-
Chapter 1
The Vagabonds
Angin menderu – deru di luar. Hujan terus turun dengan lebatnya disertai petir yang menyambar – nyambar. Di dalam sebuah kedai, duduk seorang pengembara bertudung cokelat yang nampaknya kehujanan karena tudungnya basah kuyup. Wanita pemilik kedai membawakan secangkir cokelat panas untuk pengembara itu.
“ Ini, kurasa ini akan menghangatkanmu. “
“ Terima kasih “ sahut si pengembara parau.
Wanita itu menghela napas dengan ekspresi keheranan. “ Lagipula, apa yang kau lakukan ditengah hujan lebat begini ? “
Pengembara itu menyimpan cangkirnya yang kini isinya tinggal setengah di meja dihadapannya, lalu tersenyum. “ Aku menunggu teman – temanku “
Pemilik kedai itu menggelengkan kepalanya. “ Teman – temanmu bukan orang yang tepat waktu rupanya ? “
Pengembara itu lagi – lagi hanya tersenyum.
“ Baiklah, begini saja. “ sahut pemilik kedai sambil menopangkan dagunya.
“ Kurasa teman – temanmu tidak akan datang dalam cuaca begini. Bagaimana kalau aku bercerita tentang sesuatu ? “
“ Cerita ? “ tanya sang pengembara.
“ Ya. Cerita yang dimulai kira – kira 18 tahun yang lalu. Mau dengar ? Ini cerita tentang para pengembara dan pemberontak. Kau kan pengembara, kau pasti suka. Bagaimana ? “
Si pengembara tersenyum, tampak tertarik. “ Aku mendengarkan “
Pemilik kedai pun menyeret kursi di sebelahnya lalu duduk dan mulai bercerita.
***
Salju terus beterbangan pada hari itu, 18 tahun yang lalu. Tak ada yang dapat dilihat selain hamparan salju putih yang menyelimuti dataran bumi di Padang Sycaran. Namun, sekumpulan orang yang kini berlindung di dalam sebuah gua, nampaknya punya masalah yang jauh lebih serius dibandingkan hawa dingin yang terus menerpa mereka.
“ Kita tak bisa begini terus. Kita sudah duduk berjam – jam disini tanpa melakukan sesuatu yang bisa menyelamatkan hidup kita semua. “ sahut seorang wanita berambut merah dan bertudung putih yang bernama Tahtian.
“ Aku tahu, Tahtian. Kita harus segera mencari potongan terakhir, kecuali kita mau mereka terus mengejar kita, tentu. Apalagi diburu oleh orang-orang bar-bar tidak tahu malu itu yang hanya menginginkan kemampuan kita. Tapi dalam cuaca begini ? Kita bisa mati duluan sebelum melihat cahaya yang kita cari. Lagipula, bagaimana dengan bayi Ellen ? “ jawab seorang pria bernama Ruaf yang duduk didepan wanita tadi sambil menunjuk sebuah buntalan kain yang sedang digendong anggota mereka yang lain yang rupanya berisi bayi.
“ Ellen yang malang. Dia berusaha melindungi kita dan bayinya waktu kita nyaris tertangkap pasukan kerajaan Sanctuary. Kasihan bayi ini. Bagaimana nasibnya nanti setelah kehilangan ibunya ? “ kata Yuan, wanita yang menggendong bayi itu.
Mereka semua terdiam, terlalu sedih karena baru kehilangan salah satu anggota mereka sekaligus ibu bayi itu, terlalu lelah setelah berjalan ratusan kilo sambil menghindari serangan pasukan kerajaan, terlalu khawatir akan waktu yang terus berjalan tanpa peduli akan nasib mereka jika mereka tidak segera menyatukan potongan patung terakhir dan terlalu kesal pada salju yang terus turun, menggangu perjalanan mereka.
Druan, pria yang membawa dua pedang yang tersimpan di dalam sarungnya yang diikatkan ke pinggang, mendadak berdiri dan berjalan kedepan gua. “ Badai sudah mulai reda, kita bisa keluar kapan saja. Kudengar potongan terakhir ada di Dunfall. Kita kesana sekarang ? “
Ruaf mengangguk. “ Lebih cepat lebih baik. Dia sudah tidur, Yuan ? “
Yuan menekankan telunjuknya ke bibirnya. “ Baru saja. Lebih baik kita jangan terlalu ribut.”
“ Bagus, kita tidak butuh tangisan bayi yang bisa membuat pasukan Sanctuary menemukan kita. Semua siap ?” tanya Ruaf. Dan karena semua temannya mengangguk, dia pun berjalan menghampiri sesosok pria terakhir yang merupakan pemimpin mereka yang duduk di sudut gua. Pria itu hanya memandangi langit yang kini mulai cerah dengan ekspresi datar. Tangannya masih berlumuran darah. Darah Ellen, istrinya.
“ Ciel, kami semua sudah siap. Kita ke Dunfall ? “ tanya Ruaf pelan.
Ciel terdiam sebentar sebelum akhirnya menghela napas dan berdiri. “ Ayo “.
Kelima orang bertudung putih itu pun keluar dari gua, menuju barat, ke sebuah kota bernama Dunfall. Dengan membawa perbekalan yang sangat terbatas beserta seorang bayi, mereka hanya bisa berdoa, semoga mereka berlima bisa sampai dengan selamat, tanpa berkurang satu orangpun.
Tapi nampaknya Dewi Fortuna tidak di pihak mereka.
Langit semakin cerah, memamerkan bintang – bintang yang bertaburan. Si bayi bergerak – gerak gelisah dalam buaian Yuan. Takut bayi itu menangis, Yuan berhenti sebentar untuk memperbaiki posisi selimut bayi itu agar tidak kedinginan.
“ Sini, biar kubantu “ ujar Tahtian sambil mengambil beberapa barang bawaan Yuan.
“ Terima kasih. “. Sambil memperbaiki selimut, Yuan berbisik pelan agar tidak terdengar rombongan pria. “ Menurutmu kenapa Ciel berubah begitu drastis ? Ia bahkan tidak menyentuh bayinya sejak kita keluar dari Sanctuary ! “
Tahtian menghela napas dan memperbaiki tudungnya. “ Aku pun akan bersikap begitu kalau aku kehilangan seseorang yang kusayangi. Apalagi nyawa orang itu hilang di tanganku sendiri. Kau lihat kan, Ciel belum menghapus darah Ellen yang melekat di tangannya.”
“ Ya, aku mengerti itu, tapi bagaimana dengan bayinya ? Apa dia begitu membenci bayi ini ? Aku tak akan percaya Ciel akan bersikap begini kalau aku ingat bagaimana senangnya dia ketika bayi ini lahir. Bayi ini dipeluknya sampai menangis waktu itu ! “ sahut Yuan geli.
Tahtian pun tak bisa menahan senyum.” Ya, dia memberitahu semua penduduk desa sampai suaranya serak dan mencarikan bayinya nama di perpustakaan semalam suntuk. Raquel. Bukankah itu nama yang indah dan pantas untuk bayi perempuan secantik ini ? “. Senyum Tahtian memudar. “ Bagaimanapun juga, Ciel belum bisa menerima kematian Ellen. Jangankan bayinya, pada kita pun dia tak bicara apa – apa. Yah…. Paling pada Ruaf. Itupun hanya sekedar menanyakan cuaca. “
“ Tapi… “
“ Apa kalian membutuhkan waktu begitu lama untuk memperbaiki selimut bayi ? Kita sudah kehabisan banyak waktu ! “ seru Druan.
Tahtian berdiri dan menyingkirkan salju, lalu membantu Yuan berdiri. “Sebaiknya kita bergegas. Tak ada gunanya kita membahas itu sekarang “.
Yuan terdiam dan mengikuti Tahtian dari belakang. Merekapun kembali melanjutkan perjalanan.
Entah berapa lama mereka berjalan, tapi kini mereka sudah sampai di hutan cemara. Ruaf yang berdiri di belakang Ciel, tiba – tiba berbisik di telinga temannya itu.
“ Ciel, apa tak ada jalan lain ke Dunfall selain lewat hutan ini ? “
Ciel terus berjalan dalam diam, sampai akhirnya dia bertanya. “ Tidak tahu. Yang aku tahu Cuma jalan ini. Kenapa ? “
“ Entahlah, perasaanku tak enak. Yah, mungkin karena hutannya terlalu gelap, aku jadi berpikiran macam – macam. “
Mereka terus berjalan menembus hutan yang gelap. Tampaknya semua akan baik – baik saja, sampai….
“ Hatchi ! “. Bayi itu bersin karena hidungnya tertusuk ujung daun cemara. Lalu dia mulai bergerak – gerak gelisah.
“ Oh, tidak. Tenang sayang, kau akan baik – baik saja. Jangan menangis ya..” seru Yuan menenangkan si bayi.
“ Yuan, kau yakin dia tak akan apa – apa ? “ tanya Druan cemas.
“ Hidungnya gatal, Cuma itu. Teruskan perjalanan. “ jawab Yuan, walau setengah yakin.
Ciel hanya menatap bayinya sekilas, lalu mulai memimpin perjalanan. Selama beberapa menit suasana kembali tenang. Sampai tiba – tiba butiran – butiran putih yang dingin mulai turun perlahan dan makin lama makin deras.
“ Bagus sekali ! Salju sudah turun lagi ! Bagaimana ini ? “ gerutu Tahtian.
“ Tenang, kita semua harus tenang. Mungkin sebaiknya kita cari gua atau apapun yang bisa melindungi kita dari hujan salju..” saran Ruaf.
“Kita sudah beristirahat untuk ke-4 kalinya hari ini, dan kau mau istirahat lagi? Kita tak mungkin berlindung lagi, Ruaf !!!Waktu kita bisa habis!!” kata Druan berang.
“ Kalian jangan terlalu ribut, bayinya…”
“ Siapa sih yang mengusulkan pergi ke Dunfall malam ini juga ? “ protes Tahtian.
Ruaf tampak jengkel setengah mati. “ KALIAN SEMUA SETUJU TADI ! “
Druan menempelkan telunjuknya ke dada Ruaf. “ Tapi kami bergerak atas keputusan awalmu, Tuan ! Dan jangan teriaki Tahtian ! “
“ Demi Tuhan ! Tenangkan diri kalian dan jangan saling teriak ! Ciel, lakukan sesuatu!! “ seru Yuan panik.
“ Tak ada yang dapat Ciel lakukan ! Tak ada yang bisa kita lakukan ! Kita akan mati ! Tak sadarkah kau Yuan ? Sebentar lagi badai bisa datang dan kita tak akan pernah sampai Dunfall untuk mengambil potongan yang tersisa. Kita takkan sampai ke Cytria Temple untuk menyimpan patung sialan ini ! “ pekik Tahtian.
“ Tenang, Tahtian ! Kau Cuma panik, putus asa. Kita semua juga ! Kita bisa sampai ke Cytria, dan tak ada yang perlu mati. Berhentilah saling menyalahkan karena…”
Mereka tak tahu kenapa mereka harus berhenti saling menyalahkan, karena ucapan Yuan terpotong oleh tangisan bayi yang keras dan bergema di seluruh hutan. Mereka semua berhenti terpaku, terlalu kaget akan akibat dari teriakan mereka. Si bayi menangis karena udara yang terlalu dingin dan teriakan – teriakan disekitarnya. Mereka baru kembali sadar ketika terdengar raungan tidak begitu jauh dari tempat mereka berdiri.
“ Apalagi yang kalian tunggu ? LARI ! “ teriak Ciel.
Berlima, mereka berlari kencang, mengerahkan seluruh tenaga yang mereka punya. Tapi rupanya, tenaga mereka belum cukup untuk menyaingi tenaga monster yang kini berdiri di depan mereka. Monster itu mengeluarkan raungan keras dan menampakkan gigi – gigi runcing yang basah karena air liur. Tingginya nyaris 10 meter dan kulitnya yang seputih salju sekeras kulit badak, sehingga tidak mungkin ditembus – bahkan – oleh kedua pedang Druan. Matanya seperti mata kucing, namun berwarna merah dan berkilat senang. Jelas sekali monster ini sedang kelaparan.
“ Frodice dewasa. Ngapain dia disini ? “ kata Ruaf. Ada sedikit getar dalam suaranya.
“ Bukan mencari makan buat anaknya, kuharap. “ sahut Tahtian.
Frodice itu meraung lagi dan tangannya mengayun ke bawah, berusaha meraih kelima orang itu dengan kuku – kukunya yang panjang dan sekuat baja.
“ KESANA ! “ tunjuk Ciel ke balik batu – batu dekat kumpulan pohon cemara.
Mereka segera berlari dan berlindung dibalik batu. Frodice itu marah dan berusaha mengejar, tapi karena ia terlalu besar, dan mangsanya terlalu kecil ( bagi ukuran dia, tentu ), maka ia tidak bisa menemukan lima orang yang bersembunyi ketakutan dibalik bayangan batu besar. Karena itu, Frodice tersebut berbalik dan mencari mangsanya di tempat lain.
“ Sudah aman ? “ tanya Tahtian.
“ Dia sudah pergi. “ jawab Ruaf. Lalu dia menghela napas panjang. “ Belum pernah aku melihat Frodice sebesar itu. “
“ Lalu sekarang bagaimana ? Udara disini semakin dingin, Raquel bisa menangis lagi. “ tanya Yuan, yang kini sudah berhasil membuat bayi itu kembali tertidur.
Keempat temannya berpikir keras. Sampai akhirnya Druan menunjuk ke sebuah titik hitam.“ Lihat titik hitam disana itu ? Itu jalan keluar darurat dari hutan ini. Keluar dari sana, kita langsung tiba di Dunfall. Kita harus kesana sebelum Frodice itu menemukan kita. Itu satu – satunya cara yang terpikir olehku. “
“ Darimana kau tahu jalan itu ? “ tanya Ruaf keheranan.
Druan nyengir. “ Tidak percuma kan aku pernah jadi pencuri. Kami tahu jalan – jalan kecil tersembunyi untuk menghindar dari petugas keamanan. “
Ruaf tersenyum senang, begitu pula Tahtian dan Yuan. Dan tanpa banyak bicara, mereka mulai mengendap – endap sampai tiba di balik semak didepan gua. Mereka berhenti karena tiba – tiba Tahtian berkata ” Maaf. “
“ Hah ? Apa maksudmu ? “ tanya Ruaf keheranan.
“ Yah...Maaf, terutama untukmu Ruaf. Tadi aku…aku pasti sangat menyebalkan. Entahlah, tadi aku kehilangan kontrol. “ sahut Tahtian.
“ Aku juga. Bukan salahmu kita berada disini sekarang. Ini sesuai kesepakatan kita semua, dan tidak sepantasnya aku menyalahkanmu. Sori, Ruaf “ seru Druan.
Ruaf nyengir. “ Hei ! Tak adil kalau hanya kalian yang minta maaf. Teriakanku tadi pasti membangunkan Raquel kecil kita ini, sehingga kita harus melihat Frodice terbesar yang pernah ada…“
“ Omong – omong soal Frodice, “ potong Ciel.” Teman Frodice kita yang tadi rupanya belum menyerah. “.
Kontan mereka menoleh ke depan gua. Frodice 10 meter tadi kini sedang mondar – mandir di depan gua, mengais – ngais tanah dengan gelisah. Frodice itu lalu mengedarkan pandangannya dengan liar, berusaha mencari mangsanya yang tadi kabur.
“ Mati kita ! Bagaimana ini ? Sebentar lagi badai datang, kita tak mungkin diam disini ! “ seru Ruaf.
“ Ngapain sih Frodice sialan itu didepan gua ? “ gerutu Tahtian.
“ Mungkin dia mencium bau kita “ jawab Yuan cemas.
“ Bagus kalau begitu. Tinggal tunggu waktu sebelum dia menemukan kita bersembunyi di balik semak. “ sahut Druan.
“ Apa yang harus kita lakukan ? “ tanya Yuan panik.
“ Kita bisa mengumpankan seseorang untuk dikejar Frodice, sementara yang lain masuk ke gua. “ seru Ciel.
Mereka berempat menoleh, melihat pemimpin mereka, Ciel, tak percaya.
“ Jangan bodoh, “ kata Druan.” Kita sudah berjanji untuk tidak kehilangan anggota lagi. Cari ide lain, Ciel. “
Namun Ciel memandang mereka penuh keyakinan. Membuat keempat temannya gelisah.
“ Ciel, ini gila, “ kata Tahtian berang sekaligus ingin menangis. “ Kau bisa – bisa – bisa – m-mati, tahu ? “
“ Asalkan kalian selamat. “ jawab Ciel singkat.
Air disudut mata Yuan mulai menggenang. “ Oh, Demi Tuhan !Sinting kau, Ciel ! Ruaf, tolong hentikan dia ! Ru…”
Ruaf memandang sahabatnya lekat, seolah ingin memastikan keyakinannya.
“ Kau yakin ? Yakin bisa lari cukup cepat untuk hindari dia ? “
Ciel mengangguk. Lalu Ruaf memberikannya dua diantara lima cakramnya yang terkenal sangat tajam. “ Kalau begitu, bawa ini bersamamu. Dan ingat, “ Ruaf lalu memeluk Ciel erat. “ berhati – hatilah. “
“ Pasti “. Ciel lalu berjalan menuju Yuan yang sudah mulai menangis. “ Tolong jaga Raquel untukku, Yuan. Dan, “. Ia lalu melepaskan kalung peraknya dan menyimpannya di tangan Yuan. “ Berikan ini padanya begitu ia cukup pantas untuk memakai kalung. “. Lalu Ciel mencium dahi Raquel.
“ Dan untuk kalian berdua. “. Ciel menunjuk Druan dan Tahtian. “ Rukun – rukun ya ? “. Dan untuk pertama kalinya sejak mereka keluar dari Sanctuary, Ciel tersenyum, sebelum akhirnya berlari mendekati si Frodice. Frodice itu melihatnya, lalu ia meraung senang dan mulai mengejar Ciel. Pintu gua terbuka lebar.
“ Ayo cepat ! “ seru Ruaf. Mereka semua berlari secepat mungkin sebelum si Frodice melihat. Mereka baru berhenti berlari ketika mereka sudah cukup dalam masuk gua. Dan yang pertama kali dilakukan Tahtian adalah mendorong Ruaf, marah.
“ Kenapa kau biarkan dia pergi ?! Sekarang kita tidak tahu apakah kita bisa bertemu dengannya lagi ! Apa kau tak peduli bagaimana perasaan kami ? Apa kau tak peduli pada Raquel, yang sekarang tidak punya orangtua ? “
“ AKU PEDULI ! AKU PUN SEBENARNYA TIDAK INGIN DIA PERGI ! “ teriak Ruaf. “ AKU TAHU DIA BISA MATI ! “. Kini semua orang di gua itu menangis, marah, kesal pada satu sama lain, juga pada diri sendiri.
“ Kalian tak mengerti… tak mengerti…betapa inginnya dia melindungi satu – satunya keturunan Abarcass yang tersisa. Betapa inginnya dia melindungi Raquel, setelah ia tak berhasil menyelamatkan Ellen. Betapa inginnya ia melihat Raquel hidup, dilindungi oleh kita. Melihat kita menyelesaikan tugas ini. Melihat kita semua hidup tenang…Tidakkah kalian lihat di matanya, betapa besar keinginnannya untuk mewujudkan itu semua ? Ia bahkan rela mati. Kumohon, jangan sia – sia kan itu. “ seru Ruaf pelan. Suara bergetar oleh tangisan.
Lalu mereka semua berpelukan erat. Menangis pelan, mengenang satu lagi teman mereka yang hilang.
Ketika mereka bisa mengontrol emosi masing – masing, Tahtian menyeka airmatanya dan berkata “ Ayo, Ciel akan memarahi kita kalau kita terus – terusan menangis disini. Kita harus terus jalan. “.
Semua mengangguk setuju. Mereka mulai berjalan menuju satu – satunya jalan yang terdapat di gua itu. Kadang mereka berhenti di mata air untuk mengisi botol – botol yang kosong, dan sekedar istirahat sejenak. Sampai mereka akhirnya tiba di sebuah lahan kosong.
“ Hhh, gelap sekali disini. Apa tidak ada yang bawa lentera ? Atau kayu ? Kau kan bisa membakarnya, Tahtian. “ keluh Druan.
“ Yah, kalau ada lentera atau kayu. Lagipula, tenaga ku sudah sangat berkurang. Paling bagus aku bisa sekali keluarkan magic. Dan itu akan kupakai kalau benar – benar perlu. “ jawab Tahtian muram.
“ Ah..andai disini ada sedikit…saja cahaya. “ seru Druan.
Harapan Druan terkabul. Ratusan lampu berwarna merah menyala mengelilingi mereka.
“ Ah, ini lebih baik. “ lanjut Druan.
“ Lebih baik ? Demi Tuhan, kurasa itu bukan sesuatu yang lebih baik.” kata Yuan.
Ruaf menyuruh Yuan diam “ Kurasa aku tahu kenapa frodice tadi mondar – mandir di depan gua. “ seru Ruaf ngeri. “ Ini sarangnya “.
Seratus raungan terdengar bergaung di dalam gua. Tiap mata merah turun dan mulai berdesak – desakkan untuk meraup mereka berempat. Tanpa banyak bicara, mereka kembali berlari sekuat tenaga untuk menghindari anak – anak frodice yang kelaparan.
“ Kenapa…kau..tak bilang….kalau gua ini….adalah….sarang….FRODICE ?! “ teriak Ruaf sambil terus berlari dan menoleh ke Druan, yang juga ter-engah – engah.
“ Aku – tak – tahu ! Terakhir…kali kesini…5 tahun lalu…belum…ada..sarang…”
“ Apa jalan keluar masih jauh ? “ tanya Tahtian.
“ Harusnya sih, tidak. “ jawab Druan cepat.
Mereka terus berlari, sementara derap kaki frodice dibelakang mereka semakin dekat. Akhirnya mereka bisa melihat secercah cahaya. Pintu keluar gua terbentang dihadapan mereka.
“ Kita selamat ! “ pekik Yuan girang.
Tapi frodice – frodice itu sudah berhasil mengejar mereka. Kini jarak antar keduanya hanya sekitar 4 meter. Entah kenapa, tiba – tiba Tahtian dan Druan saling pandang, tersenyum lemah dan mengangguk bersamaan.
“ Tak bisa keluar semua ! Ruaf, bawa Yuan dan Raquel keluar ! “ teriak Tahtian.
“ Kami akan mencoba halangi gua. Begitu kalian keluar, ubah kami jadi batu, kau mengerti Ruaf ? “ seru Druan.
“ T-T-Tapi…”
“ Harus ada yang berkorban, Ruaf ! “ sahut Tahtian.
Mereka terus berlari, berpacu dengan waktu dan para frodice. Kini Ruaf dan Yuan mencapai pintu keluar. Tahtian dan Druan berdiri membelakangi mereka, tangan mereka terlentang, menghalangi pintu keluar.
“ Nah, sampai disini perjumpaan kita. Jaga Raquel. Sampaikan salam kami untuk dia. “ seru Tahtian.
“ Selamat tinggal, sobat “ sahut Druan sambil nyengir
“ Tahtian, Druan ! Jangan ! Kembali kesini ! “ jerit Yuan.
“ SEKARANG RUAF ! “ teriak keduanya bersamaan.
“ Ruaf, jangan ! Jangan biarkan mereka bertindak bodoh ! “ seru Yuan sambil menangis.
“ Maaf , Yuan..”
“ RUAF !!! “ jerit Yuan
“ STONE !! “.
Seketika Tahtian dan Druan berubah jadi batu. Frodice – frodice itu menabrak mereka, dan tak mampu keluar. Mereka meraung marah, mencakar – cakar udara. Ruaf segera membawa Yuan pergi dari tempat itu, menuruni tebing.
“ Lepaskan aku, Ruaf ! Aku ingin kembali ! Kembalikan mereka ! “ rintih Yuan, putus asa.
Ruaf tak berkata apa – apa. Tangannya masih menarik Yuan, sementara temannya itu terus meronta – ronta. “ Ruaf ! Lepaskan aku, kubilang ! “.
Lalu Yuan melakukan sesuatu yang tidak disangka – sangka Ruaf. Gadis itu menggigit tangannya.
“ Yuan ! “ panggil Ruaf sambil mengibas – ngibaskan tangannya yang kesakitan.
Yuan berlari panik mendaki tebing sambil terus membawa bayi dibuaiannya. Namun Yuan tak melihat bahwa tanah didepannya longsor, sehingga ia beserta bayi itu terperosok ke bawah jurang yang cukup dalam.
“ YUAN ! “ teriak Ruaf. Ia lalu langsung lompat kebawah, dan mendapati Yuan pingsan dengan luka di kepalanya. Kakinya pun luka berat. Tapi bayinya selamat, terlindungi oleh tubuh Yuan. Bayi itu kini menangis.
Gemetar ketakutan, Ruaf memegang nadi Yuan, berharap dia masih hidup. Yuan bernapas pelan. Nadinya pun berdenyut lemah. Ia masih hidup, walaupun diambang kematian. Ruaf merasa luar biasa lega. Tapi kelegaannya tidak berlangsung lama. Badai salju sudah datang . Angin dingin menerpa mereka. Ruaf tahu, kalau mereka terus disitu, maka tak seorangpun akan bertahan hidup.
Maka Ruaf menggendong Yuan dipunggungnya, sementara si bayi didekap didalam jubah dan mantel tebalnya. Ia pun mulai berjalan.
Angin dingin terus berhembus. Rasa dingin yang menggigit nyaris tak bisa dirasakan Ruaf. Entah sejauh mana ia telah berjalan menembus badai. Angin kencang terus menampar – nampar pipinya. Kakinya nyaris mati rasa, telinganya berdengung. Pandangannya kabur. Tapi dia tak boleh membiarkan Yuan dan Raquel mati begitu saja. Tak mungkin ia sia – siakan perjuangan Ellen, Ciel, Tahtian, dan Druan. Maka dengan tekad itulah ia terus berjalan, menghabiskan seluruh sisa energinya.
Badai mulai reda. Namun pandangan Ruaf tetap kabur. Kepalanya berdenyut – denyut. Sambil menahan sakit ia terus berjalan. Sampai akhirnya – saat ia merasa sudah sampai titik habis kekuatannya – ia melihat cahaya. Dunfall ada didepan matanya. Ruaf memaksa tubuhnya yang nyaris tak bisa digerakkan untuk berlari ke pintu terdekat. Sampai di depan pintu, tubuhnya ambruk. Tapi ia masih mampu menggerakkan tangannya untuk menggedor pintu sekeras ia bisa.
Lama sekali ia menunggu. Kemana orang – orang ?! umpatnya kesal. Serasa menunggu seabad, akhirnya pintu terbuka, cahaya menerangi mereka, disertai jeritan seorang wanita.
“ Oh, Tuhan ! Albert ! Albert ! Bantu aku, cepat ! Tenanglah, kalian akan selamat. ALBERT ! “ teriak wanita itu.
Ruaf mendengar derap langkah lain. Ia tak bisa mendengar apa – apa. Pikirannya tak terkendali. Yang ia rasakan hanya beban di punggungnya berkurang yang berarti Yuan telah diangkat. Begitu pula bayi dalam dekapannya. Detik berikutnya, tubuhnya-lah yang diangkat dan dibaringkan di kursi empuk di depan perapian.
“ Sungguh luar biasa kau bisa bertahan melewati badai sehebat itu ! “ seru wanita tadi.
Ruaf berusaha menemukan kembali suaranya. Tapi yang keluar dari mulutnya malah erangan serak. “ Y..Yuan..Bagaimana ? “ tanyanya susah payah.
“ Yuan ? Wanita ini ? “ tanya wanita pemilik rumah.
Ruaf mengangguk.
“ Dia terluka parah. Kurasa dia koma. Tapi dengan pengobatan yang benar, dia akan segera sembuh dan sadar, kau tak perlu khawatir. “ jawab pria yang bernama Albert menenangkan.
“ B..Ba.Bayi..Raquel ? “
“ Oh, dia selamat, tentu. Hanya sedikit demam. Kami akan memberikan obat agar dia cepat sembuh. Sebenarnya keadaanmu-lah yang paling mengkhawatirkan, Tuan. Anda harus segera dirawat. Tuan ? “
Ruaf menangkupkan telapak tangannya menutupi wajahnya. Air mata bergulir menuruni pipinya “ Syukurlah..Tuhan..”.seru Ruaf pelan.
Lalu, Ruaf Torian menghembuskan napasnya yang terakhir.
1st Chapter by Ayu
Read More ......