chapter 1: DEPORTASI
Surya menaungi cakrawala dalam suatu latar padang rumput luas terbentang. Ketika pagi datang, sinarannya terbit dari ufuk timur angkasa biru. Di mana ayam jantan berkokok, burung-burung berkicauan, serta beberapa rusa berlarian dengan riang. Sang beruang pun berjalan dengan malas sembari menyapa kelinci yang melompat bahagia. Inilah kebun binatang.
Jauh dari kebun binatang, di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, bercokol sebuah rumah yang agung. Namun penghuninya bukanlah Agung, melainkan sepasang suami-istri yang menjalani hari-harinya dengan rukun. Meskipun tanpa kehadiran seorang anak mereka tercinta, mereka tetap bahagia sentausa. Sang buah hati merantau nun jauh di sana. Demi menuntut ilmu dan mencapai cita-cita tertinggi. Sang harapan jiwa serta kebanggan bestari bagi kedua orang tua.
“Oh, Erik. Kapan kamu lulus, Nak?” Sang ibu memandangi foto anaknya dalam sebuah bingkai foto keluarga. Kedua bola mata sang ibu teduh dan memancarkan kerinduan yang dalam. Dalam bingkai foto keluarga itu, terpampanglah wajah seorang anak remaja ditengah-tengah ayah dan ibunya. Kedua ayah dan ibu tersenyum, sedangkan sang anak hanya memasang wajah mengantuk dengan kelopak mata yang tertutup setengah.
“Mau diliatin sampai kapan foto si Erik, Ma? Bikinkan kopi dong.” Sang ayah sedang bersantai sambil menonton berita di televisi. Seorang pria berwatak pemimpin dengan kumisnya yang sangat penuh wibawa. Kumis itu akan mendapat getaran transversal tiap kali ia berbicara.
Dari balik layar televisi yang ditonton sang ayah, isinya hanya berita seputar kehancuran. Kekacauan terjadi di mana-mana di Indonesia. Demonstrasi anarkis mahasiswa, penggusuran lahan penduduk tingkat bawah, bom teroris, dan lain-lain. Berita yang menjadi topik utama kali ini adalah ‘Kasus Lumpur Lapindo’ yang tak kunjung usai.
Sang reporter berita di televisi menyampaikan laporannya. “Pemirsa, saya kini sedang berada di Sidoarjo. Di sini lumpur panas telah mencapai ketinggian 10 meter di atas permukaan laut! Para penduduk setempat melakukan eksodus dari tempat tinggal mereka seperti orang-orang Yahudi pada masa rezim Hitler. Mereka menuntut pihak Lapindo agar memberi ganti rugi. Namun sepertinya kasus ini akan segera ditutup oleh pemerintah. Penduduk Sidoarjo sudah terbiasa dengan kehadiran lumpur panas ini. Mereka membuka tempat wisata ‘Spa dan Sauna Lumpur Panas’. Selain itu mereka juga membuka restoran dengan menu ‘Nasi Goreng Lumpur Ekstra Hot’ dan ‘Martabak Lumpur Lapindo’. Untuk membahas makanan khas baru dari Sidoarjo ini, mari kita beralih ke Bondan Winarno. Silahkan Bung Bondan…”
Sang ibu membawa kopi untuk sang ayah di depan televisi. “Liat itu, Ma. Inilah kondisi nyata di Indonesia sekarang. Papa sangat prihatin. Papa berharap setelah Erik lulus dari Amerika, dia bakal kembali dan membangun bangsa ini. Seperti yang dilakukan Pak Habibie,” ujar sang ayah sambil menyeruput kopinya.
“Iya, Pa. Mama juga ingin anak kita menjadi orang hebat seperti Russell Crowe, Presiden Amerika itu,” ujar sang ibu.
Sang ayah menyemprotkan kopinya. “Setahu papa Russell Crowe itu Sekjen PBB.”
Kedua orang tua menaruh ekspektasi tinggi terhadap pencapaian anaknya. Seperti halnya semua orang tua lainnya. Masa depan seorang anak harus lebih baik dari kehidupan orang tua yang sekarang.
Bel rumah berbunyi. Seorang pemuda remaja yang tampan, tinggi, dan berambut cepak menunggu di depan rumah. Di belakangnya berdiri kedua orang tuanya. Mereka adalah keluarga dekat dari keluarga Erik. Sang pemuda bernama Boris. Ayah Boris adalah kakak dari ayah Erik. Erik dan Boris adalah kedua sepupu yang selalu bermain bersama semenjak kecil.
Sang ibu membukakan pintu untuk keluarga Boris. “Eh, Boris. Lama gak ketemu. Apa kabar?”
“Baik, Tante Sri. Hee,” ujar Boris dalam gaya bicara yang selalu terdengar ceria.
Setelah keluarga Boris masuk rumah, mereka mengobrol panjang lebar dengan keluarga Erik di ruang utama. Sembari menikmati teh hangat beserta hidangan-hidangan kecil yang disediakan ibu Erik.
“Boris, bagaimana kuliah kamu di Bandung?” tanya ayah Erik.
“Wah, saya di Bandung belajar terus, Om Norman. Maklum lah… namanya juga Putra Ganesha. Hee,” Boris berkata sambil menyilangkan jari di punggung. “Ngomong-ngomong si Erik kapan pulang dari Amrik, Om? Kita kan biasa hang out bareng. Kita biasa hang out ke dis… um… ke distro, Om. Hee.” Mendadak ia salah tingkah karena hampir salah menyebutkan sesuatu.
“Erik sepertinya masih lama lagi baru pulang. Gak setiap liburan dia bisa pulang. Soalnya ongkos bolak-balik dari sini ke sana kan mahal,” ujar ayah Erik.
Mendadak muncul ide dari kepala sang ayah. “Bagaimana kalau kita menelpon si Erik dari sini? Boris saja yang ngomong dengan Erik. Nanti kita semua di sini mendengarkan.”
“Oke, Om. Saya juga udah lama gak ngobrol sama Erik,” ujar Boris.
Sang ayah menekan tombol ekstensi yang lumayan banyaknya di telepon rumah. Ia juga menekan tombol loudspeaker agar seisi rumah dapat mendengarkan suara Erik. Lalu ia menyuruh Boris mendekati telepon. “Sini, Boris. Ayo ngobrol sama Erik.”
Boris duduk menunggu di depan telepon. Tak sabar ia ingin mendengar suara sepupu dekatnya itu. Anggota keluarga yang lain pun terkesiap. Saat panggilan telepon dari Jakarta menembus dua samudera hingga sampai di Amerika, terdengar suara sebuah musik rap sebagai nada sambung pribadi ponsel Erik.
♪ Pop that pussy!
Heyyy! Pop that pussy, baby!
Pop that pussy!
Pop, pop that pussy, baby! ♪
Boris mengurut dahi mendengar lagu nada sambung tersebut. Ia tahu itu adalah lagu ‘Pop That Pussy’ dari 2 Live Crew. Lagu kesukaan Erik yang ia dengarkan hampir tiap hari ketika SMA. Boris menatap seluruh anggota keluarga. Untunglah tak ada reaksi yang aneh karena seluruh orang tua yang ada di situ adalah angkatan Koes Plus yang tak akan mengerti makna dahsyat dari lirik lagu tersebut.
Setelah setidaknya terdengar 20 kata ‘pussy’, barulah panggilan tersebut diangkat. Terdengar suara seorang pria yang samar-samar dalam riuh gaduh suara manusia lainnya. “Hey, ‘scuse me……………damn…!”
Setelah beberapa detik, suara keributan mulai terdengar mengecil. Sepertinya sang pria telah menjauhi keramaian. Kini suara pria tersebut terdengar kencang dan jelas. “Aiyyo, sorry. Who’s this? Unknown number in my goddamn phone.”
Boris riang mendengar suara sepupunya itu. Ia langsung menyambut dengan suka cita. “Halo, ini Erik bukan? Ini gue, Boris, nelpon dari Jakarta.”
“Oh, elo, Boris? Gue kira siapa. What’s up?!”
“What’s up juga, Man! Lagi ngapain lo di sana sekarang?”
“Gue lagi ikutan bachelor party di rumah temen gue. Biasalah, weekend begini terus. Ups, stripper-nya udah dateng. Bentar ya…”
Erik menggantung teleponnya. Suara kegaduhan kembali mendominasi di telepon. Erik kembali mendekati pusat keramaian. Sementara itu Boris mengeluarkan keringat dingin. Ia melihat wajah-wajah bingung para orang tua yang tidak punya ide tentang apa yang dibicarakan Erik melalu loudspeaker telepon.
“Bachelor party itu apa?” tanya ayah Erik kepada Boris.
Boris serba salah harus menjawab apa. Maka ia setengah mati memilih kalimat yang tepat agar suasana tidak menjadi runyam. “Bachelor party itu yah… pesta bujang, Om! Namanya juga mahasiswa. Di mana-mana suka kumpul-kumpul gitu buat refreshing. Hee…”
“Lalu stripper itu apa?” sang ayah kembali bertanya.
Boris menelan ludah mendengar pertanyaan berikutnya. Ia kembali berpikir keras mencari kalimat yang tepat. Boris pun menjawab, “Um… stripper itu yang biasa diundang kalo lagi pesta bujang, Om! Semacam penari telanjang, eh, maksudnya penari profesional yang gak berbusana gitu. Tapi kadang-kadang aja kok gak pake busananya, Om. Biasanya sih masih pake kolor ma beha kok. Hee.”
Seluruh anggota keluarga terlihat shock mendengar penjelasan Boris. Pemilihan kalimat Boris sepertinya belum cukup baik. Ayah dan ibu Erik tak menyangka jika putra kebanggaannya mengikuti acara pesta penuh kemaksiatan. Mereka langsung bermuram durja.
Suara kegaduhan di telepon mengecil kembali. Disusul oleh suara Erik yang berkata sangat lancar dan bebas hambatan. Tak sedikitpun ia menyadari bahwa seluruh keluarga yang di rumahnya menjadi saksi apa yang sedang dibicarakannya. “Hahaha! Tadi stripper-nya ngebuka kolor sama behanya! Coba lo ada di sini, Boris. Gue selama ini party terus. Bebas minum alkohol dan berbuat semau gue. Tanpa takut ketauan sama orang tua di rumah. Yeah! God bless America!”
Boris menutup sambungan teleponnya. Ia khawatir Erik akan berkata jauh lebih parah. Tak terbayangkan apa yang terjadi pada ayah dan ibu Erik. Wajah mereka merah padam menahan rasa malu dan kecewa. Ekspresi mereka bagai terhantam petir dari palu Dewa Thor. Kedua orang tua Boris pun memasang wajah tak sedap.
“Oops…” Boris merasa bersalah karena telah menempatkan Erik dalam situasi katastropi. Rupanya menelepon Erik ke Amerika adalah sebuah gagasan yang sangat buruk.
***
Sekian lama, suasana rumah menjadi dingin layaknya kutub utara. Semuanya hanya diam sambil memandang kosong televisi yang terus menyala. Tak ada yang sanggup membuat ice breaking di tengah keheningan ini. Tidak pula lelucon orang Malaysia dalam berita di televisi. Orang Malaysia baru-baru ini membuat lelucon dengan memukuli wasit Karate asal Indonesia. Selera humor orang Malaysia sangatlah buruk.
Sang ayah sedang menghela napas panjang. Mencoba menenangkan diri kembali setelah apa yang ia tahu dari kelakuan anaknya di Amerika. Boris sangat merasa tidak nyaman di rumah tersebut. Berulang kali ia meminta orang tuanya agar dapat segera pulang. Namun kedua orang tua Boris menderita lemah otak. Mereka sedari tadi hanya mengangguk tanpa beranjak sedikit pun dari tempat duduk.
Bel rumah kembali berbunyi. Seorang petugas dari Biro Pos mengantar surat yang ditujukan kepada ayah Erik. Sang ayah pun menghampiri petugas tersebut di depan rumah. Proses serah-terima surat dilakukan dengan cepat. Berdebar hati sang ayah ketika mendapati surat tersebut berasal dari University of Marshall Matters, New York, tempat berkuliah Erik. Lalu surat itu dibawa oleh sang ayah menuju kembali ke ruang utama.
Amplop surat tersebut dibuka paksa dengan penuh ketidaksabaran. Diambilnya sebuah kertas dalam amplop tersebut. Berikut yang dibaca sang ayah adalah sebuah badai elektron maha dahsyat yang menyengat kepalanya. Kumisnya bergetar hebat. Langit bagai membelah, jagat raya terhambur, seluruh benda langit menghantam muka bumi.
Dalam gerakan slow motion yang dramatis, sang ayah meremas dadanya dan jatuh ke lantai. Kertas surat melayang di udara. Sang ibu menahan badan sang ayah yang hampir menyentuh lantai. Boris menangkap kertas surat di udara. Sementara kedua orang tua Boris masih minum teh dan makan biskuit. Mereka sangat lemah otak.
Kertas surat kini dalam genggaman Boris.
University of Marshall Matters
June 11th, 2007
Honored,
Mr. Norman Aminuddin
In place
We are very sorry for the inconvenient but we have to inform that your son, Muhammad Erik Gunawan, the student of Industrial Management (Bachelor’s Degree), University of Marshall Matters attended 2005-Present, has entered a major crisis of his academic years. His marks in almost all of the subjects are ultimately under the general standard of the university. Therefore, if these problems are not fixed by the end of the year, we are in the deepest apologize to drop him out of the university. I hereby, as the head of the Industrial Management Study Program, strongly suggest that the parents will take a serious concern about the student’s lack of disciplines. If the parents doubt that the student will alter his attitude, it is recommended that the parents will officially retire the student from the institute after this message’s been read. We are very blissful to send this scum troublemaker back to Malaysia[1] immediately. Thank you for your attention. May force be with you.[2]
Yours Sincerelly,
Prof. Albus Dumber
Head of Industrial Management Study Program
Di halaman kedua tertampang nilai-nilai mata kuliah Erik selama dua tahun kuliah. Boris tercengang. Nilai-nilai tersebut bahkan lebih parah dari nilai-nilai Boris yang jarang belajar. Hampir semua nilai yang tertera di tabel adalah E. Sedangkan sisanya adalah D dan sedikit rantai karbon C. Boris hanya mengurut dahi. Sepupunya dalam masalah kronis.
Setelah sadar kembali, sang ayah langsung menelepon Erik lagi ke Amerika. Kali ini ia yang akan angkat bicara. Dengan penuh emosi, sang ayah menekan tombol-tombol di telepon.
♪ Pop that pussy!
Heyyy! Pop that pussy... ♪
Begitulah nada sambung Erik terdengar lagi. Erik mengangkat ponselnya. “Oi, Boris. Kenapa tadi tiba-tiba ditutup telponnya? Gue kan belum selesai cerita. Pas gue ikutan truth or dare…”
“ERIK, BESOK JUGA KAMU PULANG KE INDONESIA!” sang ayah berkata dengan sangat murka. Erik langsung terdiam seribu patah kata.
***
[1] Kepala program studi tak bisa membedakan antara orang Indonesia dan orang Malaysia.
[2] Kepala program studi terlalu banyak menonton Star Wars.
1st chapter by Indra
No comments:
Post a Comment