Friday, May 9, 2008

Jikalau

satu
Hiking is My First Love, Bunda!

Nabila mempercepat langkah kakinya. Setelah melewati tikungan terakhir di sebuah gang sempit, dia bisa melihat sebuah rumah tercat putih, dengan pintu berwarna biru muda di ujung gang.

Saus cabe! Gue telat deh, sesal Nabila dalam hati.

Nabila tiba di depan pintu biru muda itu. Tampaknya lampu yang menerangi ruangan di balik pintu itu sudah padam. Dengan gaya seperti agen-agen FBI di televisi, dia mencoba membuka pintu itu tanpa suara. Ternyata tidak terkunci. Masih bergaya agen FBI, dia melewati pintu itu dan menutupnya kembali dengan sukses tanpa derit.

Yak, tinggal ngelewatin dua ruangan lagi, hati Nabila bergumam. Dia melepas sepatunya untuk mengurangi faktor resiko menghasilkan suara-suara.

Berjingkat-jingkat, sekali ini lebih mirip penari balet ketimbang agen FBI, Nabila menyeberangi gelapnya ruangan-ruangan itu. Di ujung ruangan kedua, dia meraba-raba gagang pintu dalam gelap. Ckiitt… pintu itu sedikit berderit. Nabila bergegas memasuki ruangan di balik pintu itu.

Hah…aman… Nabila bernapas lega. Dia menatap puas kamar kesayangannya. Tanpa mengganti seragam putih abu-abunya, dia segera menghempaskan diri ke atas kasur.

Ckiitt… pintu itu berderit sekali lagi.

Yak, baiklah… Nabila menahan napasnya sejenak, kemudian terduduk. Bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.

“Wah bagus, kamu baru pulang? Kamu tau kalau ini sudah jam sembilan malam? Ngapain aja sih kamu? Nggak usah pulang sekalian.”

Bunda sudah berdiri dihadapan putrinya dan bersiap menghakimi terdakwa ini, dengan suara tenang sih, tetapi tajam menyayat usus…

“Tadi kan Nabila udah sms, bunda. Nabila pulang agak telat karena ada latihan pencinta alam. Besok, kan, ada demo ekskul, jadi…”

“Kamu masih ngurusin kegiatan itu? Kamu, kan, sudah kelas tiga! Sebentar lagi kamu ujian akhir, spmb juga! Lebih baik kamu belajar yang benar,” Bunda membacakan daftar kesalahan sang terdakwa, “kerajinan! Memang nggak ada orang lain apa? Nggak ada adik kelas kamu?”

“Ya ada, tapi kan…”

“Huh, memang kamu saja yang kayaknya nggak betah di rumah!”

“Bukannya gitu, Bun,” Nabila mulai terpancing menaikkan nadanya.

“Kamu itu sudah dibilangin berkali-kali, tetap saja hati batu. Ayah kamu sampai marah sama bunda gara-gara kamu sulit dinasehati.”

“Ya, tapi besok…”

“Sudah sekarang kamu ganti baju, tidur. Besok jangan ikut kegiatan itu lagi, awas kamu kalau masih berani! Dari awal, ayah sama bunda memang nggak suka kamu ikut kegiatan yang nggak berguna itu. Satu lagi, lepas gelang kamu yang nggak jelas itu, kayak preman.”

Sang bunda meninggalkan kamar itu dengan cepat, ditambah bunyi sedikit JDEER . . . dari pintu.

Nabila menghela napas panjang. Kesal. Dia menatap gelang di tangan kanannya. Ada tiga buah gelang yang terbuat dari tali prusik kecil yang disimpul dengan double fisherman. Dengan warna yang berbeda-beda, gelang-gelang itu menandai jumlah gunung yang sudah pernah Nabila daki sebelumnya. Kenapa jadi gelang gue dibawa-bawa? pikirnya, biasanya juga nggak papa…

Ini bukan pertama kalinya Nabila terkena ketok palu. Dia sudah melewati hampir dua tahun masa SMA-nya, berdebat dengan orangtuanya masalah kegiatannya itu.

Dulu saat Nabila masih berseragam putih merah dan putih biru, tidak pernah bunda berteriak-teriak protes dengan jarak lima centimeter dari telinganya. Dulu dia seorang anak perempuan manis, sang juara sekolah, yang rajin ikut les inggris, les menari, les matematika, berambut kuncir dua, dan bersepatu pantofel.

Nabila merasa dirinya adalah anak paling beruntung di seluruh dunia. Dia diajarkan banyak hal baik, dan saat para tetangga memuji budi pekertinya, bunda akan tersenyum puas. Dia senang kalau bunda senang. Tidak terkecuali saat Nabila berbuat kesalahan, maka bunda akan segera memberi hukuman yang setimpal. Bunda juga selalu memotivasinya untuk menjadi yang pertama.

Setelah berseragam putih abu-abu, dia bukan lagi juara kelas, bukan karena semangat belajarnya yang meredup, tetapi karena ternyata di atas langit masih ada langit yang jauh lebih tinggi.

Maka Nabila tidak mau lagi bertopeng. Dia membiarkan rambut keritingnya tergerai sebahu. Membiarkan warna sepatu ketsnya sampai memudar, hanya mencucinya bila terkena becek karena hujan. Semangat belajarnya pun bukan lagi karena agar dipuji hebat oleh bunda, bukan lagi karena ranking di kelas, tetapi lebih karena keinginannya mengalahkan kemalasan dirinya sendiri. Yang pintar biar aja pintar, memang dia otaknya encer, yang penting gue sendiri gimana belajarnya, kalau gue nggak paham, ya gue tanya aja sama ahlinya, pikiran itu sekarang tertanam kuat di memori otak Nabila yang cuma 512 MB.

Seorang guru matematika di SMA Putra Bangsa, sekolah Nabila, pernah menulis sesuatu, yang sampai sekarang menjadi puisi favorit Nabila, di halaman paling akhir dari soal ujian bulanannya.

Aku bahagia
Kehidupan diberikan sedikit demi sedikit
dalam tahun, hari, menit, bahkan detik
Karena jika aku dihadapkan semua sekaligus,
betapa penuh kehidupan dengan segala ketakutannya
Bahkan keindahannya yang sekaligus muncul,
akan terlalu berat untuk aku pikul

Tetapi di atas segalanya,
aku bersyukur kepada Allah SWT
Bahwa kehidupan tidak mengharuskan aku menjadi yang terbaik,
tetapi supaya aku berusaha sebaik-baiknya
(_Pak Danu, guru matematikaku yang terbaik_terima kasih pak_)

Nabila semakin menemukan dirinya saat bergabung dengan kegiatan x-cool, sama dengan ekskul, pencinta alam di sekolahnya.

Putsapala. Putra Bangsa Pencinta Alam. Semua orang di dalamnya bersikap apa adanya. Tidak peduli berapa nilai matematikamu, tidak peduli ayahmu kerja di mana, tidak peduli kamu keponakannya Bapak Lurah Slipi atau sepupunya tukang ojek di Pasar Slipi. Suka bilang suka, tidak suka ya protes. Tidak ada rasa tidak enak atau takut hubungan pertemanan menjadi rusak. Nabila mulai mengerti arti kalimat yang sering diucapkan seniornya : gue kalau benci seseorang, bukannya karena gue benci orangnya, tetapi karena gue benci sifatnya yang merugikan gue atau orang lain. Di luar itu, teman adalah teman.

Terwujudlah seorang Nabila si gadis SMA yang biasa. Dengan otak pas-pasan. Penampilan biasa. Rambut keriting sebatas pundak yang biasa, dan tidak pernah berniat untuk direbonding, karena akan percuma. Tinggi badan cukup baginya 150 centimeter untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Menghabiskan separuh masa remajanya berjalan, mendaki, memandang keindahan alam bersama teman-teman seperjalanannya. Tetapi lebih bahagia. Lebih merasa hidup. Lebih merasa nyaman.

Kenapa sih? Ayah, bunda, nggak mau ngerti kalau gue bahagia menghabiskan masa remaja gue, bukan dengan shopping di mall, tetapi dengan manjat-manjat pakai tali sampai tujuh meter lebih dari permukaan tanah sekolah gue.

Selalu tanda tanya yang sama muncul di benak Nabila.

Rasanya Nabila ingin menempelkan spanduk 2x1 meter di dinding kamarnya dan bertuliskan :

HIKING IS MY FIRST LOVE, BUNDA!,

mungkin dengan tulisan berwarna pink plus lophe-lophe cocok…

Nabila tidak mengerti caranya.

Bagaimana cara menjelaskan rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat keindahan alam yang belum pernah dilihat Nabila sebelumnya.

Bagaimana cara menjelaskan kepada ayah, kalau dirinya begitu tergila-gila dengan semangat perjalanan mendaki sebuah gunung, ciptaan Allah SWT yang paling indah.

Bagaimana cara menjelaskan kepada bunda, kalau dirinya kecanduan chemistry kebebasan saat mencapai sebuah puncak cakrawala.

Bagaimana menjelaskan betapa dirinya bisa sakit perut karena kebanyakan tertawa bersama teman-teman seperjalanannya, dan itu menyenangkan.

Bagaimana cara menjelaskan bahwa dirinya bisa belajar melihat berbagai sifat asli orang lain saat berada dekat dengan alam, bahkan melihat dan mengenal dirinya sendiri.

Bagaimana cara menjelaskan bahwa dirinya bisa lebih mengerti untuk berjuang, berusaha, menghargai, sigap, bekerja sama, waspada, ikhlas, dan banyak hal lain yang tidak didapatkannya saat duduk di depan papan tulis sekolah.

Bagaimana cara menjelaskan bahwa dirinya merasa sangat kecil dihadapan-Nya saat berada di tengah badai hujan di sebuah punggungan gunung.

Bagaimana cara menjelaskan bahwa dirinya ingin terus mendaki gunung selama sendi lututnya belum terserang osteoartritis dan vertebra-nya belum osteoporosis.

Bagaimana cara menjelaskan betapa dirinya sangat iri kepada Riani Jangkaro, pembawa acara yang bisa sampai puncak Jaya Wijaya, gratis, masuk televisi juga.

Bagaimana?

Nabila tertidur dalam pikirannya. Mulai bermimpi melihat sebuah kawah berwarna putih, Kawah Ratu.

Nabila langsung jatuh cinta, dia tahu ini cinta. Begitu ingin bertemu kawah berwarna putih itu lagi. Ingin menghirup udaranya yang sedikit berbelerang lagi. Ingin dipeluk oleh dinginnya angin malam di bawah tenda lagi. Ingin terus berjalan di jalan setapak berbatu, yang sesekali diselingi sungai kecil, dan batu-batu kali yang bisa membuatnya tercebur dan basah kuyup. Ingin mendengar gelak tawa teman-teman seperjalanannya lagi.

Mimpi Nabila mulai berubah setting. Sekali ini ke Surya Kencana, padang edelweiss di Gunung Pangrango. Dia berjalan menghampiri mata air yang jernih di tengah padang bunga abadi itu. Meneguk langsung airnya. Ah…Subhanallah…

Bip. Bip. Handphone berwarna biru dan perak di dalam tas Nabila berbunyi.

Nabila tidak bergeming. Terus memasuki tidur dalamnya. Memasuki kebebasan hatinya.

---

Keesokan paginya, Nabila membaca pesan yang diterimanya dari tadi malam.

From: 08******7890
Asw. Hai nabila, masih inget aku?
- Rian -

Kampret, dia mengumpat dalam hati dan segera menghapus pesan itu.

“Mbak Nana, ini adiknya sudah selesai mandi, cepat gantian! Nanti keduluan Ayah, kamu bisa kesiangan!” Bunda berteriak dari arah dapur.

Nabila segera bergegas menyambar handuknya .

Bunda sedang menyelesaikan gorengan menu sarapan pagi itu. Bunda rumah tangga yang baik, pikir Nabila, gue juga mau bisa kayak bunda.

“Hih jorok! Belum sikat gigi! Mandi dulu, baru makan,” bunda protes karena Nabila menyambar chicken nugget dari piring di dekat penggorengan.

Nabila menyelesaikan persiapannya dengan cepat.

“Nabiwa be’angkat duwu Bun,” Nabila mencium pipi bunda dengan mulut penuh nasi dan chicken nugget.

“Ya, ati-ati, jajan sama ongkosnya masih? Jangan pulang telat lagi, ya.”

Nabila mengacungkan jempol tanda deal.

“Mbak Nana, jangan lupa titipan gue, komiknya, ya,” Nadia, adik Nabila, mengingatkan.

Nabila mengacungkan jempol lagi tanda deal.

“Mau bareng Ayah nggak, Mbak Nana?”

Nabila menggelengkan kepala tanda no deal, “nggak usah, Nana naik bis aja, Yah.”

Hmm, Bunda yang baik, udah nggak marah, ya? pikir Nabila, Ayah yang baik, they love me, I know it. Mungkin mereka cuma kaget aja, karena gue nggak suka rambut dikuncir dua lagi. But I want they know that I love them too. Kalau gue menentang nasehat mereka untuk berhenti hiking, bukan berarti gue nggak sayang mereka. Gue juga pengen buat Ayah dan Bunda bangga. Pengen buat mereka bahagia. Anak mana yang tidak berpikir sama kayak gue?

---

Hari ini adalah hari pamer satu sekolah. Semua kegiatan ekstrakulikuler (anak-anak suka bilang x-cool, bukan ekskul) di SMA Putra Bangsa yang berjumlah lebih dari lima belas buah akan unjuk keahlian.

Lapangan basket dan lapangan voli telah disulap menjadi seperti Pekan Raya Jakarta. Berdiri stand-stand berukuran 2x2 meter mengelilingi lapangan. Tadi malam stand-stand itu hanya berupa meja dan kursi yang dibatasi dengan tali raffia, tetapi pagi ini sudah seperti pasar tumpah warna-warni. Menyisakan tengah lapangan yang kosong untuk acara demo dari masing-masing x-cool.

Masing-masing x-cool ingin menarik perhatian para calon anggota sebanyak-banyaknya, yaitu para murid yang baru saja mengenakan seragam putih-abu-abunya seminggu yang lalu, masih licin, bahkan ada yang masih berlabel.

Setengah jam lagi lapangan itu akan penuh sesak dengan murid-murid baru yang sekarang sedang dikandangin di kelasnya masing-masing. Kemudian secara bergantian para x-cool akan tampil membawa pesonanya masing-masing di tengah lapangan.

Nabila berlari menerobos kerumunan siswi x-cool drama yang berpakaian seperti orang bangun tidur, lengkap dengan roll rambut dan obat jerawatnya.

“Eh, maap, maap, buru-buru,” Nabila menjawab protes siswi yang ditabraknya sampai roll rambutnya lepas.

Dia menaiki beberapa puluh anak tangga, dan sampai di lantai tertinggi dari gedung sekolahnya. Dia langsung menuju koridor di depan ruang computer yang berada di ujung. Dari kejauhan terlihat seorang lelaki sedang memeriksa beberapa peralatan dari bahan alumunium alloy.

“Shori Yo, gue thelat, bisnya lhama,” paru Nabila kembang kempis meminta asupan oksigen lebih setelah naik tangga secara kilat barusan. Dia melihat jam tangannya yang berkaca retak, menunjukkan pukul tujuh lebih dua puluh menit.

“Ooo…, ya udah lu push up dulu,” Laki-laki bernama Yoyo itu berkata tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan carabiner di depannya.

Yak, baiklah, Nabila memang merasa bertanggung jawab atas keterlambatan dua puluh menitnya itu. Maka mulailah dia berpose “siaga push up”. Wah sarapan gue abis deh nih, pikirnya.

“Seratus kali,” kata Yoyo datar.

“He? Tega!” Nabila langsung tertidur tengkurap bahkan sebelum memulai hukumannya.

“Ahahaha….ha ha hay..hay…hay…” Yoyo tertawa penuh suka cita, bahagia, sentosa, “udah deh nggak usah, daripada ntar lu mencret di sini.”

“Sialan lu!” Nabila langsung terduduk manyun.

“Sekarang lu jaga di bawah aja deh, ntar nge-billay” kata Yoyo masih setengah terkikik, “Oia, bilang sama anak kelas dua yang mau tampil, suruh kumpul di sini.”

Bip. Bip. Handphone Nabila menerima sebuah pesan singkat.

From: Rame

Bill, gw udah di bawah, lu dmn? Yoyo mana?

“Rame udah di bawah, Yo,” kata Nabila, “Gue ke bawah dulu yak.”

“Ya udah,” Yoyo mengalihkan pandangannya ke Nabila, “Jangan lupa anak kelas dua suruh kumpul di sini sekarang.”

“Siap, Bos,” Nabila bergegas meninggalkan Yoyo.

Yoyo adalah pelatih kegiatan Putsapala. Terpaut lebih tua enam tahun dengan Nabila, membuat Nabila memiliki seorang abang yang bisa diajak diskusi dalam banyak hal, tidak hanya masalah kegiatan itu.Nabila menuju stand pencinta alamnya di depan masjid sekolah, di bawah pohon cinta (why pohon cinta? Karena konon saat sekolah itu masih bangunan lama, para pasangan cinta SMA hobi duduk-duduk di bangku, di bawah pohon rambutan itu, sembari makan bakso. Si cewek bermanja-manja, bertanya apakah dirinya bertambah gendut, dan si cowok akan menjawab “nggak” sembari melirik cewek lain yang barusan lewat di depannya).

Stand pencinta alam tidak memerlukan meja atau kursi. Hanya sebuah tenda yang dibangun di bawah pohon. Dikelilingi oleh daun-daun kering yang sengaja dibiarkan berserakan (niat: kesan alami; kalau salah persepsi: nyampah). Kemudian dua buah karton bertempelkan photo-photo perjalanan terbaik didirikan di kanan-kiri tenda. Sebuah matras digelar di depan tenda, untuk memajang peralatan yang biasa digunakan saat berlatih tali-temali, navigasi, rafling, mountaineering, dan panjat dinding.

“Nenek,” Nabila memanggil salah satu juniornya, “Anak kelas dua yang mau tampil, suruh siap-siap di posnya sekarang deh.”

“Udah, Bill,” anak kelas dua yang dipanggil Nenek itu masih terus menghitung selebaran promosi warna-warni yang akan diberikan kepada murid-murid baru, “Barusan aja pada naik, tapi Trigu masih di wece, kebelet katanya. Nah, tuh dia!”

Seorang junior Putsapala yang lain berlari menghampirinya.

“Duh, Bill, gue mules deh, grogi,” keluhnya bisik-bisik seperti sedang berobat ke dukun.

“Ye, dasar, Trigu! Udah sono naik, ditungguin Yoyo di atas! Jangan grogi, kayak latihan kemarin sore! Lagian banyak cewek-cewek baru, siapa tau ada yang naksir elu kalau liat lu gelantungan di atas.”

“Oh, iye, ye, iye deh,” Trigu langsung melesat pergi dalam hitungan detik.

“Naksir Trigu gelantungan? Ada juga dia disangka monkey,” Nenek nyengir.

“He he he…asal dia senang deh!” sahut Nabila.

“Eh Ram, udah lama?” Nabila menyapa Rame yang dari tadi sibuk menyiapkan handycam.

“Hm, nggak, baru aja,” Rame tidak mengalihkan konsentrasinya dari handycamnya.

“Kenapa? Bisa diputer filmnya?” Tanya Nabila ikut-ikut melongo ke arah handycam yang dipegang Rame.

“Yoi dong! Bentar ye…”

Dasar Rame, kebiasaan, batin Nabila, kalau udah masalah kerjaannya, jangankan orang ngajak ngobrol, ada kambing gigitin kaosnya juga dicuekkin, konsen abis sama kerjaannya!

Rame, bernama asli Rama, dipanggil Rame oleh teman-temannya karena nama Rama dianggap terlalu bagus buat dia. Rama terkesan ksatria. Sedangkan dirinya, kocak, hobi mencela orang, dan membuat orang lain terpingkal-pingkal mendengarnya adalah bakat sejak kecil.

Rame adalah adik kelas Yoyo saat masih berseragam putih abu-abu, menjadi asisten Yoyo melatih Putsapala, termasuk ojek gratis antar jemput khusus Yoyo. Kuliah broadcasting semester tiga. Phisically, tidak membuat para wanita menoleh dua kali kepadanya, tetapi bakat punya teman yang banyak sepertinya sudah ada sejak dalam rahim ibunya.

Nabila sendiri tidak terlalu sering mengobrol dengan Rame. Hanya sesekali. Sekedarnya. Tetapi bakat Rame untuk punya banyak teman, dan membuat meriah suasana, menurut Nabila menarik. Mungkin karena dia merasa bakat itu nyaris cuma dimilikinya sekitar 4 gram dari 40 kilogram berat badannya.

Dia juga rela banget bantuin temen-temennya kalau lagi susah, sebisa dia bantu, ya dia bantu, pikir Nabila.

“Nih Non, tinggal pencet,” Rame membubarkan lamunan Nabila, “Bengong aja, mikir jorok ya?”

“Sembarangan bibir lu!” Nabila protes, “Gimana nih muter filmna?”

“He... dasar! Katanya AGJ, muter film pake handycam aja nggak bisa.”

“AGJ?”

“Anak Gaul Jorok, nggak pernah mandi.”

Sebuah sentilan Nabila mendarat tepat di telinga Rame.

“Aduh, kayak emak gue, lu! Hobi nyentil kuping orang!” protes Rame.

“Bodo. Udah nih ajarin gimana nyetel filmnya!” Nabila cuek.

“Tinggal pencet ini, kalau mau stop ini, kalau balik lagi ini. Tuh harusnya lu bayar uang les privat sama gue.”

“Ih, Rame bawel kayak Nyai Rombeng. Udah sana tuh ditungguin Yoyo diatas, disuruh nge-billay dari atas. Ntar gue yang nge-billay di bawah.”

“Emang kuat lu nge-billay? ada juga ntar lu kebawa pulley-nya, gede lu aja nggak lebih gede dari pulley!”

Nabila siap menyerang dengan jurus penderitaan seribu sentilan di telinga. Rame keburu kabur.

Malas mengejar, akhirnya dia mempraktekkan pelajaran memutar film yang diberikan Rame.
Film yang akan diputar adalah film documenter tentang perjalanan terakhir anak-anak pencinta alam itu ke Gunung Gede-Pangrango. Untuk lebih menarik massa, begitu kata Nenek.

Tiba-tiba Nabila seperti tertimpa duren; rejeki, tetapi sakit.

“Eh Nabila, apa kabar lu?”

Nabila mengenali suara itu. Suara itu. Oh, not him!

“Eh! Haris, kapan sampai dari Surabaya?” Nabila terkejut tetapi masih bisa menyambut tangan Haris yang minta jabatan tangan.

“Kemarin,” jawab Haris sembari mengeluarkan senyuman yang bisa menyetrum setiap wanita yang melihatnya.

Oh, stop that smile! Batin Nabila, that will kill me…

“Wah seru juga stand pencinta alamnya, lu yang buat?”

“Em, bareng-bareng,” jawab Nabila, “Eh, Ris, elu diterima di Hubungan Internasional Unair ya?”

“Yep, lu sendiri gimana? Tahun depan kan lulusnya?”

“Iya, belom tau sih.”

“Oh, ya udah deh, gue ke stand bola dulu ya, Nabila.”

“Oh, iye, iye, de...”

Bagus deh, lu cepet-cepet pergi, tiga detik lagi lu di depan gue, jantung gue bisa kena angina pectoris Batin Nabila, Haris, Haris, alumni paling item manis, untung elu dulu satu smp sama gue, jadi gue bisa ngobrol walaupun cuma sedikit. Ketimbang puluhan cewek-cewek di kelas gue, cuma bisa bisik-bisik di belakang punggung lu he..he..he… makanya jadi cowok jangan terlalu item manis dong!

Pukul delapan tepat acara demo x-cool itu dimulai. Sekitar tiga ratus murid baru berhamburan dari dalam kelasnya. Mencari posisi terbaik untuk melihat acara tersebut. Stand-stand mulai didatangi para peminatnya.

Stand drama dibuat seperti kamar tidur, lengkap dengan kasur, poster-poster, jam weker, buku-buku, bahkan baju seragam yang berserakan di lantai. Senior-seniornya memakai piyama dan membawa peralatan tidur komplit.

Stand basket, seperti stand-stand olahraga lainnya, memajang piala-piala terbesar yang pernah mereka dapat, plus bonus senior-senior yang tampan nan menawan hati di sebelahnya.
Stand KIR (Karya Ilmiah Remaja) membuat gunung merapi mini yang bisa mengeluarkan lava dengan soda kue.

Stand-stand keagamaan berjejer damai di sisi timur lapangan. Masing-masing mewakili keyakinannya.

Sambutan-sambutan oleh kepala sekolah, ketua osis, de el el, memakan waktu setengah jam. Semua yang berada di lapangan terlihat khidmat. Well… antara khidmat dan mengantuk memang tipis bedanya.

Acara dilanjutkan dengan pembukaan yang meriah oleh x-cool pencak silat vs perisai diri. Mereka membuat scenario adu jurus terhandal, yang diakhiri dengan nilai seri dan perdamaian. Bagus, jadi mereka bersahabat.

Selanjutnya Paduan Suara yang memulai dengan lagu Indonesia Raya. Nabila mendapat kode dari Yoyo di atas. Ini saatnya bersiap. Setelah ini giliran mereka. Setelah lagu Mahadewi versi mereka sendiri, paduan suara mengakiri dengan indah penampilannya.

It’s a beautifull day milik U2 mengawali penampilan dari pencinta alam.

“Selamat pagi semua!” suara Nenek terdengar dari pengeras suara, menggema di seluruh penjuru sekolah.

“Masih semangat ye?!” suara salah satu junior Putsapala yang lain terdengar berduet dengan Nenek, “kenalin gue Aki, yang ini Nenek, kita dari Putsapala!”

“Duh si Aki, apaan sih tu? Putsapala?”

“Putsapala tuh, Putra Bangsa Pencinta Alam!”

Nenek dan Aki berlagak mengobrol sembari menerangkan x-cool mereka. Bener-bener mirip nenek-nenek sama aki-aki, pikir Nabila.

“Nah sekarang kita sambut Trigu!”

“Mana Ki? Nenek kagak liat? Mana?”

“Itu Trigu mau flying fox dari lantai empat!”

Semua mata tertuju pada Trigu. Berlagak Gatot Kaca, dia membawa bendera Putsapala, meluncur mulus, cepat dari lantai empat diiringi Wooo… kompak dari orang-orang yang melihat atraksi ini. Dia bergelantung di tali yang berujung di tiang basket di seberang lapangan. Tepuk tangan meriah dihadiahkan oleh para penonton, termasuk dari para kaum hawa.

Nabila bersiap memegang billay-nya. Terlihat Rame sudah mengerem Trigu dari atas, tetapi tidak cukup kuat untuk menghentikannya, atau sengaja untuk tidak cukup kuat.

Dasar Rame! Sengaja, ya, billay-nya nggak kuat gitu, batin Nabila. Dia mengambil ancang-ancang yang lebih ke depan dan…taaak….suuut… . Trigu berhenti tepat sebelum wajahnya menabrak tiang basket. Rame mengacungkan jempol ke arah Nabila.

“Walah, walah, ngeri amat, Aki,” Nenek beraksi kembali dari pengeras suara, “ih takut deh,” Nenek melanjutkan sok centil.

“Ye… si Nenek, tenang aja, itu di billay alias di rem, atas-bawah! Insya Allah mah aman, Nenek. Nah kita lanjutin lagi ya.”

Penampilan pencinta alam terus berlanjut. Setelah Trigu, disusul dua orang yang melakukan rafling dari lantai tiga sekolah, kemudian memperagakan cara vertical rescue. Setelah berhasil, disusul seorang anggota putri ber-flying fox dengan membawa bendera merah putih.

Diiringi oleh celoteh riang Nenek dan Aki, pencinta alam cukup menarik perhatian massa, bahkan kelas dua dan tiga yang sudah berkali-kali melihat aksi mereka, tetap memperhatikan sembari bertanya-tanya dalam hati bagaimana rasanya terjun layaknya Gatot Kaca dari ketinggian lebih dari sepuluh meter vertical itu.

“Nah, Nenek mau coba nggak?”

“Aduh Ki, gimana ya? Nenek udah tua! Oia kita kasih kesempatan murid baru aja, gimana?”

“Oia bener! Oke deh buat adek-adek yang nyalinya lebih gede dari berat badannya, boleh deh nyoba, satu cewek, satu cowok, ye! Cepetan naik ke lantai empat di depan ruang komputer, ada Bang Yoyo di atas yang bakal bantuin kamu, terbatas nih waktunya.”

“Udah ah Ki, capek, udahan yuk!”

“Ayo deh, makasih buat perhatiannya, kita tunggu di stand pencinta alam di bawah pohon cinta.”
“Wassalamualaikum! Salam Lestari!”

---

Acara terus berlanjut. Masih separuh lebih x-cool yang bersiap menampilkan keahliannya. Suasana sekolah itu makin siang makin ramai, makin banyak yang bersorak.

Nabila merebahkan dirinya di dalam tenda stand. Lumayan sejuk, untung undian lokasi standnya dapat di bawah pohon. Panas-panas begini males banget kalau dapet di deket tiang basket, pikir Nabila sembari memejamkan mata.

Bip. Bip. Handphone di saku kemeja Nabila membangunkan dari sleeping chickennya.

From: 08******7890
Asw. Nabila, kok sms ku gk dibalas, udah lupa y?
Ini Rian, temen SD kamu. Aku ganggu kegiatan kamu y?
Maaf y kalau aku trus ganggu kamu.
Aku gk bs lupain kamu Nabila, dr dulu sampai sekarang
Ku sayang kamu Nabila

Hih males bgt, Nabila menghapus pesan itu secepatnya, melempar handphonenya ke atas tas di atas kepalanya.

“Busyet, udah tajir, Non? banting-banting handphone,” Rame muncul tiba-tiba, “duh geser dong, boros tempat banget sih lu kecil-kecil, gue mau duduk. Kalau udah nggak butuh, mending tuh handphone buat gue!”

Nabila sedang malas main ping-pong celaan.

“Wo…segitu betenya,” Rame sudah mengambil posisi duduk di sebelah punggung Nabila, “ada apaan sih? Diomelin lagi sama Bunda lu, gara-gara ikut beginian?”

“Duh udah deh Ram, gue males ngebahasnya,” Nabila memunggungi Rame, “masalah nggak penting.”

“Nggak penting tapi dipikirin?”

“Apaan sih lu? Udah deh jangan sok peduli, gue lagi males nih.”

“Hih… pasti lagi M nih! Sewot banget! Ya udah kalau nggak mau cerita sih, nggak papa.”

Rame mengalihkan pandangannya ke arah kerumunan yang memadat ke tengah lapangan.

“Ada apaan sih tuh?” Tanya Rame tidak jelas kepada siapa.

Nabila memandang punggung Rame. Ingin rasanya bercerita ke seseorang. Mungkin akan sedikit lega.

Tapi cerita sama Rame? Tanya Nabila dalam hati, masalah cowok? Ih… gue bisa jadi bulan-bulanan, tahun-tahunan malah!

Nabila bangkit dari rebahannya, duduk di samping Rame.

“Ram, tapi lu janji jangan cerita ke siapa-siapa ye!”

“Masalah apaan?” Rame memandang Nabila serius, “kalau lu lagi M?”

“Rame!”

“Iya, iya ampun jangan sentil kuping gue lagi, copot nih entar.”

“Tuh, kan elu sih, gue serius nih.”

“Oke Bill gue terima.”

“Maksud lu?”

“Elu maksudnya serius apa? Serius nembak gue?”

“Rame!”

“He…he…he…Ampun Bill!”

Maka berceritalah Nabila panjang lebar. Rame ternyata pendengar yang baik, tetapi tetap sesekali menyelingi dengan mencela Nabila.

Rian adalah dia. Dia yang selalu mengganggu tidur malam Nabila. Dengan missed call berulang-ulang. Dengan sms yang isinya membuat siapa pun yang membaca pasti mimisan. Bahasa sayang model apa pun dikirimnya teruntuk Nabila.

Rian adalah dia. Dia mengaku seorang teman saat masih SD. Sudah sayang Nabila sejak masih sekelas di sekolah dasar, katanya. Masalahnya, dia tidak pernah mau bertemu Nabila. Sedangkan saat di sekolah dasar, seingat Nabila, dia tidak dekat dengan Nabila, bahkan hanya berbicara sekedarnya. Lalu darimana rasa sayang itu datang?

“Terus masalahnya dimana?” Rame bertanya, “Elu merasa terganggu gitu? Ngomong aja dong sama orangnya, gitu aza kow bingung?”

“Udah Rame, gue udah hadapin tuh cowok, pake cara paling kasar sampai paling baik-baik, gue ajak ketemuan, dia nggak mau! Lu tau nggak? Gue ganti nomor handphone tiga kali, dia bisa dapat terus nomor gue yang baru! Terus dia tau waktu gue lagi belajar nyetir motor di deket rumah gue! Ih...berasa dikuntit nggak sih lu kalau kayak gitu? Kalau dia memang lelaki, temuin dong gue, ngomong dia sayang gue di depan mata gue!”

“Masalahnya elu serem tau!”

“Maksudnya?”

“Yah…lu nggak nyadar kalau diri lu seorang wanita yang bertampang galak?”

“Emang iya, Ram?”

“Lu percaya?”

“He?”

“Udah nggak usah dibahas. Jadi, lu sebelnya karena dia nggak berani ngomong langsung di depan lu, gitu? Trus, kalau dia ngomong langsung, lu mau terima dia?”

“Iya. Nggak. Maksudnya, mungkin awalnya bisa dipertimbangkan, tapi gue udah terlanjur ill-feel ma dia, males gue! Gue cuma pengen dia nggak gangguin gue lagi. Apes banget gue, dikejar-kejar sama cowok aneh. Eh, cem-ceman gue malah kagak ngelirik gue sama sekali,” Nabila melanjutkan ngedumel sendiri.

Cem-ceman? Siapa?” Rame terlihat sedikit terkejut.

Nabila menunjuk Haris, si hitam manis yang sedang dikelilingi para fans beratnya, gadis-gadis cantik-tinggi-semampai-berkulit-putih-berambut-panjang-lurus-kemilau, yang membuat Nabila kalah telak.

“Itu? Ya elah, Bill! Kayak gitu sih banyak di kampus gue! Lu suka yang kayak gitu?”

“Ya suka, item manis sih, siapa juga kesetrum! He…he…he… gue suka tampangnya, nggak tau kelakuannya, jadi gue suka, tapi nggak sayang.”

Rame terdiam sejenak. Pandangannya berpaling ke arah para dancer yang beraksi membuat suasana makin panas. Dancer yang pakaiannya tidak lebih besar dari baju sepupu Nabila yang berumur enam tahun. Singkatnya, baju paket hemat kurang bahan. Nabila heran, kenapa pihak sekolah memperbolehkan para dancer berpakaian irit di sekolah, yang setiap hari Senin mengadakan razia rok terlalu pendek bagi para siswinya.

Astagfirullah…” Rame membuat gaya seolah-olah sedang melihat sebuah kemaksiatan, tetapi sembari mengintip dari balik jari-jarinya, “berani-berani banget ya, anak sekolah jaman sekarang.”

“He? Gaya lu Rame, Rame!” Nabila menyentil telinga Rame, “gaya lu pera’, sok tua, cuma beda tiga tahun sama gue aja! Tapi tetep lu intip juga, kan?”

“Gue kan nggak bilang kalau gue nggak suka!”

Mereka tertawa terbahak-bahak sembari jitak-jitakkan kepala.

“Bill, kenapa nggak elu coba aja? Terima aja Rian. Kalau dia udah jadi cowok lu, dia pasti mau ketemu lah, dan jadi cowok lu yang beneran. Lumayan kan, ada yang jemput kalau pulang sekolah. Lu nggak perlu nungguin bis di perempatan depan. Ada yang ngejagain lu juga.”

“Ye…kalau gitu gue perlunya satpam sama supir dong! Bukan cowok! Gue nggak suka coba-coba, Ram. Saat gue nanti sayang sama seseorang, gue mau sayang itu tulus dari gue buat dia, dan dari dia buat gue. Nggak pake embel-embel. Nggak minat kalau cuma punya cowok karena “daripada jomblo”, terus tiga bulan putus, cari lagi. Males gue. Sendiri lebih baik. Lebih tegar.”

Rame tersenyum. Nabila balas tersenyum.

“Ya udah, Bill, lu cuekin aja kalau gitu. Udah jangan dipikirin lagi. Katanya, bukan masalah besar.”

“Iya.”

“Gue mau bantuin Yoyo dulu beres-beres di atas ye.”

Rame beranjak dari duduknya.

“Rame!” Nabila memanggilnya. Rame menengok ke belakang.

“Tengkyu yak!”

Rame mengacungkan jempol kanannya, dan beranjak pergi.

---

Kantin masih terlihat ramai. Semua orang berlomba-lomba mendapatkan segelas es teh manis segar pelepas dahaga.

“Busyet panas banget neh, gerah!” Nabila merasa ingin menceburkan diri ke dalam bak kamar mandi sekolah. Acara demo x-cool sudah selesai. Jarum pendek jam tangan Nabila menunjukkan pukul tiga sore. Gue nggak boleh pulang telat lagi, pikirnya.

Yoyo datang menghampiri Nabila, bersama Rame dan beberapa adik kelas Nabila. Mereka membawa gulungan tali, dan peralatan yang tadi dipakai untuk atraksi.

Kemudian adik-adik kelas Nabila sebagian pamit pulang, sebagian lagi pamit jalan-jalan ke mall (gue jadi kayak emak mereka, kok mereka minta ijinnya sama gue, pikir Nabila). Tinggalah Nabila bersama Yoyo dan Rame.

“Gue mau pesen mie goreng, siapa mau?” Nabila menawarkan jasa pemesanan. Yoyo dan Rame tidak pernah bisa menolak makanan.

“Bill, gue pesenin ketoprak aja deh, kebanyakan makan mie jadi budeg!” ujar Yoyo.

“Itu sih, emang dasar kuping lu yang cuma jadi cantelan wajan,” sahut Nabila.

“Heh! ngomongnya! Gue tampar nih pipinya! ”

Nabila tahu Yoyo tidak serius.

Setelah menghabiskan santapan masing-masing, Yoyo dan Rame menghisap sepuntung rokok dengan alasan, “habis makan nggak ngerokok mulut jadi sepet”. Alasan aneh menurut Nabila.

“Bill, gue mau tanya serius, nih,” ujar Yoyo, “Emang bener ada yang naksir elu?”

“He?” wajah Nabila terasa memerah dan naik temperaturnya, “Kata siapa? Sok tau lu!”

“Siapa namanya? Rian?”

Nabila menatap Rame kejam. Siap melayangkan jurus penderitaan seribu sentilan di telinga Rame.

“Rame, lu emang kaleng rombeng!” Nabila kesal.

Rame hanya cengar-cengir.

“Eh, lu ngomong sama gue! Jangan cuekkin lawan bicara dong, Nabila,” Yoyo menarik lengan Nabila.

“Apaan sih, Yo?”

“Gue pengen tau, Rian orangnya kayak apa?”

“Mana gue tau! Gue udah lima tahun nggak pernah ketemu!”

“Gue rasa si Rian, Rian ini pasti pake kaca mata yang tebelnya kayak pantat botol. Soalnya, dia bisa ngira elu tuh cewek! A ha hahaha….haha…hay..hay…hay… jelas-jelas cowok tulen begini!”

“Sialan lu, Yo!”

Mau tidak mau Nabila ikut terbawa tawa Yoyo dan Rame.

Sisa waktu sampai pukul empat sore mereka habiskan untuk menebak-nebak orang seperti apa kira-kira Rian ini. Dan bagaimana cara terampuh mengusirnya dari kehidupan Nabila.

Kesimpulan tercapai, Rian adalah seseorang yang berkacamata setebal pantat botol dengan rambut separuh botak dan bertompel di keningnya. Cara terampuh mengusirnya adalah dengan pengasapan alias fogging seperti memberantas nyamuk demam berdarah.

1st Chapter by Novita Wahyu (Opik)

1 comment:

ade_ndut said...

crta'nya bkn penasaran,lucu bgt!gw sie maunya nabila jadiannya ma rame...sory neh agak2 ngatur...he...