura-pura terkejut mendengarnya. Padahal sebenarnya ia sudah tahu bahwa hal itu adalah sesuatu yang lumrah bagi seorang Dody. Baginya, asalkan masih memungkinkan, ia pasti akan memilih pergi kemana-mana dengan sepeda motor besar kesayangannya yang diberi nama Heidy daripada dengan kendaraan lain. Lebih efisien, praktis, menyenangkan dan bisa gaya, begitu katanya beralasan. Sepupunya itu memang sangat menyukai hal-hal yang berhubungan dengan mesin dan otomotif. Bahkan sejak masih kuliah, Dody bersama teman-temannya yang juga tertarik di bidang itu sepakat untuk membuka usaha bengkel dan showroom sepeda motor yang saat ini sudah berkembang cukup maju.

“Bagaimana kuliahmu?” tanya Dody.

“Baik.” Adelia tersenyum. “Kamu, bagaimana usahamu?”

“Usaha kami lancar. Dan kalau tidak ada halangan, rencananya kami akan membuka showroom baru di sini. Jadi, kedatanganku kemari, selain untuk mengunjungi keluargamu, aku juga diserahi tugas untuk meninjau lokasi yang akan digunakan untuk usaha baru kami.”

“Oh, ya?” Adelia ikut senang. “Wah, selamat ya?”

“Terima kasih.”

Keduanya melangkah masuk ke dalam rumah.

“Eh, ngomong-ngomong, siapa cowok yang mengantarmu barusan, Del? Pacar barumu, ya? Kok kamu tidak pernah cerita?” tanya Dody penuh selidik.

Adelia menatapnya tanpa curiga. “Maksudmu Andre?”

“Oh, jadi namanya Andre?” Dody manggut-manggut.

“Lengkapnya sih, Andre Satria Rozak. Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Aku ikut senang, kok. Sepertinya kamu sudah bisa ceria lagi, Del. Apa itu karena dia?”

“Apaan, sih?” Adelia yang baru sadar bahwa Dody sedang berusaha menggodanya, langsung memelototinya. “Andre itu teman kampusku, bukan pacarku dan aku bahagia atau tidak...”

“Oh, cuma teman kampus, ya? Bukan pacar?” potong Dody cepat sambil matanya menerawang jahil. Dody semakin ingin menggoda sepupunya itu apalagi tadi ia sempat melihat ada rona merah yag menghiasi pipi Adelia yang putih.

Adelia berusaha menimpuk Dody dengan tasnya, tapi tidak berhasil karena Dody buru-buru menghindar dengan segera menghambur ke dalam rumah. Dan Dody tertawa saja melihat Adelia yang berlarian kesana kemari mengejarnya.

Begitulah, kalau mereka berdua sudah bertemu. Dody memang senang sekali menggoda Adelia dan ia tidak akan berhenti menggodanya sebelum melihat Adelia gugup atau sewot. Sebab ekspresi Adelia yang panik atau marah sangat menggemaskan, bukannya menakutkan. Terkadang memang menakutkan sih, tapi itu kalau ia benar-benar sudah sangat marah. Dan kalau diperhatikan, Adelia dan Dody tampak lebih seperti saudara kandung daripada saudara sepupu. Mereka berdua terlihat sangat akrab dan kompak. Meskipun kadang-kadang terjadi juga perselisihan atau perbedaan pendapat di antara mereka, tapi hal itu pun wajar saja. Karena hal itu justru menunjukkan bahwa mereka saling memperhatikan dan menyayangi satu sama lain.

Usia mereka pun tidak terpaut terlalu jauh, Dody hanya dua tahun lebih tua dari Adelia. Selain itu, mereka sama-sama anak tunggal dan sudah akrab sejak kecil. Boleh dikatakan mereka berdua tumbuh besar bersama-sama selama kurang lebih hampir 16 tahun. Sampai akhirnya Dody harus ikut orang tuanya pindah ke Bandung begitu ia lulus SMU, sedangkan Adelia tetap tinggal di Jakarta bersama orang tuanya. Meskipun mereka berpisah jarak, tapi itu tidak membuat hubungan mereka renggang. Mereka tetap menjalin komunikasi dan saling bersilaturrahmi.

***

1st Chapter by Ajeng Arum Maharani

5 comments:

sutomo said...

Mba Cerpene Apik^^
Post'ke maneh mba cerpene!!?!
Kapan Muleh Lajer???

Unknown said...

Aduhai. Aku suka.detil sekali cara menuturkan alurnya.Keren.
Aku enjoi membacanya, dan kemudian sadar kalo terlalu sering baca kata TAMPAK. Aku hitung ulang setelah selesai membacanya ada 12 kata TAMPAK...overall, awesome ! keep on posting !

Anonymous said...

Hmmmm...this is some novel, indeed. Keep on posting gal, I'll be waiting for the next one.

AYO SEMANGATTT...!!!

cah-ayoe said...

d-convert ver.skenario trus ditunggu maen-nya d FTv...caiyoo ;)

Nisa said...

Yaaaahh....
kok udahan,siey????
perasaan baru juga mulai baca,jhe...
lanjutannya mannaaaaaa?????? ^_^

critanya bagus, menarik,
awalannya jg udh ok,
udh bikin penasaran sm crita lanjutannya
so....

ayo !!!! mana lanjutannya???
dtunggu,lhooo...
C'MANGATTT!!!!