Susahnya Hidup Didusun
Terang saja. Hidup didusun seperti ini sebenarnya adalah hal yang paling tersulit, terutama untukku. Bukan karena aku tak suka dengan keadaan alam sekitar pedusunan. Tapi jujur, sebenarnya aku sangat menikmati panorama alam didusunku. Selain menenangkan dan udaranya yang sangat sejuk. Tapi satu hal yang membuat kehidupanku didusun ini menjadi susah adalah karena tak adanya sarana dan prasarana penunjang komunikasi yang super canggih, jaringan ponselpun kurang kuat disini. Jangankan canggih, kantor pos pun disini tak ada. Sehingga jika aku akan mengepostkan surat, terlebih dahulu aku harus menghilangkan uang sekitar sepuluh ribu untuk ongkos angkot plus waktu yang terbuang secara sia-sia untuk menuju kekantor post tersebut.
Malahan, barusan ini salah satu pihak yang mengadakan pemilihan remaja peduli perubahan memberitahukan padaku, kalau aku harus mengambil tiket pesawat untuk menuju babak penjurian di Jakarta melalui TIKI alias Titipan Kilat. Gila banget nggak sih bo’? ya jelas gila lah, bayangkan saja, keberangkatanku untuk mengikuti penjurian adalah lusa, sedangkan tiket belum berada ditanganku.
Yup! Awalnya menurut pemberitahuan pihak penyelenggara, tiket tersebut akan dikirim via post. Tapi, karena mereka telah menganalisis ‘Sikon’ daerah kami, akhirnya mereka memilih untuk menitipkan tiket ini di tiki. Ya, mengingat daerah kami sangat terpelosok dan pastinya tiket tersebut akan sampai ketanganku harus melalui proses yang cukup panjang dan menghambat. Malah, mungkin kalau kuprediksikan, tiket tersebut baru akan sampai ketanganku setelah penjurian ajang ini selesai. Dan apalagi keberangkatanku adalah lusa. Inipun aku harus mengambil tiket itu sendiri di TIKI. Benar-benar mengenaskan!
Tiki? Aku baru teringat, tikikan hanya ada di pusat kota provinsi, Palembang!
“Gila! Gimana nih?” gerutuku, “Ya Tuhan, aku harus cepat-cepat bilang dengan ubak dan umakku untuk mengantarkan aku ke Palembang!”
Ya, sekembalinya dari warnet, aku langsung bergegas untuk mencari ubak dan umakku.
Sampai dirumah.
“Ubak...umak...aku barusankan dapat pemberitahuan dari pihak penyelenggara ajang remaja peduli perubahan itu lho. Katanya aku disuruh mengambil tiket pesawat di tiki!” seruku, sedangkan ubak dan umakku hanya tampak mengerutkan keningnya.
“Apa itu tiki Ju?” tanya umakku , sedangkan aku sejenak terdiam.
“Jadi ubak sama umak nih nggak tahu apa itu tiki?” tanyaku, sedangkan mereka hanya mengangguk.
“Tiki itu titipan kilat. Sejenis post, tapi lebih cepat sampainya!” jelasku sekenanya.
“Oh...tiki itu adanya dimana?” tanya ubakku.
“Di kantor desa!” jawabku ngawur, sedangkan mereka hanya tambah terbelalak, “Ya nggaklah ubak, umak! Tiki tuh adanya di Palembang. Lagian manamungkin tiki ada didusun ini, arang post aja dari sini jauhnya a’udzubillah!” tambahku.
“lho tiki katanya sejenis post? Tapi kok nggak diantar kerumah oleh tukang tikinya?” tanya ubakku.
“Aku juga nggak tahu, tapi katanya pihak panitia menyuruhku untuk mengambil sendiri!”
“Jadi siapa yang akan mengambilnya Ju?”
“Ya nggak tahu mak!” jawabku agak lesu, karena takut jika nantinya tak ada orang yang mau mengantarkanku ke Palembang. Sedangkan ubak dan umakku pasti mereka masih sibuk mantau perkebunan karetnya, ditambah lagi saat ini disawah lagi musim tandur. Jadi pastinya mereka sibuk, dan tak mungkin mereka sempat mau mangantarkanku ke Palembang, demi tiket penjurian lusa.
“Oh, mungkin kakakmu saja ya yang ngantar kamu ke palembang! Sebabnya, nanti malam sekitar jam tujuh, kakakmu itu mau kepalembang nyetor karet!” ungkap ubakku.
“Hah! Tapi masak sih aku harus naik mobil truk? Ngangkut karet pula!” protesku.
“Ya nggak apa-apalah! Yang pentingkan kamu ada yang ngantar kesana!” ungkap umakku.
“Ya udahlah! Aku ikut aja!” jawabku sedikit lesu.
“Gimana sih bak? Katanya kakak berangkat ke Palembangnya sekitar jam tujuh, lha ini udah jam sembilan! Sudah ngantuk nih!” seruku pada ubakku ketika kami tengah menonton televisi.
“Sabar saja kenapa sih? Mungkin kakak kamu itu masih nimbang karet, kalau nggak, dia itu lagi ngangkut karet-karet ditiap desa Ju!” jawab ubakku beralasan.
“Akhh...biasanya jam setengah tujuhan jang Firman tuh udah pulang! Lha ini, molor! Kalau aja mungkin kakak tuh mampir dulu kerumah ayuk Adel, di seberang laut(sebutan sungai besar untuk masyarakat Kayuagung)!” tebakku.
“Ya biarkan saja lah! Namanya saja anak bujang” jawab ubakku,
“Nah ini, nyatanya jang firman boleh pacaran! Pas aku mau pacaran nggak boleh!” protesku.
“Ju, kakakmu itukan sudah dewasa, dia kan sudah waktunya untuk menikah! Sedangkan kamu, masih bau kencur untuk pacaran!” jawab ubakku, sedangkan aku kemudian langsung terdiam.
Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba dari luar terdengar suara deru sebuah mobil. Itu pasti kakakku! Tebakku. Nyatanya benar, itu suara mobil jang firman, kakakku.
“Kok lama banget sih kak?” tanyaku kesal,
“Emang kenapa? tumben kamu nunggu kakak datang?” tanyanya,
“Terang aja aku itu nunggu kakak, olehnya aku disuruh umak sama ubak untuk ikut kakak ke Palembang!”
“Emang kenapa mau ke Palembang!”
“Ke tiki, ngambil tiket pesawat!”
“Tiket pesawat apa? Emang siapa yang mau kemana?”
“Aku kan dapat kirman tiket dari Jakarta untuk berangkat menuju kebabak penjurian remaja peduli perubahan, lusa!” jawabku,
“Oh...!”
“Kakak tahukan tiki tempatnya?”
“Tiki itu apa sih?” ungkapnya sedangkan aku malah semakin terbelalak saja,
“Hah! Ternyata kakak nih katrok juga ya? Kirain ilmu pengetahuan umum kakak lebih bagus dari aku, tapi, eh...Cuma tiki aja nggak tahu! Tiki itu titipan kilat!” jawabku,
“Ooo...! titipan kilat!”
“Tahu nggak tempatnya?”
“Iya-iya tahu, didepan PIM!” jawabnya yang kemudian ia langsung meneruskan langkahnya menuju kekamarnya. Kulihat ia langsung menyambar handuk yang tengah tergantung dibalik pintu kamarnya, sejenak kulihat kakakku mengelapkan handuknya itu kesekujur lehernya, muka dan tangannya,
“Ikhh...jorok banget sih kakak nih?” seruku, sedangkan ia tampak acuh saja dan langsung melangkah ke kamar mandi. Sekitar seperempat jam aku menunggu kakakku. Dan sekitaran pukul setengah sepuluh kami baru berangkat.
Hampir semalaman kami berada di perjalanan untuk menuju ke Palembang. Dan sekitar pukul setengah tiga, kami sudah sampai disebuah pabrik dihulu sungai Musi. Ya, awalnya aku tak tahu ini tempat apa. Tapi, setelah aku mencium aroma sekitaran tempat ini yang busuknya sampai tak ketulungan, aku baru teringat, bahwa ini adalah areal pabrik karet.
Karena hari masih gelap, kemudian aku diminta oleh kakakku untuk tiduran dahulu di dalam mobil. Sedangkan ia memilih untuk keluar dari mobil ini dan langsung berbaur dengan para teman-temannya yang berada di pos jaga pabrik ini. Sedangkan aku, aku tak bisa tidur. Ya, walaupun mataku masih berusaha untuk ku pejamkan, tapi yang terjadi mataku kian lama malah semakin belo saja. Jelas saja, karena tempat ini sangat menjijikkan. Getah karet yang masih segar maupun telah mengering berserakan dihamparan halaman pabrik karet ini. Masih lumayan kalau bantalan karet mentah ini tak menebarkan aroma yang membuat aku terpaksa harus memencet hidungku sampai benar-benar tak dapat bernafas. Suer, tak tahan rasanya aku bernafas melalui hidung. Sumpah, aku lebih memilih bernafas menggunakan mulut. Karena jujur, aroma karet disini lebih busuk dari kentut yang dikeluarkan kakakku yang busuknya juga minta ampun itu. Demi Tuhan, aku lebih memilih mencium kotoranku sendiri, daripada aku harus merasakan aroma tempat ini. Benar-benar neraka dunia! Tapi, yang menjadi pertanyaanku; kok orang-orang ini tahan sih berada disini? Termasuk juga kakakku! Pikirku.
Ketika cahaya emas bersemburat menghias alam di langit sebelah timur. Aku langsung berusaha untuk menyusul kakakku yang tengah asyik main gaple bersama teman-teman sopirnya di tempat pos jaga itu. Kemudian aku berusaha terus merongrong, memintanya untuk segera mengantarku ke tiki, karena sekali sampai duakali ia tak menjawab pintaku ini.
“Ju, tiki jam segini tuh ya jelas belum buka lah!” serunya sembari terus melanjutkan permainannya. Sedangkan aku masih tetap menunggunya.
“Mendingan kamu mandi dulu sana!” ungkapnya,
“Mandi dimana?” tanyaku,
“Itu, di sebelah pos ini!” ungkap kakakku sembari menunjukkan arahnya. kemudian aku langsung bergegas menuju ke kamar mandi yang berada disebelah pos ini. Tapi, lagi-lagi aku harus berucap amit-amit. Bagaimana tidak? Karena kamar mandi di tempat ini, juga tak kalah menjijikkan aromanya dengan aroma yang bertebaran diluar. Gila, macam-macam aneka bau ada di ruangan kamar mandi ini, ada pesing yang rasanya membuat kaki menjadi lengket saat memijaknya, bau macem-macem keluarga jengkol juga ada yang bercampur dengan aroma pesing, ada juga aroma ampas makanan yang sudah tak dibutuhkan oleh tubuh menjadi pelengkap tempat ini.
“Gila mendingan aku nggak mandi sekalian deh! Ikhh...mana airnya kuning lagi!” ungkapku sok kejijian. Dan tanpa basa-basi lagi kamudian aku langsung bergegas keluar dari tempat ini, tapi anehnya tak berapa lama kemudian, tiba-tiba saja entah mengapa tubuhku merasa merinding sendiri. Aku yakin ini karena aku kejijian melihat tempat ini.
“Ikkkhhh...masih mending hidup jadi anak dusun, dari pada hidup dikota menjadi orang yang super jorok gini!” ungkapku lirih.
*
Sekitar pukul delapan pagi, berulah kakakku akhirnya mengantarkanku ke tiki. Kami berjalan menuju keterminal dahulu untuk mencari angkot jurusan jl. Ahmad Yani. Setelah dalam perjalanan dengan angkot yang penuh dengan pengopran, akhirnya kami sampai juga didepan tiki. Aku langsung masuk dan menemui petugasnya yang kebetulan cewek.
“Pagi mbak?” sapaku ramah.
“Ya, selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.
“Iya mbak, em... saya mau mengambil titipan dari Jakarta. Ini alamatnya,” ungkapku sembari menyodorkan secarik kertas bertuliskan suatu alamat.
“Aduh, tapi mas. Mas harus ada nomor pengirimannya!” ungkapnya.
“Nomor pengiriman?”
“Iya, ada?”
“Wah, saya nggak tahu tuh mbak. Kemarin pihak yang mengirim titipan ini Cuma bilang kalau saya disuruh mengambil disini sendiri, dan mereka juga tak meninggalkan nomor pengirimannya!”
“Atau gini aja, mas coba telpon aja kesana untuk meminta nomor pengirimannya!”
“Tapi, inikan sabtu mbak, pasti kantor libur disana mbak!”
“Tapi kalau nggak ada nomor pengirimannya, nggak bisa diambil mas, sebab kami juga susuah melacaknya mas!”
“Yah, mbak tolong dong mbak! Soalnya titipan itu penting sekali mbak!” rengekku.
“Emang isi titipannya apa mas?”
“Tiket pesawat!”
“Berangkatnya?”
“Nah ini, saya juga nggak tahu kapan keberangkatannya mbak!” jawabku.
“Wah, apalagi ini tiket pesawat ya?! Ya sudah sebentar, akan coba saya cek!” ungkapnya. Kemudian mbak-mbak itu masuk kedalam untuk mengorek berkas yang tertumpuk di dalam sebuah box. Sedangkan aku mencoba menunggunya. Tapi, lama sekali mbak itu mencari titipanku. Sampai pada kesimpulannya dia berucap, “mungkin belum sampai disini mas!” serunya.
“Lha!” aku terbelalak.
“Iya, mungkin titipan mas itu masih ada digudangnya, didaerah kebon bunga, di kilometer sembilan!” ungkap perempuan itu lagi.
“Waduh!”
“Em, mas coba aja deh kesana! Sebentar saya kasih alamatnya!” ungkapnya sembari memberikan secarik kertas bertuliskan satu alamat. Kemudian akupun mencoba untuk pergi mendatangi tempat tersebut.
Sampai disana.
“Pagi mbak?” kali ini kakakku berusaha membantuku untuk berkonfirmasi.
“Iya selamat pagi, ada yang bidsa saya bantu pak?” tanya wanita itu. Dan kemudian kakakku berusaha menjelaskan semuanya. Dan pada akhirnya titipan tersebut dapat ditemukan. Kemudian, aku diminta untuk menunjukkan KTPku. Eh, kartu pelajar maksudku. Sebagai bukti kalau yang mendapat kiriman ini benar-benar aku, Juanda Alex Husnudin.
Puff...akhirnya lega juga, karena apa yang kucari di palembang ini sudah kudapatkan. Tiba-tiba ponselku memekik. Akupun langsung mengangkatnya.
“Hallo?”
“Ya hallo, bisa bicara dengan Juanda Alex Husnudin?”
“Iya saya sendiri, dari siapa ini?” tanyaku.
‘Ini dari pihak penyelenggara ajang pemilihan ajang remaja peduli perubahan!”
“Oh, ada apa mbak?”
“Nggak, Cuma mastikan saja, apakah besok...?!”
Belum selesai mbak itu berbicara, tiba-tiba saja ada satu kekuatan yang super sekali, mencoba menarik ponsel yang tengah kugenggam ini. Dan secepat kilat, ponsel yang tengah kugenggam ini sudah berpindah tangan keseorang penjambret. Aku benar-benar kebingungan dan kalang kabut. Kukira semua ini adalah ulah kakakku yang memang sengaja menjahiliku. Tapi, setelah kuarahkan pandanganku kebelakang. Hanya ada satu orang berperawakan tinggi dan berkumis baplang, siap kabur dari hadapanku dengan menggondol ponselku. Sedang kakakku ternyata ia sudah mampir direstoran yang tepat berada didepanku ini.
“Kak ponselku di jambret!” pekikku lantang pada kakakku dan kemudian aku langsung berlari sekuat tenaga untuk bisa menyusul penjambret itu. Aku lari, lari dan terus mempercepat langkah kakiku. Jika diibaratkan kendaraan, mungkin jarak spidometernya ku fullkan. Gigiknya terus kutambah. Sampai aku benar-benar bagai kuda lumping yang lagi kedanan. Aku benar-benar bagai lepas kendali. Rasa takut dalam diriku seperti sudah terbang menghilang dari jiwaku.
Ya, sampai pada akhirnya, aku hampir akan menangkap penjambret laknat itu. Tapi, mungkin karena aku kalah postur dan otot dengan penjambret itu, akhirnya aku tersungkur jatuh, ketika ia mendorongku kuat dipinggiran aliran comberan yang membentuk seperti sungai didepan pemukiman para warga ini. Ya, aku tak bisa melanjutkan langkahku untuk mengejar penjambret itu, karena ketika ia menjorokkanku, tubuhku terpelanting jatuh kekubangan lumpur comberan ini. Seketika aku langsung menjerit memaki penjambret itu.
“Woy, dasar penjambret kampret!”pekikku.
Tapi, syukurlah. Ternyata banyak para warga yang meneruskan perjuanganku untuk mengejar kampret itu. Sedangkan aku benar-benar tampak lesu. Bagai sebuah kendaraan yang sudah bermesin bobrok. Ya, rasanya aku sudah tak mempunyai kekuatan yang super lagi untuk mengejarnya.
Tapi, beruntung. Akhirnya penjambret itu tertangkap dan beruntun para warga berusaha antri untuk memberikan penghargaan atas prestasi manusia ini dengan menghadiahi bogeman mentah disekujur tubuhnya. Dan akhirnya penjambret itu diarak oleh warga menuju ke kapolsek terdekat. Sedangkan aku yang berkelomotan lumpur comberan ini, langsung melangkah untuk mengambil kembali ponselku. Sedang semua orang tampak pada tertawa lebar melihatku. Apalagi kakakku, yang tak hentinya terpingkal.
“Arrrrggghhhh...!!! awas kak, ku omongkan ubak sama umak kau agek!”
*
1st Chapter by Jyumanlee Johnsy
No comments:
Post a Comment