PERTAMA
Kupalingkan wajahku pada sosok yang dari tadi mengejar dan memanggil-manggil namaku. “Tunggu dong, Phytt. Capek nih, lari-lari,” ucap Rico tersenggal-senggal. “Sori banget, Ric. Gue buru-buru, harus ngejar deadline mading, soalnya,” kataku secepat mungkin. Aku langsung berlari ke tempat parkir sepeda. Rico masih mematung, mungkin masih mencoba mencerna kata-kataku. Aku tersenyum memikirkan mimik Rico jika sedang berpikir, muka kosong dan keliatan bloon. Tapi tetap cakep, secara dia Indo gitu. Gimana tidak cakep coba?Ricardo Rahardian William, yang lebih suka dipanggil Rico, adalah satu-satunya cowok yang kupercaya bisa menjadi sahabatku. Dia tulus. Dia mau bersahabat dengan cewek gemuk kaya aku. Emang, aku tinggi, tapi tetap saja gemuk. Walaupun tinggi tubuhku lumayan bisa menyembunyikan kegemukanku, aku tetap saja gemuk di mata teman-temanku. Tapi itu bukan masalah besar bagiku, aku punya segudang ide untuk membalas ejekan teman-temanku.
Rico baik dan ramah sekali padaku saat di kelas VII SMP dulu. Kami bersahabat sampai saat ini. Bahkan dia mendaftar di SMU yang sama denganku hanya karena dia ingin melindungi aku dari anak-anak nakal di SMU yang aku pilih. Kami sangat cocok satu sama lain. Mampu mengimbangi kekurangan masing-masing. Rico anaknya asyik, kalau sama teman yang lain pendiam dan kelihatan misterius dan terkesan cool. Tapi kalau sudah sama aku, sumpah, cerewetnya itu lho! Kebangetan tahu tidak seh...
Sejak kita berdua merasa cocok, kita jadi dekat dan jadi sahabat. Kalau sudah dengan dia, aku juga langsung nyerocos, tidak merasa malu ataupun gengsi. Kita curhat ya curhat saja. Masalah cinta, pelajaran, hobi. Apa saja. Dia tidak pernah sekalipun menyebarkan rahasiaku meskipun hanya hal sepele. Aku pun juga begitu. Kalau aku butuh solusi dari masalah yang kuhadapi, aku langsung mengadu padanya setelah sebelumnya mengadu pada tempat curhat nomor satuku, Mas Akbar.
Ayah Rico berasal dari California, sedang Ibunya asli Betawi. Tapi Rico tidak terlihat seperti keturunan Betawi walau logatnya gue-lo. Kalau sedang libur sekolah, Rico selalu pergi ke rumah kakeknya di Los Angeles, California. Setelah aku dan dia jadi sahabat dan aku juga sudah cukup dekat dengan keluarga Rico, Rico selalu mengajak aku dan Mas Akbar ke rumah kakeknya di California. Karena orang tuaku mengijinkan, aku dan Mas Akbar sih senang-senang saja. Ke California gitu lho, dibayarin lagi. Siapa yang tidak mau?
Tapi aku bersahabat dengan dia bukan karena materi, tentu saja. Dia tipe sahabat yang aku banget. Cowok tapi pengertian, beruntung lah cewek yang kejatuhan cintanya nanti. Sekarang sih dia masih jomblo, tapi aku curiga ada seseorang di California yang padanya telah tertambat hati Rico. Yah, semoga saja kalau itu benar, Rico akan segera mengenalkannya padaku. Sudah seperti calon mertua saja, aku ini.
Kupacu sepedaku lebih kencang. Aku harus segera memfotokopi artikel-artikel mading untuk arsip. Aku menuju tempat fotokopi paling dekat dengan sekolahku, SMU 5000, Jakarta. SMU Goceng, begitu sekolahku biasa dipanggil.
“Aduh, pake tutup segala. Tempat yang lain di mana ya?” kataku waktu melihat tempat fotokopi itu tutup. Langsung kukayuh lagi sepedaku, mencari tempat fotokopian yang lain. Jakarta yang panas, macet, dan berpolusi tak mencegahku mencari tempat fotokopi meskipun hanya dengan berkendara sepeda.
Kutemukan sebuah tempat fotokopi setelah mengayuh sepeda selama dua puluh menit. “Mbak, ini tolong difotokopi, rangkap satu aja,” aku menyerahkan artikel-artikel itu pada karyawan tempat itu. Aku duduk di kursi tunggu. Kubuka tasku dan kuambil sebotol air mineral. Kuminum perlahan sambil memperhatikan keramaian jalan raya. Mataku menangkap sesosok cowok. Rupanya Gigan, teman sekelasku yang sering masuk BK (Bimbingan dan Konseling) tapi malah dijadikan ketua kelas oleh teman-temanku. Entah apa yang aku dan teman-temanku pikirkan saat pemilihan ketua kelas. Dia memang kadang lucu dan sering membuat kami sekelas tertawa melihat konyolnya tingkah Gigan. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa Gigan anak berandal. Merokok dan mabuk. Banyak yang bilang begitu.
Aku pernah melihatnya hang-out dengan dua orang temannya. Waktu Gigan melihatku, dia rada malu-malu. Aku dan seorang temanku pun sedang hang-out, waktu itu. Kedua teman Gigan, yang aku tidak kenal, mulai merokok. Gigan tidak ikut merokok. Seorang teman Gigan bertanya padanya, aku tidak dapat mendengarnya karena mereka berbisik. Gigan menjawab pelan sambil melihat ke arahku. Teman Gigan itu pun ikut melihat ke arahku, lalu berkata “Biarin aja,” aku langsung tahu kalau mereka membicarakanku. Kuduga mereka bertanya mengapa Gigan tidak ikut merokok.
“Ini dek,” suara sang karyawan menyadarkanku dari lamunan. “Oh, berapa mbak?” aku merogoh saku rok seragamku. “Seribu lima ratus,” katanya seraya membetulkan kertas-kertas yang berantakan di meja. Kusodorkan uang lalu mengucapkan terimakasih padanya.
Kembali kulalui jalan raya yang panas dan ampek. Karena tak tahan dengan panas, aku memilih jalan alternatif menuju sekolahku. Lumayan, tidak terlalu panas dan berpolusi. Saat itulah aku dihadang tiga orang berandal yang sering nongkrong di dekat situ. “Cewek gendut, bagi duit!” bentak cowok berkulit hitam dan kekar. “Apa salah saya? S.. Saya nggak punya duit,” ucapku lemas. “Alah, bohong lo! Masa cewek gendut kaya lo kagak punya duit. Pasti punya tuh, kalo kagak punya, dari mana lo makan? Dari badan lo keliatan kalo lo makannya banyak,” sahut salah satu rekannya yang bersuara cempreng. “Bener ntu,” sambung cowok yang bertampang sangar. Mereka terbahak mendengar itu. Hatiku panas namun mana mungkin aku membalas para preman ini?
“Phytta? Lo ngapain di sini?” aku mencari sumber suara itu. Tak jauh dari situ, kulihat Gigan berdiri masih memakai seragam sekolahnya. “Lo kenal ama die, Gan?” si Hitam bertanya pada Gigan. Gigan mengangguk sambil berjalan ke arahku. Aku mengernyitkan dahi. Kok Gigan kenal sama para preman ini? Apa Gigan salah satu dari mereka? Terus nasibku gimana nih jadinya? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepalaku.
“Dia temen sekelas gue. Kalian apain Phytta?” tanya Gigan kepada mereka bertiga. “Tenang aje, kagak kite apa-apain kok. Tadi emang kite palak, tapi belum dikasih ma die,” jelas si Hitam, menyeringai. “Lo nggak pa-pa kan, Phytt?” Gigan terlihat khawatir. Baru sekali aku melihatnya seperti itu. Dahiku makin berkerut. Gigan menyadarinya lalu dengan tiba-tiba raut wajahnya berubah netral.
“Gue nggak pa-pa kok, Gan. Thanks, lo datang di saat yang tepat,” kataku seraya menyipitkan mata pada para preman itu. “Mau pulang?” tanya Gigan padaku. “Enggak, mau ke sekolah. Mau nyelesaiin mading gue,” jawabku pelan. “Gue temenin yuk, ntar kalau dihadang preman lagi gimana?” katanya jenaka. Gigan tidak pernah seperti ini padaku kalau di sekolah. Aku heran dengan perubahan sifat Gigan yang drastis. Kuterima tawarannya.
“Gue boncengin lo ya?” tanyanya padaku. Aku bengong. Nih anak sarap ya? Ngapain dia boncengin aku? Dia kan punya sepeda sendiri. “Lo gimana seh? Lo kan punya sepeda sendiri. Kalo lo boncengin gue, bisa kejungkir sepeda gue!” sewotku. “Hahaha.. Phytta.. Phytta..,” Gigan tertawa. “Eh, malah ketawa. Nggak ada yang lucu!” seruku padanya. Tawanya mulai berhenti. “Iya juga ya? Nggak ada yang lucu. Phytt, lo nggak usah khawatir. Gue bisa boncengin lo kok. Sepeda gue biar aja ditinggal di sini, ya nggak, Ben?” Gigan berkata pada si Hitam. Si Hitam mengangguk senang. “Tapi..,” kata-kataku terputus melihat isyarat dari Gigan.
Terpaksa aku turuti kemauan Gigan. “Bener lo bisa? Nggak jatuh kan?” tanyaku gelisah. “Tenang, gue pasti bisa!” Gigan mengambil alih sepedaku yang memang bisa untuk berdua. Aku membonceng di belakangnya. “Berangkat!” serunya. Dia mengayuh sepedaku. Ternyata dia memang bisa memboncengkan aku. “Lo tuh nggak berat kok, Phytta. Buktinya gue bisa boncengin lo,” kata Gigan padaku. Aku hanya tertawa. Senang juga sih, diboncengin Gigan. Siapa cewek yang nolak Gigan? Cuma aku mungkin. Dia bukan tipeku. Tahu kan dia kaya gimana? Tapi tetap saja aku senang, baru kali ini aku diboncengin cowok, selain Mas Akbar dan Rico. Naik sepeda lagi! So sweet.. Pasti lebih sweet kalau sama Arka. Ah, Arka..
****
Arka. Dia teman sekelasku waktu SMP begitu pula sekarang di SMU. Dia cowok aneh dan unik, kalau menurut pandangan teman-temanku. Dia usil, suka caper, gokil, lucu, dan rada jorok. Suka basket dan jadi cadangan di tim inti sekolah. Anaknya lumayan gaul sih, tapi dia itu abnormal. Tidak bisa diam kalau sedang di kelas. Suka mengusili dan menggoda cewek-cewek di kelasku. Yah, pokoknya dia itu unique deh!Entah mengapa aku bisa menaruh rasa padanya, Rico sampai heran bukan main. “What?! Lo suka sama anak abnormal itu?? Apa sih yang bisa dibanggakan dari dia? Paling cuma jago basketnya aja, ya kan?” protesnya padaku waktu aku curhat dengan dia. Kujawab kalau mungkin ini yang namanya tulus. Kita tidak melihat dari luarnya saja. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku sendiri juga bingung kenapa aku sampai suka Arka. Serius, aku tidak berkehendak seperti ini. Arka itu cuek kalau sama yang namanya cinta. Kata Tiffa, teman dekatku dan sahabat Arka di SD, pernah ada cewek yang naksir dia. Nama cewek itu Diyya. Sewaktu Arka ulang tahun, Diyya memberi Arka kado, dan coba tebak apa yang dilakukan Arka pada kado Diyya. Arka membuang kado itu ke tempat sampah! Bayangkan bagaimana perasaan Diyya. Juga waktu Valentine, sama seperti tadi, Arka membuang coklat dari Diyya, lagi-lagi ke tempat sampah. Setelah Tiffa menasihati Arka, Arka baru mau mengambilnya. Namun Arka tidak memakannya secuilpun. Arka malah membagikan coklat itu pada teman-temannya. Sebagai seorang cowok, dia parah banget ya? Pasti sakit, melihat cowok yang kita suka berbuat seperti itu pada kita.
Aku tidak akan pernah memberi tahu Arka betapa aku sayang padanya. Aku tidak mau seperti Diyya. Aku takut Arka menjauhiku seperti dia menjauhi Diyya waktu SD dulu. Lebih baik aku tetap menyimpan rasa ini. Kecuali jika ia juga punya perasaan yang sama. Memang kelihatannya tidak mungkin, tapi kita boleh berharap kan?
Aku naksir Arka sejak kelas IX. Sudah hampir setahun aku memendam ini semua. Tiffa, Rico, dan Nera salut padaku atas kesabaranku menanti Arka yang kemungkinan besar tidak akan pernah membalas perasaanku. Aku senang walau hanya bisa mengamati Arka dari jauh. Aku senang bisa cukup dekat dengan dia. Bagiku itu semua sudah cukup. Aku tidak terlalu berharap bisa jadian dengan Arka. Karena aku sadar diri. Aku gemuk dan tidak terlalu cantik, dan itu jelas bukan kriteria cewek Arka. Tapi Tiffa terus mendukungku dan menyemangati aku. Kata Tiffa, semua itu mungkin.
“Phytta? Lo dengerin gue ngggak?” Gigan menyadarkanku dari lamunan. “Ap.. Apa? Sori, gue nggak denger, Gan. Jalannya rame banget,” aku berbohong. “Tadi gue tanya, lo udah punya pasangan buat pelajaran Kesenian belum?” tanya Gigan. “Oh, belum. Lo mau jadi partner gue?” tawarku karena aku memang belum punya pasangan untuk menyanyi duet pada pelajaran Kesenian. “Gue juga belum punya. Gue mau jadi partner lo,” jawabnya mantap. “Oke. Udah ada rencana mau nyanyi apa?” tanyaku seraya membuka handphoneku yang bergetar karena ada pesan masuk.
From: Arka
Wah.. Ad yg lg pcrn ne. Romantis bgt, pke speda sgala.. Cihuy!
Hah?? Arka? Di mana dia? Dia pasti ada di dekat-dekat sini. Kucari dia, namun tidak kutemukan Arka. Tumben amat dia SMS aku. Biasanya kalau bukan dia yang SMS duluan, dia tidak bakal balas SMSku. Menyebalkan. Jarang sekali dia SMS aku. Baru dua kali selama di SMU! Dan ini baru yang ketiga kalinya! Aku takjub. Hatiku berbunga-bunga. Tentu saja, bagaimana tidak senang kalau cowok yang kita sukai kirim SMS kepada kita?
Ada pikiran gila yang baru saja melintas di kepalaku. Arka jealous sama Gigan. Jangan tertawa! Aku kan sudah bilang kalau itu pikiran gila. Tapi mungkin itu benar. Buktinya, Arka yang amat sangat jarang kirim SMS padaku, baru saja mengirimi aku SMS dan itu hanya karena melihat aku diboncengkan Gigan! Jelas aku jadi kege-eran. Hehe..
To: Arka
Mksd lo?? Gue ma Gigan kn cm tmn. Yee.. :p
Kutunggu balasan dari Arka seraya mengobrol dengan Gigan tentang lagu yang akan kita berdua nyanyikan pada pelajaran Kesenian minggu depan. “Gue suka lagu A Whole New World. Itu lho, soundtracknya film Aladdin,” kata Gigan padaku. “Wah, iya. Itu aja, gue juga suka lagunya,” jawabku bersemangat. “Ayo, coba nyanyi bareng,” ajak Gigan.
Gigan mulai menyanyi. “I can show you the world. Shining, shimmering, splendid. Tell me, princess, now when did. You last let your heart decide? I can open your eyes. Take you wonder by wonder. Over, sideways and under. On a magic carpet ride. A whole new world. A new fantastic point of view. No one to tell us no. Or where to go. Or say we're only dreaming,” suara Gigan memaksaku ikut bernyanyi.
“A whole new world. A dazzling place I never knew. But when I'm way up here. It's crystal clear. That now I'm in a whole new world with you. Unbelievable sights. Indescribable feeling. Soaring, tumbling, freewheeling. Through an endless diamond sky,” sambungku ceria.
****
“Enak ya, pacaran?” Raras menyambutku dengan sinis. “Sori, Ras. Tempat fotokopi yang biasanya tutup, terpaksa gue nyari. Udah gitu dapetnya jauh lagi!” aku nyengir. “Kasihan Phytta. Tadi dia juga sempat dihadang preman lho,” Gigan mendukung ceritaku. “Oke, oke. Gue percaya. Ayo, cepetan. Keburu deadline nih,” Raras berbalik menuju kelas ekskul mading, lalu dengan sigap kembali menghadap Gigan dan menambahkan, “Gan, mending lo tinggalin cewek lo deh. Kita agak lama nih, soalnya.”
“Siapa sih yang jadi cewek Gigan?” sewotku. Aku melotot padanya lalu memandang Gigan minta dukungan. Gigan yang menangkap pandanganku langsung menyahut. “Iya. Phytta bukan cewek gue kok,” Gigan agak salah tingkah. “Oh, kirain. Habis mesra banget sih, boncengan naik sepeda berdua. Siapa yang nggak ngira kalau kalian pacaran, hayo?” Raras tersenyum nakal. Aku cemberut.
Handphoneku bergetar. Balasan dari Arka rupanya.
From: Arka
Btw, lo dah pnya prtner buat Kesenian blm?
Apa-apaan ini? Apa Arka bermaksud menawariku jadi partnernya? Ah, tidak mungkin. Cuma khayalanku saja. Arka tidak mungkin mau jadi partnerku.
To: Arka
Udah, td Gigan nawarin gue. B’hubung gue blm pny partner, y gue trma aj. Mank knp?
Aku harap-harap cemas menanti jawaban darinya. Aku, tentu saja berharap Arka tanya begitu karena dia naksir aku. Pede sekale.. Tapi sepertinya tidak mungkin ya?
“Bye semua,” aku melambai pada teman-teman di ekskul mading. Mereka membalas tak kompak. Kuambil sepedaku yang tadi kuparkir di lapangan sekolah. Kutemukan Gigan di bangku dekat sepedaku. “Gigan, lo ngapain masih disini?” tanyaku, tak dapat menyembunyikan keterkejutanku. Gigan bangkit dari bangku. “Ya nungguin lo lah, ngapain lagi?” jawabnya santai. Aku melongo. Gigan? Nungguin aku? Yang benar saja!
“Kurang kerjaan banget sih lo, nungguin gue segala,” kataku mengernyitkan dahi. “Kalau gue nggak nungguin lo, gue pulang sama siapa dong?” jawabnya tanpa rasa bersalah. Gubraks!! Lututku lemas mendengarnya. Gigan, Gigan. Lo tuh ye..
“Mas Akbar? Phytta pulang bawa martabak bantal kesukaan Mas Akbar nih!” seruku, meletakkan sebungkus martabak yang masih hangat di meja tempat kami biasa makan. “Oke. Ntar mas makan deh!” Mas Akbar balas berteriak dari kamarnya. Aku merebahkan diri di kasur tempat aku dan Mas Akbar bermalas-malasan sambil menonton televisi. “Fiuh,” aku menghapus keringat yang menetes dari dahiku.
“Itta, sholat dulu,” Mas Akbar mengingatkanku. “Tadi udah di musholla sekolah,” jawabku sambil berjalan ke kamarku. Aku bersiap-siap mandi ketika ada seseorang yang mengetuk pintu kos-kosanku dan Mas Akbar. “Biar aku yang buka,” kataku pada Mas Akbar yang asyik dengan notebooknya. Mas Akbar mengangguk padaku.
“Ya?” aku membuka pintu. “Hey, Itta,” sapa seseorang yang tadi mengetuk pintu. “Choco? Ayo masuk,” aku mempersilakan sahabatku itu masuk. “Oh, iya,” Rico mengikutiku. “Ayo duduk, nih ada martabak bantal spesial. Di makan, Ric,” kubuka bungkus martabak itu lalu kusodorkan pada Rico. Aku beranjak dari sofa untuk membuat minum, tamu harus dihormati.
Kuletakkan nampan berisi dua gelas es sirup dan sepiring kue kering. “Makan, Ric,” aku mengambil sepotong martabak. Rico ikut mengambil satu. “Tadi, Arka cerita ma gue kalau lo pacaran sama Gigan. Beneran nggak sih?” tanya Rico. Aku hampir tersedak mendengar itu. “Siapa yang pacaran sama Gigan? Ngaco deh, Arka itu. Tadi tuh gue emang diboncengin Gigan, tapi kita nggak pacaran kok. Lagian siapa yang suka sama Gigan? Lo kan tau kalau gue sukanya sama Marty,” jelasku panjang lebar.
Marty adalah nama samaran untuk Arka. Kenapa Marty? Aku ambil nama itu dari salah satu tokoh film animasi Madagascar dan nama tokoh di film Back To The Future. Madagascar, tahu kan? Itu lho, empat binatang dari kebun binatang di New York. Ada Alex si Singa, Melman si Jerapah, Gloria si Kuda Nil, dan Marty si Zebra. Marty itu tingkahnya konyol dan aneh, makanya aku dapat ide untuk nama samaran Arka dari situ. Memang mirip sih. Kalau Marty dari film Back To The Future itu adalah cowok sahabat seorang ilmuwan yang membuat mesin waktu. Menurutku Marty di film Back To The Future itu cute dan cool.
Rico manggut-manggut mendengar ceritaku. “Gue kira lo beneran jadian, makanya gue buru-buru kesini. Gue kira lo lupain gue, masa lo jadian gue nggak dikasih tau? Ternyata cuma salah paham,” kata Rico. Aku dan Rico tertawa bersama. Entah apa yang kami tertawakan. Kuteguk es sirup milikku, Rico meniruku.
Kami bercanda seru sore itu, ditambah humor segar dari Mas Akbar yang sesekali menyambung aku dan Rico. “Itta, besok malam minggu kita jalan ke mall ya?” ajak Rico. Itta merupakan panggilan sayang dari Rico dan Mas Akbar untukku. Lucu kan, nama panggilanku? Sebagai ganti, kalau aku sedang sayang sama Rico, aku panggil dia Choco. Karena dia suka sekali dengan yang namanya coklat. Mirip nama anjing temanku saja.
“Oke, Choco sayang,” jawabku geli sembari mencubit pipinya yang kemerah-merahan khas bule. Dia cemberut namun segera saja dia tertawa. Aku ikut tertawa. “Dasar gila,” Mas Akbar yang baru keluar dari kamarnya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kami. Tawa kami malah semakin keras.
****
Rico sedang memainkan topi kesayangannya saat aku masuk kelas. “Pagi, Choco!” ku tepuk pundaknya. Rico menoleh padaku dan tersenyum manis. “Pagi juga, Itta. Tumben amat lo berangkat pagi, biasanya balapan ama bel masuk,” kata Rico sambil nyengir. “Phytta gitu lho,” balasku sambil menepuk dada. Jarak sekolahku dengan kos-kosanku memang tidak terlalu jauh, jadi aku selalu nanggung kalau berangkat sekolah. Kadang sampai terlambat dan harus membuang sampah yang ada di sekolah karena hal tersebut.
“Hey, cari apaan?” sapa seorang cowok yang berdiri di belakangku waktu aku sedang mencari buku bacaan di perpustakaan sekolah. Rupanya Arka. Jantungku berdegup kencang, namun aku bisa menyembunyikan perasaanku dengan memasang muka ngapain-lo-tanya-tanya. “Gue lagi cari pupuk urea,” kataku pura-pura bete. “Ditanyain serius malah kaya gitu,” kata Arka agak sewot. Aku memicingkan mataku. “Oh, gue baru tau kalau lo itu bisa serius,” balasku sengit, pura-pura tentu saja.
“Ya, bisa lah. Gini-gini gue kan cowok, harus bisa serius dong,” kata Arka berwibawa. Aku kagum, baru sekali ini aku melihat Arka seperti ini. Aku tersenyum dalam hati. “Wah, udah mau masuk nih. Gue pergi dulu ya,” kutepuk bahu Arka seraya berjalan keluar. Di pintu perpustakaan, aku berhenti dan berbalik ke arah di mana Arka berdiri. “Gue seneng lo bisa serius kaya tadi, beneran,” aku tersenyum lalu segera berjalan cepat keluar dari perpustakaan, terlalu takut untuk tahu reaksi Arka.
3 comments:
Kok gda terusan nya? Ih :/
Kenapa ceritanya ga dilanjutin😞😞😞
Kenapa ceritanya ga dilanjutin😞😞😞
Post a Comment