PROLOG
Siang hari ketika sang matahari sedang malas memancarkan sinarnya dan sepertinya lebih memilih untuk menyelimuti dirinya dengan awan yang gelap, di sebuah sekolah menengah pertama negeri di daerah Jakarta Pusat.
Terlihat empat orang siswi berseragam putih biru tua sedang berjalan bersama-sama. Wajah mereka tampak pucat karena resah akan sesuatu. Mereka terus berjalan melewati berbagai koridor yang ada disekolah itu dengan posisi badan menunduk, pandangan mata terus memandang ke bawah dan mata yang bergerak ke kiri dan ke kanan mencari sesuatu. Mereka sudah terlihat lelah, tapi tidak ada tanda-tanda bahwa mereka akan berhenti berjalan. Sesekali tangan mereka membersihkan keringat yang bercucuran dari wajah dan leher mereka yang membuat seragam mereka jadi basah. Suasana sekitar semakin gelap dan lampu-lampu sekolah yang biasanya hanya dinyalakan pada malam hari kini telah dinyalakan oleh para penjaga sekolah.
“Atya... udah ketemu belum?” kata seseorang di antara mereka sembari matanya melihat ke bawah mencari sesuatu. Tampaknya dia sudah sangat lelah.
“belum…” jawab Atya yang terlihat lebih resah dibandingkan ketiga temannya.
“bentuknya gimana sih?” tanya temannya yang lain.
“yah… kertas… warna putih… robekan dari buku gitu… kayak… kertas coret-coretan dech…” jawab Atya lagi yang kali ini sambil memegangi rambut hitam panjangnya yang agak berantakan karena sejak tadi dimain-mainkan oleh angin.
“tadi memang lo taruh mana? Kok bisa ilang?” tanya teman Atya yang lain.
“tadi ada di atas meja gue. Gue tinggal gitu aja waktu kita mau jalan ke kantin. Pas balik, udah nggak ada. Mungkin ketiup angin jadi terbang nggak tau kemana. Aduh… bisa kacau nich kalo ketahuan dia” kata Atya dengan wajah semakin pucat dengan mata yang terus melihat kesana kemari mencari sesuatu.
“lo sembarangan sih nulis-nulis begitu…” kata temannya dengan agak emosi.
“iya… maaf banget ya… maaf” kata Atya sambil berjalan mundur karena bermaksud untuk memandang ketiga temannya yang sedang mengajaknya bicara.
Tiba-tiba…
“ATYA AWAS…!!!” kata ketiga teman Atya serentak.
“BBBRRRUUUK…!!”
Tubuh Atya sukses bertabrakan dengan seorang murid pria di belakangnya. Atya membalikkan badan, melihat wajah siapa yang tak sengaja ditabraknya. Mendadak bola mata Atya membesar karena terkejut. Wajah Atya yang sebelumnya sudah pucat karena cemas belum juga menemukan barang yang dicarinya menjadi semakin memucat ketika melihat pandangan sinis dari orang yang baru saja ditabraknya.
“eh… maaf... maaf..., nggak sengaja…” kata Atya dengan ramah tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulut orang yang bertabrakan dengannya itu.
“eh... Lo nggak apa-apa khan? Emm… permisi ya…” kata Atya lagi dengan agak ketakutan sambil berusaha melewati orang itu. Atya berusaha berjalan menjauh secepatnya dari orang itu untuk menghindarinya.
“lo cari ini?” kata pria yang semula bertabrakan dengan Atya tiba-tiba bersuara sambil menunjukkan secarik kertas berwarna putih dalam genggaman tangannya setelah Atya berjalan menjauh beberapa meter dari orang itu.
Atya memalingkan wajahnya,
“DUAR...!!!” tiba-tiba suara petir menggelegar memekakan telinga.
“habis sudah hidupku sekarang…” kata Atya dalam hati ketika melihat kertas yang digenggam pria itu. Kertas yang sudah ia cari bersama ketiga temannya selama hampir satu jam ini, ternyata telah ada pada orang yang paling tidak diharapkannya.
“i… iya…” kata Atya dengan lemas. Matanya memandang ketakutan pria itu.
“bisa kita bicara?” tanya pria itu masih dengan pandangan sinis. Atya tau, ini sebenarnya bukan pertanyaan, tapi ini perintah agar mereka berdua berbicara.
“bi… bisa” jawab Atya dengan agak ragu-ragu sambil berjalan mendekati pria itu bersama ketiga temannya yang saling berpandangan satu sama lain.
“cuma Empat Mata!!” kata pria itu menegaskan perkataannya sambil memandang sinis ke arah ketiga teman Atya.
“oh… ok. Emm… kalian bertiga balik ke kelas duluan aja ya… Gue masih ada urusan di sini” kata Atya mencoba tersenyum walaupun terlihat agak dipaksakan.
“tapi…” kata salah seorang dari teman Atya terlihat tidak rela meninggalkan Atya hanya berdua dengan orang yang jelas sekali akan membuat Atya menderita.
“udah… nggak apa-apa” kata Atya berusaha menunjukkan ekspresi tenang.
Kemudian, walaupun awalnya ragu akhirnya ketiga teman Atya pun pergi dengan pasrah meninggalkan Atya untuk berbicara berdua dengan pria sinis itu.
“ok, sekarang kita bisa bicara” kata Atya sambil berusaha memberanikan diri memandang mata pria itu walaupun dari tadi keringatnya tak berhenti bercucuran. Jelas sekali Atya takut pada pria itu, setidaknya cukup hingga membuat tubuh Atya menjadi sedingin es, lebih dingin daripada angin yang sejak tadi bertiup disekitarnya.
“apa maksud lo, dengan nulis kata-kata dalam kertas ini?” tanya Pria itu.
“gue cuma…” kata Atya yang langsung dipotong oleh pria itu.
“cuma apa? Mau mempermalukan gue di depan umum huh?” kata Pria itu.
“mempermalukan lo di depan umum? Maksud lo?” kata Atya kebingungan.
“isi kertas ini di baca di depan kelas gue!! Puas lo?!” kata Pria itu.
“apa?! Di depan kelas kata lo?” kata Atya dengan wajah sangat terkejut.
“udahlah… lo nggak usah pura-pura kaget. Ini semua rencana lo khan? Gue yakin sekarang lo pasti seneng, karena semua orang tau kalo lo suka sama gue. Mereka sekarang lagi ngetawain gue. Ini khan yang lo mau?!” kata Pria itu kesal.
“nggak-nggak… gue nggak pernah punya maksud itu… maaf... Gue nggak sengaja... Sumpah!” kata Atya dengan mata yang berkaca-kaca tergenang air mata.
“heh, ini untuk yang pertama dan terakhir kalinya, denger baik-baik! Gue muak sama lo! Gue nggak akan pernah jatuh cinta sama lo karena gue nggak pernah ngerasa akrab sama lo, sahabatan sama lo, bahkan kenal sama lo aja enggak. Jadi berhenti ganggu hidup gue! Ngerti lo?!” kata Pria itu sambil merobek-robek kertas itu, melemparnya langsung ke muka Atya lalu segera berjalan pergi meninggalkan Atya.
Air mata Atya langsung deras keluar dari matanya. Ia sudah tak dapat menahannya lagi. Atya terus menangis sambil memungut sobekan kertas dihadapannya satu persatu. Ia menangisi nasib cinta pertamanya yang bertepuk sebelah tangan. Ia menangisi kebodohannya yang menulis-nulis pernyataan cinta dikertas coret-coretan saat pelajaran kosong sebelum bel istirahat tadi. Ia juga menangis karena malu dengan pandangan beberapa murid yang tak jauh dari tempat ia berdiri. Mungkin mereka tidak mendengar perkataan kasar pria itu pada Atya, tapi yang pasti mereka melihat jelas pria itu melemparkan potongan-potongan kertas itu langsung ke wajah Atya.
Langit yang semula kelam sekelam suasana hati Atya saat ini tiba-tiba saja berubah menjadi hujan deras dan angin kencang disertai petir yang terus menyambar-nyambar seakan ingin menemani kesedihan Atya saat itu.
“tega-teganya… seorang Rio, cinta pertama gue, cowok yang paling gue cintai selama ini berbuat gini ke gue” kata Atya lirih dalam hati.
Tiba-tiba…
“TOK... TOK... TOK…” suara pintu kamar Atya diketuk seseorang.
“ATYA… BANGUN!! UDAH PAGI!!” kata seorang pria dari luar kamar Atya.
Atya terbangun dari mimpi buruknya. Tangannya membersihkan wajahnya yang ternyata basah dengan air mata. Keringatnya masih bercucuran dan nafasnya pun menderu. Atya benar-benar menangis dalam tidurnya, ia seperti benar-benar sedang mengalami hal itu beberapa detik yang lalu. Atya masih duduk di atas tempat tidurnya. Tangannya bergerak untuk menyeka keringatnya yang bercucuran dengan piyamanya. Atya masih merenungi mimpinya…
“ARRRRGGGHH!! mimpi buruk itu lagi!! Udah satu tahun kejadian itu berlalu tapi kenapa gue nggak pernah bisa lupa?! Kenapa? Kenapa!!!” kata Atya dalam hati.
Atya mendadak kesal dan mengacak-acak rambutnya sendiri dengan kedua tangannya. Kakinya ia hentakkan ke kasurnya berkali-kali.
“GUE SAKIT HATI...!!! GUE MALU....!!!” kata Atya dalam hati.
Mimpi Atya itu memang kejadian nyata yang pernah Atya alami ketika ia masih duduk di bangku SMP. Kejadian buruk yang ia alami bersama Rio, pria yang sangat ia cintai dan impikan tetapi tak pernah sedikitpun mencintai Atya. Kejadian itu sungguh membuat Atya sangat tertekan hingga terus terekam dalam otaknya dan sudah sering kali hadir menjadi mimpi buruk dalam tidurnya meskipun kejadian itu telah berlalu sangat lama. Robekan-robekan kertas yang dilempar pria itu ke muka Atya bukan hanya membuatnya sakit hati tapi juga membuat harga dirinya terobek-robek tanpa ampun.
“ WOI… ATYA JELEK BANGUN… !!! Udah jam setengah tujuh...!! Hari ini mau masuk sekolah nggak lo?” kata pria di luar sambil kembali mengetuk pintu kamar Atya menunggu jawaban dari empunya kamar.
“iya… sebentar... Gue udah bangun...” kata Atya, dengan suara serak khas orang baru bangun tidur, sambil beranjak dari tempat tidurnya. Atya segera bangun dan mempersiapkan peralatan mandinya. Walaupun ia tau kalo orang yang di luar kamarnya itu berkata ‘udah jam setengah tujuh’ berarti sekarang masih jam setengah enam. Awalnya Atya memang tertipu perkataan orang itu yang memang sengaja menambah satu jam dan kenyataannya agar Atya bisa segera bangun. Tapi sekarang, walaupun Atya tau dia telah ditipu, tapi dia telah terbiasa untuk segera bersiap seakan mau terlambat sekolah ketika jam beker raksasa, bernyawa dan berwujud manusia itu mulai berteriak untuk menariknya dari alam mimpi.
BAB I (PERJANJIAN BERSYARAT)
SMU ANGGREK, Sebuah sekolah di Jakarta Pusat dengan predikat yang cukup baik. Gedung sekolah mereka bertingkat dua lantai. Meskipun berada ditengah kota, sekolah ini terasa jauh lebih nyaman dan sejuk di banding sekolah-sekolah lain pada umumnya. Lapangan dan areal tamannya cukup luas, banyak sekali pohon hijau yang rindang di sana. Lingkungan sekolah itu selalu terlihat bersih dan tanaman-tanaman hijaunya juga tertata rapi sehingga membuat kesejukan alami di sekolah yang bercat hijau putih itu. Tampaknya penjaga sekolah cukup bekerja keras merawat sekolah itu.
Petang itu di sebuah sudut gelap diantara lorong kelas yang letaknya tak jauh dari lapangan Basket, terlihat terdapat tiga orang siswi berbaju putih kelabu yang sedang berdiri berhadapan dengan seorang siswi yang lain membicarakan sesuatu…
“Atya Apsarini Candraningtyas… hmm… nama lo sich bagus tapi sayangnya kelakuan lo nggak sebagus nama lo. Kecentilan!” kata seorang murid wanita sambil mendorong pundak Atya dengan telunjuknya.
“ah Kakak bisa aja sich, enggak kok Kak… saya biasa-biasa aja” jawab Atya tetap sambil tersenyum riang tanpa rasa takut sedikit pun.
“heh diem, gue tuh nggak lagi memuji lo. Ngerti nggak?” kata murid wanita itu.
Atya hanya diam sambil memandang dengan ekspresi seperti orang bodoh.
“heh kok diem? Jawab! ngerti nggak?!” kata murid wanita itu.
“oh, sekarang di suruh jawab, tadi di suruh diem. Saya jadi bingung Kak”
“iya, jawab!” kata wanita itu yang jadi semakin kesal karena sikap bodoh Atya.
“iya, saya ngerti. Tapi kecentilan gimana nih maksud Kakak?” kata Atya heran.
“kecentilan sama Bryan!” kata wanita itu sambil matanya melotot.
“ah… enggak kali Kak… sebenernya yang centil itu Kak Bryan Kak… dia tuh yang selalu datang ke kelas saya setiap jam istirahat. Dia suka bercanda gitu, lucu banget deh dia. Hahaha...” kata Atya sambil tertawa seakan tak ada masalah apa-apa.
“aduh… pusing dech gue ngomong sama ini anak, nggak ada takut-takutnya sama kita coba. Udah Vera, lo aja dech yang ngomong sendiri” kata murid wanita itu.
“memangnya maksud Kakak apa sich? Bener dech Kak... saya jadi makin bingung nich...” kata Atya dengan wajah tanpa ekspresi lain selain pura-pura bodoh.
“gini ya, lo denger baik-baik. Bryan itu udah jadi gebetan gue sejak kami masih sama-sama kelas satu. Dia cuma haknya kelas tiga, gue ulangi KELAS TIGA! Dan kelas tiga itu gue, bukan lo! KELAS SATU!” kata Vera dengan menekankan nada bicaranya pada kata kelas tiga dan kata kelas satu.
“trus?” tanya Atya dengan pandangan kosong seakan-akan benar-benar bingung.
“intinya, lo jangan coba deket-deket sama Bryan lagi!” perintah Vera.
“eh… ada apa nih… kayaknya ada yang sebut-sebut nama gue ya?” tiba-tiba terdengar suara dengan nada yang ramah dari belakang Vera dan teman-temannya. Suara berat yang sering membuat hati wanita manapun meleleh ketika mendengarnya.
Lalu terlihat seorang pria tampan berkulit putih, pipi merona kemerahan dan bermata kecokelatan, dengan tinggi kurang lebih 180cm dan tubuh yang atletis berbalut seragam tim base ball telah berdiri di belakang Vera dan kedua temannya. Tubuh pria itu berkeringat, rambutnya yang agak gondrong pun ikut basah terkena keringatnya, tapi tetap tidak mengurangi ketampanannya sedikitpun.
“eh… Bryan, udah selesai latihan base ballnya? Pulang sama Vera yuk…” kata Vera dengan nada ramah dan manja sambil tersenyum genit menggoda Bryan.
“HUH… DASAR!! Sekarang sok ramah, tadi galaknya minta ampun” kata Atya mengumpat dalam hati sambil kedua matanya memandang sinis pada Vera.
“enggak makasih, gue pulang sama Atya aja. Ayo sayang… kita pulang. Permisi ya... Semuanya” kata Bryan sambil menarik tangan Atya dan mengajaknya pergi meninggalkan Vera dan teman-temannya.
“dag… Bryan… Hati-hati ya di jalan…” kata Vera sambil tersenyum manis walaupun dalam hati ia sangat kesal karena cemburu pada Atya.
Beberapa menit kemudian…
Bryan dan Atya sudah berjalan cukup jauh dari sekolah mereka. Sekarang mereka telah berada di jalan sepi di areal perumahan yang tak jauh dari rumah mereka. Mungkin tidak sepi sekali hingga tidak ada orang lain satupun, tetapi suasana disana cukup sepi untuk membicarakan rahasia yang antara mereka berdua.
“udah lepasin, ngapain ngegandeng gue terus. Kalo orang liat, ntar pasaran gue bisa turun nich!” kata Atya dengan nada bercanda sambil mengibaskan tangannya.
“oh iya, lupa. Yee…, yang ada juga pasaran lo naik gara-gara mereka liat lo jalan sama cowok seganteng gue” kata Bryan yang kemudian melepaskan gandengannya pada tangan Atya.
“iiiihh... Ganteng di liat dari mananya... lagi” kata Atya dengan nada bercanda.
“oh iya jelas, semua orang mengakui kalo gue ini ganteng. Asal lo tau, di dunia ini cuma lo aja yang nggak sadar kalo gue ganteng. Kayaknya lo besok perlu periksa kemampuan penglihatan lo ke dokter mata dech... Hehehe” sahut Bryan.
“oh yeah… Whatever… Udah ah, tadi gue khan udah bantuin lo. Sekarang cepet penuhin janji lo, udah capek banget nich… Gendong gue sampe rumah!” kata Atya.
“harus sekarang? Nanti aja ya… gue capek banget nich” kata Bryan memelas.
“uh… rugi gue udah capek-capek pulang sekolah langsung nungguin lo latihan base ball sampe jam segini, dimarahin sama Vera sama temen-temennya. Eh… sekarang lo ingkar janji. Ah… sebel... sebel... sebel…” kata Atya sambil memonyong-monyongkan bibirnya. Sayang, saat ini bukan sedang pelajaran Matematika atau acara pemecahan rekor MURI. Jika iya, mungkin Bryan akan dengan semangat mengeluarkan penggaris dari dalam tasnya untuk mengukur berapa panjang Atya dapat memonyongkan bibirnya.
“Wah... seru tuch, sampe hari ini berarti udah berapa banyak yang ngomelin lo gara-gara gue?” tanya Bryan penasaran tanpa memperdulikan sikap Atya.
“Dian, Bella, Sonya, Alda, Caroline, Maya, Saras, Mawar, Vera, Dewi… Wah… Gue sampe lupa siapa lagi saking banyaknya” kata Atya dengan nada kesal.
“hahaha, hebat juga lo bisa tahan dibentak-bentak sama segitu banyak orang. Makasih ya sayangku…” kata Bryan sambil mengalungkan tangannya ke leher Atya lalu memberikan sebuah kecupan lembut di rambut Atya.
“uh… coba lo ngebolehin gue untuk ngehajar mereka semua, udah abis mereka ditangan gue. Ciat... Ciat...” kata Atya semakin kesal sambil mengepalkan tangannya, memasang kuda-kuda dan memperagakan salah satu jurus yang dikuasainya.
“eh... eh... eh… jangan… mentang-mentang lo bisa ilmu bela diri ya. Inget, lo cewek… nggak boleh kasar gitu. Jadi cewek yang manis dikit dong…” kata Bryan.
“iya... iya… makanya gue juga selama ini cuma mainin kata-kata aja biar mereka kebingungan sendiri” kata Atya sambil menunduk. Kakinya capek.
“kok lemes banget, capek ya? Ya udah dech... Sini gue gendong” kata Bryan yang kemudian berjongkok tepat di depan Atya.
“asyik… gitu dong, khan gue capek” kata Atya tersenyum kegirangan dan tanpa menyia-nyiakan kesempatan langsung melemparkan dirinya punggung Bryan.
“iya…” kata Bryan pasrah mengangkat beban tubuh Atya yang jelas jauh lebih berat dari sekarung beras yang paling besar sekalipun itu.
Tak lama kemudian…
“eh, sandiwara kita ini kapan selesainya sich?” tanya Atya sambil tetap bertengger di punggung Bryan yang kuat.
“mungkin… sampai lo terima rapor semester satu” jawab Bryan.
“yah… masih lama dong… Huh, bikin repot aja” balas Atya malas.
“ya iyalah… baru juga sebulan. Kenapa, emang lo nggak seneng?” tanya Bryan.
“hidup kayak gini apa enaknya coba?” kata Atya kembali memonyongkan bibir.
“tapi perjanjian kita udah adil khan? Gue jadi punya temen yang nunggu gue latihan base ball supaya nggak terganggu sama cewek-cewek centil itu setiap hari dan lo akhirnya dapetin ketenaran yang lo mau selama ini. Adil khan?” tanya Bryan.
“iya, tapi tenar karena mereka ngira gue ini pacar lo. Itu sich nggak asyik”
“tenang… cuma satu semester, habis itu lo bebas mau ngapain aja. Karena saat itu gue bakal udah mulai sibuk ujian akhir. Lagian, kalo nggak pake cara gini, lo emangnya bisa tenar pake cara apa? Lo punya prestasi apa coba?” tanya Bryan.
“gue? Hmm… bener juga. Tapi tenang nanti gue bakal cari caranya!” kata Atya.
“iya… terserah lo-lah. Yang penting sekarang lo turun, karena udah nyampe rumah” kata Bryan dengan wajah penuh keringat karena kelelahan mengangkat Atya.
“yah… lo gendong gue sampe depan kamar gue ya… khan tadi lo ngegendongnya nggak dari sekolah” kata Atya sambil merengek seperti anak kecil.
“ih… nich anak!” kata Bryan kesal tetapi tidak bisa menolak permintaan Atya.
Sesampainya di depan pintu rumah Atya…
“heh, buka pintunya dong. Tangan gue khan repot megangin lo” kata Bryan.
“iya… awas kepala lo” kata Atya sambil mengulurkan tangannya ke pegangan pintu lalu mengunkitnya kebawah untuk membukanya.
“Mama... Aku pulang…!!” kata Atya begitu masuk ke dalam rumah.
“eh sayang, udah pulang” kata Mama sambil menyaksikan sinetron di televisi.
“ATYA!! Kamu badung banget sich… kok nyuruh kakak kamu ngegendong kamu gitu. Ayo turun!” kata Mama lagi begitu menoleh ke arah Atya dan Bryan.
“iya Mama…” jawab Atya yang langsung turun dari gendongan Bryan.
Bryan pun tersenyum lega karena terlepas dari tugas membawa Atya hingga ke kamar Atya di lantai dua. Sementara wajah Atya berubah cemberut.
“oh iya, Atya sayang… kamu dapet kiriman lagi tuh. Udah Mama taruh di kamar kamu” kata Mama sambil menunjuk ke arah kamar Atya.
“Wah… asyik… makasih Mam…” kata Atya sambil tersenyum cerah lalu segera berlari menuju kamarnya. Rasa lelahnya langsung hilang seketika.
Itulah sedikit cuplikan kehidupan Bryan dan Atya. Kakak beradik yang sangat akrab dan selalu saling menyayangi. Mereka hanya dua bersaudara dan tinggal bersama dengan Ibu kandung dan Ayah tiri mereka yang telah menikah dengan Ibu mereka sejak tahun lalu. Tapi Bryan dan Atya bukanlah pasangan kakak beradik biasa, mereka mungkin memang bukan berasal dari keluarga yang kaya raya tetapi mereka adalah siswa-siswi yang sangat terkenal di sekolah bahkan sejak hari pertama mereka masuk.
Bryan Adwitiya atau yang biasa dipanggil Bryan (18 thn), siswa kelas 3 SMA, sangat tampan dengan wajah yang mirip sekali dengan wajah ibunya yang masih memiliki darah keturunan Belanda. Secara fisik, tubuhnya sangat proporsional dan agak berotot karena hobinya berolah raga, kulitnya putih, rambutnya agak gondong dan matanya berwarna kecoklatan. Sangat berbakat dalam olah raga base ball dan peringkat dua besar juara umum di sekolah. Maka tak heran, Bryan menjadi idaman para murid wanita di sekolah karena segala kesempurnaan yang dimilikinya. Meskipun begitu, tanpa mereka ketahui sebenarnya Bryan adalah tipe pria yang sangat takut pada wanita-wanita agresif yang hampir setiap hari mengejar-ngejar dirinya di sekolah. Karena alasan itulah Bryan akhirnya meminta adiknya, yang sebelumnya belum pernah sekalipun satu sekolah dengannya sejak TK untuk masuk ke sekolahnya dan berpura-pura menjadi kekasihnya selama satu semester.
Atya Apsarini Chandraningtyas, atau biasa dipanggil Atya (16 thn), siswi kelas 1 SMA. Meskipun bersaudara kandung dengan Bryan tetapi wajah mereka sangat berbeda. Atya berwajah mirip sekali dengan mendiang ayahnya yang orang Indonesia asli itu. Rambutnya hitam panjang dan sering dibiarkannya terurai bebas. Atya berkulit sawo matang dan ia juga memiliki sepasang mata bulat yang berbola mata hitam. Atya memang tidak sepintar kakaknya tetapi sifat Atya yang sangat baik hati pada siapa saja, tegas dan selalu ceria membuatnya banyak disenangi teman-teman. Ia mendadak menjadi salah seorang yang paling terkenal di sekolah sejak pertama kali ia masuk, akibat gosip hubungan dirinya dengan Bryan yang sengaja mereka ciptakan sendiri. Akibatnya, banyak yang kakak kelas wanita yang membenci Atya karena cemburu padanya dan akhirnya mereka pun menjadi sangat sering mengganggu Atya.
Malam hari di teras depan rumah…
“jadi berdasarkan penilaian lo gimana?” tanya Bryan dengan wajah serius.
“yang jelas jangan cewek-cewek yang namanya ada di daftar ini dech… terlalu agresif” kata Atya sambil memberikan selembar kertas berisikan puluhan nama wanita yang selama beberapa minggu ini telah mengganggu hidupnya.
“gile… banyak banget. Hebat banget lo, satu bulan udah digangguin sama segini banyak cewek? Emang Adik gue jagoan!” kata Bryan salut dengan wajah terheran-heran sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“ya… gitu dech… ini semua juga gara-gara lo” kata Atya yang kemudian menggigit cokelat yang sejak tadi di genggamnya.
Bryan hanya tersenyum.
“masih banyak lagi nggak? Lo kenapa sich nyuruh gue? Kenapa bukan orang lain aja?” kata Atya lagi sembari mengunyah cokelat dimulutnya.
“gue nggak tau, nggak gue hitung jumlahnya. Eh... kalo gue nggak nyuruh lo, emang gue bisa nyuruh siapa lagi?” tanya Bryan sambil memandang Atya.
“kenapa harus gue? Khan lo sahabatan sama Kak Ranti dari SD, masa’ dia nggak mau bantuin lo sich...” kata Atya yang malah kembali bertanya pada Bryan.
“dia mau aja, tapi gue yang kasihan sama dia. Lo khan tau sendiri, Ranti itu lemah lembut banget, gue nggak tega kalo lihat dia dimarahin orang” kata Bryan.
“hmm… bagus! Giliran gue, adik lo sendiri, lo malah tega! Sopan banget ngomongnya... Terus aja ngomong gitu, Atyanya lagi ke Belanda Bang...” kata Atya.
“Hahaha... bukan gitu, kalo lo khan nggak cewek-cewek banget jadi dibentak-bentak kayak apapun lo juga nggak bakal kenapa-napa. Lagian dengan begini, lo khan gue bolehin minta apa aja dari gue dan lo juga bakal lebih cepet tenar di sekolah kayak impian lo selama ini. Kalo Ranti khan nggak butuhin itu. Satu lagi, banyak yang udah tau kalo gue sama Ranti itu temenan dari SD, rada susah bikin mereka percaya kalo gue ada hubungan khusus sama Ranti” kata Bryan meyakinkan.
“iya juga sich… Tapi semua ini mungkin nggak bakalan terjadi kalo lo nggak terlalu tebar pesona duluan!” kata Atya sambil menunjuk wajah Bryan dengan telunjuk kanannya persis ditengah kedua mata Bryan.
“tebar pesona apaan?!” kata Bryan sambil meminggirkan tangan Atya.
“Gue udah berusaha biasa-biasa aja tapi mereka tetep suka sama gue. Kalo gue jutek, katanya gue cool banget bikin mereka penasaran tapi kalo gue ramah, katanya gue charming banget bikin mereka makin pengen selalu ada di deket gue. Trus mau lo, gue musti bersikap gimana?” tanya Bryan kebingungan.
“hmm… susah juga ya... Tapi, emang sejak kapan sich cewek-cewek pada bersikap gini sama lo?” kata Atya yang jadi ikut bingung.
“bukannya gue pernah cerita ya?” tanya Bryan.
“masa’? Lupa Bang... Ceritain lagi dong... hehehe...” jawab Atya.
“sejak gue kelas satu SMP! Waktu gue kelas satu, kakak kelas tiga udah ngejar-ngejar. Gue kelas dua, kakak kelas tiga yang baru yang tadinya waktu kelas dua biasa-biasa aja juga jadi pada ngejar-ngejar. Eh… gue kelas tiga, gantian temen-temen seangkatan gue yang ngejar-ngejar gue. Huhhhh…!!!” kata Bryan kesal.
“gue pikir waktu gue lulus SMP gue bakalan bebas, ternyata di SMA gue juga ngalamin hal yang sama. Huh… gimana gue bisa serius belajar kalo terus-terusan diganggu gini! Makanya karena sekarang gue udah kelas tiga dan mau ujian, gue butuh bantuan lo buat pura-pura jadi pacar gue. Lagipula mereka nggak akan tau, karena kita khan sama sekali nggak pernah satu sekolah sebelumnya” kata Bryan lagi.
“oke... oke... gue ngerti. Uh... senengnya… hidup kayak lo, dimanapun dipuja sama lawan jenis. Luar biasa dech... Enaknya” kata Atya.
“enak apanya?! Yang ada gue sengsara!! Bayangin aja, gara-gara banyak cewek yang ngejar-ngejar, gue jadi susah cari temen cowok karena banyak yang sirik sama gue. Gue juga susah cari temen cewek, karena nggak semuanya mau temenan sama gue secara tulus. Bahkan, gue juga banyak dapet ancaman dari kakak-kakak kelas cowok yang cemburu karena pacar ataupun gebetan mereka jadi pada naksir sama gue. Ayo sekarang lo pikir, apa enaknya hidup kayak gue gini?” kata Bryan emosi.
“ada enaknya juga kali… Kalo suatu saat nanti ada cewek yang lo suka, udah pasti lo bisa dapetin dia. Nggak kayak gue… sekali-kalinya gue jatuh cinta, eh…” kata Atya dengan nada menggantung tanpa mau meneruskan perkataannya.
“ah belum tentu juga” sahut Bryan datar.
“daripada diganggu terus, kenapa lo nggak cari pacar beneran aja… cewek-cewek yang suka sama lo khan banyak, pilih aja salah satu. Gampang!” kata Atya.
“nggak mau, gue takut sama cewek-cewek agresif” kata Bryan.
“ya ampun… payah banget sich… walaupun mereka agresif tapi khan banyak yang cantik-cantik. Lumayan tau buat lo nampang di sekolah atau di mall” kata Atya.
“Gila! kasian orang itulah... Gue nggak mau mainin perasaan cinta orang!”
“trus sekarang ada yang bikin lo jatuh cinta nggak?” kata Atya.
“ehm… emmm…” kata Bryan kebingungan tanpa bisa menjawab.
“yah… payah lo, masa’ nggak ada. Lo seumur hidup belum pernah jadian khan? Wah… jangan-jangan memang ada kelainan kali lo ya? Hahaha...” kata Atya.
“heh... lo ngaca dulu dong sebelum ngatain orang. Emang lo sendiri gimana? Lo juga belum pernah jadian khan sampe sekarang? Kita itu sama!” balas Bryan.
“Enak aja... siapa bilang… Gue ini beda sama lo! Setidaknya gue pernah suka banget sama seorang cowok bahkan sampe sekarang. Itu artinya gue normal! Kalo lo? Siapa yang lo taksir?” tantang Atya sambil tersenyum penuh kemenangan.
“nggak salah lo? Masih suka sampe sekarang? si Rio temen satu sekolah lo waktu lo masih SMP dulu itu?” tanya Bryan heran. Sekaligus bermaksud mengalihkan pembicaraan dari kisah cintanya karena ada sesuatu yang masih ingin dirahasiakannya dari Atya.
“lho emang kenapa?” kata Atya balik bertanya dengan wajah heran.
“emangnya kenapa? Lo bego atau idiot sich... Dia khan dulu udah pernah…” jawab Bryan lagi yang semakin senang karena berhasil melempar pembicaraan semakin jauh dari kisah cinta dirinya.
“Rio itu cinta pertama gue! pokoknya apapun yang Rio lakukan ke gue, gue akan tetep cinta sama dia” kata Atya yang langsung memotong perkataan Bryan.
“trus pengagum rahasia lo itu mau dikemanain? Udah tau belom lo siapa yang ngirim itu kado tiap minggu ke lo? Cie… yang punya fans… hahaha...” ledek Bryan.
“ah… gue juga nggak tau. Nich orang kayaknya tau banget kapan gue nggak ada di rumah, jadi gue nggak pernah tau siapa yang kirim. Mungkin nggak sich dia temen gue di masa lalu? Ah… sedihnya hidup tanpa kenangan masa lalu kayak gue gini”
“yah... mana… gue tau. Lo cari tau sendiri dong. Gue khan nggak pernah satu sekolah sama lo sejak TK” kata Bryan sambil memandang iba pada adiknya.
“iya, bener juga. Kenapa ya… gue masih belum bisa inget banyak sampe sekarang… Bodoh…!!!” kata Atya kesal sambil memukul-mukul kepalanya sendiri.
“eh… eh… eh… jangan gitu dong… udahlah lo sabar aja. Gue yakin, suatu saat nanti pasti lo bisa inget semuanya lagi” kata Bryan dengan senyuman lembut sambil memegang kedua tangan Atya agar berhenti memukul-mukul kepalanya sendiri.
Semenjak sebelum masuk SMP, seminggu sekali, entah dari mana Atya selalu menerima kado berupa kotak berwarna hijau dengan dihiasi pita merah yang di dalamnya berisikan beberapa butir Cokelat yang berbentuk bunga Tulip. Atya menjuluki kado itu COKELATULIP.
Sebenarnya sudah lama sekali Atya ingin mengetahui siapa orang yang telah memberikannya kado-kado itu untuk sekedar berterima kasih. Ia pun sudah berkali-kali membuat rencana untuk mengetahuinya tapi entah mengapa tak pernah sekalipun rencananya berhasil. Atya pertama kali menerima kado itu saat sedang dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan bersama Ayah kandungnya. Kecelakaan yang ternyata telah merubah kehidupan keluarga Atya terutama pada diri Atya karena selain telah membuatnya kehilangan Ayah kandungnya yang pergi untuk selama-lamanya, juga telah menimbulkan cidera parah pada otaknya sehingga ia kehilangan semua ingatannya. Cokelatulip adalah benda pertama yang membantunya untuk kembali mengingat namanya sendiri dan nama beberapa anggota keluarga yang lain. Ingatannya akan kenangan-kenangan masa lalu sama sekali hilang dan hanya bisa diketahuinya berdasarkan cerita dari teman-teman dan beberapa anggota keluarganya tanpa benar-benar dapat ia ingat sendiri bahkan hingga saat ini.
Karena itu, ia hanya bisa dapat menduga-duga akan kemungkinan bahwa dahulu ia pernah mengalami suatu kejadian yang tak terlupakan bersama Cokelatulip. Satu yang ia yakini, pengirim Cokelatulip adalah orang yang sangat mengerti Atya karena Cokelat makanan kesukaannya dan Tulip bunga yang paling disenanginya.
Atya menengok kearah luar pagar rumahnya,
“kenapa?” tanya Bryan.
“kayaknya ada orang yang ngintipin kita dari depan situ dech” jawab Atya.
“hah?! Siapa? Nggak ada orang gitu... lo jangan mulai aneh-anehlah… Udah malem nich...” kata Bryan dengan wajah yang setengah ketakutan.
“ada!” jawab Atya sambil berlari keluar pagar tapi tak melihat siapapun di sana.
1st Chapter by: Wieny
3 comments:
cerita yang unik dan menarik serta gaya bahasanya yg mudah dicerna, baru baca chpt 1 aja dah, gw dah mulai kebawa ke zaman SMA, jd penasaran untuk baca kelanjutannya...
duh jadi pengen punya kaka kaya gitu... ceritanya Teenlit apalagi pas lagi baca tentang hubungan kakak beradik yang akrab banget sama adikya. tapi kira-kira siapa yach cowo misterius itu. umm klo cowo yang pernah maki2 atya mah itu keterlaluan. kapan yach lanjutannya? jd penasaran pengen tau cowo misterius itu. kayanya romantis.. dibandingin sama rio.
jd inget waktu sma,gw jg prnh suka sama seseorang tp wktu itu udah mo lulus...penasaran endingnya gmn??udah ada terusannya lm?krmin donk ke email gw...funnyjul@ymail.com
thanks ya!
Post a Comment