Wednesday, April 23, 2008

THE(UN)PERFECT LIFE

Bab 1: Sebuah Awal
Regina Dwi Sunggono
Hari semakin gelap. Gue melirik jam di pergelangan dan mendapati angka digital di sana sudah berubah dari 16:45 –saat pertama kali gue duduk di sini—menjadi 19:57. Sebentar lagi gue bakal cabut. Pulang.

Gue menyendok kuah terakhir di mangkuk mie. Hmmm… yummy. Kenapa ya gue gak pernah berhasil bikin mie instan senak ini? Marni –pembantu di rumah gue—juga gak pernah bisa menciptakan paduan mie-telor-kornet-keju sesedap yang baru gue nikmati itu. Padahal tidak ada yang istimewa dari racikan Bang Udjo (empunya warung ini). Mie, telur, kornet, keju. Semua sama. Tapi kenapa rasanya beda?

Gue membersihkan sisa teh botol dan mendesah puas. Tidak ada yang menyamai kenikmatan makan mie Udjo sambil mereguk teh botol di malam seperti ini. Malam yang udaranya cukup menggigit sehabis hujan. Feels like an orgasm.

Gue mengeluarkan ‘desert’ andalan dari saku belakang. Kotak putih bergaris-garis hijau yang di dalamnya terdapat batang-batang putih sumber racun perusak tubuh yang akan melengkapi kenikmatan santap malam gue. Gue menyulut batangan putih itu di api kecil dari sumbu minyak di gelas bening, dan menghisapnya dalam-dalam.

Bang Udjo melirik tingkah gue sambil nyengir. “Gak brenti-brenti lu, Re. Lama-lama abis tu badan.”

Beberapa pengunjung warung ikut melirik ke arah gue. Seorang gadis belasan tahun yang datang bersama pacarnya melengos saat melihat penampilan gue. Pacarnya, sebaliknya, menatap gue sambil tersenyum, dan langsung mendapat hadiah cubitan di pinggangnya.

Gue baru akan melontarkan jawaban ringan pada Bang Udjo, ketika sebuah pekikan mengagetkan gue. Sontak gue mencondongkan tubuh dan melongok keluar tenda.

Sebuah BMW hitam mengilat terparkir tidak jauh dari warung steak Sapto, hanya beberapa belas meter dari tempat gue duduk sekarang. Seorang gadis berusia awal 20-an berdiri di sisi mobil dengan raut kesakitan. Gue mengikuti arah tatapan matanya.

Ya elahhh… hari gini ke warung pinggir jalan pake stiletto. Markir sembarangan pulak.

Gue tahu betul, besi penutup selokan yang terdiri dari jeruji-jeruji karatan itu sudah keropos. Beberapa di antaranya malah berlubang dan berpotensi menjadi ranjau yang sangat efektif bagi para pemakai sepatu hak tinggi yang tidak hati-hati. Dasar orang kaya aneh.

Gue memicingkan mata ketika seorang cowok dengan pakaian lusuh dan gitar kecil di punggung berjalan mendekati cewek itu.

Celana jeans pudar yang bolong di bagian lutut dan kaus army look yang dikenakannya sangat belel, menambah kesan kumuh pada setiap inci tubuhnya. Dan sekarang, sosok kucel itu menghampiri seorang gadis kaya berpenampilan barbie yang cukup tolol untuk datang sendirian ke tempat seperti ini pada malam hari dengan BMW seri terbaru, memarkirnya seenak jidat dan menjebloskan kaki berstiletto ke penutup selokan yang sudah keropos.
***
Kirana Ayudia Cakrawinata
“ADUH!!”

Aku tidak bisa menahan jeritan kecil dari bibirku saat hak stiletto yang kupakai masuk ke jeruji penutup selokan yang (ternyata) penuh lubang. Bagus!

Sakitnya lumayan banget, dan sekarang sepatu sialan ini tidak mau lepas. Aku nyaris mengeluarkan 1001 kata makian ketika wajah Ibu terlintas di otakku, disusul princess manner yang entah sudah berapa ratus kali didengungkannya. Wajah dengan tarikan tegas itu selalu berhasil menahan lidahku. Dan manners yang sudah kuhafal luar kepala itu selalu mampu membuatku bersikap elegan di tengah situasi terburuk sekalipun.

Tapi aku belum pernah menghadapi kondisi yang sangat menjengkelkan seperti ini. Terlontar juga sepatah kata yang pasti sanggup membuat Bunda melotot dan menguliahiku berjam-jam (thanks God she’s not here!), “SHIT!”

“Kenapa Neng, kejeblos ya?”

Seorang laki-laki berdiri beberapa meter di depanku, berjalan mendekatiku. Penampilannya sangat lusuh dan kasar. Tapi yang membuatku takut adalah tubuhnya. Tinggi besar.Darahku membeku saat sosok itu menghampiriku di tengah kegelapan
***
Regina
Mahdi ngapain, sih?!

Mau jadi pahlawan? Dasar geblek! Cewek licin begitu, ngeliat elo, yang ada malah ketakutan kali.
Tanpa pikir panjang gue memanggil keras-keras. “DI! MAHDI!!” Tapi cowok dekil itu sama sekali tidak menoleh. Terus saja berjalan lurus ke arah cewek malang yang wajahnya sudah pias seperti melihat hantu. Ya iyalah. Gue yang udah kenal dia lama aja yakin, beberapa orang pasti memilih ketemu kuntilanak di kuburan kosong pada tengah malam ketimbang berhadapan dengan cowok bertubuh segede gaban yang tampangnya gahar itu.

“Bentar ya Bang!” Gue pamit sekedarnya pada Bang Udjo yang ikut melongok keluar tenda, penasaran.

Gue berjalan cepat, menyusul Mahdi -- khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sebenarnya dia nggak jahat, kok. Mahdi itu teman gue – teman kakak gue, tepatnya.
Nuno --abang gue-- berkawan akrab dengan kebanyakan pengamen, anak jalanan, (bahkan) preman di sekitar sini. Bukan karena dia salah satu dari mereka, tapi karena abang gue memang begitu sifatnya. Suka bergaul dengan siapa aja tanpa pandang bulu, dan jiwa sosialnya tinggi banget.

Nuno pernah menyelamatkan seorang preman yang nyaris tewas lantaran ususnya terburai kena bacokan gara-gara berkelahi dengan sesama preman. Ia membawa preman sekarat itu ke rumah sakit terdekat dengan mobil hardtop-nya dan mengeluarkan sejumlah uang agar begajulan itu bisa secepatnya masuk ruang operasi.

Sejak itu, Nuno dihormati oleh seluruh preman dan pekerja jalanan (ini istilah yang gue pakai untuk menyebut pengamen, anak jalanan, dan mereka semua yang mengais rezeki dari jalanan setiap hari) di sini. Dan mereka juga menghargai gue sebagai adiknya.

Walaupun gue cewek, mereka tidak pernah merendahkan –apalagi melecehkan—gue. Sebaliknya, mereka ramah dan tidak segan-segan menolong jika diperlukan. Pada dasarnya mereka itu baik, kok. Sama aja kayak orang biasa pada umumnya. Bedanya, mereka tinggal, hidup dan dibesarkan di jalan. Itu yang membuat mereka berbeda. Tapi hati mereka tetap manusia.

Termasuk Mahdi, pekerja jalanan yang sehari-hari mencari nafkah dengan gitar mainannya. Sejujurnya gue agak kasihan sama dia. Tampang nggak jelek-jelek amat, bodi lumayan dan orangnya baiiiik banget, tapi agak terbelakang. Ia mampu berkomunikasi ala kadarnya dan mencari nafkah untuk hidup, namun tidak bisa menggunakan nalar sebagaimana mestinya. Kekurangannya itu sering membuatnya terjebak dalam berbagai kesulitan. Seperti sekarang.
Gue sama sekali tidak khawatir dengan keselamatan cewek manja yang dari tadi ngaduh-ngaduh gak jelas itu. Apa susahnya sih, jongkok sebentar, buka stilettonya, trus baru dikeluarin? Lubang segitu doang, digoyang-goyang sedikit juga lepas. Atau gak kepikiran? Dasar orang kaya blo’on.
Yang gue takutkan justru Mahdi. Ia tidak akan menyakiti cewek itu. Gue berani bertaruh ia bahkan sama sekali tidak berpikir ke sana. Ia hanya mau menolong. Tapi ekspresi cewek itu seperti melihat hantu dan kalau gue tidak segera menyambangi mereka, sebentar lagi dia pasti menjerit atau melakukan tindakan konyol lain yang bisa menimbulkan kesulitan bagi Mahdi.
***
Kirana
Aku hanya bisa menatap pasrah ketika langkah-langkah itu semakin mendekat. Ketakutan bagai mencekikku, sehingga untuk berteriak pun aku tidak sanggup. Lidahku kelu, sekujur tubuhku mendadak dingin, dan aku menyesali kebodohanku.

Kenapa harus nekat datang ke tempat seperti ini segala, sih? Betul-betul keputusan konyol yang tidak pakai otak. Sama juga cari mati.

Seharusnya aku mempertimbangkan seribu kali sebelum memutuskan untuk mencicipi makanan pinggir jalan yang selama ini hanya bisa kutatap dari balik jendela mobil. Terutama warung steak yang pernah kubaca di tabloid gosip, yang konon terkenal di kalangan anak SMP dan SMU karena enak dan murah.

Aku tahu teman-temanku tidak akan sudi mampir ke tempat seperti ini. Aku bahkan tidak berani menyinggung sedikit pun kepada mereka. Aku membayangkan Livia yang memiliki postur sempurna bak boneka Barbie itu mengerutkan kening dan menyebutkan sejumlah istilah yang membuat telinga gatal; trans-fat, saturated fat, high calories, monosodium glutamat, blah blahh..

Aku bisa melihat Sandy mengernyit jijik dan berkomentar dengan lidahnya yang setajam silet, “Kalo cuma makan steak ngapain harus di tempat begituan, sih? Kayak orang susah aja lo, Ran.”
Atau Chica, si ABG wannabe, “Plisssdyeh, Rana. Hare gene getolooohhh.”

Okay, dari semua komentar yang tidak mendukung itu, Chica-lah yang paling berprospek membuatku tertawa dengan kalimat-kalimatnya yang sok nge-ABG, padahal usianya sudah menginjak 23.

Intinya, semua sama saja. Tidak bakal ada yang mendukung keinginanku untuk sekali-sekali makan di warung tenda pinggir jalan sambil merasakan semilir angin berdebu menerpa wajah, dengan kucing-kucing berlarian di bawah meja (yang kedengarannya seru sekali!).

Aku bahkan tidak perlu menanyakannya pada mereka. Raut-raut yang berubah aneh ketika kuperlihatkan artikel di tabloid itu sudah menjelaskan semuanya.

Mungkin mereka benar. Seharusnya dari awal aku tidak menginjakkan kaki ke tempat seperti ini hanya demi alasan bodoh “Pengen ngerasain”. Konyolnya aku.
Tapi aku tidak sempat menyesali ketololanku berlama-lama, karena sosok itu semakin mendekat.

Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan otakku yang sibuk berperang, teriak… jangan… teriak… jangan… teriak… jangan… teri…

“Jangan teriak.”

HE?!

Spontan aku membuka mata, mencari sumber suara.

Seorang gadis berambut superpendek yang cara berpakaiannya sangat menyalahi peraturan dunia fashion berjalan ke arahku dari belakang sosok asing itu. Langkah-langkahnya cepat dan tegas. Dalam sekejap ia sudah menjajari sosok tinggi-besar itu. Matanya menatapku tajam.
“Gak usah takut. Dia gak jahat, cuma mau nolongin elo.”
***
Regina
Gue mendorong pelan lengan Mahdi, memberinya isyarat supaya menjauh. Kalau cewek kaya bin sarap ini berteriak, sebaiknya Mahdi tidak ada di sini.

Mahdi kelihatan bingung, tapi menurut dan mundur beberapa langkah.

Si cewek sophisticated menatap gue dan Mahdi bergantian, sama bingungnya. Ekspresinya sekarang terlihat sedikit bodoh.

“Dia temen gue,” gue menerangkan. “Dan dia gak jahat. Dia malah lebih baik dari kebanyakan penduduk Jakarta.” Penjelasan yang tidak perlu, I know. Gue hanya merasa puas karena bisa mengucapkan ini pada orang-orang yang selalu memandang sebelah mata pada kaum marjinal seperti Mahdi dan teman-temannya.

“Sorry,” gumam cewek itu, salah tingkah. “Aku pikir, well…” Ia memandang sekilas kakinya yang masih terperangkap dalam stiletto.

“Sini gue bantuin.” Gue berjongkok dan membantunya membebaskan kaki dari stiletto, sekalian menarik keluar benda itu dari jeruji penutup selokan.

“Thanks.” Gumamnya penuh kelegaan.

“Sama-sama,” balas gue, kali ini sambil nyengir kuda. Cewek ini, kelihatannya bukan cewek kaya yang snob. Rada blo’on iya.

“Sedikit saran, lain kali kalau ke tempat beginian…” –gue menunjuk warung-warung tenda yang berjejer dalam cahaya remang dengan dagu- “jangan pakai sepatu begituan.”

“Stiletto.”

“Whatever. Lagipula, tempat kayak gini kurang aman untuk cewek seperti lo,” gue memutuskan untuk blak-blakan. “Jangan tersinggung, tapi mobil lo itu terlalu mencolok. Dandanan lo juga. Ini bukan hotel bintang lima, ini warung pinggir jalan. Hari ini lo beruntung…” gue melirik Mahdi yang memperhatikan seluruh konversasi ini dengan raut datar, “kalau yang menemukan lo tadi bukan Mahdi, ceritanya bisa lain.”

Ya iyalah. Preman-preman yang mangkal di sini, menghormati gue karena gue adiknya Nuno. Dan walaupun pada dasarnya mereka tidak jahat, mereka dibesarkan di rimba Jakarta yang kejam dan tidak kenal ampun. Nggak ada jaminan keselamatan untuk cewek manapun yang cukup goblok untuk datang sendirian malam-malam dengan dandanan bak supermodel dan kendaraan mewah yang harganya bisa ngasih makan orang sekampung.
***
Kirana
Dia benar.

Meski enggan mengakuinya, aku tahu perkataan itu ada benarnya.
Darn. Sudah kejeblos, stiletto rusak, ketakutan setengah mati, dimarahi pula oleh cewek tomboi yang sama sekali tidak kukenal.
…..

Tapi aku sudah sampai di sini!

Pulang…

Nggak…

Pulang…

Nggak…

Pul…

“Lo serius, ya?”

He…?

Si tomboi menatapku lurus-lurus. Tangannya tersilang di dada, namun ekspresi dinginnya sudah berganti senyum geli. “Beneran mau makan di sini?”

Antara ngeh dan tidak, aku mengangguk.

“Ya udah, gue temenin.”

HAH…?!!

Tanpa menunggu responku, ia melangkah masuk ke dalam warung. Lagi-lagi aku terbengong. Tidak sampai dua detik, kepalanya muncul dari balik terpal oranye.

“Katanya mau makan?! Jangan kuatir,” ia memamerkan senyum kocak, “Gue nggak minta traktir. Cuma mau mastiin elo pulang dengan utuh.”
***
1st Chapter by Jenny Jusuf


No comments: