Monday, May 26, 2008

The Blooms Berries

CHAPTER 1
BROTHER AND SISTER

Billy dan Gwen
Hujan deras melanda kota Jakarta yang indah itu. Musim hujan kali ini memang nggak tanggung-tanggung. Setiap hari selalu saja harus dan kudu membawa payung. Kalau nggak, mungkin kalian bakal merasakan apa yang dialami oleh orang-orang; berlarian kesana-kemari untuk mencari tempat berteduh. Banyak yang merasa kesal dengan hal tersebut, termasuk anak yang merupakan tokoh dalam buku ini, Billy. Anak laki-laki berumur 15 tahun ini sedang menggerutu dengan kakaknya, Gwen.

“Gwen! Lo gimana sih, pake acara nggak bawa payung segala,”

“Repot nih jadinya!” kata Billy, berlari-lari dengan mata mendelik ke arah Gwen.

Saat itu mereka saling adu mulut sambil berlari-lari menuju Sweet Daily Cafe yang tidak jauh dari posisi mereka. “Yee… kok jadi gue yang kena,“ kata Gwen, melawan omongan Billy.

“Lagian ini kan bukan salah gue, tapi salah Bi’ Yanti! Kenapa dia nggak nawarin payung ke gue?!”
Mereka sampai ke depan pintu kafe yang terbuat dari kaca tebal itu. Ketika masuk, kedua anak itu disambut oleh waiter di sana. Sebenarnya Gwen ingin sekali membalas sambutan itu, tetapi saat itu dia harus terpaksa mendengarkan ocehan sang adik yang bawel.

“Udahlah nggak usah banyak alesan! Lain kali kalo udah tau musim ujan, ya bawa payung dong,”

“Kita duduk di deretan kedua aja!” sergah Billy dengan berjalan cepat agar tidak direbut orang lain karena saat itu di belakang mereka juga banyak orang berdatangan. “Bil, lo mau pesen apa?”

Melihat Gwen sudah mengambil menu terlebih dahulu, Billy pun tidak mau kalah seperti biasanya. Ia langsung merebut menu makanan yang cuma satu itu dari tangan Gwen. “Eh, entar dulu dong! Gue kan belom pesen apa-apa! Sabar dikit kenapa sih?!” kata Gwen dengan muka cemberut. “Gue dulu, ya?!” sahut Billy dengan nada mencibir.

Sementara itu pramusaji sudah menunggu dengan tidak sabar akan kedua saudara yang tak akur itu. “Chicken Steak pake Mushroom Sauce satu... Minumnya Jus Alpukat aja deh.” ujar Billy sambil tersenyum tipis ke arah pramusaji. Sementara itu, Gwen memesan Hot Cappucinno.
“Emm…, Bil lo nggak ada date, kan?” tanya Gwen sambil celingak-celinguk kalau-kalau pesanan mereka sudah datang. “Malem minggu ini sih... nggak ada tuh,”

“Emangnya kenapa?” tanya Billy sambil menaikkan alisnya. Saat itu Gwen melihat pramusaji membawa dua minuman berwarna cokelat tua dengan tambahan krim di atasnya. Gwen berpikir pasti itu pesanan mereka. Dan ternyata dugaan ia benar. Pramusaji itu berjalan ke arah meja mereka dan menaruhnya.

Si pramusaji berkata, “Krimer?”
“Boleh!” jawab Gwen dengan singkat. Saat pramusaji itu menuangkan krimer ke cangkirnya, Gwen melanjutkan pembicaraan lagi dengan Billy. “Eh, temenin gue dong ke toko buku!” kata Gwen dengan muka yang seakan-akan memelas sambil mengaduk-aduk minumannya. “Ah, masa malem minggu cuma ngabisin waktu di toko buku!” sanggah Billy sambil mengaduk-ngaduk minumannya yang sudah mulai merata. “Yaah, namanya juga lagi nyari buku,”

“Soalnya kemaren kan lo baru ngilangin buku gue! Yaaa... merasa bersalah dikit dong!” jelas Gwen dengan puas.

“Okelah,”

“Tapi, lo beliin gue buku, ya!” balas Billy dengan muka jual mahal. “Beres deh, tapi yang penting lo temenin gue ya, awas lo jangan lupa!” kata Gwen dengan muka senang. Tetapi suasana yang menggembirakan itu tidak lama, karena tiba-tiba Billy berpikir sejenak lalu meninju kepalanya sendiri sambil berkata,

“Aduh, Gwen! Sori kelupaan... ada janji sama Kelly! Gue kan pengen jalan ama dia entar malem!” jelas Billy dengan nada menyesal. Saat kalimat itu dilontarkan Billy, tiba-tiba Gwen langsung berkata, “Gimana sih, jadi cowok plin-plan gitu,”

“Bil, Bil,... udah bikin kesel orang lagi...” gumam Gwen dengan kesal. “Sori, gue lupa. Mendingan lo minta anterin aja ama Arby!“ kata Billy agak takut.

Arby adalah sahabat karib Billy dan Gwen. Bagi mereka, dia sudah seperti sosok kakak yang tiada duanya. Gwen langsung menjentikkan jarinya.

”Iya juga ya,”

“Calling dia, ah!” kata Gwen sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponselnya.
Seketika itu, Gwen menekan nomor ponsel Arby. Saat itu terdengar suara Arby dari speaker phone HP Gwen.

“Arby’s here! What’s up?” sahut Arby dengan suara yang semangat. Gwen langsung agak geli mendengar suara Arby yang sok kebritish-britishan itu.

Oh iya, Arby dan Kelly itu kakak beradik juga. Gwen mengenal Arby melalui Billy. Dan mereka sudah berteman selama 1 tahun di Jakarta.

“By, ini gue, Gwen!” ujar Gwen sambil tertawa. Setelah Gwen berkata begitu, Arby langsung tertawa dan berkata, “Iya, iya tau kok. Gue kira siapa!”

“Lo nggak simpen nomor baru gue?! sergah Gwen dengan segera.

“Sori, lupa! Ngomong-ngomong ada apaan nih?” sapa Arby dengan penuh tanya. “Gini nih, lo mau nggak anterin gue ke toko buku?” tanya Gwen dengan penuh harap Arby mau mengantarnya. “Oh, bisa kok! Kebetulan gue juga nggak ada acara di rumah. Tadinya, gue juga pengen ngajak lo jalan juga bareng Billy ama Kelly.” kata Arby dengan panjang-lebar.

Mendengar Arby akan mengantar Gwen, Billy mendapat ide. “Entar malem pergi berempat aja!” sahut Billy, sekarang jadi sedikit munafik dengan tawaran Gwen tadi. Karena suara Billy terdengar dari handphone-nya, Arby langsung menjawab dengan semangat. “Boleh juga tuh. Gimana?” tanya Arby. Gwen mengerling ke arah Billy, rasanya geli sekali karena keputusan Billy yang plin-plan. Gwen berkata, “Oke, nanti malem jangan lupa, ya,”

“Bilangin juga ama Kelly, jangan lupa!” Gwen mengakhiri kata-katanya di handphone. Terdengar suara sahutan “iye-iye, bye!” dari Arby.
Sementara itu mereka menunggu hujan yang sangat deras di luar sana. Gwen belum juga menghabiskan secangkir Cappucinno hangatnya, sedangkan Billy sudah menghabiskan Chicken Steak dan Jus Alpukatnya.

Saat itu Billy memandang situasi lewat kaca besar di kafe itu. Billy mendadak jadi seorang puitis, tiba-tiba saja dia mengambil laptop dari tasnya. Kemudian, anak itu mulai mengetik sesuatu, melanjutkan sebuah penggalan lirik yang tadi belum ia selesaikan. Gwen memperhatikan Billy dengan perasaan bingung. Dia berpikir bahwa adiknya yang egois itu selalu suka menumpahkan apa yang telah dia alami ke dalam lirik. Gwen merasa kalau Billy cocok menjadi seorang musisi, karena ia telah memperlihatkan bakatnya secara langsung kepada Gwen. Hanya saja orangtua mereka tidak mengetahuinya.
Billy sudah menulis lagu selama 2 tahun ini. Ia memulainya ketika ia sudah lancar memainkan chord-chord Gitar. Itupun ia pelajari secara otodidak. Gitarnya saja merupakan hadiah dari Gwen waktu ia berulang-tahun di umur 13.

Sementara Gwen, ia cukup pandai memainkan Flute. Ia pernah mengikuti sekolah musik saat kecil. Dan sekarang tidak lagi, karena Gwen merasa sudah bosan dan berpikir tidak ada kemungkinan untuk membentuk satu band. Dan satu alasan kenapa ia lebih memilih berhenti adalah karena ia belum pernah melihat band beranggotakan Flute. Kalaupun ada, paling-paling seperti The Corrs, di mana Andrea Corr sebagai seorang vokalis sambil bermain Flute di tengah-tengah musik yang mereka mainkan. Karena itulah ia hampir putus asa. Tapi sampai sekarang ia menganalisis bahwa ada beberapa band yang sedang populer akhir-akhir ini harus terdiri dari syarat-syarat berikut ini:

1. Vokalis dengan wajah yang menarik.
2. Anggota lainnya terdiri dari gitaris, bassis, dan juga drummer. Kalo bisa sih punya wajah
3. menarik juga kayak vokalisnya.
4. Mempunyai lagu-lagu bertemakan cinta biar laku di pasaran.
5. Harus punya skill yang bagus, tapi kalo nggak jago dalam berskill permainan, jago di skill tampang boleh juga kok.
6. Aransemen yang nggak sukar untuk didengar oleh masyarakat, malah terkesan minimalis biar semua rakyat bisa menikmatinya.
Semua itu sangat melelahkan bagi Gwen untuk mencari format band seperti yang di atas. Dan sampai sekarang ia masih mencari jalan keluarnya.
Evan dan Olive

Adalah Evan dan Olive yang sedang kebingungan mencari seorang teman baru di Jakarta. Mereka baru saja pindah dari Bandung, dan sekarang kakak-beradik ini tinggal di Matraman Dalam III, tepatnya di Jalan Dempo Nomor 12. Jauh sekitar 4-5 kilometer dari tempat Billy dan Gwen berteduh, kakak-beradik Evan dan Olive, kedua orangtuanya serta pembantunya yang ikut dengan kepindahan mereka, berjalan di tengah-tengah keramaian orang; tepatnya di Pasar Cikini, tampak sibuk dengan masing-masing paper bag yang dibawa berjalan sambil berpayung. Rupanya mereka habis berbelanja. “Van, beda banget ya, nggak kayak Bandung!” ujar Olive, matanya melirik sana-sini selayaknya gadis polos pada umumnya. “Ya gitu deh...” Evan membalas dengan singkat. “Pokoknya, kalian jangan nakal kalo tinggal di sini! Nggak boleh sembarangan bergaul sama orang-orang di sini!” kata Ayah.
“Iya, Papamu bener lho! Dengerin tuh, Van, Lif!” Ibu mereka ikut-ikutan menasihati mereka. Olive mengangguk. Evan diam saja. Matanya lurus saja memandang jalan. Melihat sikapnya yang acuh, Ayah menegurnya. “Van, denger nggak apa yang Papa omongin?” tanya Ayah tegas. “Iya, denger...” jawab Evan datar. Ayah dan Ibunya menggeleng-gelengkan kepala. Ibunya berbisik kepada Ayah, “Mungkin belum terbiasa, Pa...”

Evan masih merasa asing terhadap lingkungan barunya, sedangkan Olive sudah berani berkeliling sampai ke taman komplek dengan sepeda untuk melihat lingkungan barunya. Hal ini dilakukannya sehabis pulang dari belanja bersama tadi, padahal orang-orang di rumah sibuk mengurus barang-barang yang akan datang dari kurir ekspedisi nanti. Memang dasar anak polos...

Di taman bermain itu, Olive melihat banyak anak-anak kecil dan orang-orang di atas sebayanya bermain di sana. Di taman itu banyak ayunan dan permainan anak kecil lainnya. Ditambah lagi kalau sore tiba, pedagang-pedagang banyak yang lewat dan mangkal di depan situ. Mulai dari penjual Es Asem, Susu Sapi, Cakwe, Cimol, Cireng, Bakso, Mie Ayam, dan... ah, pokoknya masih banyak lagi! Olive merasa lapar melihat anak-anak kecil melahap jajanan tersebut.
Gara-gara ngiler, gadis itu menghampiri gerobak Mie Ayam. “Mas, Mie Ayamnya satu, ya!” sahut Olive, ia duduk di bangku plastik dan menaruh lengannya di atas meja kayu yang lumayan panjang. Tidak lama kemudian, Mie Ayam datang ke meja Olive. “Nih, Mie Ayamnya, Mbak. Kalo kepengen nambahin saosnya tinggal bilang Mas aja ya,” Penjual itu menaruh mangkok beraroma khas tersebut di depan tangan Olive. “Mbak, kayaknya orang baru, ya? Saya baru liat situ di sini. Tinggal di mana, Mbak?” tanya Penjual Mie Ayam itu sambil tersenyum ramah. “Iya, Mas. Saya tuh baru tinggal di sini. Baru dua hari yang lalu gitu deh... Saya baru tau ada taman di sini, ya udah saya maen aja... iseng, Mas! Ngomong-ngomong ini taman apaan sih?” jelas Olive, sambil mengaduk-aduk mienya. “Namanya Taman Amir Hamzah, Mbak. Tapi orang-orang seringnya manggilnya, Plangsun!” jelas Mas Mie Ayam, menaruh tempat sambal di samping mangkuknya.

“Ooh,... Oh iya, saya Olive! Mas namanya siapa?” Olive menawarkan jabatan tagannya. “Saya Wahyu, Mbak! Wah, nama Mbak kayak pacarnya Popeye aja...!” ujar Mas Wahyu, tertawa geli. “Ah, Mas Wahyu bisa aja! Ngomong-ngomong jangan manggil Mbak dong... Emang saya Mbak-Mbak Jamu!” kata Olive. Mas Wahyu langsung tertawa.

“Ah, bisa aja Mbak.. eh, maksudnya De’ Olive!” Akhirnya mereka berdua malah ketawa-ketiwi nggak jelas.
***
“Van, lagi ngapain?” tanya Olive, mengintip Evan yang sedang duduk di depan komputernya dengan konsentrasi penuhnya. Tangannya sibuk memencet keyboard. “Balesin email dari temen-temen,” katanya singkat. “Ama chatting...”
Olive langsung mengerti. Evan merasa kangen dan homesick akan Bandung. Papa, Mama, dan Olive sudah merasakan hal itu ketika baru tiba di Jakarta beberapa hari yang lalu. Karena merasakan hal yang sama, Olive mencoba bertanya kepada kakaknya itu. “Ngomong-ngomong, lo kangen nggak ama temen-temen?” tanya Olive. Dengan spontan, Evan menjawab, “Ya iyalah! Lo nggak tau, gue lagi ngapain sekarang?! Gue lagi ngebales email temen-temen,”

“Indra, Chika, Adam, Sari, pokoknya semuanya deh!” Evan menjawab dengan keras. Sepertinya ia masih merasa tertekan dengan kepindahannya. Ia merasa tak punya teman lagi, rasanya hanya merekalah sahabatnya. “Lo nggak boleh tergantung ama mereka lagi, Van! Lo harus jalan terus... Yang namanya pertemuan pasti ada perpisahan. Lagipula nggak lo doang, gue juga sama kayak lo!” jelas Olive, menceramahi kakaknya. Padahal sebenarnya Olive cuma ceplas-ceplos saja. “Terus gue harus gimana, Olive?!” tanya Evan dengan nada tertekan. “Sekarang kan jaman udah canggih, mendingan lo cari temen baru kek lewat internet. Yaah, make a new relation dong!”

Evan terus memandang Olive. Tiba-tiba saja dia tersenyum.

“Kenapa lo? Gila kali lo, ya?!”
Ada yang Baru Pindah?
Mobil Gwen dan Billy meluncur masuk ke garasi rumah nomor 24 di Jalan Dempo. Supirnya, Pak Jono, langsung mematikan mesin. Kedua anak itu bergegas menuju keluar halaman rumah. Ia melihat mobil pengangkut barang-barang yang lazimnya digunakan untuk membantu urusan kepindahan tersebut terparkir di samping rumah bertingkat dua yang berada di depan rumah mereka.

“Akhirnya, laku juga tuh rumah! Keluarga siapa yang nempatin, ya? Ada cowok gantengnya nggak, ya? Anaknya gitu... Hahaha!” ujar Gwen, kegirangan sendiri sambil memandang kurir-kurir itu mengangkat sofa yang diambil dari dalam mobil besar tersebut. “Nih anak ganjen banget sih?! Jangan ngarep dulu, Gwen! Entar kalo yang tinggal di situ taunya Om-Om, gimana lo? Mau dipacarin juga gitu?” ledek Billy, menyeringai seram di depan wajah Gwen. “Sialan... Mending buat lo aja!” Gwen mendorong wajah Billy dengan tangannya. “Gue jadi brondongnya dong?” Billy mencibir dengan nada menirukan seorang gay. Mereka malah tertawa membayangkan hal itu.
Chatting Sama Tetangga Sendiri
Waktu terasa bergulir begitu cepat ketika Gwen telah terjaga dari tidurnya. Dia langsung bergegas lari ke depan jendela kamarnya. Gwen membukanya dengan penasaran. Cahaya matahari dengan awan merah berupa lembahyung itu seakan-akan menertawai Gwen yang saat itu kelihatannya panik.

“Mati gue! Udah jam berapa ya sekarang?” pikir Gwen sambil melihat jam tangannya yang tidak sengaja terbawa tidur dengannya.

Waktu menunjukan pukul 18.12 sore, Gwen langsung berlari ke kamar Billy. Niat Gwen adalah membangunkan Billy yang mungkin saja masih tertidur dan lupa akan acaranya nanti malam, tetapi dugaan Gwen salah. Saat Gwen memasuki kamar Billy, ia mendapatkan Billy sudah rapi dengan t-shirt hitam, celana jeans abu-abu serta tidak lupa dengan sepatu kets hijau mudanya. Posisi Billy saat itu sedang duduk di kursi sambil bermain komputer.
“Bil, lo udah rapi, ya...?” tanya Gwen dengan perasaan. “Iya, lo lihat sendiri kan gimana gue sekarang? Udah, cepetan lo mandi... Lo yang punya janji juga, malah ngaret!” tegas Billy sambil menengok ke arah Gwen. “Si Arby nanya, lo udah bangun apa belom? Nih, sekarang lagi chat bareng ama dia!”
“Terus, lo bilang apaan ke Arby?” tanya Gwen.

“Gue bilang aja lo masih tidur. Gue bilang, lo itu kalo tidur susah dibangunin!” ledek Billy. “Aduuh, nggak usah ngomong yang macem-macem deh! Ya udah, bilang ke Arby, gue mao mandi dulu! Nggak lama kok! Udah dulu ya, gue mandi dulu!” kata Gwen yang langsung melesat keluar dari kamar Billy.

“Iya, nggak lama kok cuma seabad!” gumam Billy dengan pelan. Billy mengambil ponselnya yang tergeletak di samping komputernya.

“Arby, ini gue Billy,” Billy menjepit telepon itu dengan telinga dan bahunya. Ia masih asyik menekan tuts keyboard komputernya.

“Gwen lagi mandi. Kayaknya kita sabar aja ya nungguin Si Ratu Pesolek?” tanya Billy. Tawa Arby terdengar dari speaker phone-nya Billy.
“Iye, tenang aje, Bos! Kita online aje sambil nungguin Gwen!” ujar Arby yang telah mengakhiri pembicaraan di telepon.

Billy kembali sibuk dengan chat room-nya di Indie Music Lover itu. Tiba-tiba saat Billy dan Arby sibuk membalas pesan, ada orang yang mengirim Instant Message. Mereka menanyakan band kesukaannya dan sekaligus namanya, karena di situ hanya ada nama emailnya yang tercantum di pesannya yang bertuliskan Winter_13. Tidak lama kemudian, orang itu menjawab “Oi, gue Evan!” di kolom chatting. Billy dan Arby menanyakan ASL ( Age, Sex, Location). Dia menjawab: 16, cowok, Matraman Dalam III. Anak itu mengirim pesan lagi:
‘gue demen banget ama The Smiths ama Pulp, btw gue baru pindah nih dari Bandung...hehe J’.
Billy yang rumahnya juga di Matraman Dalam III secara spontan kaget dan berhenti menekan tuts keyboard. Ia langsung menelepon Arby. “By, rumahnya deket ama rumah gue!” jelas Billy, menggaruk-garuk kepalanya. Di lain sisi, Arby yang sedang mengangkat telepon itu merasa heran.

“Iya, Bil. Gue aja nggak nyangka... Eh, ajak nongkrong bareng ama kita aja! Baru pindah, kan? Pasti tuh anak belom punya temen!” Arby mengirim pesan untuk mengajak Evan.

“Wah, gue nanya alamat dia aja kali, ya?” pikir Billy. Anak itu menanyakan Evan lagi. Evan langsung menjawab dengan cepat. “Jalan Dempo 12.”

Billy yang langsung menerima pesan itu tercengang. “12... Lho... Itu kan rumah depan yang baru pindahan!” kata Billy dengan keras. Tangannya memukul meja. Dia tertawa geli. Ia langsung pergi ke balkon untuk melihat rumah Evan. “Oh, dia toh yang baru pindah!” gumam Billy, meninju udara. Ia bergegas ke meja komputernya lagi dan mengetik,
Sekarang lo pergi ke balkon rumah lo deh! Kita tuh tetanggaan... GOKILL! Pergi membunuh...’
Billy menunggu ‘anak baru’ itu di depan balkon. Tidak lama kemudian, seorang anak laki-laki bertubuh tinggi, berambut acak-acakan, memakai t-shirt coklat itu celingak-celinguk. Billy langsung meneriakinya, “Wooii... Ini gue Billy! Kita tetanggaan, Pren!”

Evan langsung nyengir dan berteriak, “Gokil, gokil...! Eh, temen lo ngajakin nongkrong bareng? Beneran nih?” teriak Evan, masih berdiri di atas balkon. “Bener! Lo siap-siap aja, Van! Entar kita langsung jalan, oke!” jelas Billy, mengacungkan dua jempolnya sambil berjalan mundur. Evan pun melambaikan tangannya dan berjalan mundur untuk kembali ke kamarnya.

Pada saat itu juga Gwen datang lagi dengan wujud yang ‘tak biasanya’. Rambut hitamnya yang biasanya dikuncir, digerai sehingga membuat gaya harajukunya kemana-mana. “Ayo, cepetan, Bil! Bilang ama Arby, gue udah siap nih!” perintah Gwen.
Billy mengangguk-angguk. Ia ingin menyampaikan sesuatu kepada Gwen. “Gwen, gue mao cerita ama lo... Tapi entar aja deh! Biar surprise buat lo ama Kelly... Hehe!” kata Billy, berjalan meninggalkan kamarnya. Gwen mengikutinya dari belakang.

“Mao cerita apaan, Bil?”

“Entar aja, biar lo aja yang ngeliat sendiri!” ujar Billy, menyeringai seperti biasa kepada Gwen. Gadis itu jadi bingung campur penasaran.
1st Chapter by Wezy

No comments: