BAB 1
Pertama Kalinya
Pertama Kalinya
LEA mendesah, menatap layar televisi di depannya dengan pandangan penuh damba. Terpukau menatap wajah seorang pria yang sedang tersenyum di balik layar kaca. Sambil menggeleng-gelengkan kepala, dia bertanya-tanya, bagaimana pria setampan Soma Saidan bisa lahir ke dunia? Wajahnya benar-benar seperti malaikat. Begitu sempurna, tak bercela. Dengan memandangnya saja, dia merasa sedang berada di surga.
“Lea...”
Itu suara Kenneth, manajernya, yang sudah berkali-kali memanggilnya, untuk segera bersiap-siap berangkat ke acara pemberian penghargaan (award), yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional.
Kenneth sendiri sudah sangat rapi. Rambutnya yang hitam kelihatan basah, disisir ke belakang. Dia, seperti biasanya, kelihatan amat tampan. Apalagi dengan setelan hitam Armani- yang dikenakannya sekarang. Dia benar-benar sangat sempurna. Tapi, menurut Lea, tanpa mengenakan jas pun Kenneth sudah cakep dari sananya. Dia tetap akan kelihatan menawan, bahkan kalau memakai kaus compang-camping sekali pun. Wajahnya yang mirip Ari Wibowo saat muda, tidak menjamin dia bisa kelihatan jelek.
“Kid, kalau kita tidak berangkat sekarang, dijamin kita pasti terlambat sampai di sana.” Kenneth memperingatkan lagi.
‘Kid—Nak’ adalah panggilannya pada Lea, yang usianya memang sepuluh tahun di bawahnya.
Lea bergeming, menatap televisi di ruang tamu, dengan kedua tangan menopang dagunya di atas meja. Tidak ada suatu pun yang bisa mengganggunya, saat dia sedang menonton aktor idolanya, Soma Saidan.
Kenneth mendesah, mengeluarkan decak jengkel. Dengan tak sabar, dia menyambar remote yang tergeletak di atas meja tamu, dan mematikan televisi di depannya. Menurutnya, itu tindakan paling tepat untuk membuat Lea berhenti menonton, dan bersiap-siap berangkat.
Lea ganti berdecak. Tubuhnya langsung ditegakkan, dan kepalanya mendongak ke arah Kenneth. Kedua matanya mendelik tajam.
“Kenapa sih kau menggangguku?” katanya memberengut. Matanya yang besar mengejap-ngejap.
Kenneth memasukkan satu tangannya ke saku celana hitamnya. Mengembuskan napas pelan, dan menatap Lea yang masih memelototinya dengan kepala dimiringkan.
“Aku tahu kau sangat menyukai Soma, sehingga membuatmu agak... aneh,” kata Kenneth, menyindir. Lea menyipitkan matanya. “Tapi, apa dia juga harus membuatmu telat datang ke acara MTV” (dia mengangkat tangan kirinya, memandang arlojinya) “kira-kira dua jam lagi?” katanya, sambil menatap Lea dengan kedua alisnya terangkat.
Lea terperanjat, dengan panik bergegas bangun dari lantai. “Sori!” serunya, seraya menyambar sepatu hitamnya dan memakainya cepat-cepat.
Lea sudah didandani sangat cantik oleh Hera, hairdresser dari SATU Entertainment, yang sudah lebih dulu berangkat ke lokasi acara, untuk mempersiapkan kostumnya di sana; dia mengenakan gaun hitam berbentuk cube yang memperlihatkan bagian pundaknya yang kecil mulus. Bagian roknya, agak mengembang, dengan bahan transparan bertumpuk. Membuatnya kelihatan sangat imut. Rambutnya ikal panjangnya, yang hitam kemerahan, terjurai di punggungnya.
Kenneth bersedekap, memerhatikan Lea yang susah payah memasukkan kakinya ke dalam sepatu hak tingginya.
“Jadi,” kata Kenneth, “apa kita bisa berangkat sekarang?”
Lea tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala saja. Dia terlalu tegang untuk bicara, meski hanya ‘ya’ atau ‘tidak’.
“Oke, berangkat kalau begitu,” kata Kenneth, berjalan lebih dulu menuju pintu apartmentnya. Sementara Lea masih berdiri di ruang tamu, sambil menenangkan dirinya selama beberapa waktu. Dia baru berjalan ke pintu, setelah Kenneth berteriak memanggilnya dengan suara jengkel
Sudah satu harian ini Lea diliputi ketegangan yang luar biasa. Jantungnya sudah berdegup kencang mulai dari dia bangun tidur pagi ini. Perutnya mual, kepalanya pusing, membuatnya jadi tidak bersemangat melakukan apa pun. Dia juga mudah sekali kaget, karena terlalu banyak bengongnya. Tingkat kegugupannya semakin meningkat pada sore hari, menjelang penampilan perdananya bersama Brody, yang akan disiarkan langsung di acara ‘MTV Indonesia Television Award’ yang akan berlangsung malam ini. Rasa tegangnya itu, agak terobati saat dia melihat wajah Soma Saidan, aktor Bollywood tampan kesayangannya.
“Apa mereka akan... menyukai kami, Ken?” tanya Lea pada Kenneth yang duduk di sebelahnya, di dalam mobil Mercedez yang mengantarkan mereka. “Aku takut sekali mereka melempari aku dan Brody dengan telur...”
“Kalau kau tidak mau mereka melemparimu dengan telur. Menarilah dengan baik,” kata Kenneth, tidak berusaha menghibur Lea sama sekali. “Jangan terlalu tegang, Lea. Itu tidak baik.”
Lea mencibir. Bagaimana mungkin dia tidak tegang? Sejak serial drama “A Wedding’s Song For Christian”—Lagu Pernikahan Untuk Christian yang dibintanginya bersama Brody ditayangkan satu setengah bulan lalu di salah satu stasiun televisi swasta, dan langsung booming, ini adalah kali pertama mereka berdua muncul di depan publik (para penonton setia “Wedding’s Song”, penggemar, bahkan—yang paling dikhawatirkan Lea—selebriti tanah air). Menunjukkan wajah asli mereka, setelah membuat penasaran dan kesal para pengejar berita, yang berlomba-lomba mendapatkan foto mereka secara langsung.
Seluruh pemeran “Wedding’s Song”, mulai dari Lea dan Brody (yang merupakan pemeran utama serial drama tersebut), sampai dengan Din dan Anggita, yang adalah pemeran pendukung utama, memang tidak diperkenankan oleh manajemen SATU Entertainment, rumah produksi baru—dan juga manajemen artis—yang menggarap pengerjaan serial drama tersebut, untuk mengekspos diri di depan publik, terutama di depan kamera wartawan gosip, demi membangun image eksklusif, dan juga menjaga agar mereka tak tersentuh oleh gosip-gosip aneh. Selain itu, SATU juga tidak memperbolehkan mereka semua, untuk menghadiri pesta-pesta selebriti atau acara lainnya tanpa persetujuan resmi.
Sejauh ini Lea, Brody, Din atau Anggita tidak keberatan dengan semua larangan dan peraturan tersebut. Mereka toh tidak terlalu gila popularitas. Apalagi, tanpa harus sibuk berkoar-koar mempromosikan diri, pundi-pundi uang terus mengalir masuk ke rekening mereka di Bank (keempat-empatnya telah dikontrak oleh beberapa produk pakaian ternama selama setahun penuh), dan publik ternyata menyukai mereka yang seperti itu. Kemisteriusan para pemeran “Wedding’s Song”, membuat mereka semakin penasaran. Dan rasa penasaran itu amat menguntungkan. Selain membuat Lea, Brody, Din, dan Anggita semakin ngetop, situs khusus SATU Entertainment juga jadi kebanjiran pengunjung. Pekerjaan pun berdatangan ke rumah produksi kecil tersebut, menyebabkan mereka menjadi Production House paling populer hanya dalam waktu satu setengah bulan, setelah “Wedding’s Song” tayang. Mengalahkan rumah produksi lain, yang telah ada sebelum mereka.
Bisa dibilang, strategi mereka luar biasa sukses.
Mulai dari penyebutannya saja, SATU Entertainment dengan tegas menyatakan kalau “Wedding’s Song’ bukanlah sinetron, melainkan serial drama.
Episodenya juga tidak sebanyak sinetron, yang terdiri dari beratus-ratus episode, yang berlangsung setahun penuh—bahkan lebih dari itu, melainkan hanya terdiri dari tiga puluh episode dan habis tayang kira-kira hanya dalam waktu tujuh bulan saja. Ceritanya juga sangat berbeda. Tidak berbelit-belit; berisi tangis dan penderitaan yang berlebihan, melainkan lebih santai—tapi tetap serius, dan romantis. Tokoh yang ditampilkan pun tidak banyak. Hanya bercerita seputar empat tokoh utama saja, agar tidak melenceng dari alur cerita.
Tidak hanya ceritanya yang menarik, lagu soundtrack-nya—terdiri dari lima lagu, yang diciptakan sendiri oleh penata musik SATU Entertainment—juga sangat diminati masyarakat. Dan saat ini paling banyak diunduh dari internet, serta dijadikan nada sambung pribadi.
Benar-benar sangat berbeda dengan sinetron, yang soundtrack-nya biasanya diambil dari lagu-lagu milik grup band atau penyanyi yang sedang booming.
Namun, seperti yang telah diketahui semua orang, dampak positif dari suatu hal akan selalu diiringi oleh dampak negatif. Dan dampak negatif itu, sayangnya memilih untuk menghampiri Lea—dan juga Brody, yang akibat ketenaran dadakannya, diharuskan menampilkan sebuah pertunjukkan yang menurut semua tim kreatif SATU Entertaiment, akan menjadi pertunjukkan paling memukau dan fenomenal yang pernah ada—Lea berpikir, tentu saja akan amat sangat fenomenal kalau dia dan Brody dilempari telur di atas panggung nanti. Kalau saja tidak karena rasa hormat luar biasa pada semua tim SATU Entertaiment, dia pasti akan menolak mentah-mentah permintaan mereka untuk melakukan pertunjukkan tidak meyakinkan ini.
Meski pun “Wedding’s Song” tidak dinominasikan menjadi salah satu penerima award, karena masih terbilang baru, namun karena kesuksesan serial tersebut, membuat pihak MTV secara khusus mengundang semua tokoh utamanya untuk hadir ke acara penghargaan itu. Mereka juga meminta Lea dan Brody, untuk mempersembahkan sebuah pertunjukkan khusus, yang bisa dinikmati oleh para undangan lain dan juga pemirsa televisi. Permintaan itu langsung disetujui oleh pihak SATU Entertainment.
Permintaan inilah yang akhirnya membuat Lea dan Brody, harus tersiksa selama satu bulan penuh.
Awalnya semuanya setuju kalau Lea dan Brody akan bernyanyi saja. Tapi tiba-tiba saja, salah seorang tim kreatif rumah produksi—menurut Lea terlalu kreatif sampai hilang akal—mengusulkan agar Lea dan Brody, untuk menampilkan sebuah pertunjukkan yang lain dari yang lain. Dan dia mengusulkan keduanya untuk menyanyi sekaligus menari. Dan ternyata banyak yang mendukung.
Meskipun agak keberatan, tapi karena di desak oleh banyak pihak, termasuk Kenneth, Lea dan Brody akhirnya setuju dan santai-santai saja. Sampai akhirnya, orang itu menyebutkan lagu dan tarian apa yang harus mereka bawakan.
“Kalian harus menyanyikan lagu dari Chrisye. Ada satu yang cocok banget. Musiknya sangat etnik-modern. Keren banget—kalau ditarikan. Ini akan... spektakuler sekali. Yang lain kan sudah sering nari hip-hop, tapi kalian... Kalian akan membuat semua orang tersenyum, dengan ethnic-cathcy-traditional-modern. Kalian bisa pakai batik, dan menarikan tarian tradisional. Kalian akan jadi yang pertama,” kata staf tim kreatif tersebut yang dipanggil dengan sebutan Iting, yang rambutnya memang keriting—Lea berencana menggundulinya saja setelah itu—dengan penuh semangat.
Lagi-lagi usulnya disetujui dan mendapatkan dukungan besar, kecuali dari Lea dan Brody—tentu saja, yang sama sekali tidak bisa menolak.
Jadi selama dua bulan penuh, di bawah instruksi koreografer wanita pendatang baru, bernama Farah yang galak luar biasa—yang tampaknya sanggup menelan Lea dan Brody bulat-bulat bila mereka melakukan kesalahan, mereka berdua dengan sangat serius berlatih menari dan juga menyanyi, walaupun tulang sudah hampir remuk, dan suara berubah serak seperti burung gagak.
Tarian pengiring yang harus mereka bawakan campuran antara gerakan tarian Jawa-Bali-Jaipong yang dipadu dengan gerakan tari modern. Kedengaran agak sulit memang, tapi ternyata, setelah berkali-kali latihan dan ditarikan, menyenangkan juga. Gerakannya juga tidak susah-susah amat, sehingga Brody tidak kesulitan mengikutinya.
Farah juga meminta, supaya Lea dan Brody, menunjukkan ekspresi wajah yang sesuai dengan lagu itu. Agar pertunjukannya lebih teatrikal, seperti tari India, gitu.
Ini yang agak sulit, karena menambah PR (Pekerjaan Rumah) mereka berdua. Dan Farah tidak mau tahu, meskipun Lea atau Brody mimisan sekali pun, mengatakan kalau mereka tidak bisa melakukan itu. Membuat Lea mengatasinya, dengan sering nonton film India, hanya untuk mencari referensi ‘mimik’ dan ekspresi yang bagus. Dan dari menonton itulah, akhirnya membuatnya lebih mengenal Soma Saidan. Aktor India asal Indonesia, yang telah tujuh tahun aktif berakting di industri perfilman Bollywood. Dia juga mendapatkan Best Promising Actor tahun lalu, di festival film Cannes, Perancis dalam filmnya yang berjudul ‘Hai Zindegi – Oh Hidup’. Sampai saat ini, Soma tinggal di New Delhi, India. Dan tampaknya cukup dia cukup disegani di sana.
Di sini, di Indonesia, meskipun banyak yang menyebutnya tidak nasionalis, banyak wanita mengidolakannya—termasuk Lea. Di mata mereka, Soma bagaikan dewa yang turun dari langit. Wajahnya yang luar biasa tampan, diimbangi dengan tubuhnya yang luar biasa seksi; tinggi dan atletis. Bola matanya hijau (jelas dia menggunakan lensa kontak), dengan alis hitam-tebal yang melengkung sempurna. Rambutnya gelap dan berkilauan, tebal dan lurus. Dibiarkan agak panjang, dan selalu ditata acak-acakan—rambut bagian depannya selalu mencuat ke atas.
Semua orang membicarakannya. Semua wartawan di sini mengejar beritanya. Meskipun dia berada di belahan bumi lain yang beratus-ratus mil jauhnya dari tanah air.
Sebelum melihatnya dengan saksama, Lea sebetulnya bertanya-tanya, apa sih kelebihan cowok ini, sampai semua cewek tergila-gila? Tapi sekarang dia juga jadi sangat menggemarinya. Dan cukup bahagia, dengan hanya melihat wajahnya melalui layar kaca.
“Ya... kami dalam perjalanan. Tenang saja, okay,” kata Kenneth jengkel pada Brody, yang sudah kesekian kalinya menelepon ke ponselnya, bertanya dimana posisi mereka sekarang—Lea dan Brody harus berada dalam satu mobil, saat menginjak karpet merah nanti; formalitas biasa, agar wartawan dapat mengabadikan foto mereka dengan mudah—dan memberitahu Kenneth kalau dia sudah berada di hotel tempat mereka berjanji untuk bertemu, yang berada tidak jauh dari gedung tempat acara diadakan. “Kami baru akan masuk ke halaman hotel,” kata Kenneth lagi, sambil melongokkan kepala, melihat melalui kaca depan. Sementara Lea, hanya diam, menggoyang-goyangkan kakinya.
Lea sudah tidak bisa tenang sekarang. Terus-terusan berpikir mengenai kesuksesan penampilannya? Takut, kalau aksi panggungnya dan Brody, malah membuat penonton kecewa. Dan akhirnya, menertawakannya. Dia juga bertanya-tanya, apakah semua aktor dan aktris lainnya akan menyukainya dan juga Brody, mengingat mereka berdua adalah orang-orang yang tidak mempunyai pengalaman akting atau pernah bekerja di industri hiburan sama sekali.
Kalau dilihat dari sejarahnya, semua orang yang memerankan tokoh di dalam serial Wedding Song, mulai dari Lea, Brody, Din, kecuali Anggita, memang tidak ada yang pernah berkecimpung di dunia glamor itu sedikit pun. Buta sama sekali. Bahkan sampai sekarang, keempatnya masih seperti merasa bermimpi bisa berakting di depan kamera; apalagi telah menyelesaikan syuting serial Wedding Song sejak enam bulan lalu.
Menurut tim kreatif SATU Entertainment yang menggagas konsepnya, hal tersebut akan membuat kemasan serial drama ini menjadi lebih segar—punya cita rasa berbeda. Karena itu, mereka memilih untuk mencari orang-orang biasa, dari kehidupan biasa, yang memiliki penampilan dan kualitas akting yang luar biasa di luar industri hiburan.
Lea sendiri (yang merasa akting dan penampilannya biasa-biasa saja), tadinya hanya seorang gadis biasa, yang bekerja sebagai sekretaris di perusahaan garmen kecil di daerah Kuta, Bali. Dia direkrut oleh Kenneth—yang sekarang menjadi manajernya dan Brody—tanpa sengaja, saat sedang duduk sendirian di pantai Kuta menjelang matahari terbenam. Tanpa berpikir dulu, Lea langsung menolak. Mengira Kenneth adalah laki-laki cabul yang mengajaknya untuk bermain di film porno. Apalagi, Kenneth langsung mendatanginya tiba-tiba saja, dan tanpa basa-basi lebih dulu langsung mencecarnya dengan pertanyaan, “apa kau mau main di serial drama?”. Untungnya, Kenneth mengabaikan penolakannya. Dan dengan serius menjelaskan maksudnya. Tidak membiarkannya pergi.
Sedangkan Brody, selain tampan (berkulit coklat, rambut coklat, mata coklat, (semuanya coklat) dan berwajah agak bengal) dia adalah dokter umum di sebuah rumah sakit di Jakarta – Lea mengira dia sedang bergurau waktu dia memberitahu profesinya sebagai seorang Dokter. Tidak kelihatan sih.
Saat sedang bertugas malam, dia tiba-tiba kedatangan pasien pria yang baru mengalami kecelakaan motor. Tangannya terluka cukup parah, dan mengeluarkan banyak darah, sehingga mengharuskannya untuk menjahitnya segera. Angga, yang adalah sutradara ‘A Wedding’s Song For Christian’, sedang dalam pengaruh obat bius dan dalam kondisi mabuk, saat tiba-tiba menawarkan Brody, yang sedang berkonsentrasi menjahit lukanya, peran ‘Kenan’, tokoh utama di serial “Wedding’s Song”. Sama seperti Lea, dia juga langsung menolak. Tidak mengindahkan tawarannya. Dia baru menanggapi dengan serius, waktu Angga datang lagi dua hari kemudian, dan secara resmi memperkenalkan diri, kemudian menawarkan peran tersebut sekali lagi pada Brody.
“Bagaimana aku bisa percaya kata-kata orang mabuk?” kata Brody, saat bercerita.
Sedangkan Din (oh, Din), yang memerankan tokoh Christian, selalu mengingatkan Lea pada Tio Pakusodewo saat muda. Begitu menarik, tenang dan dewasa—semua orang di set “Wedding’s Song” menyebutnya Kapon—diambil dari nama ‘Al Capone’, karena sikap dinginnya. Meskipun sudah berusia tiga puluh tiga tahun dan sudah menikah, penampilannya luar biasa oke. (Dan seksi, menurut Lea)
Din adalah seorang manajer di salah satu Bank ternama di Jakarta. Temannya, Andara, yang adalah direktur SATU Entertainment, yang menawarinya peran ‘Christian’. Yang langsung diterimanya dengan alasan coba-coba. Namun, dia langsung menolak berakting lagi setelah syuting “Wedding’s Song” selesai. Dengan alasan, ingin berkonsentrasi pada pekerjaannya—padahal semua orang tahu, kalau Anya, istrinya, yang melarangnya (dia selalu menemani Din saat syuting), setelah menyaksikan syuting adegan ciuman bibirnya dengan Lea, yang lumayan mesra.
Anggita—Lea tidak pernah ingin berdiri berlama-lama di sebelahnya, karena merasa tidak selevel—tidak ada kata apa pun lagi, yang bisa menggambarkan dirinya, selain kata ‘cantik’. Dia selalu terlihat memukau, kapan pun dilihat (bahkan saat sedang cemberut). Di “Wedding’s Song”, dia berperan sebagai Tasya, tunangan Christian, yang digambarkan amat cantik, berkulit putih pualam, berambut coklat lurus berkilau, dan bermata biru. Dan penampilannya, ya, memang asli seperti itu. Dia mendapatkan mata birunya dari ibunya yang asli Jerman. Tapi, meskipun mukanya ‘bule’, cara bicara dan sikapnya sangat Indonesia, karena dia lahir di Jakarta. Dan selama dua puluh tiga tahun tetap di Jakarta. Dia satu-satunya yang punya latar belakang showbiz, karena dia adalah seorang model majalah papan atas. Meskipun namanya tidak terlalu dikenal.
Sama seperti Din, Anggita juga tidak ingin berakting lagi. Karena dia ingin lebih fokus sebagai model dan peragawati. Syuting “Wedding’s Song” di Bali enam bulan lalu, membuatnya tidak bisa mengikuti beberapa sesi pemotretan yang menurutnya penting.
Namun, meskipun memang tidak ada pengalaman sama sekali, publik dan sineas banyak yang memuji akting mereka di serial itu. Apalagi wajah keempatnya, terlihat sangat atraktif di depan kamera. Tidak membosankan sama sekali.
Semua penonton sangat menyukai mereka. Menunggu-nunggu wajah mereka di depan layar televisi setiap Minggu sore. Terutama Lea dan Brody, pemeran utama “Wedding’s Song”.
Sekarang, Mercedes perak yang membawa Lea dan Kenneth, telah sampai di depan teras lobi hotel bintang lima, tempat Brody menunggu. Tanpa berlama-lama, Kenneth membuka pintu dan turun dari mobil untuk menjemput Brody. Dia dan Brody akan bertukar mobil. Brody akan berkendara bersama Lea, sedangkan Kenneth akan naik di mobil lain, mengikuti dari belakang.
Ternyata bukan hanya Brody yang menunggu di hotel tersebut, melainkan beberapa artis lain seperti—Lea merasa sangat tidak percaya diri—Nia Mardani (cantik sekali, bagaikan bidadari) bersama pacarnya, yang adalah anak konglomerat ternama di Indonesia; Luna Inaya (mata Lea mencari-cari Aril, vokalis band Peter Cup, yang adalah kekasih Luna, yang tidak tampak dimana pun).
Luna sedang bicara dengan Dude Herdino (yang ternyata lebih cakep dilihat langsung—meskipun kulitnya agak pucat) dan beberapa artis lain, yang terlihat amat ‘wah’ malam ini. Mereka semua bersinar-sinar dan sangat memesona, mengintimidasi siapa pun yang mendekat; sehingga akan memutuskan menjauh, sebelum mencemari mereka dengan ketidaksempurnaan.
Saat melihat Kenneth, beberapa di antara mereka, langsung melihat ke arah mobil. Bahkan Baim Ong (ternyata tubuhnya tidak terlalu tinggi; walau pun memang tampan), tanpa malu-malu membungkukkan badannya dan memiringkan kepalanya, untuk melihat ke dalam mobil melalui kaca pintu belakang yang—Lea bersyukur—gelap, sehingga Baim segera menegakkan tubuhnya lagi, dan kembali berbicara dengan seorang wanita cantik, yang Lea tidak tahu siapa namanya, sambil menunjuk-nunjuk ke arah Mercedes perak yang dinaikinya.
Brody tampaknya menunggu di dalam lobi. Mungkin dia, sama seperti Lea, merasa tidak percaya diri, berdiri bersama para selebriti terkenal itu. Lea melihat Kenneth berjalan dengan cepat memasuki lobi hotel, setelah menyapa beberapa orang artis yang dikenalnya. Saat dia kembali, dia berjalan bersebelahan dengan Brody, yang wajahnya separo-tegang, separo-bergairah. Kedua lengan jas hitamnya digulung sebatas siku. Dasi hitamnya dibiarkan longgar di atas kemeja putihnya. Tapi dia sama sekali tidak jelek, bahkan terlihat lebih tampan dari yang pernah dilihat Lea. Rambut coklatnya berantakan dia atas kepalanya.
Mata Lea spontan bergerak ke leher kirinya, dan dia langsung terkekeh, melihat tato naga berwarna hitam yang masih dipertahankan Brody sampai sekarang.
Tato itu sebenarnya hanya tato temporer, yang harus dibuat oleh Brody, saat memerankan ‘Kenan’. Tapi ternyata dia jadi sangat menyukainya, karena banyak orang berpendapat kalau dia kelihatan amat menarik dengan tato itu tergambar di lehernya (lebih macho, istilahnya). Dia bermaksud untuk membuatnya jadi permanen, tapi Lea dengan sangat memaksa mengatakan, agar Brody memikirkannya masak-masak terlebih dulu. Bukannya bagaimana, tapi karena tato naga itu, tergambar memanjang dari leher sampai ke dadanya. Apa dia tahan ditusuk-tusuk jarum sepanjang itu? Belum tentu juga, hasilnya jauh lebih bagus daripada yang temporer. Jadi sebelum memutuskan, Brody memilih untuk tetap memperbarui tato temporernya.
Melihat Brody, semua artis cantik dan tampan itu berpaling. Memandangnya dengan ekspresi yang tidak dapat dimengerti—Lea bersyukur dia tidak berada di sana. Brody, dilihat dari tampangnya, jelas-jelas memilih untuk segera menyingkir daripada dipandangi seperti itu. Dia mempercepat langkah menuju mobil, sedangkan Kenneth berjalan santai di belakangnya, tidak merasa terganggu dengan pandangan menilai yang menyerbu.
“Hei,” Brody menyapa Lea, yang langsung merapatkan diri ke pintu, begitu dia membuka pintu di sebelahnya, bermaksud menyembunyikan diri agar orang di luar tidak melihat sosoknya. Begitu melihat Lea, Brody tertegun. Matanya bergerak dari atas ke bawah, memperhatikannya.
Lea mengernyit. “Kenapa? Aku kelihatan jelek ya? Make up-ku terlalu tebal? Bajuku aneh?” Dia mulai terkena serangan panik. “Atau... kurang apa, gitu?”
Brody terkekeh. Kedua matanya menyipit naik. “Tenanglah Lea. Kau...” Dia menggelengkan kepala, masih memandangnya, “sempurna,” Bibir Lea membuka sedikit, masih tidak mengerti.
Brody tersenyum menenangkan dan berkata lembut. “Kau cantik.”
Pipi Lea memerah. Pujian Brody berarti sangat besar untuknya. Setidaknya percaya dirinya kembali sedikit-sedikit.
“Thanks...” gumam Lea pelan, membalas senyum Brody.
Mereka bertukar pandang hening sejenak, sampai Kenneth melongokkan kepala ke dalam untuk melihat mereka berdua.
“Kalian oke?” Dia bertanya, memandang bergantian Lea dan Brody, yang balas memandangnya tanpa ekspresi dan tidak menjawab. “Sepertinya baik-baik saja...” gumamnya. “Aku akan ada di mobil di belakang kalian.”
Terdengar suara klakson dari mobil di belakang. Itu mobil Andara, direktur SATU Entertaiment; seorang wanita cantik, bertubuh semampai, yang penampilannya mengudang rasa hormat. Lea dan Brody menoleh, melihat melalui kaca belakang, sama-sama melempar cengiran, meskipun sangsi Andara melihatnya. Sementara itu, di belakang Honda City Andara, beberapa mobil mewah: Mercedes, BMW, Jaguar dan lain-lain sudah mengantri di belakangnya; menjemput para artis lain yang kini bergegas menghampiri jemputannya masing-masing.
Kenneth buru-buru menutup pintu. Memukul atap mobil dua kali, memberi isyarat pada supir di depan Lea untuk menjalankan mobil. Setelah itu dia berlari ke belakang dan naik ke atas Honda City, sementara Mercedes perak yang membawa Lea dan Brody melaju pelan meninggalkan halaman hotel.
Lea merasa perutnya mual lagi. Ketegangan menyeruak memenuhi sel-sel otaknya, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Dan sekarang, dia merasa tangan dan kakinya gemetar. Brody tampaknya juga merasakan hal yang sama. Dia berkali-kali menarik napas panjang, dan mengembuskannya pelan-pelan. Kakinya digoyang-goyangkannya ke atas dan ke bawah, untuk mengalihkan kegugupannya. Dia tidak bicara sama sekali.
“Dok...” panggil Lea pada Brody (‘Dok’ dari kata Dokter). “Kau tidak mau... betulin... dasi?” tanyanya beberapa saat kemudian, saat jarak mobil mereka tinggal beberapa meter lagi dari MTV Head Quarters—Markas Besar MTV.
“Aku,” Dia berdehem kikuk, “lebih nyaman begini...” katanya, seraya menunduk melihat dasinya yang longgar. Dengan gugup dia bicara lagi pada Lea, ekspresinya memelas. “Please,... jangan suruh aku untuk...”
“Oke,” kata Lea buru-buru, sambil menganggukan kepala. “Jangan cemas... Aku tidak akan bilang apa-apa lagi.” katanya, mengarahkan kepalanya lurus ke depan. Namun, tidak sampai dua detik dia kembali bicara pada Brody. “Tapi,... kau tetap ganteng kok, Dok. Bahkan lebih ganteng dari Dude dan Baim tadi,” katanya, berusaha menghibur, seakan saja itu akan membuat Brody lebih tenang.
“Shut up, Lea,” Diamlah, Lea, desisnya, menatap lurus ke kaca depan mobil. Dahinya berkerut kuat sekali.
Beginilah mereka. Dua orang ‘mendadak artis’, yang tiba-tiba mencuri perhatian masyarakat dan media—para artis lain juga, tentu saja, melihat cara pandang mereka saat di hotel tadi. Dan sekarang akan bersiap-siap melangkah melewati karpet merah. Menghadiri salah satu acara paling bergengsi di dunia hiburan tanah air; tanpa mengetahui bagaimana reaksi orang-orang saat melihat mereka nanti.
“Huuuhhh...” Brody mengembuskan napasnya perlahan dan keras, saat mobil berbelok ke halaman gedung besar—halaman MTV Headquarters.
Perut Lea serasa anjlok. Dia menggosok-gosok tangannya seperti orang yang kedinginan, lalu menempelkannya ke kedua pipinya. Kemudian mencoba bernapas teratur.
“Mudah-mudahan Din dan lainnya sudah di sana,” gumamnya penuh harap. Kakinya, sama seperti Brody, kini bergoyang-goyang cepat ke atas dan ke bawah. “—atau Kenneth, gitu. Supaya kita nggak kelihatan bego, berdua-duaan di sana.”
Mobil mereka bergerak lambat, mengantri bersama mobil lain yang berbaris di depan. Meskipun begitu, jeda waktu yang lumayan lama itu—karena para artis tentu saja, akan berfoto-foto lebih dulu di depan kendaraannya, sebelum berjalan melalui karpet merah—malah membuat Lea merasa lebih tegang dari sebelumnya. Dia berharap semua ini cepat berlalu; dia turun bersama Brody, tersenyum, dan langsung masuk ke dalam gedung. Tidak menunggu dengan perasaan tidak nyaman seperti ini.
Tepat pada saat itu, handphone di dalam tas tangan Lea berbunyi. Dan dia segera mengambilnya buru-buru.
“Kenneth...” Dia memberitahu Brody, yang memandang cemas ke arahnya. Lea cepat-cepat menekan tombol ‘ok’ dan menempelkan handphone ke telinganya.
“Ken?” sapanya. “Kau dimana?”
“Aku yang seharusnya bertanya begitu?!” balasnya setengah berteriak. Ramai sekali di belakangnya. Seperti sedang ada keributan; kedengaran orang berteriak-teriak, memanggil-manggil entah siapa; suara tepukan, jeritan, bercampur dengan suara musik yang berdentum-dentum. “Kalian dimana?! Aku sudah duluan sampai!. Din, Anggita, dan yang lain sudah di dalam!”
“Benarkah?!” Lea terlonjak kegirangan di kursinya. Lalu cepat-cepat berkata lagi. “Kami sudah sampai kok. Mobil kami stuck di belakang BMW putih,” katanya, tidak kalah keras. Dia menjulurkan kepala, melihat melalui kaca depan, ke BMW putih di depan mobil mereka, yang tampaknya tidak bergerak sedari tadi. “Kau dimana?”
“Oke. Aku tunggu di depan.” kata Kenneth, tidak menjawab pertanyaan terakhir Lea. Langsung menutup teleponnya.
Lea menurunkan handphonenya, dan memasukannya kembali ke tas tangannya.
“Dia dimana?” tanya Brody, yang sedang melap keringat di dahinya dengan sapu tangan, kelihatan sangat kepanasan. Padahal AC di dalam mobil luar biasa dingin.
“Dia sudah sampai,” jawab Lea, memejamkan mata. Berkonsentrasi menghilangkan rasa gugup yang melandanya.
Mobil sudah berjalan lagi, dan lebih cepat dari sebelumnya.
“Din, Anggita, dan juga yang lainnya juga sudah sampai. Dan Kenneth bilang dia akan menunggu kita di depan.” katanya lagi, masih dengan mata terpejam.
“Kau baik-baik saja kan, Lea?” tanya Brody, saat melihatnya.
Lea membuka mata perlahan, kemudian menoleh memandang Brody. “Ya. Harus kan?” katanya. “Mana boleh kelihatan panik di depan wartawan dan orang-orang itu.”
Brody mendengus tersenyum, dan menganggukan setuju. Mereka berdua berpandangan getir sejenak, kemudian kembali melihat ke depan, melalui kaca depan mobil yang bersih. Mobil BMW putih di depan mereka ternyata membawa Meriam Belina. Aktris senior, yang tetap cantik dan tetap eksis hingga sekarang. Dan yang paling diidolakan oleh Lea.
“Meriam Belina...” gumam Lea, dengan mata membulat. “Itu—Meriam Belina,” ulangnya lagi, dengan suara seperti melamun.
Dia memandang terpana Meriam yang terlihat luar biasa mencengangkan dalam kebaya merah ketat dan transparan, berlapis longtoso sewarna di dalamnya. “Cantik...” gumamnya lagi.
Meriam Belina, tampaknya tidak berlama-lama membiarkan wartawan mengambil fotonya. Dia, dengan anggun, segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam, ditemani seorang pria setengah baya, yang bertubuh tinggi besar. Lea tidak mengenalnya sama sekali.
“This is it.”Ini saatnya, Brody berbisik pada Lea, yang tidak menyadari kalau Mercedez mereka sudah melaju pelan ke depan, menggantikan posisi BMW yang tadi berhenti tepat di depan karpet merah. Matanya masih terpancang ke punggung Meriam Belina. “Lea.” Dia memanggilnya lagi.
Lea tersadar, dan buru-buru menatap wajah Brody. Menganggukan kepala dan tersenyum bersamaan dengannya.
“Kau siap?” tanya Brody. Menatap matanya lekat-lekat.
Lea mengangguk, dan membiarkan Brody meraih wajahnya dengan satu tangan, kemudian mengecup pipinya sekali, serta mengucapkan kata ‘semoga beruntung’ yang pelan.
Pintu mobil di samping Brody, dibuka oleh pria berjas hitam yang bertubuh tinggi besar. Brody segera memalingkan tubuhnya, dan bergeser ke pinggir, turun dari mobil. Kamera segera menghampiri. Kilatan blitz menyerbu. Orang-orang berteriak histeris memanggil namanya; para gadis memekik keras, para wartawan yang berdiri di luar karpet merah meneriakkan namanya—“Broddyyyy...... lihat sini!”—sambil mengacung-ngacungkan kamera masing-masing, bermaksud mengambil fotonya. Brody tersenyum, melambaikan tangan tinggi-tinggi ke sekelilingnya. Dan berdiri, dengan pose tegap yang sempurna. Dia segera dihampiri oleh Kenneth, yang segera dipeluknya dengan erat, seakan-akan sudah bertahun-tahun tidak dilihatnya.
Lea, sementara itu, menggeser tubuhnya pelan-pelan ke arah pintu yang membuka. Berharap penuh, kalau para kru kamera masih memfokuskan lensanya pada Brody. Tapi ternyata tidak, karena sekarang mereka semua ada di depannya. Brody sudah memutar tubuhnya ke arah mobil, menjulurkan tangan untuk membantu Lea turun. Kilatan blitz mengepung, kamera tepat di depan wajahnya, dan dia hanya bisa meringis tersenyum.
Brody jauh lebih baik menghadapi semua ini daripada Lea. Dia kelihatan tenang, seperti sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Padahal, beberapa menit lalu, dia sama tegangnya dengan Lea.
“Leaaaaaa!!!...” pekik orang-orang di sekelilingnya, begitu dia turun dari mobil. “LEAAA!!!...”
Lea menegakkan tubuh. Berdiri di sebelah Brody, dan melihat berkeliling. Semua yang ada di depan matanya sekarang begitu bersinar. Begitu gemerlap. Dia bagaikan dikelilingi bintang yang berkerlap-kerlip. Indah sekali.
Teriakan orang-orang yang memanggil-manggil namanya—“LEAAAA!!! I love you!!!”—membawa perasaan yang luar biasa di dalam dirinya. Semacam euphoria. Membuatnya bersemangat, tersanjung dan gembira bersamaan. Dia merasa sedang berdiri di puncak dunia. Dan orang-orang di bawahnya sedang mengelu-elukannya, karena berhasil mencapainya. Tanpa ragu, Lea tersenyum lebar, melambaikan tangannya pada semua orang. Membuat mereka semakin histeris—bahkan ada salah satu gadis yang pingsan karenanya. Kaki Lea seakan terangkat, perutnya terasa tertarik ke atas.
Sejenak kemudian, Kenneth menepuk pundaknya, membuatnya kembali menapak bumi. Lea menengadahkan wajah untuk memandangnya. Dan tersenyum pada Kenneth, ketika dia mengecup lembut keningnya.
“Ayo, Kid. Kita harus segera ke dalam...” Kenneth berbisik di telinganya.
Lea menurut, dan memutar tubuhnya menghadap pintu masuk yang amat luas, yang terbuka lebar di depannya. Pintu masuk tersebut tidak kalah elegan; dihiasi kain merah dan emas mengkilat di atas ambangnya. Balon-balon merah, perak dan emas bertebaran di lantai, dan berterbangan di sekeliling karpet merah.
Mereka berjalan bertiga dengan bibir mengembang lebar; Kenneth di tengah-tengah sedangkan Brody dan Lea, berjalan di sebelah kiri dan kanannya. Kamera tetap mengarah pada mereka, blitz tetap berkilatan di depan wajah ketiganya.
“Syukurlah. It’s over,”—Semuanya selesai. Brody kelihatan sangat lega, berjalan di samping Kenneth dan Lea yang menimpali dengan anggukan, melewati ambang pintu.
“Itu baru tahap pertama,” Kenneth berkata, sambil merangkul Lea. Lea melirik padanya, sedangkan Brody memalingkan wajah menatapnya, mengernyitkan alis. Sam sekali tidak mengerti. “This is the worst...” Ini yang paling sulit, kata Kenneth lagi, mengedikkan kepala ke arah depan.
Lea mengikuti arah pandangan Kenneth, dan dia langsung menahan napas, bersamaan dengan Brody yang segera menghentikan langkahnya. Wajahnya seakan membeku, mulutnya membuka sedikit.
***
1st Chapter oleh Putu Indar Meilita
2 comments:
Pingin lagi baca karya putu indar meilita yang tentang lea dn juna
Nyariin novelnya Lita, sampe sekarang ga ketemu. Pengen reread, kangen banget sama kisah Juna n Lea, juga Shinji...
Post a Comment