Wednesday, April 16, 2008

Star Wish

Tempat baru dan kebiasaan yang baru!
Oke, mungkin waktunya untuk membuat perubahan, Fel!
Fela melihat sekelilingnya masam. Ini benar-benar menyebalkan. Baru tiga bulan dia berada di tempat ini, dia sudah tidak betah. Bayangkan! Baru-tiga-bulan-saja!!! Apa jadinya kalau tiga tahun?

Fela menghela nafas lagi. Bukan sok bersih ya, tapi ini semua… sampah-sampah ini… benar-benar bikin mata dan kepalanya mendadak sakit

Di sudut halaman Pratama School yang luas, asri oleh tanaman hijau dan pohon-pohon besar yang menaunginya, botol-botol bekas bertebaran, bikin rusak pemandangan saja. Dan tidak hanya itu saja, selain botol masih ada kertas pembungkus makanan, plastic bag, sedotan, gelas-gelas plastik, tempat makanan styrofoam, pokoknya semua sampah yang gubrak banget buat dilihat.

Fela menggeleng muram. Mau bagaimana lagi? Pemandangan jorok di depannya ini tidak bakal bisa berubah.

Ini pasti dampak langsung malam pensi (=pentas seni) kemarin. Pak Kasim, tukang kebun mereka, nggak bisa disalahkan juga. Biarpun tugasnya memang merawat kebun mereka, tapi menurut Fela, tentang botol-botol bekas ini… tugas para panitia, dan semua anak Pratama School untuk membersihkannya.

“Kenapa Fel?” Diandra, salah satu teman dekat Fela saat ini, berdiri dibelakang Fela. Ia menatap Fela heran. Yang ditatap hanya menggeleng, merasa tak berdaya di dalam hati.

“Fel?” Nazaya, sahabat Fela yang lain, mengangkat alis.

“Nggak apa-apa sih, hanya aja…” Fela menghembuskan nafas keras. “Botol-botol ini, sampah-sampah ini…” Ia mengibaskan tangan karena jengkel. Tapi sepertinya, kedua sahabatnya tidak begitu ngerti, apa yang dirasakan oleh Fela.

Oooh, Fela menatap putus asa, sudahlah! Mungkin hanya dia satu-satunya murid disini yang merasa terganggu oleh pemandangan yang dimata Fela, so annoying itu.

“Disini nggak ada organisasi ekskul perduli lingkungan gitu ya?” tanya Fela bingung. Nazaya dan Diandra berpandangan sebentar.

“Maksud kamu, seperti save the earth?” tanya Aya ingin tahu. Aya yang selalu tampil sporty namun tetap manis, dengan rambut pendek layer membingkai wajah mungilnya, mengernyitkan kening bingung.

“Yah, mirip-mirip begitu.” Angguk Fela setuju.

“Di Jakarta sini sih, ada Fel.” Dian yang feminin ganti berbicara. “Seperti organisasi WWF gitu kan?”

“Kalau di sekolah ini?” Kejar Fela tidak puas. “Ada nggak?”

“Mmm…” Dian menelengkan wajahnya ke samping. Rambutnya yang panjang terurai lembut, jatuh menutupi salah satu sisi wajahnya. “Kayaknya sih nggak ada. Eh, nggak ada kan Ya?” Ucapnya menegaskan. “Dari kita SMP, ekskul model gitu kan memang nggak ada. Yang ada itu yang standar aja Fel, seperti fotografi, home industri, komputer, tata boga terus macam olahraga-olahraga gitu. Tapi organisasi pecinta lingkungan nggak pernah ada.” Geleng Dian yakin.

Nazaya mengangguk membenarkan.

Fela mengeluh lagi. “Padahal Jakarta ini lebih sakit dari Bandung loh Yan. Tapi SMP-ku di Bandung aja ada kelompok yang perduli lingkungan. Kamu tahu nggak, aku salah satu founder-nya loh.” Fela tersenyum sedikit, tapi langsung mengernyit lagi begitu ia ingat pokok masalahnya. “Anyway, kenapa di Jakarta yang penuh polusi, sampah dan banjir begini, murid-murid sekolah PS malah cuek bebek ya? Kenapa nggak ada organisasi dan slogan go green?”

“Nggak gitu juga kok Fel.” Aya menggeleng nggak enak hati. “Mungkin mereka semua belum ngerti aja.”

“Mungkin!” Fela bertekad menutup pembicaraan.

Bel panjang sudah berbunyi. Sebentar lagi, mereka semua akan memulai pelajaran Kimia. Yang pasti, itu bukan pelajaran favorit Fela. Ia tersenyum dan berpaling mengawasi dua orang soulmate-nya di PS ini.

Ketemuan dengan Nazaya dan Diandra di acara family night, benar-benar merupakan suatu berkat buat Fela. Namanya aja family night. Nama yang keren, dan kesannya akrab banget. Tapi buat Fela acara itu lebih mirip acara penggojlokan, mapram siswa-siswa junior oleh para senior yang terhormat.

Dan dia benar-benar bersyukur, bahwa agenda yang jadi momok nomor satu yang wajib dihindari para junior itu malah membawa berkat tersendiri. Berkat itu ya mereka berdua, Aya dan Dian, her GFSF-nya (Girl Friends Stay Forever).

Yup, Fela yakin itu. Dia dengan Aya dan Dian akan sangat dekat, seperti dulu ketika dia dan Mila masih bersahabat. Nun jauh di Bandung sana.

Bertiga mereka berjalan beriringan menuju kelas 1-1.
***
Di dalam kamar tidur yang jendelanya dibiarkan terbuka lebar, menghantarkan angin semilir berhembus masuk, Fela menatap plafon kamarnya. Plafon itu putih bersih, dengan hiasan bintang-bintang, glow in the dark. Bintang-bintang yang gemerlap di malam hari, saat semua lampu dimatikan. Bintang yang sama yang biasanya berhasil membawa kedamaian dalam hati Fela.

Namun… tidak saat ini.

Fela mengernyitkan kening, berpikir keras. Dulu di SMP Alamanda School Bandung, organisasi macam itu juga tidak ada. Organisasi itu ada karena dia, Fela Anwar, Mila, Brama, dan beberapa anak lainnya punya visi yang sama. Mungkinkah hal itu terulang kembali? Disini? Di Pratama School Jakarta?

Dan nama Brama kembali membuat Fela mengernyitkan kening lagi. Dengan sukses, membawa perasaan Fela jadi feeling blue, disamping hanya gundah saja.

“Fel?” Mama mengernyitkan kening heran.

Di hadapan putrinya ada semangkuk dessert coklat super lezat, tapi sepertinya Fela tidak sadar. Padahal, itu adalah kesukaan Fela.

Mama tahu, Fela memberi julukan dessert favoritnya itu ‘coma by chocolate’. Itu untuk menggambarkan betapa lezatnya chocolate cake buatan Mama, lengkap dengan lelehan pasta bercampur rum, di tambah dengan potongan-potongan dark chocolate yang pahit.

“Ya Ma?” Fela mengangkat wajah malas.

“Kok dessertnya nggak dimakan sih Fel?” tanya Mama penasaran. “Kenyang?”

“Nggak sih Ma, hanya aja…”
“Apa?”
“Jakarta itu tidak seenak Bandung ya, Ma.” Ucap Fela muram. Nggak tahu kenapa, tahu-tahu Fela bisa berasa homesick aja. Dia kangen Bandung, kangen rumahnya yang menghadap ke gunung Tangkuban Perahu, kangen Mila, kangen…, yah pokoknya, Fela kangen semua deh.
Mama tersenyum, mengelus kepala putrinya lembut. “Semua tempat memang tidak ada yang sama, Fel. Jakarta tidak seperti Bandung, tidak seperti Surabaya, dan pasti akan beda juga dari Bali. Kamu nggak bisa banding-bandingin begitu kali, Fel. Lagi pula, bagaimana kamu bisa bilang begitu? Kamu baru tiga bulan stay di Jakarta ini.”

”Tiga bulan juga udah lebih dari cukup, Mama!” Balas Fela sinis. Dessert-nya tetap dibiarkan tak tersentuh.

“Kenapa?” tanya Mama bingung. Dalam hati, Mama kuatir juga jangan-jangan Fela ngalamin kesulitan berat di sekolah. Atau dikerjain sama teman-teman sekolahnya. Atau…

“Mereka semua pada cuek bebek, Ma.” Kata Fela menggeleng putus asa. “Sampah, polusi, plastic bag bertebaran, terus sepertinya nggak satu mahlukpun di sekolah Fela yang perduli. Mana hawanya panas Ma, pokoknya… benar-benar beda sama Bandung.” Lanjut Fela pelan.

Mama tertawa dan mengacak rambut Fela. Beliau tahu, hal-hal yang menyangkut ‘save the earth’ ini selalu ditanggapi Fela dengan serius. Putrinya ini punya keperdulian terhadap lingkungan, jauh melebihi usianya yang masih belia. Dan terus terang, Mama bangga pada Fela. Tidak banyak anak SMP maupun SMU yang mempunyai wawasan dan pandangan, serta solidaritas yang begitu kuat terhadap bumi ini.

“Oke. Jadi sepertinya… udah waktunya untuk Fela membuat perubahan. Ya kan?”

Fela menatap Mama nggak percaya. Mama pasti bercanda. Pasti!

“Kenapa?” tanya Mama jenaka. “Kok kamu jadi bengong gitu?”

“Yaelah, Mama. Fela…” Ucap Fela menunjuk dirinya sendiri. “Membuat perubahan? Hm, Mama pasti main-main.” Mama hanya tersenyum melihat Fela melanjutkan dengan nada berapi-api.
“Ma, siapa sih Fela ini? Fela tuh anak baru Ma. Anak yang benar-benar baru. Baik itu di sekolah dan juga di Jakarta. Senior Fela tuh banyak banget. Dan mereka udah stay di Jakarta ini seumur hidup. Masa Fela sih Ma, yang harus membuat perubahan. Bisa kacau Ma, Pratama School.”

Mama tertawa lagi. “Kalau bukan kamu, siapa lagi? Kan kamu sendiri yang bilang kalau mereka semua tidak perduli.”

Fela terdiam. Ia menatap Mama bingung. Ya… benar juga sih. Tapi… tapi… dia kan anak baru. Anak baru, Mama. Dan Mama pasti tahu kan, gimana perlakuan siswa lama, dan mereka udah senior lagi, terhadap para juniornya!

Aduh! Pusing ah!

“Fel,” Mama berucap serius, “memangnya untuk membuat suatu perubahan yang baik itu kamu harus tinggal cukup lama dahulu di suatu tempat. Begitu?”

“Tapi… tapi…”

“Dan untuk menjadi trendsetter, not the follower, apakah itu berarti kamu harus lebih tua dari mereka-mereka yang masih berpikiran konventional?” tanya Mama bijaksana.

Fela menatap Mama. Dia tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat lamanya.

Mama tidak memaksa. Beliau tahu, Fela butuh waktu. Dan jika tiba saatnya, putrinya akan mengambil keputusan yang tepat.

Dulu, sejak masih di kandungan pun, Fela tidak bisa diburu-buru. Mama harus ribut dengan dokter karena beliau dipaksa untuk menjalani C-section, atau operasi Caesar. Menurut dokter, sudah waktunya Fela lahir. Padahal Mama yakin, bayi putrinya yang satu ini sangat istimewa. Dia pasti akan keluar, jika saatnya tiba.

Dan Mama memang benar!

Sesaat menjelang C-section itu, Fela lahir normal tanpa kesulitan apapun. Semua orang dibuat tercengang melihat kejadian itu.

Karena itu, sekarangpun Mama tidak memaksa Fela sama sekali.
***
Fela memejamkan mata rapat.

Be the trendsetter, not the follower.

Fela suka sekali ucapan Mama yang itu. Cool, keren, dan membuat Fela merasa menjadi seseorang. Dan persis itulah yang ia lakukan di Bandung, bukan? Hanya saja, dulu terasa lebih mudah daripada sekarang.

Dan jujur, ia tidak yakin bagaimana tanggapan para seniornya terhadap junior yang kesannya sok tahu, sok-sok bawa perubahan. Fela bergidik sendiri. Apalagi Pratama School termasuk sekolah nge-top yang para siswanya terkenal tajir dan masuk jajaran kalangan papan atas. Siapa sih Fela itu? Hanya satu diantara sekian ratus siswa yang nggak penting deh…!

Fela mengambil majalah Teen’S World, membuka halaman demi halaman kertas mengilap itu dengan pikiran bercabang. Mm… matanya terpaku pada sebuah artikel. Sebetulnya itu artikel fashion tentang Kyra, perancang mode yang sedang naik daun. Tapi entah kenapa, buat Fela, artikel itu seolah menjawab kebimbangannya.

“Saya selalu bermimpi untuk menjadi seorang perancang… “

Demikian dikutip oleh Teen’S World dalam sebuah wawancara singkat di sela-sela acara fashion show di hotel bintang lima, Castella.

“…tapi jalan ke arah sana, sepertinya sangat berliku dan berpasir.” Kyra yang cantik, dan sebenarnya lebih cocok untuk jadi model daripada perancang, tersenyum manis. Sesekali matanya melirik pada deretan model remaja papan atas yang berlenggak lenggok di atas catwalk memamerkan busana khas vintage koleksinya tahun ini. “Jadi saya berpikir,” lanjut Kyra dramatis, “bila untuk sampai pada tujuan dan cita-cita saya dibutuhkan berpuluh-puluh langkah raksasa, alangkah baiknya jika saya mulai dengan satu langkah kecil. A small step can change a man’s world. Bukankah begitu? Prinsipnya sederhana, think globally act locally. Roma juga tidak dibangun dalam waktu satu hari saja, bukan?Dan begitulah saya memulai. Selangkah demi selangkah. Jatuh dan bangun lagi. Melangkah kembali…”

Fela tercenung.

Kyra adalah designer favoritnya. Dulu di Bandung sana, semua FO yang menjual nama Kyra pasti laku keras, seperti kacang goreng saja. Siapa sih remaja ibukota yang tidak kenal nama Kyra?

Hanya saja yang Fela tidak pernah tahu ialah bahkan seorang designer setenar Kyra pun harus berjuang keras, sebelum karyanya diakui dan disukai pasar.

Dan prinsip Kyra… prinsip tentang think globally act locally, satu langkah kecil, jatuh dan bangun, melangkah lagi… itu adalah prinsip sederhana yang sama sekali tidak sederhana. Prinsip yang bisa dibilang hebat dan membumi! Fela kembali terdiam. Otaknya berpikir keras.

Dan perlahan… senyum manisnya terkembang.
1st Chapter by Rina

No comments: